Anda di halaman 1dari 14

LAFADZ MUBHAM

MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
USHUL FIQH

DISUSUN OLEH
1. Bagus Arif Maulana (D91217085)
2. Alifah Nurul Fadilah (D91217039)

DOSEN PENGAMPU
Drs. H M. Nawawi, M.Ag.

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ushul fiqih merupakan salah satu cabang dalam ilmu keislaman
yang secara garis besar membahas tentang bagaimana menggali dan
memunculkan hukum syara’ paraktis dari nash yang ada, baik dalam Al-
Quran maupun As-Sunnah.
Salah satu dari teori kebahasaan tersebut ialah memahami lafadz
dari segi maknanya, baik yang jelas maupun tidak jelas . Lafadz-lafadz
yang tidak bisa di artikan secara langsung ( jelas ) itulah yang
menyebabkan banyak perbedaan penafsiran makna terhadap lafadz
tersebut. Sehingga dalam makalah ini akan di bahas mengenai lafadz-
lafadz dari segi ketidakjelasan makna (Khafi, Musykil, Mujmal dan
Mutasyabih) dan contohnya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan lafadz dari segi ketidakjelasan Makna?
2. Jelaskan bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan makna dan
contohnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lafadz dari segi ketidakjelasan makna.
2. Untuk mengetahui bagian-bagian lafadz dari segi ketidakjelasan makna
dan contohnya.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Lafadz Mubham


Lafadz yang tidak terang artinya atau ghairu wudhu al-ma’na,yaitu
lafadz yang dari segi lafadz itu sendiri tidak dapat di ketahui artinya.
Lafadz itu baru dapat di pahami maksudnya bila ada penjelasan dari luar
lafadz tersebut. Lafadz dalam bentuk ini disebut juga lafadz mubham.1
Nash yang kurang jelas dalalahnya ialah nash yang dalalahnya baru
ditemui melalui petunjuk dari luar nash itu. Kalau hal yang menyebabkan
kurang jelas itu dapat dihapuskan sesudah mengerahkan daya pikiran dan
kesungguhan, maka dinamakan al-khafi ataumusykil. Kalau hanya dapat
dihilangkan melalui penjelasan dari pembuat peraturan itu sendiri
dinamakan al-mujmal dan kalau tidak dapat dihilangkan sama sekali
dinamakan al-mutasyabih.2
B. Al-Khaf
Pengertian khafi menurut bahasa adalah tidak jelas atau
tersembunyi. SedangkanMenurut istilah, seperti yang dikemukakan oleh
Adib Salih adalah suatu lafal zhahir yang jelas maknanya, tetapi lafal
tersebut menjadi tidak jelas karena ada hal baru yang mengubahnya,
sehingga untuk mengatasinya tidak ada jalan lain, kecuali dengan
penelitian yang mendalam.3
Khafi dalam istilah ushul, yaitu lafazh yang menunjukkan terhadap
maknanya dengan dalalah yang nyata. Akan tetapi dalam penerapan
maknanya pada sebagian satuan-satuannya terdapat semacam kesamaran
dan ketersembunyian yang untuk menghilangkan diperlukan analiasis dan

1
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2012) h.101
2
Khairul Uman dan H.A.Achyar Aminuddin, Ushul Fiqhi II, (Bandung:CV.Pustaka Setia, 1998)
h.14
3
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: CV Pustaka
Setia,2007)h.164

