Anda di halaman 1dari 17

Resume Madzhab Tafsir Ignaz Goldziher

BAB I
Tafsir Tahap Awal
a) Dalam tahap awal ini teks (Al-Qur’an) tidak pernah terjadi penyatuan melainkan
menetapkan qira’at yang bisa diterima (Masyhurah) untuk menghindari periwayatan yang
menyimpang dari firman Allah SWT.
b) Lahirnya perbedaan qira’at itu muncul dari karakteristik tulisan arab itu sendiri. Yang mana
tidak adanya tanda titik, perbedaan harokat yang dihasilkan, disatukan dan dibentuk dari
huruf-huruf yang diam menjadi faktor utamanya.
c) Sebagian qira’at tersebar, karena adanya penambahan-penambahan penafsiran untuk
memberikan penjelasan lebih detail. Tokohnya dalam hal ini adalah Abdullah bin Mas’ud
dan Ubay bin Ka’ab. Dan penambahan-penambahan ini diterima dengan tujuan untuk dapat
lebih mendefinitifkan pemahaman, bukan mengklaim sebagai salah satu teks wahyu.
d) Namun sejumlah qira’at yang tersebar (non-Mayhurah) mengundang kekhawatiran terhadap
penggunaan statemen-statemen yang berhubungan dengan Allah dan Rasul-Nya yang jelas
tidak layak dan tidak disepakati. Menurut At-Thabari qira’at non-Masyhurah tidak akan
diterima kecuali kalau makna nya tidak mengalami perbedaan-menempatkan sebuah qira’at
yang dianggap tidak pantas sejajar dengan qira’at masyhurah dan menguatkannya dan
menguatkan dengan dalil-dalil yang unggul dari segi timbangan, maka qira’at itu tentu
mempunyai akar (signifikansi) yang mendalam.
e) Qadli Syuraih seorang tokoh yang senantiasa mempublikasikan qira’at baru.
f) Munculnya dorongan untuk melakukan usaha-usaha pembetulan yang bersifat sakral
(Ketuhanan) adalah bentuk ketakwaan dan ketakutan mengenai munculnya berbagai
pengertian/periwayatan yang merusak esensi Allah. Tidak hanya itu mereka juga berusaha
untuk mengagungkan biografi Rasulullah dan nabi-nabi sebelumnya karena munculnya
periwayatan yang tidak sesuai mengenai mereka.
g) Pada masa awal ini juga terlihat bahwa setiap orang seperti memiliki kebeasannya dalam
meriwayatkan teks dengan cara yang tidak sama dengan bentuk yang asli.
h) Kemudian muncul sandaran bagi pendapat moderat yaitu hadis tentang Allah
menurunkanAl-Qur’an dengan tujuh huruf. Dan dengan adanya hadis ini para ulama
menggunakannya untuk batasan terkait syarat-syarat qira’at yang berlaku. Dengan itu maka
tidak ada namanya kebebasan mutlak.
i) Sebuah qira’at tidak diakui sahih dan tidak termasuk dalam kategori ungkapan Al-Qur’an
yang mu’jiz dan menentang setiap upaya taqlid, kecuali apabila dapat disandarkan pada
bukti-bukti riwayat yang yang terpercaya.
j) Harun bin Musa adalah seorang Yahudi dari Basrah yang masuk Islam merupakan orang
yang pertama kali mengkaji qira’at yang berbeda-beda dalam sebuah kajian kritis-analitis
dan mengelaborasi berbagai macam teori dasarnya, serta menelusuri jalur-jalur isnad.
k) Sejak saat ini dimulailah babak penafsiran secara tekstual terhadap hadis tentang tujuh huruf
yang makna (dalalah)-nya sangat membingungkan. Dan seiring dengan waktu juga muncul
pengakuan pada tujuh mazhab yang mewakili masing-masing kecenderungan qira’at. Dan
setiap imam qira’at menjustifikasi qira’atnya dengan riwayat-riwayat yang kokoh.
l) Secara khusus para teolog adalah pihak yang tidak sepakat dengan adanya pembatasan
kebebasan mereka terhadap teks Al-Qur’an yang ma’tsur.
m) Qira’at syadz adalah qira’at yang ditolak keas bahkan oleh pihak-pihak yang menyerukan
kebebasan. Ia merupakan asumsi-asumsi individual tetapi dibahasakan secara global yang
tidak akan diterima oleh sarjana qira’at yang bijaksana.
n) Ada dua sarjana qira’at yang menyeleweng menerima hukuman sangat kejam di Baghdad
yang mana mereka berniat menyebarkan qira’at yang menyalahi teks Utsmani. Mereka
