MAKALAH
Diajukan oleh :
Kelompok 2
M. Rifki (190303068)
Ulil Azmi (190303056)
Musawir (190303061)
Khairun Nuzula (160303029)
Puji dan syukur hanya bagi Allah swt. yang telah mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, khususnya bagi kami sehingga kami bisa
menyelesaikan pembuatan makalah ini. Selawat dan salam selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad saw. Beliau adalah panutan dan teladan bagi kita semua dalam
mengaruhi kehidupan di dunia ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................... 15
B. Saran .......................................................................................................... 15
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah pedoman pertama bagi umat Islam dalam menjalani
kehidupan. Sebagai pedoman pertama kehidupan manusia, dibutuhkan penjelasan-
penjelasan mengenai maksud dari tiap ayat. Penafsiran terhadap Al-Qur’an sangat
dibutuhkan, terlebih bagi kita yang tidak hidup pada masa Al-Qur’an diturunkan.
Penafsiran terhadap Al-Qur’an dapat dilakukan dengan pendekatan bi al-ma’tsur
atau bi al-ra’yi sebagaimana yang telah dilakukan oleh para ulama. Penafsiran Al-
Qur’an pun dilakukan dengan berbagai metode dan corak yang berkembang. Secara
umum Al-Qur’an ditafsirkan dengan menggunakan empat metode, yakni ijmali
(global), tahlili (analitis), muqarin (perbandingan) dan maudhu’i (tematik).1 Corak
penafsiran yang berkembang antara lain corak linguistik, fikih, teologis, sufistik,
falsafi, ‘ilmi, dan sebagainya.2
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, telah berkembang berbagai kitab tafsir
dengan berbagai metode dan karakteristiknya. Dengan berkembangnya kitab tafsir
dan semakin luasnya umat Islam, kiranya diperlukan pengenalan terhadap profil
mufassir dan kitab tafsirnya sehingga memudahkan kita mencari apa yang
dibutuhkan dari kitab tafsir tersebut. Di makalah ini akan dijelaskan tentang kitab
tafsir fenomenal karya Fakhruddin ar-Razi, yaitu al-Tafsir al-Kabir atau dikenal
dengan Mafatih al-Ghaib.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana profil dari Fakhruddin ar-Razi?
2. Bagaimana metode dan corak kitab tafsir Mafatih al-Ghaib?
3. Bagaimana karakteristik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib?
4. Apa contoh penafsiran dari kitab Mafatih al-Ghaib?
5. Apa kelebihan dan kekurangan kitab tafsir Mafatih al-Ghaib?
1
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
hlm. 3.
2
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Idea Press, 2016), hlm.
113.
1
C. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui profil dari Fakhruddin ar-Razi.
2. Mengetahui metode dan corak kitab tafsir Mafatih al-Ghaib.
3. Mengetahui karakteristik kitab tafsir Mafatih al-Ghaib.
4. Mengetahui contoh penafsiran dari kitab Mafatih al-Ghaib.
5. Mengetahui kelebihan dan kekurangan kitab tafsir Mafatih al-Ghaib.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
‘Adil Nuwayhidh, Mu’jam al-Mufassirin min Shadr al-Islam wa Hatta al-‘Ashr al-Hadhir, Juz
II (Beirut: Muassasah Nuwayhidh ats-Tsaqafiyyah, 1988), hlm. 596.
4
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I (Kairo: Maktabah Wahbah,
Tanpa Tahun), hlm. 206.
5
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi (Iskandariyah: Dar al-Jami’at al-Mishriyyah, 1976),
hlm. 10.
6
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi, hlm. 10.
7
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, dalam Jurnal al-Mubarak, No. 1, (2018), hlm.
53.
