Anda di halaman 1dari 11

Hadhanah atau Pengasuhan Anak1

Oleh Kelompok 92

A. Pendahuluan
Pada era globalisasi seperti ini, banyak dampak pada masyarakat
baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positifnya
adalah memudahkan dalam mencari informasi, hiburan, dan juga
pengetahuan, tetapi dampak negatifnya berkaitan dengan perilaku dan
tata krama anak yaitu seorang anak cenderung meniru budaya Barat.
Seorang anak dapat berperilaku demikian karena melihat atau
menyaksikan tayangan televisi yang kurang edukatif dan kurangnya
pengawasan orang tua, sehingga anak tidak selektif memilih tayangan
televisi. Oleh karena itu, seharusnya orang tua senantiasa mengawasi
dan mengasuh anak dengan baik dan benar.3
Selain itu, Orang tua merupakan cerminan yang bisa dilihat dan
ditiru oleh anak-anaknya dalam keluarga. Mereka harus memberikan
contoh yang baik kepada anak-anaknya agar tidak berperilaku
menyimpang. Segala bentuk pendidikan dimulai dari tempat yang
paling sederhana yaitu rumah. Rumah merupakan bagian yang tidak
bisa dipisahkan dari pendidikan. Tempat dimana anak-anak
mendapatkan pendidikan awal dari orang tuanya. Pendidikan secara
riil diberikan oleh orang tua dalam bentuk pengasuhan yang dalam
istilah agama Islam disebut dengan Hadhanah.4
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan masalah: Apa
definisi dari Hadhanah atau Pengasuhan Anak?; Apa dasar hukum
dalam Hadhanah atau Pengasuhan Anak?; Siapa saja pihak yang
berhak mengasuh anak?; Apa saja rukun dan syarat hadhanah atau
1
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas akademik mata kuliah Pengantar Fiqh
Munakahat yang diampu oleh bapak Danu Aris Setiyanto, S.Sy, M.H.
2
Imam, Ikhsan Nur Afrizal (182121177), Akhsal Premadianti Wibowo (182121190)
3
Istina Rakhmawati, “Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak”, Jurnal Bimbingan
Konseling Islam, Vol. 6, No. 1, Juni 2015. hlm. 2. 1-18.
4
Achmad Muhajir, “Hadhanah dalam Islam: Hak Pengasuhan Anak dalam Sektor
Pendidikan Rumah”, Jurnal SAP, Vol. 2, No. 2, Desember 2017. hlm. 165. 165-173.

1
pengasuhan anak?; Bagaimana mengenai upah hadhanah atau
mengasuh anak?; Berapa lama masa hadhanah atau pengasuhan anak?
B. Pembahasan
1. Definisi Hadhanah atau Pengasuhan Anak
Dalam Bahasa Arab, istilah pengasuhan anak disebut
dengan al-hadhanah yang berasal dari al-hidnu yang artinya
“sesuatu yang diletakkan diantara ketiak dan pinggul”. Sedangkan
menurut fuqaha, hadhanah adalah aktivitas untuk menjaga anak
laki-laki dan perempuan atau orang idiot yang tidak mumayiz dan
tidak mandiri, serta aktivitas untuk menjamin kemaslahatan anak-
anak, menjaganya dari segala sesuatu yang menyakiti dan
membahayakan, mendidik jiwa, raga, dan akalnya agar ia bisa
bangkit dalam realitas kehidupan dan dapat melaksanakan
tanggung jawabnya dengan baik.5
Pengasuhan merupakan hak bagi setiap anak karena mereka
sangat membutuhkan kepada orang yang menjaga, melindungi,
serta memenuhi kebutuhan dan pendidikan mereka. Sementara itu,
ibu dari anak-anak lebih berhak daripada orang lain dalam
mengasuh mereka. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu (Kaum Ibu)
lebih berhak dalam mengasuh anakmu.” Jika pengasuhan anak
merupakan hak bagi si anak, maka ibunya wajib mengasuhnya
apabila hanya sang ibu yang sah untuk mengasuhnya.6
2. Dasar Hukum Hadhanah atau Pengasuhan Anak
Hadhanah yang disepakati oleh ulama fiqh menyatakan
bahwa pada prinsipnya hukum merawat anak dan mendidik anak
adalah kewajiban bagi kedua orang tuanya. Karena apabila anak
yang masih kecil, belum mumayiz yang tidak dirawat dan dididik
dengan baik, maka akan berakibat buruk pada diri dan masa depan
anak bahkan dapat mengancam eksistensi jiwa mereka. Oleh sebab

5
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid III, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm. 667.
6
Ibid., hlm. 668.

