MAKALAH
Diajukan oleh :
Kelompok 2
Ulil Azmi (190303056)
Iffan R (190303040)
Musawir (190303061)
Puji dan syukur hanya bagi Allah swt. yang telah mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, khususnya bagi kami sehingga kami bisa menyelesaikan
pembuatan makalah ini. Selawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw. Beliau adalah panutan dan teladan bagi kita semua dalam mengaruhi kehidupan di
dunia ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................... 17
B. Saran .......................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah pedoman pertama bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan.
Sebagai pedoman pertama kehidupan manusia, dibutuhkan penjelasan-penjelasan
mengenai maksud dari tiap ayat. Penafsiran terhadap Al-Qur’an sangat dibutuhkan,
terlebih bagi kita yang tidak hidup pada masa Al-Qur’an diturunkan. Dalam
menafsirkan Al-Qur’an sangat membutuhkan penafsiran yang bersumber dari Al-
Qur’an itu sendiri, sunnah Rasulullah saw., pendapat sahabat, pendapat tabi’in hingga
ijtihad ulama. Oleh karena itu, penafsiran terhadap Al-Qur’an dapat dilakukan dengan
pendekatan bi al-ma’tsur atau bi al-ra’yi sebagaimana yang telah dilakukan oleh para
ulama.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, telah berkembang berbagai kitab tafsir
dengan berbagai metode dan karakteristiknya. Dengan berkembangnya kitab tafsir
dan semakin luasnya umat Islam, kiranya diperlukan pengenalan terhadap profil
mufassir dan kitab tafsirnya sehingga memudahkan kita mencari apa yang dibutuhkan
dari kitab tafsir tersebut. Di makalah ini akan dijelaskan tentang kitab tafsir fenomenal
karya Ibnu Katsir, yaitu Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim.
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim atau yang lebih dikenal dengan Tafsir Ibnu Katsir
adalah kitab tafsir yang sangat populer di kalangan pengkaji Al-Qur’an, khususnya di
Indonesia. Kitab ini sering menjadi rujukan para ulama dan cendekiawan di
Indonesia. Dengan banyaknya minat dan kebutuhan terhadap kitab Tafsir al-Qur’an
al-‘Azhim ini, hendaknya kita perlu mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan kitab
tafsir ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana biografi Ibnu Katsir?
2. Bagaimana metode penulisan Tafsir Ibnu Katsir?
3. Apa karakteristik Tafsir Ibnu Katsir?
4. Apa contoh penafsiran dari Ibnu Katsir?
5. Apa saja kelebihan dan kelemahan dari Tafsir Ibnu Katsir?
1
C. Tujuan dan Manfaat
1. Mengetahui biografi Ibnu Katsir.
2. Mengetahui metode penulisan Tafsir Ibnu Katsir.
3. Mengetahui karakteristik Tafsir Ibnu Katsir.
4. Mengetahui contoh penafsiran dari Ibnu Katsir.
5. Mengetahui kelebihan dan kelemahan dari Tafsir Ibnu Katsir.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafiz al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih
(Damaskus: Dar al-Qalam, 1995), hlm. 15.
2
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun (Medan: Perdana Publishing, 2015), hlm. 52.
3
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafiz al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 58.
3
dari Ibnu Taimiyyah. Ia juga membaca ushul al-hadits dengan al-Ashfahany. Ia juga
mengahafala banyak matan, mengenali sanad, dan sebagainya.
Karir keilmuan Ibnu Katsir mulai menanjak ketika beliau banyak menduduki
jabatan-jabatan penting sesuai bidang keilmuan yang dimilikinya. Misalnya dalam
bidang ilmu hadis, ia menggantikan gurunya, adz-Dzahaby di Madrasah Umm Shalih
di Damaskus pada tahun 748 H.4 Selain itu ia juga diangkat menjadi pimpinan Dar al-
Hadits al-Asyrafiyah di Damaskus pada tahun 756 H setelah meninggalnya
Taqiyyuddin as-Subky.5 Selain sebagai pimpinan dari beberapa lembaga pendidikan,
Ibnu Katsir juga seorang pengajar, ahli hadis, penyusun, penyair dan sosok yang
memiliki kedudukan tinggi dalam ilmu pengetahuan.