2
pemikiran. Lafazh tersebut dianggap khafi (samar, tersembunyi) dalam
konteksnya dengan sebagian satuan-satuan ini.
Sebab munculnya kesamaran ini ialah bahwasanya satuan tertentu
di dalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya
atau satu sifat berkurang dari satuan itu atau ia mempunyai suatu nama
khusus. Tambahan atau kekurangan atau penamaan khusus ini
menjadikannya sebagai tempat keserupaan. Oleh karena itu, maka lafazh
tersebut adalah samar dalam konteksnya dengan satuan ini, karena
pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafazh itu
sendiri, bahkan ia haruslah dengan suatu hal yang khariji(eksternal). Untuk
menghilangkan ketidakjelasan makna lafal, maka perlu pencermatan dan
peninjauan. Atau dengan kata lain, untuk memahami makna khafiperlu
ijtihad ulama.4
C. Contoh Lafazh Khafi
Contohnya lafal ‫َّارق‬
ِ ‫ الس‬yang berarti pencuri dalam ayat:
‫َّللا َع ِزيز َح ِكيم‬ َّ َ‫طعوا أ َ ْي ِديَه َما َجزَ ا ًء ِب َما َك َسبَا َنك ًَال ِمن‬
َّ ‫َّللاِ ۗ َو‬ َ ‫َّارقَة فَا ْق‬
ِ ‫َّارق َوالس‬
ِ ‫َوالس‬
Adapun orang laki-laki maupun perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya…(QS.AL-Maidah:38)
Lafal ‫َّارق‬
ِ ‫( الس‬pencuri) berarti orang yang mengambil harta orang
lain dari tempat penyimpanannya dengan sembunyi-sembunyi. Akan tetapi
arti ini menjadi tidak jelas, jika diterapkan pada satuannya yang
mempunyai nama tersendiri. Misalnya Nubasy, yakni seseorang yang
mengambil kain kafan mayat dari dalam kubur. Apakah termasuk dalam
lafal ‫َّارق‬
ِ ‫( الس‬pencuri) atau tidak? Dalam hal ini ulama berbeda pendapat.
1. Ulama Hanafiyah menyatakan Nubasy tidak termasuk dalam
arti ‫َّارق‬
ِ ‫( الس‬pencuri), sehingga tidak dikenakan hukuman potong tangan
sebab (1) benda yang diambil tidak termasuk benda yang disukai, (2)
benda yang diambil tidak terdapat ditempat penyimpanan, dan (3)
benda yang diambil tidak ada pemiliknya, bukan milik mayat dan
bukan milik ahli warisnya.

4
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqhi, (Semarang: Dina Utama Semarang,1994) h.259

3
2. Imam syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Yusuf,
menyatakan bahwa Nubasy termasuk kedalam arti
lafal ‫َّارق‬
ِ ‫( الس‬pencuri), oleh karena itu ia dikenakan hukuman potong
tangan kepada yang mengambilnya, dengan alasan (1) bahwa
pengambilan benda itu dilakukan disaat sepi, (2) bahwa tempat
penyimpanan benda adalah sangat disesuaikan dengan bendanya dan
tidak ada tempat penyimpanan kain kafan bagi mayat kecuali dalam
kubur.
Contoh yang lain adalah hadis nabi yang berbunyi:
‫ا َ ْلقَاتِلل لَيَ ِرث‬
Pembunuh itu tidak berhak menerima warisan dari yang di bunuhnya.
Lafal ‫( اَ ْلقَا ِتلل‬pembunuh) dalam hadis diatas cukup jelas artinya dan
tidak diragukan untuk menerapkan hukum terhalang dari hak warisan
orang yang membunuh secara sengaja dan terencana. Akan tetapi, apakah
lafal ‫( اَ ْلقَاتِلل‬pembunuh) dan hukum halangan warisan itu dapat
diberlakukan pula terhadap ”pembunuhan tersalah”(tidak sengaja),
“pembunuhan bersebab”, “pembunuhan bersama” (dilakukan secara
bersama oleh lebih dari dua orang). Hal ini menjadi objek ijhtihad para
ulama mujtahid.5
Contoh macam ini dalam undang-undang syara’ dan hukum positif
banyak sekali. Diantara yang paling jelas adalah sebagai tindakan kriminal
yang mengandung keserupaan mengenai apakah ia pidana atau
pelanggaran biasa.
Cara untuk menghilangkan kesamaran ini ialah pembahasan dan
pemikiran oleh seorang mujtahid. Jika ia berpendapat lafazh tersebut
mencakup satuan tersebut, kendatipun dengan maka ia menetapkannya
termasuk dari yang ditunjuki oleh lafazh itu, lalu ia mengambil hukumnya.

