Anda di halaman 1dari 13

HADHANAH

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah

PENGANTAR HUKUM KELUARGA ISLAM

DISUSUN OLEH :

Kelompok 3

Asep Rohana

Ardi Pahrizal

Yoga Gustiadi

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


NAHDATUL ULAMA
TASIKMALAYA
TAHUN
2022
KATA PENGANTAR

Bismillahhirrahmanirrahim
Alhamdulillah puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT.
yang melimpahkan taufik dan hidayah-Nya kepada kami sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik kendatipun sangat sederhana.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kehadirat junjungan
kita Nabi Muhammad SAW. sebaik-baiknya insan lintang pemimpin bagi umat
manusia karena berkat beliaulah kita masih dapat merasakan nikmatnya Islam.
Dalam makalah ini Saya membahas tentang “Hadhanah (Hak asuh anak).”
Selanjutnya kami haturkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu
menyelesaikan makalah ini.
Namun pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan karena
tidak ada kesempurnaan sedikitpun di dunia ini. Dengan ini saya mengharap kritik
dan saran untuk lebih memotivasi saya kedepan, terutama untuk dosen
pembimbing. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, Amin...

Tasikmalaya , November 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………..………….…………ii

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….iii

BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang………………………………………………….…………1
B.     Rumusan Masalah……………………………………………….………..1
C.     Tujuan Penulisan……………………………………………..….………..1

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………..………2
A.    Pengertian Hadhanah…………………..………………………...……….2
B.     Dasar Hukum Hadhanah……………………………………..….………..2
C.     Syarat-Syarat Hadhanah………………………………………….……….3
D.    Yang berhak dalam hadhanah…………………………………….………4
E.     Masa Hadhanah…………………………………………………………..6
F.      Upah hadhanah…………………………………………………………...7

BAB III PENUTUP………………………………………………………..……9


A.    Kesimpulan..................................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................10

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pemeliharaan seorang anak sangat penting untuk dilaksanakan baik oleh


ibunya ataupun dari bapaknya, akan tetapi sering kali terjadi pendidikan anak
dinomer duakan dari sebuah pekerjaan yang di anggap lebih penting dan
merupakan tuntutan hidup untuk dirinya dan keluarganya, sehingga tidak jarang
terjadi pengasuhan, pendidikan seorang anak terlantar disebabkan karena keadaan
yang tidak memungkinkan atau bahkan dengan sengaja dikesampingkan.
Sehingga untuk itu perlu adanya kewajiban dalam pengasuhan anak
tersebut, untuk itu kita sebagai insan yang berpengetahuan sangat penting kiranya
kita membahas tentang hadhanah atau pemeliharaan anak sejak ia lahir sehingga
seorang dapat untuk tidak membutuhkan jasa orang lain dalam urusan
keperluannya sendiri.

B.    Rumusan Masalah


A. Pengertian hadhanah?
B.Hukum – hukum hadhanah?
C.Syarat syarat Hadanah?
D. Orang yang berhak mengasuh ?

C.     Tujuan Penulisan


A. Untuk mengetahui pengertian Hadhanah

B. Untuk mengetahui hukum Hadhanah

C. Untuk mengetahui syarat-syarat hadhanah

D. Untuk mengetahui orang yang berhak mengasuh

1
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Hadhanah


Hadhanah secara bahasa, berarti meletakkan sesuatu di dekat tulang rusuk atau
di pangkuan, karena Ibu waktu menyusukan anaknya meletakkan anak itu di
pangkuannya, seakan-akan Ibu disaat itu melindungi dan memelihara anaknya
sehingga “Hadhanah” dijadikan istilah yang maksudnya: pendidikan dan
pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri, yang dilakukan
oleh kerabat anak itu sendiri.
Para Ulama’ Fiqih mendifinisikan ;Hadhanah sebagai tindakan pemeliharaan
anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki atau perempuan atau yang sudah besar
tetapi belum Mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya,
menjaganya dari sesuatu yang menyakiti, mendidik jasmani dan rohani, agar
mampu berdiri sendiri serta bisa mengemban tanggung jawab.1

B.     Dasar Hukum Hadhanah


Hadhanah (pengasuhan anak) hukumnya wajib, karena anak yang masih
memerlukan pengasuhan ini akan mendapatkan bahaya jika tidak mendapatkan
pengasuhan dan perawatan, sehingga anak harus dijaga agar tidak sampai
membahayakan. Selain itu ia juga harus tetap diberi nafkah dan diselamatkan dari
segala hal yang dapat merusaknya
Dasar hukum ini disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim, sebagaimana
firman Allah yang berbunyi;

َ ‫ النَّاسُ َو ْال ِح َج‬U‫ٰيٓاَيُّهَا الَّ ِذ ْينَ ٰا َمنُوْ ا قُ ْٓوا اَ ْنفُ َس ُك ْم َواَ ْهلِ ْي ُك ْم نَارًا َّوقُوْ ُدهَا‬
ُ‫ارة‬

artinya; hai orang-orang yan beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. Al-Tahrim:
6).

