Anda di halaman 1dari 33

‫تريخ التشريع‬

MATA KULIAH TAREKH TASYRI’


Pengertian Tarikh
 Tarikh artinya catatan tentang perhitungan
tanggal, hari, bulan dan tahun. Lebih populer dan
sederhana diartikan sebagai sejarah atau riwayat.
 Dalam bahasa Inggris, tarikh diterjemahkan

history, yang berarti pengalaman masa lampu


umat manusia, the past expreience of mankids.
Pengertian selanjutnya, tarikh bermakna sejarah
sebagai catatan yang berhubungan dengan
peristiwa-peristiwa masa lampau yang
diabadikan dalam laporan tertulis dan dalam
ruang lingkup yang luas.
 Dengan demikian, tarikh merupakan
pembahasan segala aktivitas manusia yang
berkaitan dengan peristiwa-peristiwa tertentu
pada masa lampau yang disusun secara
sistematis dan kronologis.
 Tasyri’, secara etimologi, berarti pembuatan
undang-undang atau peraturan-peraturan (taqnin).
 Secara terminologis, tasyri’ adalah penetapan

peraturan, penjelasan hukum-hukum, dan


penyusunan perundang-undangan. Artinya
penetapan dan pemberlakuan Syariat yang
berlangsung sejak diutusnya Rasulullah SAW dan
berakhir hingga wafatnya beliau.
 Para ulama kemudian memperluas pembahasan

tarekh tasyri’ sehingga mencakup perkembangan


fiqh islam dan proses kodifikasinya serta ijtihad-
ijtihad para ulama sepanjang sejarah Islam. Tasyri’
juga bermakna legislation, enacment of low,
penetapan undang-undang dalam Islam.
 Tarikh al-Tasyri’ menurut Muhammad Ali al-Sayis :
“Ilmu yang membahas keadaan hukum Islam pada
masa kerasulan (Rasulullah SAW masih hidup) dan
sesudahnya dengan periodesasi munculnya hukum
serta hal-hal yang berkaitan dengannya,
(membahas) ciri-ciri spesifikasi keadaan fuqaha’
dan mujtahid dalam merumuskan hukum-hukum
tersebut”.
 Menurut batasan di atas, tampak bahwa tarikh

tasyri’ Islam merupakan pembahasan tentang


segala aktivitas manusia dalam pembentukan
perundang-undangan Islam di masa lampau, baik
masa Nabi, sahabat maupun tabi’in (para mujtahid)
sampai sekarang, secara sistematis dan kronologis.
URGENSI MEMPELAJARI TARIKH TASYRI’
 Dapat mengetahui prinsip dan tujuan syariat Islam.
 Dapat mengetahui kesempurnaan dan syumuliyah
(integralitas) ajaran Islam terhadap seluruh aspek
kehidupan .
 Dapat menghargai usaha dan jasa para ulama, mulai dari
para sahabat Rasulullah saw hingga para imam dan
murid-murid mereka dalam mengisi khazanah ilmu dan
peradaban kaum muslimin.
 Dapat tumbuh dalam diri kita kebanggaan terhadap
Syariat Islam sekaligus optimisme akan kembalinya
qiyadah al-syari’ah (kepemimpinan syariat) dalam
kehidupan umat di masa depan.
 Dapat melahirkan sikap hidup toleran, dan untuk mewarisi
pemikiran ulama klasik serta langkah-langkah ijtihadnya
agar dapat mengembangkan gagasan-gagasannya.
Ruang Lingkup Pembahasan Tarikh
Tasyri’ Islam
 Ruang lingkup tarikh tasyri' yakni terbatas
pada keadaan perundang-undangan Islam
dari zaman ke zaman yang dimulai dari
zaman Nabi saw sampai zaman berikutnya,
yang ditinjau dari sudut pertumbuhan
perundang-undangan Islam, termasuk
didalamnya hal-hal yang menghambat dan
mendukungnya serta biografi para Mujtahid
yang banyak mengarahkan pemikirannya
dalam upaya menetapkan perundang-
undangan Islam.
 Kamil Musa dalam al-madhkal ila tarikh at-
Tasyri' al-Islami, mengatakan bahwa Tarikh
Tasyri' tidak terbatas pada sejarah
pembentukan al Qur'an dan As Sunnah saja.
Ia juga mencakup pemikiran, gagasan dan
ijtihad ulama pada waktu atau kurun tertentu.
‫’‪MACAM-MACAM TASYRI‬‬
‫انواع‬
‫التشريع‬