5
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Sumatra Utara :
Amzah,2005),h.164

4
Acuan mereka dalam ijtihad untuk menghilangkan kesamaran ini ialah illat
hukum dan hikmanya, nash-nash yang berkenaan dengan hal ini.6

D. Al-Musykil
Lafaz musykil ialah suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan
oleh lafaz itu sendiri.
Musykil menurut bahasa ialah sulit atau sesuatu yang tidak jelas
perbedaannya. Sedangkan menurut istilah musykil adalah suatu lafal yang
tidak jelas maksudnya karena ada unsur kerumitan, sehingga untuk
mengetahui maksudnya diperlukan ada indikator tertentu untuk dapat
menjelaskan kerumitan itu, dengan jalan pembahasan dan pemikiran yang
mendalam.7 Kemusykilan lafadz itu disebabkan oleh hal-hal berikut:
1. Karena lafaz itu musytarak , yaitu diciptakan untuk beberapa arti
sedang sighatnya sendiri tidak menunjukkan makna tertentu.
2. Adanya dua lafaz yang saling berlawanan. Artinya, kedua nash jelas
dalalahnya tetapi, kemuskilannya terletak dalam men-taufiq-kan
(mengompromikan) antara kedua nash yang saling berlawanan.8
3. Contoh Lafazh Musykil
َ َ‫خ ل‬
‫ق‬ َ ‫س ِه َّن ث َ ََل ث َ ة َ ق ر و ٍء ۚ َو َل ي َ ِح ُّل ل َ ه َّن أ َ ْن ي َ ك ْ ت ْم َن َم ا‬ ْ َّ ‫َو ال ْ م ط َ ل َّ ق َ ات ي َ ت َ َر ب‬
ِ ‫ص َن ب ِ أ َن ْ ف‬
َ ِ ‫ق ب ِ َر د ِ هِ َّن ف ِ ي ذ َٰ َ ل‬
‫ك‬ َ َ ‫اْل ِخ ِر ۚ َو ب ع و ل َ ت ه َّن أ‬
ُّ ‫ح‬ ْ ‫ح ا ِم ِه َّن إ ِ ْن ك َّن ي ْؤ ِم َّن ب ِ اّللَّ ِ َو ال ْ ي َ ْو ِم‬ َ ‫َّللاَّ ف ِ ي أ َ ْر‬
ۗ ‫جة‬ َ ‫ج ا ِل ع َ ل َ ي ْ ِه َّن د َ َر‬
َ ‫لر‬ِ ِ ‫ف ۚ َو ل‬ ِ ‫ح ا ۚ َو ل َ ه َّن ِم ث ْ ل ا ل َّ ذِ ي ع َ ل َ ي ْ ِه َّن ب ِ ال ْ َم ع ْ ر و‬ ً ‫ص ََل‬ ْ ِ ‫إ ِ ْن أ َ َر اد وا إ‬
َ ‫َو َّللاَّ ع َ ِز يز‬
‫ح ِك يم‬
Dan para istri yang di ceraikan (wajib) menahan diri dari mereka
menunggu tiga kali quru’.....(QS.Al-Baqarah:228).
Lafal tersebut secara bahasa memiliki dua arti, yaitu
ْ َ ‫ )ا َ ْْل‬dan haid(‫ضات‬
makna suci (‫ط َهار‬ َ ‫)ا َ ْل َح ْي‬. Apakah iddah wanita yang ditalak
suaminya, berakhir dengan tiga kali haid atau dengan tiga kali suci.
Imam Syafi’I dan sebagian Mujtahid berpendapat bahwa yang
dimaksud lafal al-quru’ dalam ayat diatas adalah suci. Qarinah-nya adalah
6
Abdul Wahhab Khallaf, h.261
7
Rachmat Syafe’i, h.165
8
Suyatno, Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh, ( Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011),h.204