1 Prof. Dr.H.M.A.Tihami M.A. M.M, dan Drs.Sohami Sahrani,M.M. M.H, fiqih munakahat, cet ke 2 (Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2010)
hlm.,215-216

2
Sudah jelas kiranya dalam ayat ini para orang tua diperintahkan Allah SWT.
untuk memelihara keluarganya dari api neraka, dengan berusaha agar seluruh
anggota keluarganya itu melaksanakan perintah-perintah tuhan dan menjauhi
larangannya, dan dalam ayat ini yang disebut keluarga adalah seorang anak.2
Seorang Hadhanah (Ibu) yang Menangani dan Menyelenggrakan Kepentingan
Anak Kecil yang Diasuhnya, yaitu Kecakapan dan Kecukupan.
Kecukupan dan kecakapan juga memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika
syarat-syarat tertentu ini tidak terpenuhi satu saja maka gugurlah kebolehan
menyelenggarakan Hadhanahnya.

C.    Syarat-syarat Hadhanah


1.      Berakal Sehat
Jadi bagi orang yag kurang akal seperti gila, keduanya tidak boleh
menangani Hadhanah. Karena mereka tidak dapat mengurusi dirinya sendiri,
sebab itu ia tidak boleh diserahi mengurusi orang lain. Sebab orang yang punya
apa-apa tentulah ia tidak punya apa-apa untuk diberikan kepada orang lain.
2.      Dewasa
Sebab anak kecil sekalipun Mumayyiz, tetapi ia tetap membutuhkan orang
lain yang mengurusi urusannya dan mengasuhnya, karena itu dia tidak boleh
menangani urusan orang lain.
3.      Mampu Mendidik
Karena itu tidak boleh menjadi pengasuh orang yang buta atau rabun, sakit
menular atau sakit yang melemahkan jasmaninya untuk mengurus kepentingan
anak kecil, tidak berusia lanjut, yang bahkan ia sendiri juga perlu diurus oleh
orang lain.
4.      Amanah dan Berbudi
Sebab orang yang curang tidak aman bagi anak kecil dan tidak dapat
dipercaya akan dapat menunaikan kewajibannya dengan baik. Bahkan nantinya si
anak dapat meniru atau berkelakuan seperti orang yang curang itu

2 Ibid hlm.,216

3
5.      Islam
Anak Muslim tidak boleh diasuh oleh orang yang bukan Muslim, sebab
Hadhanan adalah masalah perwalian. Sedangkan Allah tidak membolehkan orang
mukmin dibawah perwalian orang kafir. Hal ini berdasar pada firman Allah dalam
surat Annisa’ ayat 141:
َ‫َولَ ْن يَّجْ َع َل هّٰللا ُ لِ ْل ٰكفِ ِر ْينَ َعلَى ْال ُمْؤ ِمنِ ْين‬

“ dan Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir menguasai
orang-orang mukmin. (QS. Annisa’: 141).
Dalam riwayat lain juga ditegaskan dalam sebuah Hadist:

ِّ َ‫سانِ ِه َأ ْو يُن‬
‫ص َرانِ ِه‬ َ ‫ فََأبَ َواهُ يُ َه ِّودَانِ ِه َأ ْو يُ َم ِّج‬،‫ُك ُّل َم ْولُ ْو ٍد يُ ْولَ ُد َعلَى ا ْلفِ ْط َر ِة‬

'‘setiap anak dilahirkan dalam keadaan Fitrah, hanya ibu bapaknyalah


yang menjadikan mereka Yahudi, Nasrani, atau Majusi.’’
6.      Ibunya tidak kawin lagi, jika si ibu telah kawin lagi dengan laki-laki lain.
7.      Merdeka,
Sebab seorang budak biasanya sangat sibuk dengan urusan-urusan tuannya,
sehingga ia tidak punya kesempatan untuk mengasuh anak kecil.3