Ibnu Katsir memiliki banyak kemampuan, di antaranya adalah ingatan yang kuat
dan kemampuan memahami yang mumpuni. Ia juga menguasai ilmu sastra dan dapat
merangkai syair. Selain itu, ia juga menghafal dan menulis banyak karangan. Dalam
kitab al-Mu’jam al-Mukhtash, adz-Dzahaby mengatakan, “Ibnu Katsir adalah seorang
imam, mufti, pakar hadis, spesialis fiqh, ahli hadis yang cermat, dan mufassir yang
kritis serta memiliki karangan-karangan yang bermanfaat.” Seorang murid Ibnu
Katsir mengatakan, “ dari ulama yang ada di zaman ini, Ibnu Katsir merupakan orang
yang terbaik dalam mengahfal hadis dan paling mahir dalam meneliti tingkat
kebenaran dan kapasitas perawi suatu hadis.”
Dalam masalah rumah tangga, Ibnu Katsir menikah dengan Zainab binti al-Hafizh
al-Mizzy. Ia pun memiliki beberapa orang anak. Di antaranya adalah ‘Izzuddin Umar
bin Isma’il, Zainuddin Abdurrahman bin Isma’il, Abu al-Baqa’ Muhammad bin
Isma’il, Tajuddin Abdul Wahab bin Isma’il, dan Syihabuddin Ahmad bin Isma’il.6
Sebelum meninggal, ia kehilangan penglihatannya. Ia pun mengehembuskan
nafas terakhirnya pada bulan Sya’ban tahun 774 H dan dimakamkan di pemakaman
ash-Shufiyyah di Damaskus di sisi gurunya, Ibnu Taimiyyah.7
4
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 101.
5
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, dalam Jurnal el-Umdah, No. 1,
(2018), hlm. 76-77.
6
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 63-65.
7
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun I (Kairo: Maktabah Wahbah,
1976), hlm. 173-174.
4
Di antara guru-guru dari Ibnu Katsir sebagai berikut.8
1) Kamaluddin Abdul Wahab bin ‘Umar bin Katsir (w. 750 H)
2) ‘Isa bin Abdurrahman al-Matha’im (w. 719 H)
3) Al-Qasim bin ‘Asakir (w. 723 H)
4) Muhammad bin Muhammad bin Muhammad asy-Syairazy (w. 723 H)
5) Ishaq bin Yahya al-Amady (w. 725 H)
6) Muhammad bin Ahmad az-Zarrad (w. 726 H)
7) Kamaluddin bin Qadhi Syuhbah (w. 726 H)
8) Ibnu Zamalkany (w. 727 H)
9) Ibnu Taimiyyah (w. 728 H)
10) Burhanuddin al-Fazzary (w. 729)
11) Muhammad bin Syarfuddin al-Ba’labaky (w. 730 H)
12) Ibn asy-Syuhnah (w. 730 H)
13) Abdullah bin Muhammad bin Yusuf al-Miqdasy (w. 737 H)
14) Al-Qasim bin Muhammad al-Birzaly (w. 739 H)
15) Al-Hafizh Abu al-Hajjaj al-Mizzy (w. 742 H)
16) Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman adz-Dzahaby (w. 749 H)
17) Syamsuddin al-Ashfahany (w. 749 H)
18) Badruddin Muhammad bin Ibrahim as-Suwaidy (w. 711 H)
19) dll.
8
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 75-95.
9
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 144-148.
5
Di antara karya-karya dari Ibnu Katsir sebagai berikut.10
a. Bidang Tafsir dan Ilmu Al-Qur’an
1) Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim
2) Fadhail al-Qur’an
3) dll.
b. Bidang Hadis dan Ilmu Hadis
1) Al-Ahkam al-Shaghir
2) Al-Ahkam al-Kabir
3) Ikhtishar ‘Ulum al-Hadits
4) Takhrij Ahadits Adillah al-Tanbih
5) Jami’ al-Masanid wa al-Sunan al-Hadi li Aqwam al-Sunan
6) Syar hal-Bukhary
7) dll.
c. Bidang Sejarah
1) Bidayah al-Khalq
2) Al-Bidayah wa al-Nihayah
3) ‘Alamah Yaum al-Qiyamah
4) dll.
d. Bidang Fiqh
1) Al-Ijtihad fi Thalab al-Jihad
2) Ahkam al-Tanbih
3) dll.
e. Bidang Akidah dan Iman
1) Sya’b al-Iman
2) dll.
10
Muhammad az-Zuhaili, Ibn Katsir al-Dimasyqi: al-Hafizh al-Mufassir al-Muarrikh al-Faqih,
hlm. 152-180.
