Anda di halaman 1dari 19

Sejarah Pertumbuhan ilmu hadits

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah


ULUMUL HADITS

DISUSUN OLEH :
Kelompok 3
Asep Rohana
Ardi Pahrizal
Yoga Gustiadi
SEMESTER 1 HUKUM KELUARGA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


NAHDATUL ULAMA TASIKMALAYA
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT,
karena atas rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah
ULUMUL HADITS yang berjudul “Sejarah Pertumbuhan ilmu hadis“
Dalam penyelesaian makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dan
bimbingan dari beberapa pihak, untuk itu melalui kata pengantar ini penulis
mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan makalah ini . Dan tidak pula
penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah ULUMUL
HADITS.
Sebagai bantuan dan dorongan serta bimbingan yang telah diberikan
kepada penulis dapat diterima dan menjadi amal sholeh dan diterima Allah
sebagai sebuah kebaikan. Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penulis
dan semua pembaca pada umumnya.

Tasikmalaya, 2022

Penulis
Kelompok 3 ( tiga )

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

A. Latar Belakang.................................................................................................1

B. Rumusan Masalah............................................................................................1

C. Tujuan Pembahasan.........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................2

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist................................................................2

B. Perkembangan hadist pada masa Rasululloh......................................................6

C. Perkembangan masa periode sahabat................................................................6

D.Perkembangan hadis pada masa Tabi'in...........................................................8

E. perkembangan hadist pada masa kodifikasi.....................................................9

BAB III PENUTUP..............................................................................................14

A. Kesimpulan....................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................16

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Segala ucapan, perbuatan, ketetapan bahkan apa saja yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW menjadi uswah bagi para sahabat dan umat islam yang kita kenal
sebagai hadits. Pada masa Rasulullah masih hidup, hadits belum mendapat
perhatian dan sepenuhnya seperti Al-Qur'an. Para sahabat khususnya yang
mempunyai tugas istimewa menghafal Al-Qur'an, selalu mencurahkan tenaga dan
waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur'an di atas alat-alat yang mungkin
dipergunakannya.
Tetapi tidak demikian dengan al-Hadits, walaupun para sahabat
memerlukan petunjuk-petunjuk dan keterangan dari Nabi Saw dalam menafsirkan
dan melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam AI¬Qur'an. Mereka belum
membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama hadits
belum diabadikan dalam tulisan. Baru setelah beberapa dekade usai wafatnya
Nabi Saw muncul inisiatif-inisiatif untuk menulis hadits. Penulisan hadits ini pun
dilaksanakan secara bertahap seiring dengan makin banyaknya sahabat yang
wafat, penulisan hadits makin dilakukan guna menghindari adanya kerancuan
pendapat bagi generasi umat islam setelahnya dalam memecahkan permasalahan.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist ?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadist pada masa rasululloh?
3. Bagaimana perkembangan hadist pada masa sahabat dan tabiin?
4. Bagaimana perkembangan hadist pada masa kodifikasi ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist.
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadis pada masa Rasululloh
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadis pada masa sahabat dan
tabi’in
4. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadis pada masa kodifikasi

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Ilmu Hadist


Hadist sebagai suatu informasi, memiliki metodoliogi untuk menentukan
keotentikan periwayatannya yang dikenal dengan Ulum al- Hadist, yang
merupakan bentuk manajemen infomasi. Hanya saja, pada masa Rasulullah SAW
sampai sebelum pembukuan Ulumul Al-hadist istilah Ulum al-hadist, jelas belum
ada. Akan tetapi prinsip-prinsip yang telah berlaku pada masa itu sebagai acuan
untuk menyikapi suatu informasi yang telah ada.1
Pada dasarnya hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadist di
dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan perlunya
menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran hadist-
hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan
pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-
kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima hadist, namun mereka belum
menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Dasar dan landasan periwayatan hadist di dalam Islam dijumpai di dalam
Al-Qur’an dan hadist Rasul Saw.
Di dalam surah al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintahkan orang-orang yang
beriman untuk meneliti dan mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-
orang yang fasik :
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu
berita maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaan ( yang sebenarnya) yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu” (QS. Al-Hujurat [49] : 6)
Di samping itu, Rasul Saw juga mendorong serta menganjurkan para
sahabat dan yang lainnya yang mendengar atau menerima hadist-hadist beliau
untuk menyampaikan atau meriwayatkannya kepada mereka yang tidak
mendengar atau mengetahuinya. Di dalam sebuah hadistnya Rasul Saw bersabda :
1
Dr. H. Ramly Abdul Wahid, MA, Studi Ilmu Hadist, Cita Pustaka Medi, Bandung
2005, hlm 52