2
itu, anak-anak tersebut wajib dipelihara, dirawat, dan dididik
dengan baik.7
Allah SWT berfirman:
ِ ٌ‫ارةُ َعلَ ْي َها َماَل ئِ َكةٌ ِغاَل ظ‬
‫شدَا ٌد‬ ُ َّ‫س ُك ْم َوأَ ْهلِي ُك ْم نَا ًرا َوقُو ُدهَا الن‬
َ ‫اس َوا ْل ِح َج‬ َ ُ‫يَا أَيُّ َها الَّ ِذينَ آ َمنُوا قُوا أَ ْنف‬
َ‫اَل يَ ْعصُونَ هَّللا َ َما أَ َم َر ُه ْم َويَ ْف َعلُونَ َما يُؤْ َمرُون‬
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)
Firman Allah tersebut menjelaskan bahwa setiap manusia
mukmin mempunyai beban kewajiban dan tanggung jawab
memelihara diri dan keluarga, dalam bentuk apapun dapat api
neraka karena apa neraka mempunyai kekuatan membakar. Api
dapat membuat diri dan jiwa manusia menderita atau sengsara,
yang bertanggung jawab atas semuanya adalah manusia itu sendiri.
Untuk memelihara dirinya dan keluarganya (anak-anak dan
istrinya) dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh anggota
keluarganya melaksanakan perintah-perintah Allah dan
meninggalkan Larangan-Nya.8
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya wajib,
sebab mengabaikannya berarti menghadapkan anak-anak yang
masih kecil kepada bahaya kebinasaan. Hadhanah merupakan hak
bagi anak-anak yang masih kecil, karena ia masih membutuhkan
pengawasan, penjagaan, pelaksanaan urusannya dari orang yang
mendidiknya. Dalam kaitan ini terutama ibunya yang berkewajiban
melakukan hadhanah.9

7
Andi Samsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
(Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 115.
8
Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003), hlm.
177.
9
Tihami dan Sahari Sahrani, Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (Jakarta:
Rajawali Pres, 2010), hlm. 217.

3
Seseorang yang menjadi pengasuh anak baik anak tersebut
yatim atau tidak, ia berkewajiban untuk memelihara anak tersebut
dari hal yang merugikannya, baik ia rugi dalam hal pendidikan
dalam arti tidak menikmati pendidikan, tidak memiliki kesehatan
dan lain sebagainya. Apalagi anak tersebut ditinggalkan dengan
harta yang cukup oleh orang tuanya. Kewajiban bagi pengasuh
anak untuk memelihara hak anak tersebut terhadap hartanya. Suatu
keharusan bagi orang tua untuk memberikan wasiat kepada orang
yang dapat dipercaya dalam hal pengasuhan anak agar ada
kemaslahatan bagi anak dan anak tidak tersia-siakan.
3. Pihak yang Berhak Mengasuh Anak
Bentuk pendidikan yang paling tinggi adalah pendidikan
anak di pangkuan kedua orang tuanya. Hal itu karena kedua orang
tua akan berusaha dengan maksimal menjaga anaknya agar
fisiknya dapat tumbuh dengan baik. Jika terjadi perceraian antara
suami-istri, sedangkan mereka memiliki seorang anak, maka orang
yang lebih berhak mengasuhnya adalah sang Ibu, selama tidak ada
hal yang mengalangi haknya untuk mengasuh dan mendidiknya.10
Alasan didahulukannya Ibu dalam mengasuh adalah karena
ia lebih bijak, lebih mampu, dan lebih sabar dalam mendidik anak
daripada kaum laki-laki. Selain itu, Ibu lebih banyak memiliki
waktu luang bagi sang anak daripada ayahnya. Karena itu, Ibu
didahulukan dalam mengasuh anak demi menjaga kemaslahatan
anak itu, seperti yang telah dijelaskan pada hadits ini: Rasulullah
SAW bersabda yang artinya,
“Kamu lebih berhak untuk mengasuh anakmu selama
engkau belum dinikahi lagi (oleh suami lain).” (HR. Ahmad)
Apabila hak pengasuhan anak pada dasarnya diserahkan
kepada ibunya, para ulama juga memberikan penjelasan bahwa
kerabat dari pihak ibu lebih didahulukan daripada kerabat dari

10
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 669.