adalah Ibnu Syanbudz dan Abu Bakar Al-Aththar al-Maqqari.
BAB II
Tafsir bil Ma’tsur
a) Pada masa ini penafsiran Al-Qur’an merupakan suatu fenomena yang masih menjadi
pertentangan. Karena pada saat itu mereka mempercayai bahwa penafsiran terhadap Al-
Qur’an adalah perbuatan yang tercela. Kemudian muncul pendapat dari Ahmad bin Hambal
yang menyatakan bahwa tafsir yang ditolak adalah yang didalamnya terhimpun mitologi dan
kisah yang termuat dalam kitab terdahulu yang penuh dengan kemisterusan dan imajinasi
bebas.
b) Salah satu tokoh dari model penafsiran ini adalah Muqatil bin Sulaiman yang mana
diberitakan bahwa pengetahuan tentang Al-Qur’an yang dimilikinya bersumber dari Yahudi
dan Nasrani. Contohnya adalah penafsirannya terhadap QS. Al-Isra’ : 58
c) Alasan utama penolakan tafsir juga adalah karena tafsir tidak boleh dilakukan hanya
menggunakan pikiran mandiri dan hawa nafsu saja (nalar/ra’y), melainkan yang benar
adalah dengan menggunakan ilmu (ilmu yang merujuk pada generasi sebelumnya).
d) Kemudian munculah ilmu riwayat yang mana ia memiliki peran yang sangat penting dalam
menentukan kebenaran/kesahihan suatu redaksi sekaligus menjadi metode kritik dan bahkan
menilai kualitas suatu hadis.
e) Tafsir bil Ma’tsur yakni tafsir yang didasarkan pada “ilmu” adalah tafsir yang dapat di
tetapkan oleh nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah
pengajaran hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna Al-Qur’an dan
dalalahnya.
f) Diantara tokoh yang ada kamu muslimin menilai Ibnu Abbas menjadi hujjah sanad terkuat
dan signifikan. Dan ia juga diibaratkan sebagai mukjizat tafsir, lautan ilmu dan tinta umat
Islam.
g) Namun disisi lain pujian dan pengagungan Ibnu Abbas, ditemukan suatu fakta bahwa
mazhab Ibnu Abbas ini bersentuhan langsung dengan Yahudi ( tokohnya adalah Ka’ab al-
Ahbar dan Abdullah bin Salam). Dalam hujjahnya ia menggunakan Israilliat dan kitab-kitab
terdahulu. Selain itu jika dalam menafsirkan Al-Qur’an ditemukan ungkapan-ungkapan yang
asing Ibnu Abbas bergaul dengan para penyair klasik yang mana menurutnya mereka
memiliki pengetahuan yang lebih mengenai bahasa. Karena seringnya ia menggunakan syair
klasik sebagai hujjahnya para ahli bahasa masa belakangan menganggap Ibnu Abbas sebagai
penggagas metode linguistik dalam tafsir Al-Qur’an.
h) Kemudian fakta lainnya adalah Ibnu Abbas sering menjadi sumber informasi hal-hal ghaib
yang kadangkala ia seperti penjelemaan Tuhan. Salah satu contohnya adalah penafsiran QS.
Al-Qashash ayat 27 dan 29, QS. Al-Baqarah : 266
i) Selanjutnya adalah semenjak abad ke 2 Hijriah para ulama berusaha memenuhi kebutuhan
akan adanya tafsir bil ma’tsur dengan menghasilkan karya-karya dalam bidang tafsir. Salah
satu nya adalah Muhammad bin Jarir al-Thabari. Karyanya sangat di hargai bahkan di dunia
barat, karena maha karya sejarah nya yang sangat besar dan menjadi sumber primer dalam
sejarah Islam. Tak hanya itu para sarjana Timur juga merasa senang karena mereka
mendapatkan kitab tafsir Al-Qur’an karyanya yang pada awalnya menghilang. Namun para
sarjana barat dan timur kaget saat mengetahui bahwa di Kairo terdapat terbitan lengkap kitab
ini.
j) Bagi kita kitab ini merupakan ensiklopedia pengetahuan dalam bidang tafsir bil ma’tsur.
Yang mana dalam penafsirannya ia meriwayatkan berdasarkan sanad yang sahih dan jelas
dan juga menggunakan metode kritik yang telah digunakan sejak awal. Selain itu
didalamnya terdapat pengetahuan qira’at yang luas dan lengkap yang sangat bermanfaat
untuk kita.
k) Dan dia juga bersikap longgar kepada qira’at yang non-masyhurah selagi menurutnya pantas
di jadikan hujjah. Kemudian ia juga bersikap longgar terhadap kisah-kisah israiliyat.