5
pen-ta’ nits-an isim adad (nama hitungan), karena hal itu menunjukkan
bahwasanya yang dihitung adalah mudzakkar (laki-laki), yaitu suci bukan
haid
Hanafiyah dan sekelompok mujtahid lainnya berpendapat bahwa
lafal al-quru pada ayat diatas adalah haid. Qarinah-nya, sebagai berikut:
4. Hikmah pen-tasyri-an iddah. Hikmah dalam kewajiban idddah atas
wanita yang ditalak adalah mengetahui kebersihan rahimnya dari
kehamilan, sedangkan yang memberitahukan hal ini adalah haid bukan
suci. Firman allah swt.: QS.Ath-Thalaq : 4

ِ ‫الَل ئ ِ ي ي َ ئ ِ سْ َن ِم َن ال ْ َم ِح‬
‫يض ِم ْن ن ِ س َ ا ئ ِ ك مْ إ ِ ِن ا ْر ت َ ب ْت مْ ف َ ِع د َّ ت ه َّن ث َ ََل ث َ ة أ َ شْ ه ٍر‬ َّ ‫َو‬
َ ‫ج ل ه َّن أ َ ْن ي َ ضَ ع ْ َن‬
‫ح ْم ل َ ه َّن ۚ َو َم ْن ي َ ت َّ قِ َّللاَّ َ ي َ ْج ع َ ْل‬ َ َ ‫اْل َ ْح َم ا ِل أ‬
ْ ‫ول ت‬
َ ‫ض َن ۚ َو أ‬ َّ ‫َو‬
ْ ‫الَل ئ ِ ي ل َ مْ ي َ ِح‬
‫ل َ ه ِم ْن أ َ ْم ِر ه ِ ي سْ ًر ا‬
Artinya:”perempuan-perempuan yang tidak haid lagi
(menopause)di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddahnya mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula
perempuan-perempuan yang tidak haid…. (QS. Ath-Thalaq : 4)
Pada ayat diatas, sebab dihitungnya tiga bulan masa iddah karena
tiadanya haid wanita yang ditalak. Oleh karena itu, dapat ditetapkan bahwa
pada dasarnya masa iddahdihitung dengan haid.
Sabda Rasullullah saw.
‫َان‬
ِ ‫ضت‬ ِ ‫طَلَق ْالَ َم ِة ثِ ْنت‬
َ ‫َان َو ِعدَّت َها َح ْي‬ َ

Talak hamba sahaya perempuan dua kali, dan iddahnya dua kali haid.

Penegasan bahwa iddah hamba sahaya perempuan dengan haid


merupakan penjelasan terhadap yang dimaksud dengan lafal al-
quru’u dalam iddah perempuan yang merdeka. Adapun pen-takhsish-an
nama hitungan, ia dimaksudkan untuk ke mudzakkar lafal yang
dihitungnya, yaitu lafal al-quru’.9

9
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, h.237

6
E. Al-Mujmal
Mujmal adalah: Lafadz yang belum jelas karena masih bersifat
garis besar. Secara bahasa Mujmal berarti samar. Secara istilah, para ahli
ushul fiqhi mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam
Sarakhasi mendefinisikan mujmal sebagai suatu lafal yang tidak dapat
dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang menegeluarkan
lafal mujmal itu dan melalui penjelasannnya diketahui makasud lafal
tersebut.
Wahbah al-zuhaili mendefinisikan mujmal dengan lafal yang sulit
dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang
yang mengucapkan). Jalaluddun Abd.Rahman mendefinisikan mujmal
sebagai lafal yang dalalahnya tidak jelas.10
Dari beberapa definisi diatas dipahami bahwa mujmal merupakan
suatu lafal yang dikutif oleh syar’i dari makna kebahasaanya dan
ditetapkan untuk berbagai makna terminologis yang bersifat syar’i secara
khusus seperti lafazh sholat, zakat, puasa, dsb. Bukan makna secara
kebahasaan.11
F. Contoh Lafazh Mujmal
Lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti
syara’, sepertilafaz shalat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz shalat menurut
bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Yang
menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri
karena ditemui sunnah qauliyah dan sunnah fi’liyah yang menerangkan
arti yang dimaksud oleh syara’.

Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan


oleh nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam
firman Allah swt. surah Al-Qari’ah ayat 1-4:

10
http://susilawatirahmadi.blogspot.com/2015/01/qawaid-al-tafsir-dalalah-sharih-ghairu.html
11
Abdul Wahhab Khallaf, h.265

7
ِ َ ‫ال ْ ق‬
‫ار ع َ ة‬

ِ َ ‫َم ا ال ْ ق‬
‫ار ع َ ة‬

ِ َ ‫ك َم ا ال ْ ق‬
‫ار ع َ ة‬ َ ‫َو َم ا أ َ د ْ َر ا‬

ِ‫اش ال ْ َم ب ْث و ث‬
ِ ‫ي َ ْو م َ ي َ ك ون ال ن َّ اس ك َ ال ْ ف َ َر‬

“Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah


hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang
bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-
hamburkan”.(QS. Al-Qori’ah: 1-4).
Dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa suatu lafal dapat
menjadi mujmal karena : maknanya musytarak, dipalingkan dari makna
bahasa pada makna syara, dan lafal itu jarang dipergunakan.12
Contoh lain adalah lafal َ ‫ َو أ َ ق ِ يم وا ال صَّ ََل ة‬dalam ayat:
َ ‫َو أ َ ق ِ يم وا ال صَّ ََل ة‬
“Dan laksanakanlah shalat….(QS.Al-Baqarah:43)
Apabila terhadap lafal mujmal itu mendapat penjelasan
dari syara’ secara sempurna maka mujmal menjadi mufassar. Ayat diatas
dijelaskan melalui hadis Nabi Muhammad saw. Baik dengan perkataan
maupun perbuatan yang menjelaskan detail-detailnya, mengenai rukun,
syarat, dan caranya.
Rasullullah saw.bersabda:
‫ص ِل ْى‬ َ ‫صلُّ ْو ا َك َم‬
َ ‫ارا َ يْتمونِى ا‬ َ
Salatlah seperti kamu lihat aku melakukan shalat.(HR.Bukhari)
Apabila lafal mujmal mendapat penjelasan dari syara’ tetapi tidak
secara sempurna dan pasti maka masih perlu ijtihad untuk
menjelaskannya. Jika demikian yang terjadi, mujmalmenjadi musykil,

12
Mukhtar Yahya, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2000)h.289-290

8
sehingga untuk mujmal yang semacam ini diberlakukan ketentuan
padamusykil.