6
bentuk penafsiran bi al-ma’tsur.11 Kitab tafsir ini menduduki tempat kedua setelah
Tafsir Ibnu Jarir.12 Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menyajikannya secara runtut dari al-
Fatihah sampai an-Nas sesuai dengan mushaf Utsmani dengan tidak mengabaikan
aspek asbab al-nuzul dan al-munasabah antara ayat Al-Qur’an.13 Metode Ibnu Katsir
dalam menafsirkan Al-Qur’an adalah sebagai berikut.14
1) Tafsir Al-Qur’an terhadap Al-Qur’an itu sendiri. Hal tersebut dilakukan karena
banyak ditemukan kondisi umum dalam ayat tertentu yang dijelaskan detailnya
dalam ayat yang lain.
2) Jika tidak terdapat ayat lain yang menjelaskan detail dari kondisi umum suatu
ayat, maka akan ditelusuri dalam al-sunnah. Hal tersebut dilakukan karena posisi
al-sunnah sebagai penjelas maksud Al-Qur’an. Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
Imam Syafii mengatakan, “Setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah merupakan
hasil pemahamannya terhadap Al-Qur’an.” Sebagaimana firman Allah swt. dalam
Al-Qur’an:
ِ ۡي َخ
صيما ِ
نِٓئ
اخ
ِۡ
ل ل نك ت َلو ا
ّلل ٱ ك ى َر أ اِبِ ِ
ااس
ن لٱ ۡيۡ إِ اَّن أَنزۡلنا إِل َۡيك ٱ ۡل ِك َٰتب بِٱ ۡۡل ِق لِت ۡحكم ب
َ َ ُ َ َ َُ َ َٰ َ َٓ َ َ َ ُ َ َ َ َ َ َٓ َ ٓ
Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu
(Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia
dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi
penentang (orang yang tidak bersalah), karena membela orang yang berkhianat.
(Q.S. An-Nisa’: 105)
ۡ ۡ ۡ
ۡي ََلُ ُم ٱلا ِذي ٱختَ لَ ُفوا فِ ِيه َو ُهدى َوَرحَة لَِق ۡوم يُؤِمنُو َن ِ ِ ۡ َ ومآ أَنزۡلنَا َعلَ ۡي
َ َِب إِاَل لتُ ب
َ َك ٱلك َٰت َ ََ
Dan Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu
(Muhammad), melainkan agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa
yang mereka perselisihkan itu, serta menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman. (Q.S. An-Nahl: 64)
11
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012),
hlm. 32.
12
Manna’ Khalil al-Qaththan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995),
hlm. 355.
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, hlm. 83.
13
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin (Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri, 2000),
14
hlm. 223-224.
7
... Dan Kami turunkan adz-Dzikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
agar mereka memikirkan. (Q.S. An-Nahl: 44)
3) Jika tidak terdapat penjelasan dari Al-Qur’an maupun al-sunnah, maka akan
ditelusuri dari pendapat Sahabat. Hal tersebut dilakukan karena status para
Sahabat yang menyaksikan langsung kondisi dan latar belakang turunnya Al-
Qur’an. Selain itu, pemahaman, keilmuan dan amalan mereka juga tidak
diragukan lagi. Di antara Sahabat tersebut antara lain adalah para al-Khulafa’ al-
Rasyidin, Abdullah bin Mas’ud, dan Abdullah bin Abbas.
4) Jika tidak ditemukan penjelasan dalam Al-Qur’an, al-sunnah maupun pendapat
para Sahabat, maka akan ditelusuri pendapat dari para tabi’in.15 Di antara para
tabi’in tersebut adalah Mujahid bin Jabr, Sa’id bin Jabir, ‘Ikrimah, ‘Atha’ bin Abi
Rabbah, Hasan al-Bashry, Masruq bin al-Ajda’, Sa’id bin al-Musayyab, Abi al-
‘Aliyah, Rabi’ bin Anas, Dhahhak bin Muzahim dan tabi’in-tabi’in lainnya yang
menjadi rujukan dalam menafsirkan Al-Qur’an. Menurut Ibnu Katsir, terdapat
perbedaan pendapat di antara para tabi’in dalam menjelaskan Al-Qur’an. Namun
demikian, perbedaan tersebut bukan merupakan perbedaan dalam prinsip. Semua
pendapat tersebut mempunyai kesamaan dalam banyak hal yang hanya dimengerti
oleh orang yang mampu memahaminya.