3
Ghazali.8 Di samping itu, ar-Razi juga menaruh perhatian yang besar terhadap ilmu
nahwu dan fiqh. Ia mensyarah kitab al-Mufashshal karya az-Zamakhsyari dan kitab
al-Wajiz karya Imam al-Ghazali. Ia juga meringkas dua buah kitab karya Abd al-
Qahir dalam bidang balaghah. Kitab tersebut ia beri nama Nihayat al-Ijaz fi Dirayat
al-Ijaz.9 Selanjutnya, ar-Razi mempelajari ilmu filsafat, baik filsafat umum maupun
filsafat Islam. Ia mempelajarinya dari buku-buku Aristoteles, Plato, Ibnu Sina, al-
Farabi dan al-Baghdadi.10
Setelah ar-Razi menguasai berbagai disiplin ilmu seperti ilmu kalam, filsafat,
ushul al-fiqh dan ilmu keislaman lainnya, ia pun melakukan perjalanan ke berbagai
negeri dan berdiskusi dengan banyak ulama. Ia pun memulai perjalanannya di
Khawarizm. Di tempat ini, ar-Razi kurang diterima karena terjadi banyak
perdebatan di antaranya dan kaum mu’tazilah. Hal ini pula yang menyebabkan ia
meninggalkan Khawarizm.11 Ia pun kembali ke Ray dan melanjutkan perjalanannya
ke Transoksiana. Di Transoksiana, ar-Razi banyak berdiskusi dengan ulama-ulama
tentang filsafat, ilmu kalam, ushul al-fiqh dan fiqh. Suatu pendapat mengatakan
bahwa perjalanan ar-Razi ini dilakukan pada tahun 580 H atau 1184 M.
Perjalanannya ini pun tidak berlangsung lama. Hal ini dikarenakan perdebatan-
perdebatan antara ar-Razi dengan ulama-ulama di sana.12
Setelah dari Transoksiana, ar-Razi pun kembali lagi ke Ray. Ia menghadap
kepada Sultan Syihab ad-Din al-Ghauri. Kemudian ia menghadap kepada Sultan
‘Ala’ ad-Din Tuksy Khawarizm Syah dan menjadi guru bagi anak beliau.13
Hubungannya dengan penguasa cukup harmonis, namun tidak mempengaruhi
kegiatan intelektualnya. Ar-Razi terus bergelut dengan ilmu pengetahuan dan
menghasilkan banyak karya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Kemampuan
ar-Razi menguasai berbagai disiplin ilmu sangat menakjubkan. Hal tersebut
dikatakan karena melihat situasi dan kondisi politik saat itu sedang mengalami
disintegrasi politik dan labilnya keamanan.
8
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi, hlm. 13-14.
9
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 53-54.
10
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 54.
11
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi, hlm. 14.
12
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi, hlm. 15.
13
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi, hlm. 16.
4
Ar-Razi mengakhiri perjalanannya di Harrah. Ia menetap di sana dan diberi
laqab Syaikh al-Islam. Di Harrah, majelisnya dihadiri oleh para penguasa dan ulama
dari berbagai mazhab. Mereka bertanya kepada ar-Razi dan ia pun menjawab
pertanyaan mereka. Menjelang akhir hayatnya, ar-Razi berpesan kepada muridnya,
Ibrahim bin Abu Bakr al-Ashfahani agar di dalam mencari kebenaran tidak cukup
hanya melalui perdebatan akal semata, tetapi yang terpenting adalah menelusuri
kandungan Al-Qur’an. delapan bulan kemudian, ia sakit keras dan menghembuskan
nafas terakhirnya.14 Ar-Razi wafat pada hari Senin, 10 Syawal tahun 606 H atau 29
Maret tahun 1210 M dan dimakamkan di Harrah.15 Berita wafatnya sangat
kontroversial. Ada yang mengatakan bahwa ia meninggal karena diracun oleh lawan
debatnya dari kelompok Karamiyah. Ada juga yang mengatakan bahwa ia
meninggal secara wajar akibat sakit yang dialaminya.16
Itulah Fakhruddin ar-Razi. Selain sebagai seorang mufassir, ia juga seorang
pakar di bidang fiqh, ushul al-fiqh, ilmu kalam, ilmu kedokteran dan filsafat. Ar-
Razi sangat unggul dalam berbagai disiplin keilmuan sehingga banyak orang yang
datang kepadanya dari berbagai penjuru dunia untuk meneguk sebagian dari
keluasan ilmu beliau.
14
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 55.
15
Fathullah Khalif, Fakhr al-Din al-Razi, hlm. 20.
16
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 55.
17
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 55.