BAB III
Tafsir dalam perspektif Teologi Rasional
1. Mu’tazilah dan Penentangnya
Kaum Rasionalis adalah sekelompok orang pemeluk suatu madzhab keagamaan yang hendak
menafikan segala bentuk konsepsi seorang muslim dalam keyakinannya tentang uluhiah
(ketuhanan) dan semua hal yang menyingkirkan peran akal. komunitas tersebut adalah
Mu’tazilah yang memiliki konsepsi menggambarkan Tuhan secara antropomorfisme yang tidak
terpisah dari sifat-sifat Nya.
Dalam beberapa daerah mazhab Sunni sebagai mayoritas berhadapan dengan kaum rasionalis
(Ahl al Ra’y) yang minoritas, menimbulkan perlawanan dari pihak kedua. Terjadinya perselisihan
dalam penafsiran tidak hanya melibatkan ulama saja, melainkan juga orang-orang awam dan
partai-partai atau golongan-golongan yang mengakibatkan kejadian fatal.
Pada peristiwa 317 H/929 M, tercatat pernah terjadi kekacauan (fitnah) di Baghdad akibat
perselisihan dalam masalah Tafsir. QS. Al Isra : 79
‫َوِم َن اَّلْيِل َفَتَهَّج ْد ِبٖه َناِفَلًة َّلَۖك َع ٰٓس ى َاْن َّيْبَع َثَك َر ُّبَك َم َقاًم ا َّم ْح ُم ْو ًدا‬
“Pada sebagian malam lakukanlah salat tahajud sebagai (suatu ibadah) tambahan
bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji”.
Pengikut Imam Hanbali berpendapat maqamam mahmuda bermakna bahwa Allah mendudukkan
nabi bersama diri-Nya di arsy sebagai balasan tahajjudnya. Sedangkan pihak lain, madzhab Ahlu
Sunnah berpendapat bahwa istilah tersebut hendaknya tidak dipahami sebagai tempatan tertentu
melainkan tingkatan syafa’at yang mana Muhammad diangkat ke tempat tersebut karena
melaksanakan shalat tahajjud. Perbedaan penafsiran ini menimbulkan dua kubu yang
mengakibatkan kericuhan bahkan saling membunuh.
…..Terlihat dari komentar at Thabari terhadap penafsiran yang ada diatas, ia termasuk orang
yang pro dengan penafsiran kedua.
Kontroversi pengetahuan tentang ketuhanan yang berpijak pada antropomofisme indrawi pada
awalnya tidak hanya terjadi saat Mu’tazailah muncul, melainkan jauh pada masa sebelumnya
yakni saat mazhab tafsir bil ma’tsur .
2. Perihal Mujahid al-Makky
Mujahid al makky seorang perawi terpercaya, murid Ibnu Abbas. Tafsirnya diakui menjadi versi
yang paling absah. Mujahid menjauhi tafsir yang telah berlaku mengenai ungkapan ayat :
ۚ‫ُوُجْو ٌه َّيْو َم ِٕىٍذ َّناِضَر ٌۙة ِاٰل ى َر ِّبَها َناِظ َر ٌة‬
“Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (karena) memandang
Tuhannya.”
Dalam hal ini ia memaknainya dengan ‘cinta kepada Allah’ atau ‘amat senang (berharap) dalam
menanti balasan Nya’ dengan disertai catatan bahwa tidak seorang pun dari makhluq yang dapat
melihat-Nya. Begitu pula dengan al Aufa al Kufy berpendapat sama dengan Mujahid meskipun
tidak seorang pun dari keduanya menganut paham Mu’tazilah.
3. Metode Mu’tazilah Menggambarkan Sifat Tuhan
Orang orang Mu’tazilah bukanlah yang pertama kali melakukan penafsiran majaz atau
ungkapan ungkapan yang menunjukan pada tasbih. Kelebihan Mu’tazilah adalah mereka
menjadikan metode ini memuat seluruh wilayah ungkapan ungkapan Qur’ani yang menunjukan
pada tasybih. Hal ini tan[a sengaja menghidupkan beberapa aspek tradisi henelistik yang
kontribusinya tidak mungkin dilupakan dalam pembentukan-pembentukan mazhab-mazhab
.islam
Mu’tazilah menerpakan metode ini dalam menafsirkan teks-teks yang merangkum setiap sifat
ketuhanan antoopromorfistik : melihat, mendengar, marah, rela, naik, turun dan lain-lain. Serta
.pada sejumlah konsep teologis seperti Qadla dan Qadar, pembalasan dll
4. Karya Mu’tazilah dalam Tafsir
Tafsir karya abu bakal al ‘Asham, ubaidillah bin Muhammad bin Jarwi, Abu Muslim
Muhammad bin Bakr, Abu Abdus Salam al Qazwaini,
Zamakhsyari : al Kasyaf (bukti kajian dalam masalah masalah teologis yang kehilangan
signifikansinya dalam kesadaran umum dunia islam). Pengarang Mu’tazilah memiliki cara
penafsiran yang berebda dengan ahli sunnah. Mereka mampu mengemukakan Cahaya atas
keindahan dan kesempurnaan balaghah pada teks teks suci, disamping teks teks kebahasaan.
Mereka lebih memfokuskan dengan memberikan parameter standar untuk penafsiran al qur’an
dari perspektif balaghoh.
5. Metode Zamakhsyari dan Mu’tazilah dalam Tafsir
Zamakhsyari : makna muhkamat adalah ayat ayat yang jelas ungkapannya, terpelihara dari
makan-makna yang samar, dan mustahil menerima penafisran lain selain mkana tekstualnya.
Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang mengandung banyak alternatif makna.