4
pihak ayah dalam pengasuhan anak. Berikut merupakan susunan
kerabat yang berhak mengasuh anak:
a. Ibu
b. Nenek dari pihak Ibu
c. Nenek dari pihak Ayah
d. Saudari seayah dan seibu
e. Saudari seibu
f. Saudari seayah
g. Anak perempuan dari saudari kandung (keponakan)
h. Anak perempuan dari saudari seibu
i. Bibi kandung dari pihak ibu
j. Bibi dari pihak ibu yang seibu
k. Bibi dari pihak ayah
l. Anak perempuan dari saudari seayah
m. Anak perempuan dari saudara sekandung
n. Anak perempuan dari saudara seibu
o. Anak perempuan dari saudara seayah
p. Bibi kandung dari pihak ayah
q. Bibi dari pihak ayah yang seibu
r. Bibi dari pihak ayah yang seayah
s. Bibi ibu dari pihak ibu
t. Bibi ayah dari pihak ayah
u. Bibi ibu dari pihak ayah
v. Bibi ayah dari pihak ayah
Jika tidak ada ‘ashabah’ seperti yang disebutkan diatas,
atau ada, tapi ia belum sah untuk mengasuh anak, maka hak
pengasuhannya beralih kepada kerabat laki-laki yang bukan
‘ashabah. Jadi, urutan hak pengasuhan anak beralih kepada kakek
seibu, kemudian saudara laki-laki seibu, kemudian anak laki-laki
dari saudara seibu, kemudian paman seibu, kemudian paman
kandung dari pihak ibu, kemudian paman dari pihak ibu yang

5
seayah, kemudian paman dari pihak ibu yang seibu. Namun, bila si
anak tidak juga memiliki kerabat, maka hakim akan menunjuk
seorang perempuan yang akan mengasuhnya.
Didahulukannya para wali daripada pihak kerabat yang lain
karena sejak awal mereka telah diberi kekuasaan untuk
memikirkan hal-hal yang dapat memberikan kebaikan bagi si anak.
Jika para wali tidak ada, atau ada, tapi mereka belum sah untuk
mengasuh anak, maka hak pengasuhannya beralih kepada kerabat
terdekat setelahnya. Begitulah seterusnya. Namun, bila tidak juga
ada kerabat yang berhak mengasuh si anak, maka hakim akan
bertanggung jawab untuk menentukan orang yang pantas
memegang hak asuh.
4. Rukun dan Syarat Hadhanah atau Pengasuhan Anak
a. Rukun Hadhanah
Terdapat dua rukun pada hadhanah, yaitu: Orang tua
yang mengasuh disebut dengan hadhin, dan anak yang diasuh
disebut mahdhun.11
b. Syarat-syarat Hadhanah
Agar hadhanah dapat terlaksana dengan baik, maka
diperlukan syarat-syarat bagi hadhinin (Bapak asuh) atau
hadhinan (Ibu asuh). Berikut adalah syarat-syaratnya:
1) Syarat Bagi yang Mengasuh
Mengenai syarat-syarat bagi pengasuhnya baik
orang tua (ayah dan ibu), ada beberapa pendapat dari para
fuqaha, yaitu: baligh, berakal, memiliki kemampuan dalam
mengasuh dan mendidik anak, dapat dipercaya memegang
amanah dan berakhlak baik, harus beragama Islam.12

11
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2006), hlm. 328.
12
Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Heove,
1999), hlm. 417.