5
Karena keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan, banyak murid-
murid yang datang kepadanya untuk belajar berbagai ilmu. Di antara murid-murid
dari ar-Razi adalah sebagai berikut.18
1) Ibrahim bin Ali bin Muhammad al-Maghribi
2) Ahmad bin Khalil
3) Ibrahim bin Abu Bakr al-Ashfahani
4) Syarf ad-Din bin ‘Unayn
5) Zayn ad-Din al-Kasysyi
6) Taj ad-Din al-Armawi
7) Ahmad bin Muhammad al-Makki
8) dll.
18
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 55.
6
17) Ta’jiz al-Falasifah
18) Risalah al-Huda
19) Al-Milal wa al-Nihal
20) Ibthal al-Qiyas
21) Risalah al-Jauhar
22) Ihkam al-Ahkam
23) Syarh al-Mufashshal
24) dll.
19
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm. 188.
20
Abd al-Jawwad Khalaf, Madkhal ila al-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Dar al-Bayan al-
‘Arabi, Tanpa Tahun), hlm. 140-141.
7
6) Memaparkan aspek kebahasaan, qiraat dan asbab al-nuzul.
7) Menggunakan metode tanya jawab dalam menjelaskan berbagai persoalan yang ada.
Adapun sistematika penulisan kitab tafsir Mafatih al-Ghaib ini adalah menyebut
nama surah, tempat turunnya, bilangan ayatnya, perkataan-perkataan yang terdapat
di dalamnya, kemudian menyebut satu atau beberapa ayat lalu mengulas munasabah
antara satu ayat dengan ayat sesudahnya sehingga pembaca terfokus pada satu topik
tertentu pada beberapa ayat. Selain munasabah antar ayat, ar-Razi juga menyebutkan
munasabah antar surah Al-Qur’an. Sebelum ia menjelaskan suatu ayat, terlebih
dahulu ia mengungkapkan penafsiran yang bersumber dari Nabi saw., Sahabat, dan
tabi’in. Ar-Razi juga memaparkan masalah nasikh-mansukh dan jarh-ta’dil.
Kemudian, barulah ia menafsirkan ayat disertai argumentasi ilmiah di berbagai
disiplin keilmuan yang dimilikinya.
Di dalam kitab tafsir ini, ar-Razi juga memuat argumen-argumen dari para
mufassir, seperti Ibnu Abbas, Ibn al-Kalabi, Mujahid, Qatadah, as-Suddi, Sa’id bin
Jubair, Muqatil bin Sulaiman, ats-Tsa’labi, al-Wahidi, Ibn Qutaybah, ath-Thabari,
Abu Bakar al-Baqillani, dan lain-lain. Dalam bidang bahasa, ar-Razi memuat
pendapat dari beberapa ulama, seperti al-Ashami, Abu ‘Ubaidah, al-Farra. Al-‘Ajjaj,
al-Mubarrid, dan lain-lain.
21
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tanpa Tahun),
hlm. 375.
8
Kitab tafsir ini mempunyai beberapa penyebutan, yakni Mafatih al-Ghaib, al-
Tafsir al-Kabir dan Tafsir al-Razi. Penamaan al-Tafsir al-Kabir dikarenakan
kebesarannya. Penamaan Tafsir al-Razi disandarkan pada julukan pengarangnya,
Fakhruddin ar-Razi. Sedangkan penamaan Mafatih al-Ghaib diilhami sebuah istilah
dalam Q.S. Al-An’am ayat 59.22 Menurut sejarah, kitab tafsir ini ditulis oleh ar-Razi
setelah ia menguasai berbagai disiplin ilmu. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa kitab
tafsir ini sangat dihargai oleh para ulama, karena memiliki ciri khas yang tidaak
dimiliki oleh kitab-kitab tafsir lainnya, yakni berupa penjelasan yang luas dalam
berbagai disiplin ilmu pengetahuan.23
Kitab tafsir ini disusun dalam 8 jilid besar. Namun demikian, dikatakan bahwa
ar-Razi belum menyelesaikan penulisannya sampai ia wafat. Banyak pendapat
tentang siapa yang melanjutkan penulisan kitab tafsir ini. Menurut al-Hafizh Ibn
Hajar al-‘Asqalani, bahwa yang menyempurnakannya adalah Ahmad bin
Muhammad bin Abi al-Hazm Makki Najm ad-Din al-Makhzumi al-Qammuli yang
wafat pada tahun 727 H. Pengarang Kasyf al-Zhunun mengatakan bahwa yang
melanjutkan penulisannya adalah Najm ad-Din Ahmad bin Muhammad al-Qammuli
dan Syihab ad-Din bin Khalil al-Khubi ad-Dimasyqi yang wafat pada tahun 639 H.24
Selain perselisihan tentang siapa yang melanjutkan penulisan kitab tafsir ini,
perselisihan juga terjadi terkait sampai di mana ar-Razi memberikan penafsiran
dalam kitabnya. Adz-Dzahabi berpandangan bahwa pendapat yang paling bisa
diterima adalah bahwa ar-Razi menulis kitab tafsirnya sampai Surah Al-Anbiya’,
lalu dilanjutkan oleh al-Qammuli dan disempurnakan oleh al-Khubi. Mengenai
penafsiran ar-Razi terhadap Surah Al-Bayyinah tidak bisa dikatakan bahwa ia
menulis kitab tafsirnya sampai surah ini. Kemungkinan ar-Razi menulis penafsiran
khusus terhadap surah ini.25 Namun demikian, pembaca kitab tafsir ini nyaris tidak
akan menemukan perbedaan dalam metode penulisannya.