‫التشريع السماوي‬ ‫التشريع الوضعي‬

‫من اهلل‬ ‫من الـنـا س‬


Perbedaan Tasyri’ samawi dengan
Tasyri’ wadhi’i
 1. Qanuun wadh’i adalah undang-undang buatan manusia
yang tidak mungkin dapat menyamai kedudukannya dengan
syari’at samawi yang datang dari pencipta manusia.
 2. Pembuat Qonuun wadh’i adalah manusia yang memiliki
hawa nafsu dan kecenderungan pada sesuatu, dan tunduk
pada perasaan-perasaan kemanusiaan oleh karenanya
Qonuun Wadh’i sangat rentan adanya perubahan dan
pergantian dengan tidak adanya kaidah dan timbangan yang
konkrit dalam hukumnya.
 Sedangkan Syari’at Samawi turun dari yang Maha bijaksana
lagi Maha mengetahui, yang mengetahui keadaan hambaNya,
dan apa-apa yang menjadi perbaikan dalam hidupnya di
dunia dan tempat kembalinya di akhirat. Oleh karenanya
bersifat absolut dan pasti membawa maslhat.
 3. Qonuun Wadh’i sangat terbatas undang-undangnya,
sebatas untuk memenuhi kebutuhan sekumpulan masyarakat
tertentu dalam hal undang-undang kekeluargaan, peraturan
bermasyarakat dan observasi ilmiyah.
 Sedangkan Syari’at Samawiyah dengan cakupannya yang luas
dan sempurna untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarkat
seluruhnya.
 4. Qonuun Wadh’i sangat terbatas waktu pemakaiannya,
sebatas masyarakat dan zaman tertentu dan akan senantiasa
berubah dengan semakin majunya pemikiran serta kehidupan
masyarakat tersebut.
 Sedangkan Syari’at Islamiyah dengan sifat khususnya tidak
untuk satu masyarat tanpa masyarakat yang lain, atau satu
zaman tanpa zaman yang lain akan tetapi undang-undang
yang tetap dan tidak berubah-ubah dengan perubahan
pengetahuan, pemikiran bahkan kehidupan seluruh manusia
sekalipun.
 5. Qonuun Wadh’i tidak mengatur kehidupan
manusia kecuali hanya dalam aspek
kehidupan masyarakat dan ekonomi dan apa-
apa yang berkaitantan dengan Negara dan
tidak membahas tentang aqidah tauhid dll.
 Sedangkan Syari’at Islamiyah mencakup

tentang iman kepada Allah, rasul-rasulnya,


alam ghoib, hubungan manusia dengan
Rabbnya, akhlak, dan juga peraturan-
peraturan hidup yang berbeda-beda.
 6. Qonuun Wadh’i tidak mengatur masalah akhlak kecuali
hanya sebatas ringan saja. Yang hanya bersangkutan
pada hal yang memiliki resiko negatif pada masyarakat
agar masyarakat merasa aman tidak lebih. Karenanya
terkadang Qonuun Wadh’i tidak menindak pelaku zina
kecuali jika salah satunya tidak menyukainya. Atau tidak
sama-sama suka. Karena beresiko negatif pada satu sisi
saja.
 Sedangkan Syari’at islam adalah syari’at yang sangat
menekankan pada akhlak manusia. walaupun akhlak
bukan adab yang menjadi sandaran khusus kebaikan
manusia namun ia menjadi salah satu kewajiban yang
harus dijalani dalam beragama. Karena dalam Islam
akhlak menjadi tujuan pendidikan dalam beribadah, dan
menjadi sandaran keharmonisan dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut Dr. Ahmad Toha Abbas Hasan