6
Selain itu, ada syarat khusus bagi pengasuh wanita,
yaitu: Wanita itu tidak menikah lagi dengan laki-laki lain;
Wanita itu harus memiliki hubungan mahram dengan anak
yang dipeliharanya; Wanita itu tidak pernah berhenti
meskipun tidak diberi upah; Wanita tidak dapat mengasuh
anak-anak dengan sikap yang tidak baik, seperti pemarah,
orang yang dibenci oleh anak tersebut atau membenci anak-
anak.13
Di sisi lain, ada pula syarat bagi laki-laki, menurut
para ahli fiqh yaitu: Pengasuh harus didampingi oleh wanita
lain dalam mengasuh anak itu seperti ibunya, bibinya, atau
istri dari laki-laki tersebut; Apabila anak itu wanita
disyaratkan berusia 7 tahun sehingga tidak menimbulkan
fitnah antara pengasuh dengan anak yang diasuh.14
2) Syarat Anak yang Diasuh
Yang dimaksud anak yang diasuh adalah anak yang
belum mumayyiz, baik anak laki-laki maupun perempuan.
Anak tersebut masih berusia dibawah 7 tahun dan belum
bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
bagi dirinya, sehingga anak tersebut membutuhkan
pengasuhan dari orang tuanya atau orang yang berhak
mengasuhnya.15
5. Upah Hadhanah atau Pengasuhan Anak
Secara hukum, pengambilan upah dalam hal pengasuhan
anak sama dengan pengambilan upah dalam hal penyusuan anak.
Oleh karena itu, seorang ibu tidak berhak untuk mendapatkan upah
susuan selama ia masih menjadi istri atau berada dalam massa
iddah. Hal ini dilakukan karena bila ia masih resmi menjadi istri

13
Wahbah al-Zuhaili, Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm.
68-69.
14
Abdul Azis Dahlan, op. cit., hlm. 418.
15
Zakia Daradjat, Ilmu Fiqh, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 51.

7
dan berada dalam masa iddah dari suaminya, seperti disebutkan di
dalam firman Allah berikut ini:

‫ضا َع َة ۚ َو َعلَى ا ْل َم ْولُو ِد لَ ُه‬ َّ ‫َوا ْل َوالِدَ اتُ ُي ْرضِ ْعنَ أَ ْواَل َدهُنَّ َح ْولَ ْي ِن َكا ِملَ ْي ِن ۖ لِمَنْ أَ َرادَ أَنْ ُيتِ َّم‬
َ ‫الر‬
ْ ‫ِر ْزقُهُنَّ َوك‬
ِ‫ِس َو ُتهُنَّ بِا ْل َم ْع ُروف‬

Artinya : “Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya


selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara
sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian
mereka dengan cara yang patut...” (Q.S Al-Baqarah: 233)
Adapun jika masa iddah perempuan itu sudah berakhir,
maka ia berhak mendapatkan upah pengasuhan anak, seperti upah
menyusui. Hal ini seperti yang telah disebutkan firman Allah
berikut ini:
َ ‫ض ْعنَ َل ُك ْم َفآ ُتوهُنَّ أ ُ ُج‬
ۖ َّ‫ورهُن‬ َ ‫ض ْعنَ َح ْملَهُنَّ ۚ َفإِنْ أَ ْر‬ َ ‫ت َح ْم ٍل َفأ َ ْنفِقُوا َعلَ ْي ِهنَّ َح َّت ٰى َي‬
ِ ‫َوإِنْ ُكنَّ أُواَل‬
‫س ُت ْرضِ ُع َل ُه أُ ْخ َر ٰى‬ َ ‫َو ْأ َت ِم ُروا َب ْي َن ُك ْم ِب َم ْع ُروفٍ ۖ َوإِنْ َت َع‬
َ ‫اس ْر ُت ْم َف‬
Artinya: “....Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka
nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya.” (Q.S Ath-
Thalaq: 6)
Sementara itu, perempuan yang mengasuh seorang anak
(dalam hal ini perempuan yang bukan merupakan ibu dari anak
yang diasuh) berhak mendapatkan upah sejak awal ia mengasuh
anak. Hal itu pengambilan upah oleh perempuan yang menjadi ibu
susuan bagi seorang anak. Dengan demikian, upah pengasuhan dan
susuan harus dibayar oleh ayah sang anak, maka ia juga wajib
menanggung biaya sewa rumah, atau bila memungkinkan, maka ia
juga menyediakannya. Hal itu dilakukan apabila perempuan yang

