MAKALAH
Diajukan oleh :
Kelompok 5
M. Rifki (190303068)
Ulil Azmi (190303056)
Hero Illiyyin (190303036)
Fadil Miranto (190303045)
Iqbal Al Farisy (190303065)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanya bagi Allah swt. yang telah mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada kita semua, khususnya bagi kami sehingga kami bisa menyelesaikan
pembuatan makalah ini. Selawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad
saw. Beliau adalah panutan dan teladan bagi kita semua dalam mengaruhi kehidupan di
dunia ini.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................................... 12
B. Saran .......................................................................................................... 12
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut Abdullah ad-Darraz, Al-Qur’an diibaratkan sebuah permata yang
memancarkan cahaya dari sudut mana saja dipandang. Ungkapan ini menunjukkan
luasnya pengkajian terhadap Al-Qur’an.1 Salah satu kajian yang dilakukan terhadap
Al-Qur’an adalah tafsir. Ragam kajian dan pendekatan yang dilakukan terhadap Al-
Qur’an telah menghasilkan beragam corak penafsiran. Penafsiran yang sudah
dilakukan sejak zaman Nabi saw. telah berkembang dengan berbagai macam bentuk.
Salah satu dari beragam corak penafsiran adalah penafsiran sufi dan isyari.
Menurut ahli tafsir ini, kemampuan seseorang dalam memahami makna Al-Quran
amat bergantung kepada derajat dan kualitas kerohanian. Imam Ja’far ash-Shadiq
mengatakan bahwa Kitab Allah meliputi empat perkara: ibarat, isyarat, lathaif dan
haqaiq. Ibarat diperuntukkan bagi orang awam, isyarat adalah bagi orang khusus,
lathaif adalah bagi para Wali Allah, dan haqaiq adalah bagi para Nabi.2
Munculnya corak-corak penafsiran ini merupakan bukti bahwa umat Islam terus
melakukan tajdid al-‘ilm (pembaharuan pengetahuan) dalam merespons relasi antara
kalam Tuhan dan konteks masyarakat di zamannya. Pada makalah ini akan diuraikan
pembahasan tentang corak tafsir sufi dan corak tafsir isyari, baik pengertian,
karakteristik, contoh penafsiran, kelebihan, kekurangan maupun contoh kitab tafsir.
Adz-Dzahabi membagi tafsir bercorak sufi menjadi dua macam, yakni tafsir sufi
nazhari dan tafsir sufi isyari. Tafsir sufi nazhari adalah tafsir sufi yang dimaksud
dalam makalah ini, sedangkan tafsir sufi isyari adalah tafsir isyari yang dimaksud
dalam makalah ini. Hal ini sesuai dengan pendapat Manna’ al-Qatthan yang memberi
istilah tafsir sufi nazhari dengan tafsir sufi dan tafsir sufi isyari dengan tafsir isyari.
Diharapkan tidak terjadinya kesalahpahaman dalam membedakan keduanya.
1
Izzul Madid, ‘Tafsir Sufi; Kajian Atas Konsep Tafsir dengan Pendekatan Sufi’ dalam Jurnal
Wasathiyah, No. 1, (2018), hlm. 143.
2
Dewi Murni, ‘Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an’, dalam Jurnal Syahadah, No. 2, (2017),
hlm. 62.
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tafsir sufi dan isyari?
2. Bagaimana karakteristik corak tafsir sufi dan isyari?
3. Apa kelebihan dan kelemahan corak tafsir sufi dan isyari?
4. Apa contoh kitab tafsir yang bercorak sufi dan isyari?
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tafsir Sufi
1. Pengertian Tafsir Sufi
Tafsir sufi adalah tafsir yang didasari teori-teori sufistik atau tafsir yang ditujukan
untuk menguatkan teori-teori sufistik dengan menggunakan metode takwil dengan
mencari makna esoteris (batin).3 Tafsir sufi ini menjadi sebuah bagian dalam tradisi
corak tafsir filsafat karena selalu mempertimbangkan aspek filsafat dan sufistik
sehingga muncul pemahaman tafsir yang baru.4 Corak tafsir ini tidak hanya berhenti
pada aspek kebahasaan saja, tetapi juga menggunakan metode simbolis yang
berpegang pada landasan teoritis.