Ketika membahas tafsir bi al-ra’yi, Ibnu Katsir mengatakan bahwa kalangan salaf
cenderung melarang penafsiran oleh mereka yang tidak memiliki pengetahuan
tentang tafsir yang memadai. Berbeda dengan mereka yang menguasai ilmu bahasa
dan syariat yang memadai, serta mendapat legalitas dari kalangan salaf untuk
melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an.
Metode inilah yang diterapkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang kemudian
dijadikan rujukan para pakar. Hal tersebut dilakukan oleh Ibnu Katsir untuk
mendapatkan sebuah proses pemahaman terhadap tafsir, bukan proses penyusunan.
Hal tersebut dikarenakan pemahaman telah berakhir dengan sebuah konklusi
intelektual yang sangat terbuka.16 Generasi setelahnya, bahkan hingga sekarang telah
15
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim I (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000), hlm. 11.
16
Wely Dozan, ‘Epistemologi Tafsir Klasik: Studi Analisis Pemikiran Ibnu Katsir’, dalam Jurnal
Falasifa, No. 2. (2019), hlm. 154.
8
banyak mengambil dan mengadopsi ide-idenya. Contohnya seperti penulis Mahasin
al-Ta’wil, Tafsir al-Manar, dan banyak lagi yang lain.17
17
Mani’ Abdul Halim Mahmud, Manahij al-Mufassirin, hlm. 225.
18
Nur Faizin Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsir (Yogyakarta: Menara Kudus, 2002),
hlm. 107.
19
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun I, hlm. 174.
20
Abd Haris Nasution dan Muhammad Mansur, ‘Studi Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azim Karya
Ibnu Kasir’, dalam Jurnal Ushuluddin Adab dan Dakwah, No. 1, (2018), hlm. 5.
21
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, hlm. 79.
22
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun I, hlm. 175.
9
al-Tafsir. Ibnu Katsir menyajikan kitab tafsir yang mudah dipahami. Satu per satu
ayat dijelaskan dengan ringkas dan padat. Jika memungkinkan, ia akan memperinci
penjelasannya dengan menyebutkan ayat lain dan membandingkannya hingga tampak
penjelasan dan maksud dari ayat tersebut. Kemudian ia menyebutkan hadis-hadis
yang berhubungan dengan ayat tersebut. Ia juga menjelaskan hal-hal lainnya yang
terkait dengan penjelasan ayat serta juga menukil pendapat para Sahabat, tabi’in dan
para ulama dari golongan salaf al-shalih.
Dalam kitab tafsirnya, Ibnu Katsir juga mendukung sebagian riwayat dan menolak
sebagian riwayat lainnya. Ia juga melakukan jarh wa al-ta’dil terhadap para perawi
hadis. Hal tersebut dilakukan karena kapasitasnya sebagai ahli hadis. Selain itu, kitab
tafsir ini juga menyinggung tentang permasalahan fiqh ketika ia menafsirkan ayat-
ayat yang berkaitan dengan hukum. Ia juga menukil pendapat-pendapat para ulama
dan dalil-dalil mereka.
Salah satu ciri khas dari Tafsir Ibnu Katsir adalah perhatian dan peringatannya
terhadap riwayat bi al-ma’tsur yang bercampur dengan riwayat-riwayat munkar
Israiliyyat. Terkadang ia memperingatkannya secara umum dan terkadang juga secara
rinci.23 Tercatat dalam Tafsir Ibnu Katsir terdapat 48 kisah Israiliyyat. Walaupun ia
adalah seorang ahli hadis yang sangat selektif, hal tersebut tidak menutup
kemungkinan ia mengutip riwayat Israiliyyat yang memiliki sanad yang dha’if.
Ketika ia mengutip riwayat Israiliyyat yang shahih, ia menjelaskan letak ke-shahih-
annya. Begitu juga dengan riwayat-riwayat yang dha’if. Kisah-kisah Israiliyyat yang
sanadnya dha’if dalam Tafsir Ibnu Katsir bukan merupakan ungkapan bahwa dalam
konteks ayat tersebut terdapat kisah-kisah Israiliyyat yang tidak dapat dipegangi. Ibnu
Katsir memiliki pandangan tentang riwayat-riwayat Israiliyyat bahwa karena kisah-
kisah Israiliyyat tersebut tidak diketahui benar atau dustanya, maka riwayat tersebut
tidak perlu dibenarkan sebab dimungkinkan mengandung dusta tetapi juga jangan
didustakan sebab dimungkinkan adanya kebenaran.24
Karakteristik lainnya dari Tafsir Ibnu Katsir adalah terkadang juga dipaparkan
beberapa aturan-aturan linguistik, i’rab, nahwu, dan aspek balaghah. Hal tersebut
dilakukan semata-mata ditujukan untuk membantu dan mempermudah para pembaca
23
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun I, hlm. 175.