D.    Yang Berhak Dalam Hadhanah


Para Ulama’ berbeda pendapat tentang siapa yang berhak terhadap
Hadhanah, apakah yang berhak itu Hadhin atau Mahdhun (anak). Sebagian
pengikut Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Hadhanah itu merupakan hak anak,
sedangkan menurut Syafi’i, Ahmad, dan sebagian pengikut Madzhab Maliki
berpendapat bahwa yang berhak terhadap Hadhanah itu adalah Hadhin.
Jika memperhatikan maksud ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadist, maka dapat
dipahami bahwa, Hadhanah itu disamping hak Hadhin, Hadhanah juga merupakan
hak Mahdhun (anak). Dari itu Hadhin berhak mendapatkan pahala dari anaknya
meskipun ia telah meninggal dunia, jika ia berhasil mendidik anaknya menjadi
orang yang taqwa dikemudian hari.

3 Sayyid Sabid, Fiqih Sunnah, vol 8, (Bandung, PT.Al-Ma’arif, 1980), hlm.,179-184

4
Dasar urutan orang yang berhak melakukan Hadhanah dari empat Madhab
adalah;

1. Kalangan Madzhab Syafi’i


Berpendapat bahwa hak anak asuh dimulai dari :
a. Ibu kandung.
b. Nenek dari pihak ibu.
c. Nenek dari pihak ayah.
d. Saudara perempuan.
e. Bibi dari pihak ibu.
f. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
g. Anak perempuan dari saudara perempuan.
h. Bibi dari pihak ayah.4
2. Kalangan Madzhab Hanafi
Berpendapat bahwa orang yang paling berhak mengasuh anak adalah :
a. Ibu kandungnya sendiri.
b. Nenek dari pihak ibu.
c. Nenek dari pihak ayah.
d. Saudara perempuan (kakak perempuan).
e. Bibi dari pihak ibu.
f. Anak perempuan saudara perempuan.
g. Anak perempuan saudara laki-laki.
h. Bibi dari pihak ayah.
3. Kalangan Madzhab Maliki
Berpendapat bahwa urutan hak anak asuh dimulai dari :
a. Ibu kandung.
b. Nenek dari pihak ibu.
c. Bibi dari pihak ibu.
d. Nenek dari pihak ayah.
e. Saudara perempuan.

4 Ibid hlm.,220

5
f. Bibi dari pihak ayah.
g. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
h. Penerima wasiat.
i. Dan kerabat lain (ashabah) yang lebih utama.
4. Kalangan Madzhab Hambali
a. Ibu kandung.
b. Nenek dari pihak ibu.
c. Kakek dan ibu kakek.
d. Bibi dari kedua orang tua.
e. Saudara Perempuan Se Ibu.
f. Saudara perempuan seayah.
g. Bibi dari ibu kedua orangtua.
h. Bibinya ibu.
i. Bibinya ayah.
j. Bibinya ibu dari jalur ibu.
k. Bibinya ayah dari jalur ibu.
l. Bibinya ayah dari pihak ayah.
m. Anak perempuan dari saudara laki-laki.
n. Anak perempuan dari paman ayah dari pihak ayah.
o. Kemudian kalangan kerabat dari urutan yang paling dekat.
Urutan yang berhak dalam Hadhanah ini memang lebih dekat kepada
seorang ibu atau wanita

E.     Masa Hadhanah


Dalam masalah masa atau waktu ini dalam Al-Qur’an tidak dijelaskan secara
jelas, hanya saja terdapat isyarat-isyarat yang menerangkan ayat tersebut,
sehingga para Ulama’ berijtihad sendiri-sendiri dalam menetapkan dengan
berpedoman kepada isyarat itu. Seperti menurut Imam Hanafi, masa Hadhanah
anak laki-laki berakhir ketika anak itu tidak lagi memerlukan penjagaan dan dapat
mengurus keperluannya sehari-hari, seperti makan, minum, mengatur pakaian,