Corak tafsir sufi ini sering digunakan untuk memperkuat teori-teori mistis dari
kalangan ahli sufi. Salah satu ulama yang dianggap ahli dalam bidang ini adalah
Muhyiddin ibn al-‘Arabi. Selain beliau, murid-muridnya juga banyak yang mengikuti
jejak beliau. Pemikiran Ibn al-‘Arabi banyak dipengaruhi oleh teori-teori filsafat dan
paham wahdah al-wujud yang merupakan teori terpenting dalam pemahaman
tasawufnya. Adz-Dzahabi mengatakan bahwa Ibn al-‘Arabi telah keluar dari madlul
ayat yang dimaksud oleh Allah swt. saat menafsirkan Al-Qur’an.
3
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an (Yogyakarta: Idea Press, 2016), hlm. 125.
4
M. Ulil Abshor, ‘Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik)’, dalam Jurnal
At-Tibyan, No. 2, (2018), hlm. 257.
3
Selain penafsiran terhadap Q.S. Maryam ayat 57, contoh lainnya dari penafsiran
terhadap Q.S. An-Nisa’ ayat 1 sebagai berikut.
ِﺲ و ۡ ِ
... ٰﺣ َﺪ ٍة ِﱠ
ُ ََٰٓﻳﱡـ َﻬﺎ ٱﻟﻨ
َ ٍ ﱠﺎس ٱﺗﱠـ ُﻘﻮاْ َرﺑﱠ ُﻜ ُﻢ ٱﻟﺬي َﺧﻠَ َﻘ ُﻜﻢ ّﻣﻦ ﻧﱠـﻔ
Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari jiwa yang satu, ... (Q.S. An-Nisa’: 1)
5
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II (Kairo: Maktabah Wahbah,
Tanpa Tahun), hlm. 252
6
Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Kairo: Maktabah Wahbah, Tanpa Tahun),
hlm. 346.
7
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 254.
8
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 255.
9
Manna’ al-Qatthan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an, hlm. 346.
4
Contoh lainnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-Baqarah ayat 115 sebagai
berikut.
Ibn al-‘Arabi menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa ini merupakan
hakikat, wajhullah ada di setiap arah di mana pun setiap orang menghadapnya. Meski
demikian jika ada orang salat menghadap pada selain kakbah sedangkan dia tahu arah
kiblat, maka salatnya batal, sebab ibadah yang khusus ini tidak disyariatkan kecuali
dengan menghadap pada kiblat yang juga khusus seperti ini, apabila dia dalam ibadah
yang tidak membutuhkan penentuan seperti ini, maka Allah menerima cara
menghadap orang tersebut.10
5
B. Tafsir Isyari
1. Pengertian Tafsir Isyari
Menurut adz-Dzahabi, tafsir isyari adalah tafsir yang dilakukan dengan
menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan makna yang berbeda dengan kehendak
lahiriah teks yang dilakukan dengan bantuan isyarat-isyarat tersembunyi yang hanya
diketahui oleh pelaku suluk.12 Upaya ini dilakukan karena ketekunannya dengan
melakukan praktik ritual atau riyadhah secara istiqamah sehingga sangat
memungkinkan mendapat limpahan pengetahuan dari Allah swt. sebagai rahmat-Nya.
Tafsir model ini dinisbahkan kepada para pelaku sufi amali di mana mereka ketika
menafsirkan Al-Qur’an berdasarkan isyarat-isyarat Ilahi yang diilhamkan Allah swt.
kepada hambanya berupa intuisi mistik dengan memberi pemahaman dan realisasi
makna ayat-ayat Al-Qur’an. Fenomena tafsir isyari menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan para ulama antara menerima dan menolak.
12
Muhammad Husain adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Juz II, hlm. 251.
6
mendekati pemahaman takwil dari para ulama dan menjauhi pemahaman takwil dari
orang-orang bodoh.13
b. Para ulama yang menafsirkan Al-Qur’an dengan cara ini acap kali mengambil makna
berdasarkan isyarat zihniyyah (intuisi). Isyarat terbagi dua, yakni isyarat hissiyyah dan
isyarat zihniyyah. Isyarat hissiyyah adalah isyarat yang dapat dijangkau oleh indra.
Sedangkan zihniyyah adalah mengambil pengertian yang terkandung di dalam suatu
pernyataan yang sekiranya makna isyarat tadi diredaksikan secara biasa, maka bisa
jadi akan menghabiskan redaksi yang panjang. Dalam kaitannya dengan tafsir isyari,
isyarat di atas terbagi dua, yakni isyarat halus yang dapat dijangkau oleh orang yang
ahli takwa, ahli wara’, ahli kebaikan dan ahli ilmu sewaktu membaca Al-Qur’an.