24
Maliki, ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, hlm. 85.
10
dalam memahami ayat secara luas.25 Secara ringkas, Tafsir Ibnu Katsir mempunyai
karakteristik sebagai berikut.26
1) Mengompromikan pendapat-pendapat yang berbeda
2) Merangkum tafsir terdahulu
3) Tafsir yang terpuji
D. Contoh Penafsiran
Berikut contoh penafsiran Ibnu Katsir terhadap Surah Al-Qadr.27
ِ ) لَي لَةُ ال َقد ِر َخْي ِمن أَل٢( اك َما لَي لَةُ ال َقد ِر
ُ) تَ نَ از ُل ال َمالئِ َكة٣( ف َشهر َ ) َوما أَدر١( إِ اَّن أَن َزلناهُ ِِف لَي لَ ِة ال َقد ِر
ٌ
)٥( الم ِه َي َح اَّت َمطلَ ِع ال َفج ِر ِ ِ الر
ٌ ) َس٤( وح فيها ِبِِذ ِن َرّبِِم من ُك ِل أَمر ُ ُّ َو
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. Dan
tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik
daripada seribu bulan. Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh (Jibril) dengan
izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan. Sejahteralah (malam itu) sampai terbit
fajar. (Q.S. Al-Qadr: 1-5)
Allah swt. memberitahukan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an pada malam al-
qadr, yaitu satu malam yang penuh berkah, yang oleh Allah swt. difirmankan:
ٍۚ ۡ
... َنزل َٰنَهُ ِِف ل َۡي لَة ُّم ََََٰبَكة
َ إِ اَّنٓ أ
Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam yang
diberkahi. ... (Q.S. Ad-Dukhan: 3)
Itulah malam al-qadr yang ada pada bulan Ramadhan. Sebagaimana firman Allah
swt.:
ۡ ۡ
... ي أُن ِز َل فِ ِيه ٱل ُق ۡرَءا ُن
ٓ ضا َن ٱلا ِذ
َ َشه ُر َرَم
Bulan Ramadhan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an ... (Q.S.
Al-Baqarah: 185)
Ibnu Abbas dan yang lainnya mengatakan, “Allah menurunkan Al-Qur’an itu
sekaligus dari Lauh al-Mahfuzh ke Bait al-‘Izzah di langit dunia. Kemudian
diturunkan secara bertahap sesuai konteks realitasnya dalam kurun dua puluh tiga
tahun kepada Rasulullah saw.” Kemudian ayat kedua dan ketiga dari Surah Al-Qadr
25
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun, hlm. 56.
26
Nur Faizin Maswan, Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsir, hlm. 108-110.
27
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, hlm. 2012-2014.
11
ini diturunkan Allah swt. untuk mengagungkan keberadaan malam al-qadr ini yang
dikhususkan-Nya dengan penurunan Al-Qur’an. At-Tirmidzi sehubungan dengan
tafsir ayat ini mengatakan, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Ghailan,
telah menceritakan kepada kami Abu Dawud ath-Thayalisy, telah menceritakan
kepada kami al-Qasim bin al-Fadhl al-Huddany, dari Yusuf bin Sa’d yang
mengatakan bahwa seorang lelaki bangkit menuju kepada al-Hasan bin Ali sesudah
membaiat Mu’awiyah. Lalu lelaki itu berkata, "Engkau telah mencoreng muka kaum
mukmin," atau, “Hai orang yang mencoreng muka kaum mukmin.” Maka al-Hasan
bin Ali menjawab, “Janganlah engkau mencelaku, semoga Allah merahmatimu,
karena sesungguhnya Nabi saw. pernah diperlihatkan kepadanya Bani Umayyah
berada di atas mimbarnya. Hal itu membuat diri beliau merasa berduka cita. Maka
turunlah firman Allah swt., “Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu al-
Kautsar.” (Q.S. Al-Kautsar: 1) yakni sebuah sungai (telaga) di dalam surga. Dan
turunlah pula firman Allah swt., “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-
Qur’an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?
Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Q.S. Al-Qadr: 1-3) yang
akan diberikan kemudian kepada Bani Umayyah. Al-Qasim mengatakan, “lalu kami
menghitung-hitungnya, dan ternyata masa pemerintahan Bani Umayyah adalah seribu
bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari pun.” At-Tirmidzi mengatakan
bahwa hadis ini gharib, ia tidak mengenalnya melainkan melalui jalur ini, yaitu
melalui hadis al-Qasim bin al-Fadhl. Dia adalah seorang yang dinilai tsiqah oleh
Yahya al-Qaththan dan Abdurrahman bin Mahdi.
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan hadis ini melalui
jalur al-Qasim bin al-Fadhl, dari Yusuf bin Mazin dengan sanad yang sama. Dan
mengenai perkataan (penilaian) Imam at-Tirmidzi yang menyebutkan bahwa Yusuf
bin Sa’d seorang yang tidak dikenal, masih perlu diteliti. Karena sesungguhnya telah
meriwayatkan darinya sejumlah ulama yang antara lain ialah Hammad ibnu Salamah,
Khalid Al-Hazza dan Yunus ibnu Ubaid. Yahya bin Ma’in menilainya sebagai
seorang yang masyhur (terkenal). Dan menurut suatu riwayat dari Ibnu Ma’in, Yusuf
bin Sa’d adalah seorang yang tsiqah. Ibnu Jarir meriwayatkan hadis ini melalui jalur
al-Qasim bin al-Fadhl, dari Yusuf bin Mazin, dan ini menimbulkan idhthirab dalam
12
hadis ini. Kemudian hadis ini dengan hipotesis apa pun berpredikat munkar sekali.
Imam al-Mizzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat munkar.
Menurut Ibnu Katsir, ucapan al-Qasim bin al-Fadhl al-Huddani yang
menyebutkan bahwa ia menghitung-hitung masa pemerintahan Bani Umayyah, maka
ternyata ia menjumpainya seribu bulan, tidak lebih dan tidak kurang barang sehari
pun, pendapat ini tidaklah benar. Karena sesungguhnya Mu’awiyah bin Abu Sufyan
baru memegang tampuk pemerintahan saat al-Hasan bin Ali menyerahkannya kepada
dia pada tahun 40 H, lalu semua baiat sepakat tertuju kepada Mu’awiyah, maka tahun
itu dinamakan dengan tahun al-Jama’ah. Kemudian Bani Umayyah terus-menerus
memegang kendali pemerintahan berturut-turut di negeri Syam dan negeri lainnya.
Tiada suatu kawasan pun yang memberontak terhadap mereka kecuali hanya di masa
pemerintahan Abdullah bin az-Zubair di kedua tanah suci (Mekah dan Madinah), dan
al-Ahwaz serta negeri-negeri yang terdekat selama sembilan tahun. Akan tetapi,
kesatuan dan persatuan mereka tetap berada di bawah pemerintahan Bani Umayyah
secara keseluruhan terkecuali hanya pada sebagian kawasan yang tertentu. Hingga
pada akhirnya kekhalifahan direbut dari tangan mereka oleh Bani Abbas pada tahun
132 H. Dengan demikian, jumlah masa pemerintahan Bani Umayyah seluruhnya
adalah sembilan puluh dua tahun, dan ini berarti lebih dari seribu bulan yang kalau
dijumlahkan berarti hanya delapan puluh tiga tahun lebih empat bulan. Kalau begitu,
berarti al-Qasim bin al-Fadhl menggugurkan masa pemerintahan mereka di masa-
masa Ibnu az-Zubair (yang hanya sembilan tahun itu). Jika demikian, berarti jumlah
ini mendekati kebenaran dari apa yang dikatakannya.
Bukti lain yang menunjukkan ke-dha’if-an hadis ini ialah karena hadis ini sengaja
diutarakan hanya untuk mencela pemerintahan Bani Umayyah. Sekiranya
dimaksudkan untuk mencela mereka, tentulah bukan dengan konteks seperti itu.
Mengingat keutamaan malam al-qadr di masa-masa pemerintahan mereka bukanlah
menunjukkan tercelanya hari-hari mereka. Sesungguhnya malam al-qadr itu sangat
mulia, dan surat yang mulia ini diturunkan hanya semata-mata memuji malam al-
qadr.