6. Peran Akal Menurut Mu’tazilah


Akal merupakan sumber bagi pengetahuan keagamaan sekaligus sebagai timbangan makna
hakekat dari ajaran agama. Hal itu merupakan prinsip dasar yang dimasukan oleh generasi
mu’tazilah awal dalam memandang agama islam yang kemudian ditolak oleh sekte Asy’ari.
Orang orang mu’tazilah yang ekstrum mengambil tindakan bahwa buah dari produk rasionalitas
menegasikan metode pengetahuan dengan ma’tsur. Sedangkan mereka yang lebih moderat,
bersikap mendengar dan taat serta bertanggung jawab atas perintah perintah syariat. Zamakhsyari
sepakat keduanya. Bahwa pengetahuan agama dapat diperoleh dengan mendengarkan dan
berpikir.
Kelebihan mu’tazilah dalam melakukan oenafsiran yang sesuai akal adalah perlawanan mereka
terhadap konsep konsep khurafat yang bertentangan dnegan watak akal maupun pengaruh nya
terhada[ agama.

BAB 4
Tafsir Dalam Perspektif Tasawwuf
Dalam tasawuf tafsir merupakan suatu pendekatan untuk memahami dan
menginterpretasikan makna dalam teks-teks suci seperti Al-Quran. Kitab Mazhab Tafsir yang
ditulis oleh Ignaz Goldziher memberikan perspektif yang kaya serta mendalam dalam memahami
tafsir dari sudut pandang tasawuf. Perspektif tasawuf dalam tafsir menekankan pentingnya
dimensi batiniah dan pengalaman mistis dalam interpretasi teks-teks suci. Dalam tasawuf Al-
Quran dianggap sebagai wahyu yang mengandung makna tersembunyi yang hanya dapat
diungkapkan melalui pengalaman spiritual dan kerohanian yang mendalam. Oleh karena itu
tasawuf memberikan penekanan pada pemahaman simbolik metaforis dan esoteris dari Al-Quran.
Dalam tafsir tasawuf Ignaz Goldziher menyoroti bahwa Al-Quran mengandung pesan-
pesan esoteris yang diarahkan untuk mengantarkan manusia dalam mencapai pengenalan dan
penyatuan dengan Tuhan. Tafsir tasawuf membantu manusia dalam memperdalam pemahaman
akan hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk yang mencari kedekatan dengan Tuhan
melalui pengalaman batiniah dan transendental.
Satu konsep penting dalam tasawuf adalah "maqam yang mengacu pada tahapan atau
tingkatan spiritual yang ditempuh oleh seorang sufi dalam perjalanan menuju pengenalan Tuhan.
Tafsir dalam perspektif tasawuf mencoba menjelaskan pengalaman spiritual ini melalui
interpretasi dan pemahaman yang lebih dalam terhadap ayat-ayat Al-Quran. Goldziher
menggambarkan bahwa tafsir tasawuf tidak hanya mengajarkan tentang makna lahiriah dari ayat-
ayat Al-Quran tetapi juga menyampaikan makna-makna tersembunyi yang mengarah pada
pemahaman batiniah dan transendental.
Dengan demikian tafsir dalam perspektif tasawuf menawarkan sudut pandang unik yang
mencakup dimensi spiritual dan pengalaman batiniah dalam memahami teks-teks suci. Melalui
penekanan pada maqam dan pengalaman mistis tasawuf berusaha membantu manusia mencapai
kedekatan dengan Tuhan melalui pemahaman yang mendalam dan pengalaman spiritual. Wahdat
al-wujud yang merupakan sebuah konsep dalam kepercayaan mistis Islam yang berkaitan dengan
kesatuan dan hubungan antara Tuhan (Allah) dengan alam semesta. Konsep ini pertama kali
diperkenalkan oleh seorang teolog dan pemikir Muslim Sufisme bernama Ibn Arabi.
1. Perihal Wahdat Al Wujud
Dalam pandangan wahdat al-wujud Allah dianggap sebagai satu-satunya nyata yang
ekstis sedangkan seluruh ciptaan-Nya adalah manifestasi dari-Nya. Konsep ini menekankan
bahwa tidak ada keberadaan yang terpisah dari Tuhan melainkan semuanya adalah perwujudan
dari esensi Tuhan. Pemahaman wahdat al-wujud ini mengarah pada pemikiran bahwa semua
entitas di dunia ini adalah bagian dari perwujudan Tuhan yang tidak terpisahkan. Dalam konteks
mistisisme Islam tujuan utama bagi seorang Sufi adalah untuk mencapai pengalaman langsung
dengan Tuhan atau bersatunya jiwa individu dengan esensi Tuhan melalui meditasi dzikir dan
praktik spiritual lainnya.
2. Tafsir dengan menggunakan ta’wil
Tafsir adalah salah satu cabang ilmu dalam studi agama yang bertujuan untuk memahami
dan menafsirkan isi dari teks suci. Dalam konteks Islam tafsir mengacu pada interpretasi Al-
Quran dan Hadis.
Ta’wil di sisi lain adalah salah satu metode yang digunakan dalam tafsir untuk
memberikan penafsiran yang lebih dalam dan tersembunyi dari teks suci. Ta’wil secara harfiah
berarti “dirujuk kembali” atau “memperoleh kebenaran yang tertutup”. Prinsip ta’wil adalah
mencari pemahaman yang lebih mendalam dengan melampaui makna literal atau harfiah dari
kata-kata dalam teks suci.
Dalam praktiknya ta’wil digunakan ketika ada bagian dalam teks suci yang sulit
dimengerti dengan makna harfiah atau konvensionalnya. Misalnya ada kata-kata atau kisah
dalam Al-Quran yang mungkin terlihat aneh atau kontradiktif jika ditafsirkan secara harfiah.
Ta’wil memberikan pendekatan alternatif untuk memahami narasi yang lebih kompleks atau
yang memiliki makna simbolik. Namun penting untuk diingat bahwa ta’wil hanya dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang bahasa Arab kuno hadis sejarah
dan konteks teks suci Islam. Ta’wil juga harus didasarkan pada prinsip-prinsip dan aturan
interpretasi yang diterima dalam tradisi tafsir Islam.
3. Ikhwan al-shafa
Sebuah gerakan yang secara faktual memang tidak satu wadah dengan tasawuf tetapi dia
mempunyai tujuan yang sama dengannya. Dia adalah gerakan kelompok Ikhwan al-shafa di
bashar pada abad ke 10 M. Ikhwan al-Shafa yang berarti “Saudara-saudara Kesucian adalah
sekelompok intelektual Muslim dari abad ke-10 Masehi yang terkenal karena tulisan-tulisan
mereka yang mencakup berbagai topik keagamaan dan filsafat. Mereka dikenal sebagai
kelompok yang cenderung memiliki pandangan yang inklusif dan berusaha untuk menyatukan
pemikiran filsafat Yunani dengan ajaran Islam.
Salah satu aspek penting dari pemikiran Ikhwan al-Shafa adalah konsep takwil. Takwil
merujuk pada upaya mereka untuk menafsirkan teks keagamaan dengan cara yang memadukan
pemahaman literal dan makna yang lebih dalam atau figuratif.
Ikhwan al-Shafa juga memandang takwil sebagai alat untuk menyatukan pemahaman
keagamaan dengan pemikiran filsafat. Mereka berusaha menyelaraskan warisan intelektual
Yunani dengan keyakinan Islam mereka terutama dari filsuf seperti Plato dan Aristoteles. Dalam
upaya ini mereka menggunakan takwil untuk menginterpretasikan ajaran-ajaran Islam agar
sejalan dengan nilai-nilai filsafat Yunani. (299)