 1. Hubungan Tasyri'  Samawi mencakup    hubungan seorang


den gan  Robbnya atau an tar sesama manusia.  
 Sedangkan Hubungan Tasyri'  Wadh'i terbatas antara    manusia
saja. 
 2. Hukum Samawi menyuruh kepada yang  ma'ruf dan melarang
kepada yang  mungkar secara  kamil dengan  dterangkan yang
baik dan jelek. 
 Sedangkan Wadh'i terbatas kepada sekedar mengatasi
kerusakan saja. 
 3. Hukum Wadh'i  balasannya adalah dunia yang diberikan oleh
raja - raja. 
 Sedangkan samawi balasannya akhirat dengan perbaikan
dunianya bagi yang taat dan bagi yang menyelisihi akan
mendapatkan azab diakhirat nanti. 
 4. Hisab pada hukum Wadh'i hanya pada amal
dhohir yang  bersangkutan dengan yang lainnya. 
 Hisab Samawi ditujukan pada amalan- amalan

yang ada pada hatinya, panca indra dan apa-apa 


yang jadi washilah dengan yang lainnya. 
5. Hukum samawi : keadilannya adalah selama-
lamanya dan masalahnya terus - menerus dari  Dia
yang Maha Tahu terhadap segala sesuatu.  
 Hukum Wadh'i : dibuat oleh manusia yang banyak

terpengaruh oleh zaman dan


tempat,  pengetahuan itu semua  berubah, terbatas
kemampuannya dia juga  
tak punya ilmu terhadap yang akan datang.  
 6. Hukum Wadh'i : Banyak terpengaruh oleh
tempat, waktu, nafsu dan kebudayaan. 
 Hukum Samawi : Dari Allah yang Maha 