Kemudian bila dipahami dari ayat ini bahwa seribu bulan yang disebutkan dalam
ayat menunjukkan masa pemerintahan Bani Umayyah, sedangkan suratnya sendiri
adalah Makkiyyah. Lalu bagaimana bisa dibelokkan dengan pengertian seribu bulan
13
masa pemerintahan Bani Umayyah, padahal baik lafaz maupun makna ayat tidak
menunjukkan kepada pengertian itu. Dan lagi mimbar itu baru dibuat di Madinah
sesudah hijrah. Semua bukti tersebut menunjukkan kelemahan dan kemungkaran
hadis di atas. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu
Zur’ah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Musa, telah menceritakan
kepada kami Muslim bin Khalid, dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, bahwa Nabi saw.
menceritakan tentang seorang lelaki dari kalangan Bani Israil yang menyandang
senjatanya selama seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah swt. Maka kaum muslim
merasa kagum dengan perihal lelaki Bani Israil itu. Mujahid melanjutkan kisahnya,
bahwa lalu Allah Swt. menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah
menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam qadar. Dan tahukah kamu apakah malam
kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik daripada seribu bulan.” (Q.S. Al-
Qadr: 1-3) Maksudnya, lebih baik daripada lelaki itu menyandang senjatanya selama
seribu bulan dalam berjihad di jalan Allah.
Ibnu Jarir mengatakan pula bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid,
telah menceritakan kepada kami Hakkam bin Muslim, dari al-Musanna bin Shabbah,
dari Mujahid yang mengatakan bahwa dahulu di kalangan kaum Bani Israil terdapat
seorang lelaki yang malam harinya melakukan qiyam hingga pagi hari, kemudian di
siang harinya ia berjihad di jalan Allah hingga petang hari. Dia mengerjakan amalan
ini selama seribu bulan, maka Allah menurunkan firman-Nya: “Malam kemuliaan itu
lebih baik daripada seribu bulan.” (Q.S. Al-Qadr: 3) yakni melakukan qiyam di
malam kemuliaan itu lebih baik daripada amalan laki-laki Bani Israil itu.
Mengingat melakukan ibadah di dalam malam al-qadr sebanding pahalanya
dengan melakukan ibadah selama seribu bulan, telah disebutkan di dalam kitab
Shahihain melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
Kemudian firman Allah swt., “Pada malam itu turun para malaikat dan Ruh
(Jibril) dengan izin Tuhannya untuk mengatur semua urusan” (Q.S. Al-Qadr: 4)
yakni banyak malaikat yang turun di malam kemuliaan ini karena berkahnya yang
14
banyak. Dan para malaikat turun bersamaan dengan turunnya berkah dan rahmat,
sebagaimana mereka pun turun ketika Al-Qur’an dibacakan dan mengelilingi halqah-
halqah zikir serta meletakkan sayap mereka menaungi orang yang menuntut ilmu
karena menghormatinya. Adapun mengenai Ruh dalam ayat ini, menurut suatu
pendapat makna yang dimaksud adalah Jibril a.s., yang hal ini berarti termasuk ke
dalam pembahasan ‘athaf khash kepada ‘am. Menurut pendapat lain menyebutkan,
Ruh adalah sejenis malaikat tertentu, sebagaimana yang dijelaskan di dalam surat An-
Naba’. Firman Allah swt., “... untuk mengatur semua urusan.” (Q.S. Al-Qadr: 4),
Mujahid mengatakan bahwa selamatlah malam kemuliaan itu dari semua urusan.
Sa’id bin Manshur mengatakan, telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus, telah
menceritakan kepada kami al-A’masy, dari Mujahid sehubungan dengan makna
firman-Nya, “Malam itu (penuh) kesejahteraan.” (Q.S. Al-Qadr: 5) bahwa malam itu
penuh keselamatan, setan tidak mampu berbuat keburukan padanya atau melakukan
gangguan padanya. Qatadah dan yang lainnya mengatakan bahwa makna yang
dimaksud ialah semua urusan ditetapkan di dalamnya dan semua ajal serta rezeki
ditakdirkan, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya:
Adapun firman Allah swt., “Sejahteralah (malam itu) sampai terbit fajar. (Q.S.
Al-Qadr: 5), Sa’id bin Manshur mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami
Husyaim, dari Abu Ishaq, dari asy-Sya’bi sehubungan dengan makna firman-Nya, “...
untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar.” (Q.S Al-Qadr: 4-5) Makna yang dimaksud ialah salamnya para malaikat di
malam al-qadr kepada orang-orang yang ada di dalam masjid sampai fajar terbit.