2
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu
(hadist), lantas dia menyampaikannya (hadist tersebut) sebagaimana dia dengar,
kadang-kadang orang yang menyampaikan lebih hafal daripada orang yang
mendengar. (HR. Al-Tirmidzi)2
Apabila dicermati sikap dan aktifitas para sahabat terhadap hadist Nabi
Saw dan periwayatannya, maka dapat disimpulkan beberapa ketentuan umum
yang diberlakukan dan dipatuhi oleh para sahabat, yaitu :
1. Penyelidikan periwayatan hadist (taqlil al-riwayat) dan pembatasannya
untuk hal-hal yang diperlukan saja. Sikap ini dilaksanakan terutama dalam
rangka memelihara kemurnian hadist dari kekeliruan dan kesalahan.
Sebagaimana sabda Rasul SAW : Siapa yang berbohong atas namaku
dengan sengaja, maka ia telah menyediakan tempatnya di dalam neraka.
Selain itu, alasan lain dan bahkan lebih penting adalah pemeliharaan agar
jangan terjadi pencampur bauran antara hadist dengan Al-Qur’an, karena
Al-Qur’an pada masa itu, terutama pada masa Abu Bakar dan ‘Umar,
belum dikodifikasi secara resmi.
2. Ketelitian dalam periwayatan, baik ketika menerima atau menyampaikan
riwayat.
3. Kritik terhadap matan hadist (naqd al-riwayat). Kritik terhadap matan
hadist ini dilakukan oleh para sahabat dengan cara membandingkannya
dengan nash Al-Qur’an atau kaidah-kaidah dasar agama. Apabila terdapat
pertentangan dengan nash Al-Qur’an, maka sahabat menolak dan
meninggalkan riwayat tersebut.
Ketelitian dan sikap hati-hati para sahabat diikuti pula oleh para ulama
hadist yang datang sesudah mereka, dan sikap tersebut semakin ditingkatkan
terutama setelah munculnya hadist-hadist palsu, yaitu sekitar tahun 41 H, setelah
masa pemerintahan Khalifah Ali ra. Semenjak saat itu mulailah dilakukan
penelitian terhadap sanad hadist dengan mempraktikan ilmu al-Jarrah wa al-
Ta’dil, dan sekaligus mulai al-Jarrah wa al-Ta’dil ini tumbuh dan berkembang.

2
Ibid hal. 54

3
Setelah munculnya kegiatan pemalsuaan hadist dari pihak-pihak yang
tidak bertanggung jawab, maka beberapa aktifitas tertentu dilakukan oleh para
ulama hadist dalam rangka memelihara kemurnian hadist, yaitu seperti :
1. Melakukan pembahasan terhadap sanad hadist serta penelitian terhadap
keadaan setiap para perawi hadist, hal yang sebelumnya belum pernah
mereka lakukan.
2. Melakukan perjalanan (rihlah) dalam mencari sumber hadist agar dapat
mendengar langsung dari perawi asalnya dan meneliti kebenaran riwayat
tersebut.
3. Melakukan perbandingan antara riwayat seorang perawi dengan riwayat
perawi lain yang lebih tsiqat dan terpercaya dalam rangka untuk
mengetahui ke-dha’if-an atau kepalsuan suatu hadist. Hal tersebut
dilakukan apabila ditemukan suatu hadist yang kandungan maknanya
ganjil dan bertentangan dengan akal atau dengan ketentuan dasar agama
secara umum. Apabila telah dilakukan perbandingan dan terjadi
pertentangan antara riwayat perawi itu dengan riwayat perawi yang lebih
tsiqat dan terpercaya, maka para ulama hadist umumnya bersikap
meninggalkan dan menolak riwayat tersebut, yaitu riwayat dari perawi
yang lebih lemah itu.3
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas
prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin
Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan
membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang
sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka. Mereka memperhatikan
ketentuan-ketentuan hadist Shahih, demikian juga keadaan para perawinya. Hal
ini terutama karena telah menjadi perubahan yang besar didalam kehidupan umat
Islam, yaitu para penghapal hadist sudah mulai berkurang dan kualitas serta
tingkat kekuatan hapalan terhadap hadist pun sudah semakin menurun karena
telah menjadi percampuran dan akulturasi antara masyarakat Arab dengan non-
Arab menyusul perkembangan dan perluasan daerah kekuasaan Islam. Kondisi
yang demikian memaksa para ulama hadist untuk semakin berhati-hati dalam