4. Perihal Al Ghazali
Al-Ghazali adalah seorang cendekiawan Muslim terkemuka pada abad ke-11. Ia terkenal
karena kontribusinya dalam bidang teologi filsafat dan tasawuf. Salah satu pendapatnya yang
terkenal adalah tentang konsep shirath syafaat dan karamah.
Shirath adalah jembatan yang harus dilalui setelah kehidupan di dunia ini sebelum masuk
ke surga atau neraka. Menurut Al-Ghazali shirath adalah jembatan tipis seperti mata pisau yang
menghubungkan antara kehidupan di dunia dan akhirat. Setiap individu akan melalui shirath ini
dan keberhasilan atau kegagalan dalam melewatinya ditentukan oleh amal perbuatannya di
dunia.
Syafaat adalah konsep pengantaraan dan pertolongan yang akan diberikan oleh orang-
orang saleh kepada mereka yang berhak. Al-Ghazali percaya bahwa pada hari kiamat sebagian
orang saleh akan diberikan izin oleh Allah untuk memberikan syafaat kepada orang lain. Namun
Al-Ghazali menegaskan bahwa syafaat hanya akan diberikan kepada mereka yang telah
memperoleh rahmat Allah dan melakukan amal yang baik.
Karamah adalah fenomena yang dikaitkan dengan orang-orang saleh yang dikaruniai
kemampuan luar biasa oleh Allah. Menurut Al-Ghazali karamah adalah kasih sayang istimewa
yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang saleh.
5. Perihal Ibn Arabi
Ibn Arabi yang juga dikenal sebagai Muhyiddin Ibn Arabi adalah seorang filsuf teolog
dan penyair Muslim yang hidup pada abad ke-12 hingga ke-13. Dia berasal dari Andalusia
wilayah yang sekarang merupakan bagian dari Spanyol. Ibn Arabi dikenal karena pemikiran dan
kontribusinya dalam bidang tasawuf yang juga dikenal sebagai mistisisme Islam.
Ketika membahas kaitan antara Ibn Arabi dan filsafat Yunani pertama-tama perlu dicatat
bahwa Ibn Arabi tidak berasal dari tradisi filsafat Yunani secara langsung. Namun dia
terpengaruh dalam pemikirannya oleh banyak ide-ide dan konsep filsafat Yunani yang
diterjemahkan dan dipelajari di dunia Islam pada masa itu. Salah satu konsep penting dalam
pemikiran Ibn Arabi adalah konsep "wahdat al-wujud" atau "kesatuan eksistensi". Konsep ini
mirip dengan konsep Neoplatonisme dalam filsafat Yunani yang menyatakan bahwa keberadaan
seluruh alam semesta merupakan manifestasi dari Satu Entitas Ilahi yang mendasarinya.
Ibn Arabi juga menggabungkan ide-ide filsafat Aristoteles dalam pemikirannya terutama
dalam hal logika dan metafisika. Dia menggunakan metode logika Aristoteles untuk
menganalisis dan menjelaskan realitas tetapi pada saat yang sama juga beliau mengakui
keterbatasan akal manusia terhadap pemahaman yang lebih tinggi. Ibn Arabi juga menekankan
pentingnya pengetahuan dan kebijaksanaan dalam pencarian spiritual. Menurutnya pengetahuan
bukan hanya tentang pemahaman intelektual tetapi juga memahami rahasia dan realitas spiritual
dari Tuhan. Dia berpendapat bahwa manusia harus mencari pengetahuan melalui pengalaman
langsung dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu Ibn Arabi banyak menulis tentang cinta dan hubungan manusia dengan Tuhan.
Baginya cinta adalah panggilan kehidupan spiritual yang mendalam. Dia menyatakan bahwa
cinta adalah jalan menuju Tuhan dan melalui cinta seseorang dapat mencapai kesatuan dengan-
Nya.
6. Perihal Al-Hallaj
Al Hallaj adalah seorang tokoh sufi terkenal yang hidup pada abad ke-9 di Persia. Dia
dikenal karena ekstasis spiritual dan penyataan kontroversialnya yang menyebabkan
kematiannya yang tragis. Al Hallaj dikenal karena dugaan pengakuannya sebagai Tuhan. Dia
sering mengulang frasa "Ana al-Haqq" yang berarti "Aku adalah Kebenaran" atau "Aku adalah
Tuhan." Frasa ini menjadi pusat kontroversi karena dianggap sebagai penistaan terhadap agama
dan mengancam otoritas klerikal. Pandangan Al Hallaj sebenarnya berakar dalam pandangan sufi
tentang penyatuan dengan Tuhan melalui pengalaman ekstatis. Bagi Al Hallaj pencapaian
kesatuan dengan Tuhan berarti hilangnya identitas diri dan menjadi satu dengan Sang Pencipta.
Namun pandangan dan penyataannya dianggap berbahaya oleh kekuasaan yang saat itu sedang
berkuasa.
Akibat pernyataan kontroversialnya tersebut Al Hallaj ditangkap oleh otoritas religius
pada tahun 310 H. Dia dihukum mati dengan cara yang sangat kejam termasuk dipotong tangan
dan kakinya disalib dan akhirnya dipenggal kepala. Perjalanan hidup dan ajaran Al Hallaj
memberikan warna penting dalam sejarah tasawuf (sufisme) dan menghadirkan diskusi mengenai
pengalaman spiritual pengorbanan dan penghargaan terhadap kebebasan berpikir serta tafsir
agama.
7. Metode philon
Metode Philon merupakan salah satu metode yang digunakan oleh kaum sufi dalam
mencapai kesatuan dengan Tuhan. Metode ini didasarkan pada ajaran filosofis dan spiritualitas
yang dikembangkan oleh seorang filosof Yunani yaitu Philon dari Alexandria. Philon adalah
seorang filosof yang hidup pada abad pertama Masehi. Ia menggabungkan ajaran-ajaran Plato
dengan tradisi Yahudi sehingga menghasilkan suatu pemikiran yang menyatukan filsafat dan
agama. Ajarannya banyak memengaruhi kelompok-kelompok spiritual di masa sekarang
termasuk kaum sufi.
Metode Philon mengedepankan pemahaman yang mendalam tentang Tuhan serta
pencarian kebenaran melalui meditasi dan kontemplasi. Para sufi yang mengikuti metode ini
berusaha untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang hakikat Tuhan melalui
introspeksi dan refleksi diri. Metode Philon juga menekankan pentingnya mengatasi hawa nafsu
dan keinginan duniawi untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan. Para sufi berusaha untuk
mengendalikan keinginan-keinginan materi yang membelenggu jiwa dan mencegah pencapaian
spiritual yang lebih tinggi.
Selain itu metode ini juga menitik beratkan penggunaan simbol-simbol dan metafora
dalam memahami Tuhan. Para sufi menggunakan bahasa simbolik untuk mengungkapkan
makna-makna yang mendalam tentang Tuhan dan realitas spiritual. Dalam praktiknya metode
Philon mengajarkan disiplin diri yang ketat dan latihan-latihan spiritual seperti meditasi doa dan
dzikir. Secara keseluruhan metode Philon sebagai acuan kaum sufi membantu para pengikutnya
untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan serta mencapai kesatuan dengan-
Nya melalui praktik-praktik spiritual yang intens dan penuh dedikasi.
Bab 5.
Tafsir Dalam Perspektif Sekte keagamaan
1. Perihal Syi’ah.