D. Contoh Penafsiran
Berikut contoh penafsiran ar-Razi terhadap Q.S. Thaha ayat 5.
22
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, hlm. 56.
23
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 208.
24
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 207.
25
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 207-208.
9
: الرمحن على العرش استوى ففيه مسائل:أما قوله تعاىل
قرئ الرمحن جمرورا صفة ملن خلق والرفع أحسن ألنه إما أن يكون رفعا على املدح والتقدير هو:املسألة األوىل
الرمحن وإما أن يكون مبتدأ مشارا بالمه إىل من خلق فإن قيل اجلملة اليت هي على العرش استوى ما حملها إذا
إذا جررت فهو خرب مبتدأ حمذوف ال غري وإن رفعت جاز أن يكون كذلك:جررت الرمحن أو رفعته على املدح؟ قلنا
.وأن يكون مع الرمحن خربين للمبتدأ
. املشبهة تعلقت هبذه اآلية يف أن معبودهم جالس على العرش وهذا ابطل ابلعقل والنقل من وجوه:املسألة الثانية
وملا خلق اخللق مل حيتج إىل مكان بل كان غنيا عنه فهو ابلصفة، أنه سبحانه وتعاىل كان وال عرش وال مكان:أحدها
أن اجلالس على العرش ال بد وأن يكون اجلزء: واثنيها.اليت مل يزل عليها إال أن يزعم زاعم أنه مل يزل مع هللا عرش
احلاصل منه يف ميني العرش غري احلاصل يف يسار العرش فيكون يف نفسه مؤلفا مركبا وكل ما كان كذلك احتاج إىل
أن اجلالس على العرش إما أن يكون متمكنا من االنتقال واحلركة أو ال ميكنه: واثلثها.املؤلف واملركب وذلك حمال
ذلك فإن كان األول فقد صار حمل احلركة والسكون فيكون حمداث ال حمالة وإن كان الثاين كان كاملربوط بل كان
26
.كالزمن بل أسوأ منه فإن الزمن إذا شاء احلركة يف رأسه وحدقته أمكنه ذلك وهو غري ممكن على معبودهم
26
Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 22 (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), hlm. 5.
10
Pertama, bahwa Allah swt. itu ada tanpa tempat, termasuk Arsy. Allah swt. tidak
membutuhkan tempat ketika Dia menciptakan makhluk-Nya. Bahkan, Dia Maha
Kaya dari segala-galanya. Kedua, jika Allah swt. bertempat dan duduk di Arsy,
maka ada bagian dari Arsy yang digunakan harus utuh berbentuk yang terdiri dari
beberapa hal (murakkab). Sesuatu hal yang tersusun dan terdiri dari sesuatu
membutuhkan yang menyusun dan menciptakan, sedangkan Allah swt. mustahil
demikian. Ketiga, jika suatu objek menempati suatu tempat duduk, pasti ia memiliki
hukum mutamakkinan, yaitu berpindah, bergerak dari waktu awal ke waktu
berikutnya. Ini merupakan ciri dari sifat perbuatan dan gerak bentuk baru.
Sedangkan Allah swt. yang bersifat al-Qadim dan al-Qiyam bi al-Nafs sangat
mustahil memiliki sifat kekurangan tersebut.