3
Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur. Hal 102

4
menerima dan menyampaikan riwayat, dan mereka pun telah merumuskan kaidah-
kaidah dalam menentukan kualitas dan macam-macam hadist. Hanya saja pada
masa ini kaidah-kaidah tersebut masih bersifat rumusan yang tidak tertulis dan
hanya disepakati dan diingat oleh para ulama hadist di dalam hati mereka masing-
masing, namun mereka telah menerapkannya ketika melakukan kegiatan
perhimpunan dan pembukuan hadist.
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah
hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Yahya bin Ma’in (w.
234 H/848 M) menulis tentang tarikh al-Rijal, (sejarah dan riwayat para perawi
hadist), Muhammad bin Sa’ad (w. 230 H/844 M) menulis al-Thabaqat (tingkatan
para perawi hadist ), Ahmad bin Hanbal (241 H/855 M) menulis al-An’Ilal
(beberapa ketentuan tentang cacat atau kelemahan suatu hadist atau perawinya),
dan lain-lain.
Pada abad ke-4 dan ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab
yang membahas tentang ilmu hadist yang bersifat komprehensif, seperti kitab al-
Muhaddits al Fashil byn al-Rawi wa al-Wa’i oleh al-Qadhi Abu Muhammad al-
Hasan ibn ‘Abd al-Rahman ibn al-Khallad al-Ramuharmuzi (w.360 H/971 M),
Ma’rifat ‘Ulum al-Hadist oleh Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn ‘Abd Allah al-
Hakim al-Naisaburi (w.405 H/1014 M), al-Mustakhraj ‘ala Ma’rifat ‘Ulum al-
Hadist oleh Abu Nu’aim Ahmad bin ‘Abd Allah al-Ashbahani (w.430 H/1038 M),
al-Kifayah fi ‘Ulum al-Riwayah oleh Abu Bakar Muhammad ibn ‘Ali ibn Tsabit
al-Khathib al-Baghdadi (w.463 H/1071 M), al-Jami’ li Akhlaq wa adab al-Sami’
oleh al-Baghdadi (463 H/1071 M). dan lain-lain.4
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu
hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam
membicarakan ilmu hadist, yang di antaranya adalah: ‘Ulum al-Hadist oleh Abu
‘Amr ‘Utsman ibn ‘Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn al-Shalah