G. Al- Mutasyabih
Lafadz mutasyabih secara bahasa adalah lafadz yang meragukan
pengertiannya karena mengandung beberapa persamaan. Dalam istilah
hukum, lafadz mutasyabih adalah lafadz yang samar artinya dan tidak ada
cara yang dapat digunakan untuk mencapai artinya.13
Lafadz mutasyabih menurut ulama ushul fiqih adalah lafaz yang
sighatnya tidak menunjukkan maksudny dengan sendirirnya, dan tidak
ditemukan qarinah eksternal yang menerangkannya, dan syar’I
memonopoli pengertiannya tanpa menafsirkannya.
Mutasyabih hanyalah ditemukan pada tempat-tempat lain daripada
nash, seperti potongan-potongan huruf pada permulaan sebagian surah al-
qur’an: Alif Lam Mim, Qaf, Shad, Ha’, Mim dan seperti ayat-ayat yang
zhahirnya bahwasanya allah swt. Menyerupai makhluknya dalam hal
bahwa dia mempunyai tangan, mata dan tempat.
H. Contoh Lafazh Mutasyabih
Contoh lafal dalam firman allah swt.:
ْ‫ط ب ْ ن ِ ي ف ِ ي ا ل َّ ذِ ي َن ظ َ ل َ م وا ۚ إ ِ ن َّ ه م‬ َ ْ ‫ص ن َع ِ ال ْ ف ل‬
َ ‫ك ب ِ أ َعْ ي ن ِ ن َا َو َو ْح ي ِ ن َا َو َل ت‬
ِ ‫خا‬ ْ ‫َو ا‬
‫م غ ْ َر ق و َن‬
Artinya: “Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan
petunjuk wahyu kami”.(QS.Hud:37)
Dan firmanNya:
‫ج َو َٰى‬ْ َ ‫ض ۖ َم ا ي َ ك ون ِم ْن ن‬ ِ ‫اْل َ ْر‬ ْ ‫ت َو َم ا ف ِ ي‬ ِ ‫أ َ ل َ مْ ت َ َر أ َ َّن َّللاَّ َ ي َ ع ْ ل َ م َم ا ف ِ ي ال س َّ َم ا َو ا‬
‫ك َو َل أ َ كْ ث َ َر إ ِ َّل ه َو‬ َ ِ ‫خ ْم س َ ةٍ إ ِ َّل ه َو س َ ا دِ س ه مْ َو َل أ َ د ْ ن ََٰى ِم ْن ذ َٰ َ ل‬ َ ‫ث َ ََل ث َ ةٍ إ ِ َّل ه َو َر ا ب ِ ع ه مْ َو َل‬
‫ي ٍء ع َ ل ِ يم‬ْ َ ‫َم ع َ ه مْ أ َ ي ْ َن َم ا ك َ ان وا ۖ ث مَّ ي ن َب ِ ئ ه مْ ب ِ َم ا ع َ ِم ل وا ي َ ْو م َ ال ْ ق ِ ي َ ا َم ةِ ۚ إ ِ َّن َّللاَّ َ ب ِ ك ل ِ ش‬
Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melaingkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan) antara

13
http://blackjack1994.blogspot.com/2015/01/lafadz-yang-tidak-terang-artinya-khafi.html

9
lima orang, melaingkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula)
pembicaraan antara( jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak,
melaingkan dia ada bersama mereka dimanapun mereka berada…”(QS.
Al-Mujadalah: 7).
Ayat yang mengandung lafal yang mutasyabihat seolah-olah
menyerukan tuhan kepada makhluk-nya seperti lafal tangan,
mata dan allah berada di dekat manusia, tidak mungkin diketahui arti dan
maknanya melalui bahasa , karena Allah Mahasuci dari kemiripan dari
makhluk-nya.
Dalam menghadapi lafal Mutasyabih ini, para ulama berbeda
pendapat. Para ulamasalaf hanya menyerahkan kepada allah saja, karena
allah yang maha tahu tentang arti dan maknanya, sedangkan manusia
wajib mengimaninya dan tidak mencari-cari ta’wilnya.
Adapun pendapat ulama khalaf, maka bahwasanya ayat-ayat ini,
zhahirnya mustahil, sebab allah tidaklah bertangan, tidak pula bermata,
tidak pula bertempat. Setiap sesuatu yang zhahirnya mustahil
dikehendakinya, maka wajib di ta’wilkan dan dipalingkan dari yang zhahir
ini, dan dimaksudkan makna yang mungkin bagi lafazh itu, meskipun
dengan cara majaz, yang tidak ada penyerupaan khaliq dengan
makhluknya. Firman allah swt.:
ِ ْ ‫ث ف َ إ ِ ن َّ َم ا ي َ ن ْ ك ث ع َ ل َ َٰى ن َ ف‬
ِ‫س ه‬ َ َ ‫ف َ َم ْن ن َ ك‬
…..Tangan allah diatas tangan-tangan mereka…..”(QS. Al-Fath:10)