Contoh lainnya adalah penafsiran ar-Razi terhadap Q.S. Al-Maidah ayat 6
tentang wudhu’ sebagai berikut.
املسألة الرابعة :اختلفوا يف أن هذه اآلية هل تدل على كون الوضوء شرطا لصحة الصالة؟ واألصح أهنا تدل عليه
من وجهني :األول :أنه تعاىل علق فعل الصالة على الطهور ابملاء ،مث بني /أنه مىت عدم ال تصح إال ابلتيمم ،ولو مل
يكن شرطا ملا صح ذلك .الثاين :أنه تعاىل إمنا أمر ابلصالة مع الوضوء ،فاآليت ابلصالة بدون الوضوء اترك للمأمور
به ،واترك املأمور به يستحق العقاب ،وال معىن للبقاء يف عهدة التكليف إال ذلك ،فإذا ثبت هذا ظهر كون الوضوء
شرطا لصحة الصالة مبقتضى هذه اآلية.
املسألة اخلامسة :قال الشافعي رمحه هللا :النية شرط لصحة الوضوء والغسل .وقال أبو حنيفة رمحه هللا :ليس كذلك.
واعلم أن كل واحد منهما يستدل لذلك بظاهر هذه اآلية أما الشافعي رمحه هللا فإنه قال :الوضوء مأمور به ،وكل
مأمور به فإنه جيب أن يكون منواي فالوضوء جيب أن يكون منواي ،وإذا ثبت هذا وجب أن يكون شرطا ألنه ال قائل
ابلفرق ،وإمنا قلنا :إن الوضوء مأمور به لقوله فاغسلوا وجوهكم وأيديكم إىل املرافق وامسحوا برؤسكم وأرجلكم إىل
الكعبني [املائدة ]6 :وال شك أن قوله فاغسلوا وامسحوا أمر ،وإمنا قلنا :إن كل مأمور به أن يكون منواي لقوله
تعاىل :وما أمروا إال ليعبدوا هللا خملصني له الدين [البينة ]5 :والالم يف قوله ليعبدوا ظاهر للتعليل ،لكن تعليل
أحكام هللا تعاىل حمال ،فوجب محله على الباء ملا عرف من جواز إقامة حروف اجلر بعضها مقام بعض ،فيصري
التقدير :وما أمروا إال أبن يعبدوا هللا خملصني له الدين ،واإلخالص عبارة عن النية اخلالصة ،ومىت كانت النية
اخلالصة معتربة كان أصل النية معتربا .وقد حققنا الكالم يف هذا الدليل يف تفسري قوله تعاىل :وما أمروا إال ليعبدوا
هللا خملصني له الدين فلريجع إليه يف طلب زايدة اإلتقان ،فثبت مبا ذكران أن كل وضوء مأمور به ،وثبت أن كل مأمور
11
كل مأمور به: فلزم القطع أبن كل وضوء جيب أن يكون منواي أقصى ما يف الباب أن قولنا،به جيب أن يكون منواي
والعام حجة يف غري حمل، لكنا إمنا أثبتنا هذه املقدمة بعموم النص،جيب أن يكون منواي خمصوص يف بعض الصور
.التخصيص
إنه تعاىل أوجب: فقال،وأما أبو حنيفة رمحه هللا فإنه احتج هبذه اآلية على أن النية ليست شرطا لصحة الوضوء
، والزايدة على النص نسخ، فإجياب النية زايدة على النص،غسل األعضاء األربعة يف هذه اآلية ومل يوجب النية فيها
.ونسخ القرآن خبرب الواحد وابلقياس ال جيوز
27
. أان بينا أنه إمنا أوجبنا النية يف الوضوء بداللة القرآن:وجوابنا
27
Fakhruddin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 11, hlm. 155-156.
12
Adapun argumentasi Imam Abu Hanifah adalah bahwa niat bukanlah suatu
perkara yang menyebabkan sahnya wudu karena firman Allah dalam Q.S. Al-
Maidah ayat 6 ini hanya mewajibkan untuk membasuh empat anggota wudu saja,
tanpa adanya niat. Jika niat menjadi hal yang wajib, maka harus ada tambahan tekas
berupa naskh, sedangkan naskh Al-Qur’an dengan hadis ahad atau qiyas tidak bisa
dilakukan. Ar-Razi memilih pendapat Imam asy-Syafi’i yang mewajibkan niat wudu
dengan dalil Al-Qur’an.