1. Hadits Pada Periode Rasulullah SAW

4
Ibid hal. 104

5
Hadis pada Masa Nabi SAW belum dibukukan, kebanyakan hadis hanyalah
dihafal oleh para sahabat, sementara sebagian kecil sahabat saja yang membuat
catatan hadis untuk kepentingan sendiri.
Adapun sikap Nabi SAW terhadap hadis yang dicatat para sahabat :
 Menyuruh menghapusnya karena khawatir akan bercampur dengan Al-
Quran suruhan menuliskanya karena untuk kepentingan da'wah bagi mererka yang
jauh dari kota Madinah.
Berdasarkan penelitian para ahli hadis ada ditemukan 8 (delapan) riwayat
yang membolehkan dan mengizinkan untuk menulis hadis dan 3 (tiga) riwayat
yang melarang penulisan hadis. Riwayat-riwayat itu pada hakikatnya tidak
bertentangan, melainkan dapat dikompromikan seperti tergambar pada dua sikap
Nabi SAW diatas.5
Dimikanlah keadaan hadis belum dibukukan secara resmi sampai wafat
Rasulullah SAW pada tahun 11 H.
2. Hadis Pada Periode Sahabat dan Tabi'in
 Periode Sahabat
Setelah Nabi SAW wafat (11 H/l632 M), kendali kepemimpinan umat
Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima
kepemimpinan itu adalah Abu Bakar Al-Siddiq (13 H/ 634M), kemudian disusul
oleh Umar bin Al-Khatab (23 H l 644 M), Usman bin Affan (35 H/656 M), dan
Ali bin Abi Thalib (401-If 661 M). Keempat khalifah ini dikenal dengan "AI-
khulafa Ar-Rasyidin", dan periodenya disebut dengan zaman "Sahabat Besar".
Abu Bakar al-Shiddiq, la merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama
menunjukkan kehati-hatianya dalam periwayatan hadis. Periwayatan hadis pada
masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang
menonjot dikalangan umat Islam. Demikian juga yang dilakukan oleh sahabat
lainya, dan mereka sangat hati-hati sekali dalam periwayatan Hadis Nabi, apalagi
ada ancaman Nabi SAW:
"Barang siapa berdusta terhadap diriku (berbuat sesuatu kedustaan padahal
aku tidak mengatakanya) hendaklah dia bersedia menempati kediamanya di
dalarn neraka".
5
Syaikh Manna Al-Qaththan, PENGANTAR STUDI ILMU HADITS, 2005, Jakarta,
halaman 75

6
Umar bin AI- Khatab, dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis.
Umar baru bersedia menerima riwayat hadits setelah ada kesaksian dari sahabat
lain. Bila tidak ada saksi maka umar tidak menerimanya. Disamping kewaspadaan
dan kehati-hatian dalam periwayatan hadis agar tidak terjadi kekeliruan dan
kepalsuan. pada saat itu, Umar pernah merencanakan penghimpunan hadis Nabi
secara tertulis, setelah melakukan shalat Istikharah, Umar mengurungkan niatnya
itu, karena khawatir akan memalingkaa perhatian umat Islam dari Al-Quran.
Hal itu bukanlah berarti Umar melarang periwayatan hadis, tetapi haruslah
dengan hati-hati dari kekeliruan dan kebohongan. Periwayatan hadis Nabi pada
masa Umar telah banyak dilakukan umat Islam bila dibandingkan dengan masa
Abu Bakar,namun tetap dalam kehati-hatian. Caranya tetap melalui hafalan, dan
sedikit melalui catatan yang tidak resmi.
Usman bin Affan secara umum kebijakan Usman tentang periwayatan
hadis tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah
sebelumnya, hanya saja langkah Usman tidaklah setegas langkah Umar bin
Khatab. Pada zaman Usman kegiatan umat Islam dalarn periwayatan hadis
semakin luas, karena Usman tidak sekeras Umar, juga karena wilayah Islam
semakin luas, yang mengakibatkan bertambahnya kesulitan pengendalian kegiatan
periwayatan hadis secara ketat, dan keadaan hadis pada masa Usman ini juga
belum dibukukan secara resmi, melainkan tetap melalui hafalan dan catatan-
catatan pribadi.
Ali bin Abi Thalib, la tidak jauh berbeda sikapnya dengan para
pendahulunya dalam periwayatan hadis. Secara umum, Ali barulah bersedia
menerima riwayat hadis Nabi setelah periwayatan hadis yang barsangkutan
mengucapkan sumpah, kecuali pada periwayat yang telah diyakini kebenaranya,
maka Ali tidak minta sumpah lagi. Pada saat itu Ali bin Abi Thalib sendiri cukup
banyak meriwayatkan hadis, selain dalam bentuk lisan (hafalan) juga dalam
bentuk tulisan. Situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan situasi
zarnan sebelumnya, karena pertentangan politik diantara sesama umat Islam.
Adapun sahabat Nabi selain Khulafah ar-Rasyidin, juga menunjukan kehati-
hatian dalam periwayatan hadis, seperti Anas bin Malik, Abdullah bin Umar bin
Khatab, dan lain-lain. Dalam pada itu diakui bahwa kegiatan periwayatan hadis