8
mengasuh atau menyusui anak tidak memiliki rumah sendiri untuk
dijadikan sebagai tempat bagi pengasuhan anak itu. Begitu pula oa
wajib memberi upah kepada pembantu atau ia wajib mendatangkan
pembantu yang lain. Hal ini berlaku jika perempuan pengasuh
memerlukan pembantu, sementara ayah sang anak mampu
memenuhi hal itu.16
Seluruh upah diatas merupakan biaya di luar keperluan
khusus sang anak, seperti makanan, pakaian, obat-obatan, dan
keperluan penting yang lain yang sangat dibutuhkan oleh sang
anak. Begitu pula seluruh upah tadi berlaku sejak awal pengasuhan
dan tetap berada dalam tanggungan sang ayah. Tanggungan itu pun
tidak akan gugur, melainkan bila telah ia lunasi ataupun telah
direlakan oleh perempuan pengasuh apabila tidak dipenuhi.
6. Masa Hadhanah atau Pengasuhan Anak
Didalam Al-qur’an serta hadist secara tegas tidaklah
terdapat tentang masa hadhanah, hanya saja terdapat isyarat-isyarat
yang menerangkan ayat tersebut. Oleh karena itu hanya saja para
ulama berijtihad sendiri-sendiri, seperti halnya mazhab Hanafi
berpendapat bahwa hadhanah anak laki-laki habis pada waktu dia
tidak memerlukan penjagaan serta dapat mengurus kepentingan
pribadinya, sedangkan wanita habis pada saat haid pertamanya.
Sedangkan pendapat para mazhab Imam Syafi’i.
Hadhanah atau pengasuhan anak dianggap berakhir apabila
sang anak tidak lagi membutuhkan ayoman seorang perempuan,
serta apabila ia telah menjadi orang yang mumayyiz dan mandiri.
Ukuran mumayyiz dan mandiri adalah apabila sang anak mampu
memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti makan, mengenakan
pakaian sendiri, dan dapat menjaga kebersihan dirinya. Karena itu,
tidak ada ketentuan waktu secara pasti dalam masa berakhirnya
hadhanah atau pengasuhan anak.

16
Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 678.

9
Adapun fatwa yang bersumber dari mazhab Hanafi dan
ulama lain menyatakan bahwa masa pengasuhan dikatakan sudah
berakhir bila anak laki-laki mencapi usia tujuh tahun, dan anak
perempuan mencapai usia sembilan tahun. Sementara itu, pendapat
mereka yang memutuskan bahwa harus ada tambahan usia bagi
anak perempuan, karena dia dapat belajar untuk mengasuh anak,
seperti pengasuhan yang biasa dilakukan oleh para perempuan.
C. Penutup
1. Kesimpulan
Hadhanah atau pengasuhan anak adalah aktivitas mengasuh
anak yang belum mumayyiz dalam segala urusannya. Mengasuh
anak hukumnya wajib, sebab mengabaikannya berarti
menghadapkannya kepada bahaya. Orang yang mengasuh (hadhin
dan hadhinan) harus memiliki rasa kasih sayang, kesabaran, dan
mempunyai keinginan agar anak itu menjadi anak yang baik.
Syarat bagi pengasuh adalah: baligh, berakal, memiliki
kemampuan dalam mengasuh dan mendidik anak, dapat dipercaya
memegang amanah dan berakhlak baik, harus beragama Islam.
Selain itu, hadhanah juga memiliki masa berlaku.
Hadhanah akan berakhir apabila sang anak sudah tidak lagi
membutuhkan pelayanan, telah dewasa, dan dapat membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk bagi dirinya.
D. Daftar Pustaka
Rakhmawati, Istina. 2015. “Peran Keluarga dalam Pengasuhan Anak”.
Jurnal Bimbingan Konseling Islam. 6(1). 1-18.
Muhajir, Achmad. 2017. “Hadhanah dalam Islam: Hak Pengasuhan Anak
dalam Sektor Pendidikan Rumah”. Jurnal SAP. 2(2). 165-173.
Sabiq, Sayyid. 2018. Fiqih Sunnah Jilid III. Jakarta: Republika Penerbit.
Andi Samsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 115.
Rahman Ghazaly, Abdul. Fiqh Munakahat. 2003. Jakarta: Prenada Media
Group.

10
Tihami dan Sahari Sahrani. 2010. Fiqh Munakahat: Kajian Fiqh Nikah
Lengkap. Jakarta: Rajawali Pres.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta:
Prenada Media Group.
Azis Dahlan, Abdul.1999. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru
Van Heove.

11

Anda mungkin juga menyukai