28
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 210.
29
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 210.
30
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 210.
13
Qur’an”. Bahkan sebagian ulama mengatakan bahwa segala hal dapat ditemukan
dalam Tafsir al-Kabir kecuali penafsiran Al-Qur’an.31
b. Manna’ al-Qaththan mengatakan bahwa ilmu akal mendominasi isi kitab tafsir ini,
sehingga dikatakan telah keluar dari makna Al-Qur’an dan ruh ayat-ayatnya.32
c. Pengarang Kasyf al-Zhunun mengatakan, “Ar-Razi memenuhi kitab tafsirnya
dengan ucapan para filosof dan kata-kata mutiara, keluar dari sesuatu ke sesuatu
yang lain sampai membuat pengkaji heran.”33
d. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani menukil kitab al-Iksir fi Ilm al-Tafsir bahwa
banyak kekurangan yang ditemukan di dalam kitab Tafsir al-Kabir.34
31
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 210.
32
Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 375.
33
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 210.
34
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz I, hlm. 209.
14
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Fakhruddin ar-Razi adalah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husain
bin al-Hasan bin ‘Ali at-Tamimi al-Bakri ath-Thuburustani ar-Razi. Kuniyah beliau
adalah Abu Abdillah dan laqab beliau adalah Fakhruddin. Beliau juga diberi laqab
Syaikh al-Islam. Beliau dilahirkan di kota Ray, sebuah kota kecil di Iran pada
tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H atau 1149 M. Sejak kecil ar-Razi telah bergelut
dengan ilmu pengetahuan melalui didikan ayahnya dan guru-gurunya yang lain.
Beliau pun menguasai berbagai disiplin keilmuan, baik ilmu keislaman hingga ilmu
kedokteran dan filsafat. Beliau banyak melakukan perjalanan, baik dalam mencari
ilmu maupun menyebarkannya. Menjelang akhir hayat, beliau menetap di Harrah
dan mengajar di sana. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di sana pada hari
Senin, 10 Syawal tahun 606 H atau 29 Maret tahun 1210 M.
Kitab tafsir yang dikarang oleh ar-Razi bernama Mafatih al-Ghaib. Kitab ini
juga dinamakan al-Tafsir al-Kabir. Ar-Razi menggunakan metode tahlili dalam
menyusun kitab tafsirnya. Sekilas, juga tampak metode muqaran dalam kitabnya
tersebut. Corak penafsirannya beraneka ragam, namun yang mendominasi adalah
corak teologis-filosofis dan corak fiqh. Kelebihan dari kitab tafsir ini adalah
menjelaskan banyak ilmu pengetahuan dalam menafsirkan Al-Qur’an, seperti
balaghah, nahwu, dan sebagainya. Munasabah juga menjadi perhatian ar-Razi
dalam kitab tafsirnya. Namun demikian, kritikan dari para ulama juga diberikan
terhadap kitab tafsir Mafatih al-Ghaib ini. Kritikan-kritikan tersebut kebanyakan
disebabkan keluasan pembahasan yang dipaparkan oleh ar-Razi dalam kitab
tafsirnya.
B. Saran
Berkaitan dengan pembahasan “Studi Kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib” ini, kami
menyadari bahwa dari berbagai referensi yang ada, masih banyak kesalahan dan
kekurangan dalam segi penulisan, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam
15
memahaminya. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pribadi kami,
juga bagi para pembaca.
16
DAFTAR PUSTAKA
Firdaus, ‘Studi Kritis Tafsir Mafatih al-Ghaib’, dalam Jurnal al-Mubarak, No. 1,
(2018), hlm. 52-61.
Khalaf, Abd al-Jawwad. Madkhal ila al-Tafsir wa ‘Ulum al-Qur’an. Kairo: Dar al-
Bayan al-‘Arabi, Tanpa Tahun.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Idea Press, 2016.
Nuwayhidh, ‘Adil. Mu’jam al-Mufassirin min Shadr al-Islam wa Hatta al-‘Ashr al-
Hadhir. Beirut: Muassasah Nuwayhidh ats-Tsaqafiyyah, 1988.
17