7
pada masa sahabat sesudah periode Khulafah ar-Rasyidin, telah lebih banyak dan
luas dibandingkan zaman khalifah yang empat itu.
 Periode Tabi'in
Periwayatan hadis pada periode Tabi'in tampak semakin semarak, namun
tetap dalam kehati-hatian. Mereka mulai menyelidiki sanad dan matan hadis agar
terhindar dari kepalsuan, bahkan tidak segan-segan melakukan perjalanan jauh
untuk mengecek dan menyelidiki kebenaranya, seperti peristiwa berikut:
 Said bin Al-Musayyab (94 N/ 712 M) seorang tabi'iy besar di kota
Madinah, mengaku telah mengadakan perjalanan siang-malam untuk
mendapaikan hanya sebuah fimlis Nabi SAW.
 Abu Amru Abdurrahman bin Amr Al-Auza'iy (157 H) 1774 M)
menyatakan, apabila dia dan ulama sejawatnya menerima riwayat hadis, maka
hadis itu diteliti bersama. Apabila ulama menyimpulkan bahwa riwayat itu
memang hadis Nabi, maka Auza'iy mengambilnya dan apabila mereka
mengingkarinya, maka dia meninggalkanya.
Bukti-bukli diatas menunjukan kesungguhan, kehati-hatian, dan kekuasan
pengetahuan ulama tabi'in. Bagian hadis yang mereka kaji dan dalami bukan
hanya matanya saja melainkan juga nama-nama periwayat dan sanadnya.
Periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memperoleh hadis langsung dari
Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan mereka, atau
dari sesama periwayatan hadis pada zaman tabi'in ini tidak memperoleh hadis
langsung dari Nabi. Mereka menerima riwayat dari sahabat yang bertemu dengan
mereka, atau dari sesama tabi'in yang sezaman dengan mereka, atau dari tabi'it-
tabi'in yang banyak ilmunya.
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa periwayatan hadis pada zaman
tabi'in telah semakin meluas. Rangkaian para periwayat hadis yang beredar
dimasyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan dengan periode sahabat.
Pada masa tabi'in inilah mulai usaha pembukuan hadis yang dilakukan secara
resmi atas perintah dan permintaan Khalifah Umar bin Ahdul Azis, memerintahi
(99-101H/718M), dan berlanjut terus pada periode-periode berikutnya.
3. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN KODIFIKASI HADIS

8
Kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan al-tadwin yang berarti
codification, yaitu mengumpulkan dan menyusun. Sedangkan menurur istilah,
kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis Nabi secara resmi yang
berdasar pada perintah khalifah dengan melibatkan beberapa personil yang ahli di
bidang hadis, bukan di lakukan secara individual ataupun demi kepentingan
sendiri. Jadi, kodifikasi hadis adalah penulisan, penghimpunan, dan pembukuan
hadis Nabi Muhammad SAW yang dilakukan atas perintah resmi dari khalifah
Umar ibn Abd al-Aziz, khalifah kedelapan dari Bani Umayyah yang kemudian
kebijakannya ditindaklanjuti oleh para ulama di berbagai daerah sampai pada
masa hadis terbukukan dalam kitab hadis.