Mengetahui di setiap  keadaan dan tempat


maka dipilihkanlah untuk hamba-Nya apa 
yang terkandung dalamnya yang betul-betul
baik dan mashlahah.
(Dalam muhadhoroh fie fiqh Islami Tarikhuhu wa
Mashodhiruhu oleh Dr. Ahmad Toha Abbas Hasan)
SYARIAT ISLAM vs. HUKUM WADH’I
(HUKUM POSITIF)
 (1).Manusia tidak tahu pasti apa yang akan
terjadi di masa depan, maka hukum dan
peraturan yang dibuatnya hanya
mempertimbangkan ‘kekinian’ dan ‘kesinian’
serta pasti perlu diubah dan diperbaiki di lain
tempat dan waktu.
 Berbeda dengan syariat Islam yang ber­sumber
dari Dzat yang Maha Mengetahui masa lalu,
kini dan masa depan, pasti mampu menjawab
tantangan setiap tempat dan zaman.
 (2). Hukum wadh’i memiliki prinsip-prinsip yang
terbatas, diawali kemunculannya dari aturan
keluarga, kemudian berkembang menjadi aturan
suku atau kabilah dst. Dan baru memiliki teori-
teori ilmiahnya pada abad ke-19.
 Berbeda dengan syariat Islam yang sejak masa
kehidupan Rasulullah saw telah menjadi
undang-undang yang lengkap dan sempurna
memenuhi segala kebutuhan individu, keluarga,
masyarakat, negara serta hubungan
internasional. Syariat Islam tidak terbatas hanya
untuk kaum atau bangsa tertentu melainkan
untuk semua manusia sepanjang zaman
 (3). Hukum wadh’i hanya mengatur hubungan sesama
manusia tanpa memiliki konsep aqidah tauhid yang
menghubungkan semua itu dengan Allah.
 Sedangkan syariat Islam dilandasi oleh tauhid dan
keimanan kepada Allah dan hari akhir yang menjadi
motivasi utama ketaatan seorang hamba kepada syariat
Allah
 (4). Hukum wadh’i hanya mengandalkan sangsi hukum
semata dan ini memberi kesempatan kepada para
penjahat untuk mencari celah kelemahan hukum dan
menggunakan berbagai tipu muslihat agar lepas dari
jeratan hukum.
 Sedangkan syariat Islam, sanksi hukum hanyalah salah
satu faktor untuk membuat masyarakat menjadi baik dan
tertib. Motivasi spiritual, berupa pengawasan Allah, rasa
harap akan ridha-Nya dan takut akan murka-Nya menjadi
faktor utama ketaatan warga negara terhadap hukum.
 (5). Hukum wadh’i mengabaikan faktor-faktor
akhlaq dan menganggap pelanggaran hukum
hanya terbatas pada hal-hal yang membahayakan
individu atau masyarakat secara langsung. Namun
hukum wadh’i tidak memberi sangsi atas
perbuatan zina, misalnya, kecuali jika ada unsur
paksaan dari salah satu pihak.
 Sedangkan syariat Islam adalah syariat akhlaq
yang memperhatikan kebaikan mental dan fisik
masyarakat secara umum, memperhatikan
kebahagiaan dunia akhirat sekaligus. Islam
melarang dan menetapkan sangsi atas zina karena
ia adalah perbuatan keji yang diharamkan Allah
Swt, meskipun dilakukan suka sama suka.
ALUR PEMBENTUKAN FIQH
 (1) Sumber hukum Islam: al-Quran dan hadits , (2) lalu muncul
USHUL FIQH sebagai metodologi dalam penarikan hukum
menggunakan pola pikir deduktif, (3) selanjutnya menghasilkan
hukum FIQH dengan materi yang beragam dalam kitab yang
sangat banyak. Setelah diteliti persamaan hukum fiqh
menggunakan pola pikir induktif, kemudian dikelompokkan dari
masalah-masalah yang serupa, (4) akhirnya disimpulkan menjadi
QAWA’ID FIQHIYYAH yang memudahkan ulama dalam
menentukan hukum fiqh terhadap persoalan baru. (5) setelah
melalui pengujian dan dengan dukungan ushul fiqh, maka
natijahnya adalah terbentuknya hukum FIQH BARU, QANUN ,
maupun fatwa terhadap permasalahan kontemporer. SUMBER
HUKUM (Al-Quran dan Hadits) 1 USHUL FIQH (+ Kaidah Ushul) 2
FIQH (hasil dari pola istinbath al-ahkam)) 3 QAWA’ID FIQHIYYAH
(Kaidah Fiqh) 4 FIQH BARU (QANUN)
ALUR PEMBENTUKAN FIQH

1 2 3
lalu muncul selanjutnya menghasilkan
Sumber USHUL FIQH hukum FIQH dengan
hukum sebagai materi yang beragam
Islam: al- metodologi dalam kitab yang sangat
Quran dan dalam penarikan banyak. Setelah diteliti
hadits hukum persamaan hukum fiqh
menggunakan menggunakan pola pikir
pola pikir induktif, kemudian
deduktif,
dikelompokkan dari
masalah-masalah yang
serupa,
4 5

Setelah melalui
Akhirnya pengujian dan dengan
disimpulkan menjadi dukungan ushul fiqh,
QAWA’ID FIQHIYYAH maka natijahnya adalah
yang memudahkan terbentuknya hukum
ulama dalam FIQH BARU, QANUN ,
menentukan hukum maupun fatwa terhadap
fiqh terhadap permasalahan
persoalan baru kontemporer.
Hukum
Qawa’id Baru
Fiqhiyah (Qanun)
Fiqh (Pola
Istinbath)
Ushul
Fiqh
+Qaedah
Ushul
AlQuran
Dan
sunnah
. PRINSIP-PRINSIP TASYRI’
1.Tidak Mempersulit =‫عدم الحرج‬
 ) ‫س َع َها‬
ْ ‫ال ُ ي َكلِّ ُف ُهَّللا َ ن ْف ًسا ِ إال ُو‬QS. Al-Baqarah: 286)
 ‫( وما جعل عليكم فى الدين من حرج‬QS. Al-Hajj: 78)