6
dan lain sebagainya. Sedangkan untuk perempuan berakhir apabila sudah baligh
atau telah datang haid pertama.
Sedangkan pengikut pada generasi akhir menetapkan bahwa masa Hadhanah
itu berakhir umur 19 tahun bagi anak laki-laki. Dan 11 tahun umtuk seorang
perempuan.
Menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa masa Hadhanah itu berakhir setelah
anak itu sudah Mumayyiz, yakni berumur 5 tahun dan 6 tahun
Akan tetapi menurut undang-undang mesir tidak ada masalah dalam masa
Hadhanah selagi anak tersebut berada di antara ibu bapaknya, hanya saja masa
Hadhanah itu terjadi apabila terjadi perceraian dan terdapat perbedaan pendapat
antara keduanya, maka masa Hadhanah diserahkan kepada kebijakan hakim
dengan ketentuan minimal 7 tahun dan maksimak 9 tahu, akan tetapi meskipun
demikan kemaslahatan anak itu lebih diutamakan.5
Lain halnya dengan batas hadhanah menurut KHI pasal 98 yang menjelaskan
bahwa batas usia berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak itu
tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.6

F.     Upah Hadhanah


Seorang ibu tidak berhak menerima upah Hadhanah dan menyusui, selama
ia masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam masa
Iddah. Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri
atau nafkah masa Iddah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-
Baqarah ayat 233:

‫َّضا َعةَ ۗ َو َعلَى ْال َموْ لُوْ ِد‬


َ ‫ض ْعنَ اَوْ اَل َده َُّن َحوْ لَي ِْن َكا ِملَ ْي ِن لِ َم ْن اَ َرا َد اَ ْن يُّتِ َّم الر‬ ُ ‫َو ْال ٰولِ ٰد‬
ِ ْ‫ت يُر‬

ِ ۗ ْ‫لَهٗ ِر ْزقُه َُّن َو ِك ْس َوتُه َُّن بِ ْال َم ْعرُو‬


‫ف‬

Artinya : para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama 2 tahun penuh,


yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi

5 Ibid hlm.,224-225
6 Rofiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998),
hlm., 235

7
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS. AL-
Baqarah: 233).7
Adapun sesudah masa Iddahnya, maka ia berhak atas upah itu seperti
haknya kepada upah menyusui, Allah SWT, berfirman dalam surat At-Thalaq ayat
6:
‫ض ُع لَهٗ ٓ اُ ْخ ٰر ۗى‬ ٍ ۚ ْ‫ بَ ْينَ ُك ْم بِ َم ْعرُو‬U‫فَ ٰاتُوْ ه َُّن اُجُوْ َره ۚ َُّن َوْأتَ ِمرُوْ ا‬
ِ ْ‫ف َواِ ْن تَ َعا َسرْ تُ ْم فَ َستُر‬

Artinya: maka berikanlah upah kepada merreka upahnya, dan


musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik, dan jika kamu
menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan anak itu, untuknya.
(QS. AT-Thalaq).8
Karena wanita yang sudah sampai masa Iddahnya, disamakan dengan seorang
yang bekerja untuk orang lainnya, dan ayah dari anak itu berkewajiban untuk
membayar upah tersebut.

BAB III
PENUTUP

7 Ibid hlm.,184-185
8 Ibid hlm.,226

8
A.    Kesimpulan
Anak adalah seorang yang wajib untuk dilindungi dari segala yang dapat
menyulitkan dirinya, untuk dapat memberikan suatu kebaikan yang dilakukna
oleh kedua orang tuanya, dan dengan adanya Hadhanah sangat penting kiranya
Hadhanah ini diserahkan kepada pihak ibu, karena Hadhanah ini merupaka
pekerjaan yang membutuhkan sangat tanggung jawab dan ketelatenan dalam
melakukannya..
Dan kenapa sebabnya perempuan itu lebih berhak daripada laki-laki, karena
perempuan lebih pantas dalam hal urusan ini. Lebih pandai, lebih sabar dan lebih
cinta kepada anak-anaknya, sesuai dengan sabda-sabda Nabi yang telah dijelaskan
diatas. Dan semua yang tersebut diatas adalah apabila anak itu belum baligh yaitu
umur 15 tahun, apabila ia sudah baligh, maka lebih baik segala urusannya
diserahkan kepada dirinya sendiri.

9
DAFTAR PUSTAKA

Rasjid,Sulaiman H : Fiqh Islam, Sinar Baru, Algensindo, 1994


Prof, Dr, H M A Tihami, dan Drs Sohari, MM M.H :Fikih Munakahat,
Raja wali Pers, Jakarta 2010
Sabiq, Sayid: Fiqh Sunnah, Jilid 8, PT Al Ma’arif, Bandung 1980
Rafiq, Ahmad ; Hukum Islam Di Indonesia, Raja Grafindo, Jakarta 1998

10

Anda mungkin juga menyukai