Melalui isyarat inilah munculnya tafsir isyari. Dan yang kedua adalah isyarat-isyarat
yang jelas yang terkandung dalam ayat-ayat kauniyyah yang dalam penelitian
selanjutnya melahirkan tafsir ilmi. Isyarat ilmiah tadi sekaligus menampakkan
keistimewaan Al-Qur’an dari segi kemukjizatannya.14
ۡ ۡ ۡ
ًإِ ﱠن ٱ ﱠﻪﻠﻟَ َ ُﻣ ُﺮُﻛﻢ أَن ﺗَﺬ َﲝُﻮاْ ﺑَـ َﻘ َﺮة
... Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina. ... (Q.S.
Al-Baqarah: 67)
Di dalam tafsir isyari, ayat tersebut diberi makna dengan “... Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyembelih nafsu hewaniah. ...”.
Contoh lain adalah penafsiran terhadap Q.S. An-Nashr ayat 1 sebagai berikut.
ۡ ۡ ِ ۡ
َ إِذَا َﺟﺎ
ُ ٓء ﻧَﺼ ُﺮ ٱ ﱠﻪﻠﻟ َوٱﻟ َﻔﺘ
ﺢ
Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. (Q.S. An-Nashr: 1)
Di dalam tafsir isyari, ayat tersebut diberi makna dekatnya ajal Nabi Muhammad
saw.
13
Cecep Alba, ‘Karakteristik Tafsir Sufi’, dalam Jurnal Istiqamah, No. 2, (2020), hlm. 124.
14
Cecep Alba, ‘Karakteristik Tafsir Sufi’, hlm. 125.
7
ۡ
ٱذ َﻫ ۡﺐ إِ َ ٰﱃ ﻓِ ۡﺮ َﻋ ۡﻮ َن إِﻧﱠﻪُۥ ﻃَﻐَ ٰﻰ
Pergilah kepada Fir’aun, sesungguhnya ia telah melampaui batas. (Q.S. Thaha:
24)
Dalam hal ini para mufassir isyari menakwilkan Fir’aun dengan hati. Maksudnya
bahwa Fir’aun itu sebenarnya adalah hati setiap manusia yang mempunyai sifat
melampaui batas.
Contoh selanjutnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-Qashash ayat 31 sebagai
berikut.
ۖۡ ۚ
ۡ ِﺎك ﻓَـﻠَ ﱠﻤﺎ رءاﻫﺎ َ ۡ ﺘـ ﱡﺰ َﻛﺄَ ﱠَﺎ ﺟﺎٓ ﱞن وﱠﱃ ﻣ ۡﺪﺑِﺮا وَۡﱂ ﻳـﻌ ِّﻘ ۡۚﺐ ٰﳝﻮﺳ ٓﻰ أ َۡﻗﺒ ۡ ۡ
ِ ِٓﻚ ِﻣﻦ ٱ ۡﻷ ِ
ﲔ
َ ﻨ ﻣ َ َ ﱠ
ﻧ إ ﻒ ﲣَ
َ َﻻَو ﻞ َ
ٰ َ ُ َُ َ ً ُ َ َ ٰ َ َ ََ َ َ َوأَن أَﻟ ِﻖ َﻋ
ﺼ
Dan lemparkanlah tongkatmu. Maka tatkala (tongkat itu menjadi ular dan) Musa
melihatnya bergerak-gerak seolah-olah ia seekor ular yang gesit, larilah ia berbalik
ke belakang tanpa menoleh (kemudian Musa diseru), “Hai Musa, datanglah kepada-
Ku dan janganlah kamu takut. Sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang
aman.” (Q.S. Al-Qashash: 31)
Di dalam tafsir isyari, ayat tersebut ditakwilkan bahwa tongkat itu dilemparkan
kepada siapa pun yang ada di muka bumi dan orang yang bergantung kepada selain
Allah.
Contoh lainnya adalah penafsiran terhadap Q.S. Al-Baqarah ayat 22 sebagai
berikut.
ِ ﻓَ َﻼ َ ۡﲡﻌﻠُﻮاْ ِﱠ...
ﻪﻠﻟ أَﻧ َﺪا ًدا َوأَﻧﺘُ ۡﻢ ﺗَـ ۡﻌﻠَ ُﻤﻮ َن َ
… karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal
kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 22)
At-Tustari mengatakan bahwa maksud andadan pada ayat tersebut bukan hanya
patung-patung, setan, tetapi nafsu amarah yang sering dijadikan manusia sebagai
Tuhannya, sehingga ia cenderung mengikuti nafsu amarahnya dibanding Tuhannya.