ُ ‫( بُ ِع‬Aku diutus dengan agama yang ringan)


َ ‫ثت بال َحنِيفَ ِة ال َس ْم‬
 ‫حة‬

 Dalam menetapkan syariat , Islam senantiasa

memperhitungkan kemampuan manusia dalam


melaksanaknnya. Itu diwujudkan dengan mamberikan
kemudahan dan kelonggaran (tasamuh wa rukhsah)
kepada manusia, agar menerima ketetapan hukum
dengan kesanggupan yang dimilikinya.
 2.‫ = تقليل التكاليف‬Mengurangi Beban
 ) ‫عن َأ ْشيَا َء ِ ْإن ُ ت ْب َد َ ل ُك ْم َ تس ُْؤ ُك ْم َوِ ْإن َ ت َس ُْألوا‬ْ َ ‫َ يا َأي َُّها َّال ِذ َينآ َمنُوا ال َ ت َس ُْألوا‬
‫ المائدة‬.‫غفو ٌر َحلِ ٌيم‬ ُ َ ‫َو ُهَّللا‬ َ َ ‫َع ْن َها ِح َين ُ ينَ َّز ُل ْا ُلقرْ ُآن ُ ت ْب َد َ ل ُك ْم‬
‫عفا ُهَّللا َع ْن َها‬
 Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal
yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu
menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah
memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (Q.S.
Al-Maidah:101).
 Prinsip ini merupakan akibat logis bagi tidak
adanya hal menyulitkan, karena didalam
banyaknya bebanan berakibat menyempitkan
(haraj). Juga sebagai langkah prenventif
(penanggulangan) terhadap mukallaf dari
pengurangan atau penambahan dalam
kewajiban agama. Hal ini guna memperingan
dan menjaga nilai-nilai kemaslahatan manusia
pada umumnya, agar tercipta suatu
pelaksanaan hukum tanpa didasari parasaan
terbebani yang berujung pada kesulitan.
Contoh: Ketika Rasul ditanya tentang haji
“apakah setiap tahun?”, beliau bersabda:
‫عليه ‪‬‬ ‫طبَنَا َرس ُْو ُل هللاِ صلى هللا‬ ‫َع ْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ ‪ .‬قَا َل ‪َ :‬خ َ‬
‫ض هللاُ َعلَ ْي ُك ُم ْال َح َّج‬ ‫وسلم فَقَا َل ” أَيُّهَا النَّاسُ ! قَ ْد فَ َر َ‬
‫فَ َحجُّ ْوا ” فَقَا َل َر ُج ٌل ‪ :‬أَ ُك َّل َع ٍام ؟ يَا َرس ُْو َل هللاِ ! فَ َس َك َ‬
‫ت‪.‬‬
‫َحتَّى قَالَهَا ثَالَثًا ‪ .‬فَقَا َل َرس ُْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم”‪ ‬‬
‫ت ‪َ .‬ولَ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم” ‪ .‬ثُ َّم قَا َل‬ ‫“ لَ ْو قُ ْل ُ‬
‫ت ‪ :‬نَ َع ْم ‪ .‬لَ َو َجبَ ْ‬
‫ان قَ ْبلَ ُك ْم بِ َك ْث َر ِة‬
‫ك َم ْن َك َ‬ ‫“ َذر ُْونِي َما تَ َر ْكتُ ُك ْم ‪ .‬فَإِنَّ َما هَلَ َ‬
‫اختِالَفِ ِه ْم َعلَى أَ ْنبِيَائِ ِه ْم ‪ .‬فِإ ِ َذا أَ َمرْ تُ ُك ْم بِ َش ْي ٍء‬‫ُس َؤالِ ِه ْم َو ْ‬
‫فَأْتُ ْوا ِم ْنهُ َما ا ْستَطَ ْعتُ ْم ‪َ .‬وإِ َذا نَهَ ْيتُ ُك ْم َع ْن َش ْي ٍء فَ َد ُع ْو ُه‬
 Rasulullah Saw. pernah berpidato di hadapan kami,
beliau berkata: Wahai manusia! Sesungguhnya Allah
telah mewajibkan ibadah haji atas kamu sekalian, maka
berhajilah! Seorang lelaki bertanya: Apakah setiap
tahun, wahai Rasulullah? Beliau diam tidak menjawab.
Sehingga lelaki itu mengulangi pertanyaannya sampai
tiga kali. Rasulullah SAW kemudian menjawab: Jika aku
katakan “ya”, niscaya akan wajib setiap tahun dan kamu
sekalian tidak akan mampu melaksanakannya. Beliau
melanjutkan: Biarkanlah apa yang telah aku katakan
kepada kamu sekalian! Sesungguhnya umat-umat
sebelum kamu telah binasa karena mereka banyak
bertanya dan berselisih dengan nabi-nabinya. Maka
apabila aku memerintahkan sesuatu kepada kamu
sekalian, laksanakanlah sesuai dengan kemampuanmu
dan jika aku melarang sesuatu kepada kamu sekalian,
janganlah kamu kerjakan!
 3. ‫ = التدريج في التشريع‬Penetapan Hukum secara
Periodik /Berangsur-angsur .
 Hukum syariat dalam al-Quran tidak diturunkan secara
serta merta dengan format yang final, melainkan secara
bertahap, dengan maksud agar umat tidak merasa
terkejut dengan syariat yang tiba-tiba. Karenanya,
wahyu al-Quran senantiasa turun sesuai dengan
kondisi dan realita yang terjadi pada waktu itu.
 Contoh, untuk menetapkan keharaman minuman
khamr .
 (1). Khamar lebih banyak mudarat dari manfaatnya
(Q.S. AlBaqarah: 219).
 (2) Larangan mabuk jika akan shalat( Q.S. An-Nisak:
43)
 (3). Khamar najis perbuatan Syetan.(Q.S. Al-Maidah:90).
 4. Sejalan dengan Kemaslahatan Universal
 Seluruh hukum yang terdapat dalam al-Quran