Secara langsung maupun tidak tokoh-tokoh agama dari golongan ini belum
mengupayakan secara sungguh-sungguh dan proposional untuk menemukan (menetapkan)
prinsip-prinsip dasar yang membedakan keyakinan keagamaan dan politik mereka sebagai
sebuah ketetapan secara definitif dalam Al-Qur’an. Sedangkan wilayah pembahasan perdebatan
pada saat itu, pada awalnya hanya terbatas pada upaya-upaya penolakan terhadap kepemimpinan
golongan ahlussunnah dengan melakukan rongrongan atas kepemimpinan tersebut serta mencela
terhadap berdirinya kekhalifahan di bawah keterkungkungan sejarah dinasti Umayyah dan
dinasti Abbasiyah.

2. Perihal khawarij

Pada awalnya dalam pandangan seorang muslim yang benar keyakinannya tidaklah asing
serta bertolak belakang dengan akal sehat bahwa sesungguhnya Alquran itu mencakup petunjuk-
petunjuk atas berbagai kejadian atau peristiwa yang akan datang kemudian dalam sejarah Islam.
Sesungguhnya Alquran telah menyatakan dirinya sendiri bahwa ia adalah himpunan yang
mempresentasikan ilmu-ilmu ketuhanan baik masa lalu masa kini ataupun masa depan dari sini
firman Allah yang mencakup pengetahuan tentang segala sesuatu itu pada pada awal mulanya
dimaksudkan untuk membuka mata umat Islam agar mereka melihat peristiwa-peristiwa yang
akan terjadi pada masa yang akan datang beserta pola perubahannya sekaligus sebagai
pemahaman langsung untuk menyandarkan hadis kepada Alquran lebih-lebih yang tidak jauh
dengan konteks peristiwa-peristiwa masa depan. Kita telah melihat sebelumnya bahwa
sesungguhnya manusia telah menemukan informasi-informasi atau kabar darinya Alquran
tentang kemenangan imperium Romawi atas imperium persi.

Dari beberapa peristiwa yang lebih dekat dengan konteks internal Islam adalah
munculnya golongan khawarij apa yang biasa disebut dengan nama Al Haruriyah .

Tafsir tafsir klasik telah menemukan indikasi-indikasi akan hal itu dalam Alquran. Seperti
mas’ab bin sa’ad menceritakan, bahwa sesungguhnya ia telah bertanya kepada bapaknya tentang
dua ayat dalam Alquran yaitu ayat 103 – 104 dari surat Al Kahfi. Yang kemudian bapaknya
menjawab bahwa sesungguhnya ayat-ayat yang ditujukan bagi golongan Al Huda itu bukanlah
ayat ini tetapi ayat lain yaitu ayat 25 surah ar-ra’d. “ orang-orang yang merusak janji Allah
setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa yang telah Allah perintahkan supaya
dihubungkan dan mengadakan kerusakan di muka bumi orang-orang itulah yang memperoleh
kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk mereka itulah golongan yang dinamakan
dengan Al-Haruriyah.”

Sedang dari sisi lain golongan khawarij juga mengeluarkan dari ayat Alquran beberapa
poin penting yang dijadikan alasan permusuhan mereka dengan Ali dan dalil legitimatif atas
pembunuhan yang dilakukan oleh Ibnu muljam atas diri ahli Bahkan dalam tempat-tempat yang
tertentu, yang kadang-kadang dalam tafsir klasik mendapat pembenaran ketika penjelasan di
dalamnya itu mencerminkan peristiwa-peristiwa kekinian para ahli tafsir pada masa sesudahnya
melihat adanya kisah-kisah yang mendidik dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada konteks
masa depan.

Pada ayat 9 surat al-hujurat pembicaraan ayat tersebut berkisar sekitar peperangan yang
terjadi antara dua kelompok : “ dan jika ada dua golongan mukmin yang berperan maka
damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap
golongan yang lain maka peranlah golongan yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu
kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikan antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah yang
menyukai orang-orang yang berbuat adil.” Ayat tersebut juga menjelaskan cara rekonsiliasi
bagi orang-orang mukmin. Tafsir klasik yang merujuk penjelasan yang bersifat mendidik ini
pada konflik yang terjadi pada masa Rasulullah yaitu antara dua kabinet di bumi suku aus dan
Khazraj. Jelas bahwa sesungguhnya dalam konsepsi penafsiran yang lebih modern kandungan
makna dalam ayat belum dianggap cukup dengan hanya mengkhususkan konteks ayat tersebut
pada masa kenabian karena dalam ayat tersebut ditemukan pula informasi yang memiliki
relevansi dengan peristiwa “konfrontasi” antara dua golongan umat Islam yaitu keluarga ali ra
dengan keluarga Umayyah.

Begitu juga tafsir tafsir klasik telah menampilkan dalam ayat-ayat Alquran yang mencela
Bani Umayyah meskipun secara de facto, dalam pandangan Islam pada umumnya, Bani
Umayyah adalah Bani yang diakui sebagai pemimpin (penguasa) legitimate, baik dalam hal
ketakwaan maupun kewaraannya.

Persepsi-persepsi inilah yang tercermin dalam pasal-pasal Alquran pada tahap awal yang
belum sampai pada tingkat perkembangan sektarian demi kepentingan sekte mereka masing-
masing.

3. Posisi Ali dalam tradisi ahlussunnah.

Di samping pola hubungan yang pejoratif kepada Bani Umayyah tampak secara jelas juga
bahwa dalam kalangan ahlussunnah sudah sejak lama muncul upaya-upaya positif untuk
menakwilkan teks-teks Alquran sebagai bentuk dukungan atau sahabat Ali Ra pada ayat 7 dari
surah Ar-Ra’d.

4. Syiah dan mushaf Utsmani.

Dalam tafsir ignaz goldziher tahap awal penafsiran sekte Syiah yang secara cepat
mengalami perkembangan yang luar biasa dan mulai menancapkan kemapanannya. Belum
pernah ada di dalam konteks penafsiran sekretarian upaya pemahaman yang dilakukan dan hasil
yang dicapai seperti ini sebagai bahan dalam penafsiran sekte Syiah.

Mas habsyifa telah meninggalkan pendapat yang dipegang oleh sebagian kelompok yang
berpandangan lebih ekstrem dari mereka bahwa Alquran yang Mansur pada saat ini tidak
mungkin untuk diakui sebagai sumber agama karena masih diragukan kebenaran dan
keasliannya, tetapi secara umum pengikut Syiah meragukan seluruhnya (mushaf Utsmani), sejak
dari kemunculannya, terkait dengan kebenaranya. Mereka meyakini bahwa memusat Utsmani
yang diakibatkan kepada Alquran yang benar, yang dibawa oleh nabi Muhammad saw
mengandung banyak tambahan dan perubahan signifikan, sebagaimana di dalamnya juga ada
pengurangan-pengurangan dengan cara memotong makna-makna penting dari Alquran yang
shahih dengan menjauhkan dan membuang makna.

Benar bahwa mereka mengakui keberadaan korpus ini sebagaimana upaya-upaya yang
telah dicurahkan dalam pengampunannya. Telah banyak riwayat-riwayat sebagaimana yang akan
dilihat selanjutnya yang berkaitan dengan revisi revisi kritis sek yang sangat beragam
kecenderungan paling jelas tampak pada sekte Syiah secara umum bahwa Alquran yang
sempurna yang diturunkan oleh Allah itu lebih banyak dan lebih panjang daripada Alquran yang
beredar di kalangan kaum muslimin dan lebih banyak dari Alquran mereka.