8
Jika manusia diperbudak oleh nafsunya, maka sama saja ia menjadikan nafsu sebagai
teman. Padahal, nafsu amarah seharusnya dijadikan musuh yang nyata.15
Beberapa ulama memberikan beberapa syarat agar penafsiran secara isyari tidak
mengalami penyimpangan. Syarat-syarat tersebut antara lain sebagai berikut.16
1) Penafsiran tersebut tidak bertentangan dengan makna lahir ayat
2) Makna atau penafsiran tersebut benar secara inheren
3) Antara penafsiran dan lafaz yang ditafsirkan memang ada hubungan
4) Makna batin tersebut tidak boleh diklaim sebagai satu-satunya makna yang
dikehendaki oleh Allah, yang menafikan makna lahir
5) Penafsiran tersebut tidak boleh bertentangan dengan akal atau syariat
6) Penafsiran tersebut harus didukung oleh dalil secara syar’i.
15
M. Ulil Abshor, ‘Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik)’, hlm. 259.
16
Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, hlm. 128.
17
Nana Mahrani, ‘Tafsir al-Isyari’, dalam Jurnal Hikmah, No. 1, (2017), hlm. 59-60.
9
18
Nana Mahrani, ‘Tafsir al-Isyari’, hlm. 60.
10
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir sufi adalah tafsir yang didasari teori-teori sufistik atau tafsir yang ditujukan
untuk menguatkan teori-teori sufistik dengan menggunakan metode takwil dengan
mencari makna esoteris (batin). Sedangkan tafsir isyari adalah tafsir yang dilakukan
dengan menakwilkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan makna yang berbeda dengan
kehendak lahiriah teks yang dilakukan dengan bantuan isyarat-isyarat tersembunyi
yang hanya diketahui oleh pelaku suluk.
Karakteristik dari tafsir sufi antara lain penafsiran banyak dipengaruhi filsafat,
mengiaskan yang gaib kepada yang nyata dan kurang memperhatikan kaidah nahwu.
Sedangkan karakteristik dari tafsir isyari antara lain adalah upaya pemahaman
terhadap Al-Qur’an tidak hanya melalui pendekatan lahir ayat, akan tetapi yang
terpenting adalah pendekatan melalui aspek batin ayat. Selain itu, para ulama yang
menafsirkan Al-Qur’an dengan cara ini acap kali mengambil makna berdasarkan
isyarat zihniyyah (intuisi).
Di samping terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kebolehan
menafsirkan Al-Qur’an dengan corak sufi dan isyari, kedua penafsiran ini juga
mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Contoh kitab tafsir dengan
corak sufi antara lain adalah al-Futuhat al-Makiyyah dan al-Fushush al-Hikam karya
Ibn al-‘Arabi. Sedangkan contoh kitab tafsir bercorak isyari antara lain adalah al-
Qur’an al-‘Azhim karya at-Tustari, Gharaib al-Qur’an wa Raghaib al-Furqan karya
an-Naisabury, Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, al-Rais al-Bayan fi Haqaiq al-Qur’an
karya asy-Syairazi, al-Haqaiq al-Tafsir karya as-Sulami, al-Ta’wilat al-Najmiyyah
karya Najmuddin Dayah dan as-Samnani, Lathaif al-Isyarat karya al-Qusyairi, dan
sebagainya.
B. Saran
Berkaitan dengan pembahasan “Corak Tafsir Sufi dan Isyari” ini, kami menyadari
bahwa dari berbagai referensi yang ada, masih banyak kesalahan dan kekurangan
12
13
DAFTAR PUSTAKA
Abshor, M. Ulil. ‘Epistemologi Irfani (Sebuah Tinjauan Kajian Tafsir Sufistik)’, dalam
Jurnal At-Tibyan, No. 2, (2018), hlm. 249-264.
Alba, Cecep. ‘Karakteristik Tafsir Sufi’, dalam Jurnal Istiqamah, No. 2, (2020), hlm.
123-129.
Madid, Izzul. ‘Tafsir Sufi; Kajian Atas Konsep Tafsir dengan Pendekatan Sufi’ dalam
Jurnal Wasathiyah, No. 1, (2018), hlm. 143-154.
Mahrani, Nana. ‘Tafsir al-Isyari’, dalam Jurnal Hikmah, No. 1, (2017), hlm. 56-61.
Murni, Dewi. ‘Penafsiran Sufistik di dalam Al-Qur’an’, dalam Jurnal Syahadah, No. 2,
(2017), hlm. 61-80.
Mustaqim, Abdul. Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Yogyakarta: Idea Press, 2016.
Syukur, Abdul. ‘Mengenal Corak Tafsir Al-Qur’an’, dalam Jurnal el-Furqonia, No. 1,
(2015), hlm. 84-104.
14