diperuntukkan demi kepentingan dan perbaikan


kehidupan umat, baik mengenai jiwa, akal, keturunan,
agama, maupun pengelolaan harta benda, sehingga
penerapan hukumnya al-Quran senantiasa
memperhitungkan lima kemaslahatan tsb .
 ‘ Abd al-Wahab Khalaf berkata, “Dalam membentuk

hukum, Syãri’ (Allah dan Rasul-Nya) selalu membuat ‘ illat


(rasiologis) yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia,
juga menunjukkan beberapa bukti bahwa tujuan legislasi
hukum tersebut untuk mewujudkan kemashlahatan
manusia. Disamping itu, Syãri’ menetapkan hukum-
hukum itu sejalan dengan tiadanya ‘ illat yang
mengiringinya. Oleh karena itu, Allah mensyariatkan
sebagian hukum kemudian merevisinya karena ada
kemaslahatan yang sebanding dengan hukum tsb .
 5. Persamaan dan Keadilan (al-Musāwāh wa
al-’Adālah)
 Persamaan hak adalah salah satu prinsip

utama syariat Islam, baik yang berkaitan


dengan ibadah atau muamalah. Persamaan
hak tersebut tidak hanya berlaku bagi umat
Islam, tapi juga bagi seluruh agama. Mereka
diberi hak untuk memutuskan hukum sesuai
dengan ajaran masing-masing, kecuali kalau
mereka dengan sukarela meminta keputusan
hukum sesuai hukum Islam.
ِ ْ ِ‫اس أَ ْن تَحْ ُك ُموا ب‬
 ‫ال َع ْدل‬
ِ َّ‫( َوإِ َذا َح َك ْمتُ ْم بَي َْن الن‬QS. Al-Nisa ’ : 58)
Penetapan
Prinsip Syariat Beransur-
ansur

Tidak Menyedikitkan Selaras dengan Kesamaan


Menyulitkan Beban kemashlahatan Dan
umum Keadilan

Anda mungkin juga menyukai