Ta’wilnya adalah kekuasaan allah berada diatas kekuasaan mereka


. Firman allah swt Artinya: “Tiadalah pembicaraan rahasia antara tiga
orang….”
Pentakwilanya adalah bahwasanya allah swt. Bersama setiap orang
yang saling berbicara secara rahasia , dengan pengetahuannya dan
pengawasannya. Demikian seterusnya.
Munculnya perbedaan ini ialah perselisihan mereka mengenai
firman allah swt. Mengenai halnya ayat-ayat mutasyabihat:

10
ِ ‫َو َم ا ي َ ع ْ ل َ م ت َأ ْوِ ي ل َ ه إ ِ َّل َّللاَّ ۗ َو ال َّر ا‬
‫س خ و َن ف ِ ي ال ْ ِع ل ْ ِم ي َ ق ول و َن‬
Artinya: “…..Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya
melaingkan allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata :”
Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat,
semuanya itu dari sisi tuhan kami”.(QS.Ali-Imran:7)
Barangsiapa yang menjadikan pemberhentian (waqaf) pada lafaz
keagungan (allah), maka ia berpendapat tiada yang
mengetahui mutasyabih kecuali allah, maka kami beriman kepadanya dan
menyerahkan pengertianya kepadanya, serta kami tidak mengkaji
pentakwilannya. Dan barangsiapa yang meletakkan pemberhentian
(waqaf) pada kata َّ‫ َو َم ا ي َ ع ْ ل َ م ت َأ ْ ِو ي ل َ ه إ ِ َّل َّللا‬, maka ia berpendapat: “Tiada
yang mengetahui takwilnya kecuali allah dan orang-orang yang mendalam
ilmunya. Mereka mngetahui takwilnya dengan memaksudkan makna yang
mungkin dikandung oleh lafazh dan sesuai dengan pensucian Khaliq dari
penyerupaan dengan makhluknya.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Khafi adalah lafaz yang dari segi ketidakjelasan timbul ketika menerapkan
pengertian itu kepada kasus tertentu yang merupakan bagian dari satuan-
satuannya. Sehingga untuk menghilangkan kesamaran tersebut diperlukan
analisis dan pemikiran yang mendalam.Musykil adalah lafaz yang memiliki
kesamaran yang disebabkan dari lafaz itu sendiri karena lafaz itu digunakan
untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya. Karena hal
tersebut, sehingga diperlukan qarînah untuk menjelaskan
maksudnya. Mujmaladalah lafaz yang dengan sighatnya tidak menunjukkan arti
yang dimaksud. Sehingga sebab kesamarannya bersifat tekstual (lafzhiy) dan
bukan hal yang datang kemudian.Mutasyâbbih adalah lafaz yang petunjuknya
memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada qarînah
yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan
juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini tentunya penulis menyadari sangat banyak
terdapat kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari pembaca sehingga makalah ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya
Rabbal ‘Alamin.

12
Daftar Pustaka

http://blackjack1994.blogspot.co.id/2015/01/lafadz-yang-tidak-terang-artinya-
khafi.html

http://susilawatirahmadi.blogspot.co.id/2015/01/qawaid-al-tafsir-dalalah-
sharih-ghairu.html

Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul
Fikih. Sumatra Utara: Amzah.

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Ilmu Ushul Fiqhi. Semarang: Dina Utama
Semarang.

Suyatno. 2011. Dasar-Dasar Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media.

Syafe’i, Rachmat. 2007. Ilmu Ushul Fiqih untuk UIN, STAIN,


PTAIS. Bandung: CV Pustaka Setia.

Syarifuddin, Amir. 2012. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana


Prenada Media Group.

Uman, Khairul dan H.A.Achyar Aminuddin. 1998. Ushul Fiqhi


II. Bandung:CV.Pustaka Setia.

Yahya, Mukhtar. 2000. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islam. Jakarta:


PT Raja Grafindo Persada.

Anda mungkin juga menyukai