Mereka tidak menghadirkan bagian-bagian yang kurang dari teks-teks Alquran sebagai
ganti dari itu mereka menampilkan surat-surat yang terlupakan dalam usaha Utsmani dan surat-
surat yang ditinggalkan (tidak dimasukkan) oleh jamaah (Mayoritas) yang ditugaskan untuk
menulis Alquran oleh Usman karena mereka (para pengumpul mushaf) dalam keyakinan Syiah
mempunyai niat buruk dengan menganggap bahwa ayat-ayat tersebut (ayat yang terlupakan)
dianggap mengandung pemujian terhadap diri Ali Ra.

5. Urutan surat menurut Syiah

Berdasarkan hadis yang dibuat oleh si A bahwa sahabat Ali ra telah menyusun Alquran
(secara berurutan) menjadi 7 himpunan titik induk dari himpunan ini adalah sebagai berikut 1.)
Surat Al-baqarah (2) Ali Imran (3) An-Nisa (4) Al-Maidah (5) Al-an’am (6) Al-A’raf dan Al-
Anfal. Setelah induk-induk bentuk surat dari tiap-tiap himpunan ini lalu dihadirkan surat-surat
lain secara berurutan yang berbeda dengan susunan surat pada masa Utsmani.

Dalam pancaran pandangan ini teks Alquran yang memiliki beberapa persamaan dengan
Alquran milik mazhab ahlussunnah itu memberikan dasar ilmu ilmu keagamaan bagi mazhab
Syiah meskipun ilmu ilmu keagamaan Syiah lahir karena tuntutan di atas melalui upaya-upaya
penafsiran mereka yang lebih bercorak sektarian, yakni penafsiran yang berdasar pada kesahihan
semata (keseharian menurut mereka). Lalu mereka menisbatkan pada nabi seraya menyatakan
bahwa beliau adalah orang yang diakui kesungguhannya dalam hal penurunan Wahyu dan bahwa
imam Ali adalah orang yang diakui dalam hal ta’wil.

Menjunjung tinggi takwil yang shahih di hadapan penafsiran golongan ahlussunnah yang
keliru merupakan tujuan (orientasi) dari penafsiran Alquran yang dilakukan oleh pengikut Syiah,
yang telah mereka mulai secara praktis pada abad pertama Hijriyah dan pada awal-awal
kemunculannya mereka mengikuti pendapat-pendapat yang bebas ekstrem sampai pada masa
yang lebih modern.

Sekte Syiah menjadikan Alquran Utsmani sebagai dasar pedoman bagi mereka, dan mereka
tidak menentang mushaf Utsmani tersebut, kecuali dalam hal penetapan qiraat Alquran seperti
ketika mereka menafsirkan teks-teks Alquran dan memanfaatkannya bagi kepentingan Syiah
sewajarnya dengan selalu tetap bersandar pada pola-pola pengambilan hujjah dan otoritas ulama.

BAB VI
Tafsir Era Kebangkitan Islam
Yang dimaksud era kebangkitan Islam di sini adalah sejak abad XIV (14) Hijriah atau
akhir abad XIX (19) Masehi sampai sekarang, yaitu sejak dimulainya gerakan modernisasi Islam
di Mesir oleh Jamaluddin al-Afghani dan murid beliau Muhammad Abduh. Para mufassir dimasa
Muhammad Abduh tidak menerima begitu saja apa yang diungkapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an
secara literal, melainkan mencoba melihat lebih jauh apa yang ingin dituju oleh ungkapan literal
tersebut. Dengan demikian, yang ingin dicari para mufassir adalah “ruh” atau pesan moral al-
Qur’an itu sendiri. Latar belakang sejarah Mesir secara historis dapat kita lihat ketika Mesir
berada pada kekuasaan Romawi di Timur dengan Bizantium sebagai ibukotanya merupakan awal
kebangkitan Mesir di abad permulaan Islam yang berkembang menjadi kota dan negara tujuan
setiap orang. Mesir menjadi sangat menarik pada masa kekuasaan Romawi tersebut karena ia
mempunyai potensi yang secara tradisional telah berakar di Mesir. Mesir menjadi salah satu
pusat peradaban Islam dan pernah dikuasai dinasti-dinasti kecil pada zaman Bani Abbas, seperti
Fatimiyah (sampai tahun 567 H) yang mendirikan al-Azhar, dinasti Ayubiyah (567-648 H) yang
dikenal dengan Perang Salib dan perjanjian ramalah mengenai Palestina, Dinasti Mamluk (648-
922 H) sampai ditaklukan oleh Napoleon Bonaparte dan Turki Usmani.
Ignaz Goldziher membagi fase sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode.
Dimana tiga fase ini merupakan kesimpulan dari karyanya yang berjudul Mazhab Tafsir yang
diterjemahkan dari bukunya yang berbahasa Arab Madzahib al-Tafsir al-lslam, yaitu: Periode
Pertama, Tafsir masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak
Tafsir bil Ma ‘tsur. Periode Kedua, Tafsir masa perkembangannya menuju madzhab – madzhab
ahli ra ‘yi yang meliputi aliran akidah (teologis), aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan.
Dan periode ketiga, Tafsir pada masa perkembangan kebudayaan atau keilmuan Islam yang
ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamaluddin al-
Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha.

Dalam disiplin keilmuan apapun mulai dari ilmu Tafsir, Tasawuf, Filsafat, dan ilmu-ilmu
umum lainnya, selalu ada yang namanya mazhab atau aliran. Munculnya Mazhahib al-Tafsir atau
aliran-aliran dalam penafsiran al-Qur’an sesungguhnya merupakan salah satu bentuk pluralitas
dalam memahami al-Qur’an yang disebabkan oleh adanya dialektika antara teks yang terbatas
dan konteks yang tak terbatas.