 KODIFIKASI HADIS SECARA RESMI


Sebagaimana yang telah diketahui bahwa pada abad pertama hijriah, yakni
masa Nabi, masa al-khulafa’ al-rasyidin hingga berakhirnya abad pertama
hijriah, tradisi penulisan serta penyebaran hadis masih bergantung pada hafalan
para sahabat dan tulisan-tulisan pribadi mereka.Barulah ketika pemerintahan
sampai pada Umar ibn Abdul Aziz yang terkenal dengan adil dan wara’, tergerak
hatinya untuk membukukan hadis. Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan secara
resmi dan massal kepada para gubernur untuk membukukan hadis. Dikatakan
resmi karena dalam kegiatan penghimpunan hadis tersebut merupakan kebijakan
dari kepala negara, dan dikatakan massal karena perintah kepala negara tersebut
ditujukan kepada para gubernur dan ulama ahli hadis pada zamannya. Yang
melatarbelakangi kebijakan Umar ibn Abdul Aziz untuk membukukan hadis
secara resmi, adalah:
 Sebelumnya hadis tersebar dalam lembaran dan catatan masing-masing
sahabat, misalnya sahifah yang dimiliki Abdullah ibn Umar, Jabir dan Hammam
ibn Munabbih. Ahli hadis menyerahkan semua yang berurusan tentang penulisan
hadis kepada hafalan para sahabat yang lafadznya mereka terima dari Nabi,
namun ada juga sahabat yang hanya tahu maknanya dan tidak pada lafadznya, hal
itulah yang kemudian menjadikan adanya perselisihan riwayat penukilan
sekaligus rawinya. Dari situ ada kekhawatiran dari Umar ibn Abdul Aziz kalau
kalau nanti hadis Nabi disia-siakan oleh umatnya.

9
 Penulisan dan penyebaran hadis yang terjadi dari masa Nabi sampai masa
sahabat masih bersifat kolektif individual, dan juga ada perbedaan para dengan
kondisi yang seperti itu dikhawatirkan akan terjadi penambahan dan pengurangan
pada lafadz hadis yang diriwayatkan.
 Semakin meluasnya kekuasaan Islam ke berbagai negara yang kemudian
memiliki pengaruh besar pada tiga benua, yaitu Asia, Afrika dan sebagian benua
Eropa. Dengan demikian juga menjadikan para sahabat tersebar ke negara-negara
tersebut. Dari sana muncul berbagai masalah yang berbeda yang dihadapi para
sahabat, yang berefek pada melemahnya hafalan mereka. Belum lagi banyak
sahabat yang meninggal di medan perang demi membela panji-panji keislaman,
untuk itulah Khalifah Umar ibn Abdul Aziz merasa cemas dan khawatir kalau
hafalan para sahabat hilang begitu saja.
 Banyak bermunculan hadis-hadis palsu, terutama setelah wafatnya
khalifah Ali ibn Abi Thalib sampai pada masa dinasti Umayyah, yang membuat
umat Islam terpecah menjadi beberapa golongan yang membawa mereka untuk
mendatangkan keterangan hadis yang diperlukan untuk mengabsahkan sebagai
golongan yang paling benar.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz menginstruksikan kepada qadhi-nya di Madinah
yang bernama Abu Bakar ibn Hazm yang berprofesi menjadi guru Ma’mar, al-
Lais, al-Auza’i, Malik ibn Annas, Ibn Ishaq dan Ibn Dzi’bin supaya membukukan
hadis yang terdapat pada penghafal wanita yang terkenal, sekaligus seorang ahli
fiqih yang merupakan murid Aisyah ra, yaitu Amrah bint Rahman ibn Saad
Zurarah ibn Ades.Kitab hadis yang ditulis Ibn Hazm merupakan kitab hadis
pertama, ditulis ber dasarkan perintah kepala negara, namun kitab tersebut tidak
mencakup secara keseluruhan peredaran hadis yang ada di Madinah.Adapun yang
membukukan hadis yang ada di Madinah secara keseluruhan adalah Muham mad
ibn Muslim ibn Shihab al-Zuhri, seorang ulama terkenal di masanya. Setelah
generasi Shihab al-Zuhri dan Abu Bakar ibn Hazm berakhir, muncul generasi
selanjutnya yang kemudian melanjutkan upaya pembukuan.Para ulama yang
melanjutkan kegiatan pembukuan antara lain, di Mekah muncul Abu Muhammad
Abd al-Malik ibn Abd al-Aziz ibn Zuraij al-Bisyri (150 H), di Madinah muncul
Muhammad ibn Ishaq (151 H) dan Malik ibn Annas, di Basrah muncul Said ibn