Rasulullah saw. bersabda:
ت لَي لَةَ ال َقد ِر فَأُن ِسيتُ َها َو ِه َي ِِف العشر األواخر من لياليها وهي طَل َقةٌ بِلُ َجةٌ ََل َح َارة َوََل ًَب ِر َدةٌ َكأَ ان فِ َيها
ُ إِِّن َرأَي
يء فَج ُرَها ِ
َ ج َشيطَا ُُنَا َح اَّت يُض
ُ قَ َمرا ََل ََي ُر
Sesungguhnya aku telah melihat malam Lailatul Qadar, lalu aku dijadikan lupa
kepadanya; malam Lailatul Qadar itu ada pada sepuluh terakhir (bulan Ramadan),
pertandanya ialah cerah dan terang, suhunya tidak panas dan tidak pula dingin,
15
seakan-akan padanya terdapat rembulan; setan tidak dapat keluar di malam itu
hingga pagi harinya.
28
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun, hlm. 57.
29
Muhammad Sofyan, Tafsir wal Mufassirun, hlm. 58.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibnu Katsir adalah salah satu ulama terkemuka dalam Islam. Nama lengkap beliau
adalah Abu al-Fida’ ‘Imaduddin Isma’il bin ‘Umar bin Katsir bin Dhau’ bin Katsir
bin Katsir bin Dhau’ bin Dzar’i al-Qaysi al-Qurasyi al-Bushrawi ad-Dimasyqi asy-
Syafi’i. Ia dilahirkan di Mijdal pada tahun 700 H atau 701 H dan wafat di Damaskus
pada hari kamis, bulan Sya’ban tahun 774 H.
Ibnu Katsir merupakan ulama yang menguasai banyak bidang keilmuan. Hal itu
dibuktikan dengan karya-karyanya dalam banyak bidang ilmu. Salah satu karya
fenomenal dari Ibnu Katsir adalah dalam bidang tafsir Al-Qur’an, yaitu Tafsir al-
Qur’an al-‘Azhim atau lebih dikenal dengan nama Tafsir Ibnu Katsir. Tafsir Ibnu
Katsir merupakan salah satu kitab tafsir yang menggunakan bentuk penafsiran bi al-
ma’tsur dengan metode analitis. Ibnu Katsir mengutamakan Al-Qur’an sebagai
rujukan penafsirannya. Jika tidak didapati dalam Al-Qur’an, maka ia akan
menelusurinya dalam al-sunnah, pendapat Sahabat dan pendapat para tabi’in.
Pendapat ulama-ulama terdahulu juga dipertimbangkan oleh Ibnu Katsir.
Tafsir Ibnu Katsir memiliki banyak keistimewaan. Selain itu, tidak bisa dipungkiri
adanya kelemahan pada kitab tafsir ini. Namun, kitab tafsir ini tetap saja menjadi
rujukan para cendekiawan di era setelahnya dan telah dicetak serta disebarkan ke
seluruh penjuru dunia. Banyak pujian dari para ulama terhadap kitab Tafsir Ibnu
Katsir ini.
B. Saran
Berkaitan dengan pembahasan “Studi Kitab Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim” ini, kami
menyadari bahwa dari berbagai referensi yang ada, masih banyak kesalahan dan
kekurangan dalam segi penulisan, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam
memahaminya. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pribadi kami, juga
bagi para pembaca.
17
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009.
Katsir, Ibnu. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Beirut: Dar Ibn Hazm, 2000.
Mahmud, Mani’ Abdul Halim. Manahij al-Mufassirin. Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri,
2000.
Maliki. ‘Tafsir Ibn Katsir: Metode dan Bentuk Penafsirannya’, dalam Jurnal el-Umdah,
No. 1, (2018), hlm. 74-86.
Maswan, Nur Faizin. Kajian Diskriptif Tafsir Ibn Katsir. Yogyakarta: Menara Kudus,
2002.
Nasution, Abd Haris dan Muhammad Mansur. ‘Studi Kitab Tafsir Al-Qur’an Al-Azim
Karya Ibnu Kasir’, dalam Jurnal Ushuluddin Adab dan Dakwah, No. 1, (2018),
hlm. 1-14.
Wely Dozan, ‘Epistemologi Tafsir Klasik: studi Analisis Pemikiran Ibnu Katsir’, dalam
Jurnal Falasifa, No. 2. (2019), hlm. 147-159.
18