Mengkaji Mazhahib al-Tafsir secara baik akan menjadikan kita lebih dewasa dalam
menyikapi pendapat-pendapat penafsiran yang ada, sehingga kita tidak perlu menganggap final
suatu penafsiran, apalagi memutlakan kebenaran dari hasil penafsiran seseorang, sebab yang
mutlak dan absolut sesungguhnya hanya Allah. Apapun hasil penafsiran adalah relatif
kebenarannya. Bagi Muhammad Abduh, tafsir harus berfungsi menjadikan al-Qur’an sebagai
sumber hidayah. Semangat Muhammad Abduh untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjung
bagi manusia. Para mufassir di periode ini, di dalam menafsirkan al-Qur’an atau ayat-ayat al-
Qur’an juga bertitik tolak dari pembaruan Islam sehingga kebanyakan mereka selalu mengaitkan
ayat-ayat al-Qur’an dengan ajaran-ajarannya dengan keadaan sosial kemasyarakatan pada zaman
ini, dengan menjelaskan bahwa ajaran islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan dan
kemoderenan.

Islam adalah agama yang universal, yang sesuai dengan seluruh bangsa pada semua masa
dan setiap tempat. Oleh karena itu, dalam menafsirkan ayat al-Qur’an, mereka menyandarkan
penafsirannya pada riwayat dan pendapat mufassir terdahulu, lalu disesuailcan dengan tuntutan
zaman. Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, misalnya, di dalam muqaddimah Tafsir AI-Manar
mengatakan sebagai berikut “ ......kitab ini adalah satu-satunya tafsir yang mengumpulkan Nash
yang shahih dan akal sehat yang menjelaskan hukum syara’ dan ketentuan Allah pada ciptaan-
Nya dan keadaan al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia pada semua masa dan diseluruh
tempat yang menjembatani antara petunjuknya dengan masalah yang dihadapi kaum muslimin
pada masa kini. “ Maka sumber-sumber tafsir pad masa ini ialah perpaduan antara Riwayah dan
Dirayah.

Dalam teks yang dinukil dari kitab yang berjudul “Ruh al-Islam aw Hayatu Muhammad
Saw Wa Ta ‘alimihi” (The Spirit of Islam or Life and Teaching of Muhammed) Calcutta 1902,
karya seorang intelektual india bernama Sayed Amir Ali, seorang ulama yang menyerukan
kebangkitan kebudayaan Islam di negara India, terlihat jelas adanya kecenderungan sektarian-
heroik yang kuat: yaitu bahwa Islam itu bukanlah ajaran yang bertentangan dengan konsep
kemajuan (progresivitas), tetapi Islam telah banyak menetapkan adanya kesesuaian ajaran dan
isyarat-isyarat (petunjuk) dengan ide progresivitas pada semua lini dalam bidang keagamaan dan
kesejahteraan yang lain.

Menurut kacamata Ignaz Goldziher, permasalahan antara kebudayaan dan Islam


merupakan permasalahan yang bertolak belakang, dan jawaban dari keduanya sudah diupayakan
sejak lama oleh kebanyakan tradisi keilmuan yang beragam dalam dunia Islam. Baik secara
teoritis maupun ilmiah. Islam selama ini tidak dianggap sebagai ajaran yang mengabaikan tujuan
dasar untuk kemajuan rasional dan kemajuan sosial, kecuali disebabkan karena adanya pengaruh
keagamaan yang keliru dan bentuk-bentk penafsiran yang salah dari para ulama mutakhir.

Penyelewengan ajaran Islam itulah yang selama ini menjadi penyebab utama adanya
paradoks bagi makna dan hakikat Islam berupa tidak adanya mobilisasi Islam ke arah paradigma
kebudayaan modern. Nilai-nilai etis secara final ditetapkan bagi segala urusan yang tidak
memiliki relevansi kecuali hanya sebatas temporal-relatif. Sementara kewajibankewajiban
dicanangkan, dengan kebenaran syari’at (legitimasi agama) yang tidak bisa menerima perubahan
dan pergantian. Ini yang menyebabkan kejumudan kehidupan dalam Islam dan kekhurafatan
(mitos) menampakkan diri dihadapan dunia nyata yang asing, yaitu bahwa klaim tentang
kesempurnaan Islam barangkali menyerupai sebuah wilayah empat persegi (terbatas).
Seandainya masalah-masalah yang memiliki nilai relatif-temporal di dalam Islam itu dipahami
secara proporsional, artinya didasarkan pada nilai-nilai relatiftemporalnya, begitu juga segala
sesuatu itu tidak harus dikembalikan kepada akidah dan moralitas, tetapi kepada prinsip-prinsip
dasar sosial, ekonomi dan konstitusional, sebagaimana ia dikembalikan kepada pengetahuan
ilmiah, tentu umat islam tidak akan menjadi batu sandungan bagi sistem sosial yang selalu
menuntut adanya dinamisasi dan keseimbangan zaman yang selalu berubah, bukan sekedar
menawarkan produk-produk pemikiran belaka.

Dalam aspek keterkaitan al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan alam, Muhammad Abduh
menjelaskan bahwa al-Qur’an itu tidak diturunkan Allah Swt sebagai penjelas atas segala
problematika ilmu pengetahuan alam (materi). Mempelajari permasalahan ini bukanlah tujuan
utama darİ ajaran agama, tetapi hal İtü menuturkan akan keindahan ciptaan dan keajaiban-
keajaibannya sebagai sebuah hikmah yang dimiliki Allah Swt.

Secara spesifik, Menurut Ignaz Goldziher bahwa İslam tidak bertolak belakang dengan
kemajuan ilmu, karena jika bertolak belakang, maka berarti İslam itü bertentangan dengan
pembawanya. Padahal “Muhammad Saw” adalah nabi yang sangat menghargai pentingnya pola
pemikiran dengan akal, sebagai karya manusia yang paling tinggi dan mulia.

Ignaz Goldziher berpendapat bahwa zaman baru menuntut adanya sebuah sistem baru
dan pembebasan dari sistem dan pola-pola pengajaran yang telah diterapkan oleh generasi klasik.
Tidak mungkin mempersiapkan generasi muda İslam kecuali dengan membimbing pola pikir
mereka secara wajar, melalui gagasan-gagasan pemikiran setiap generasi sebagai sebuah
kebutuhan (tuntutan) pada masanya dan sejalan dengan ukuran (standar) serta kaidah yang terus
berkembang dan tidak statis.

Anda mungkin juga menyukai