10
Abi Arabah (156 H), Rabi’ ibn Shabi’ (160 H), dan Hammad ibn Salamah (167
H), di Kuffah muncul sofyan al-Sauri (161 H), di Syam muncul Abu Umar al-
Auza’i (157 H), di Yaman muncul Hasyim (173 H) dan Ma’mar ibn Asyid (153
H), di Khurasan muncul Jarir ibn Abdul Hamid (188 H) dan Ibn al-Mubarak (181
H), di Wasit muncul Hasyim ibn Basyir (104-173 H), di Ray muncul Jarir ibn Abd
al-Hamid (110-188 H), dan di Mesir muncul Abdullah ibn Wahhab (125-197 H).
Nama-nama tersebut adalah ahli hadis yang membukukan hadis pada abad ke dua
hijriah, kemudian mereka mengembangkan pengajaran hadis di kota-kota dimana
mereka berdiam diri, dan tempat itulah yang kemu dian menjadi pusat-pusat
pengembangan kajian hadis. Pembukuan hadis terus berlanjut hingga akhir
pemerintahan Bani Umayyah, namun keadaan semakin sempurna ketika Bani
Abbas datang sekitar pertengahan abad ke dua. Dengan munculnya kembali Imam
Malik dengan al-Muwatha’ nya, Imam Syafi’i dengan Musnad nya, dan Asar
Imam Muhammad ibn Hasan al-Syabani dengan gerakan penyusunan hadis secara
lengkap, mulai dari hadis Nabi sampai dengan perkataan sahabat dan fatwa
tabi’in.Pembukuan hadis pada abad ke II belum tersusun secara sistematis dalam
bab-bab tertentu. Dalam penyusunannya, mereka masih memasukkan perkataan
sahabat dan fatwa tabi’in di samping hadis dari Nabi Muhammad SAW.
Kesemuanya dibukukan secara bersamaan, dari situlah kemudian terdapat kitab
hadis yang marfu’, mauquf dan maqthi’. Di antara kitab-kitab hadis abad ke II H
yang mendapat perhatian ulama secara umum adalah kitab al-Muwatha’ yang
disusun oleh Imam Malik, al-Musnad dan Mukhtalif al-Hadis yang disusun Imam
asySyafi’i serta as-Sirah an-Nabawiyah atau alMaghazi wa as-Siyar susunan Ibnu
Ishaq. Dari kesemuanya, al-Muwatha’ lah yang paling terkenal dan mendapat
sambutan yang paling meriah dari para ulama, karena banyak para ahli yang
membuat penjelasan (syarah). dan ringkasannya (mukhtashar). Dalam kitab ini
mengandung 1.726 rangkaian khabar dari Nabi, sahabat, dan tabi’in. Khabar yang
musnad sejumlah 600, yang mursal sejumlah 228, yang mauquf sejumlah 613 dan
285 yang maqthu’.Adapun kitab-kitab hadis yang telah dibukukan dan
dikumpulkan pada abad ke dua cukup banyak jumlahnya, namun yang mashur di
kalangan ahli hadis hanya beberapa, yaitu:
1. Al-Muwattha’, karangan Imam Malik ibn Anas (95-179 H)

11
2. Al-Maghazi wa al-Siyar, karangan Muhammad ibn Ishaq (150 H)
3. Al-Jami’, karangan Abd al-Razak alsan’ani (211 H)
4. Al-Mushannaf, karangan Syu’bah ibn Hajjaj (160 H)
5. Al-Mushannaf, karang Sufyan ibn Uyainah (198 H)
6. Al-Mushannaf, karangan al-Lais ibn Sa’ad (175 H)
7. Al-Mushannaf, karangan al-Auza’i (150 H)
8. Al-Mushannaf, karangan al-Humaidi (219 H)
9. Al-Maghazi al-Nabawuyyah, karangan Muhammad ibn Wagid alAslami (130-
207 H)
10. Al-Musnad, karangan Abu Hanifah (150 H)
11. Al-Musnad, karangan Zaid ibn Ali
12. Al-Musnad, karangan Imam al-Safi’i (204 H)
13. Mukhtalif al-Hadis, karangan Imam al-Syafi’i (204 H).
Setelah sepeninggalan para tabi’in, yaitu pada permulaan abad ke III hijriah,
para ulama mulai berusaha menyusun kitab-kitab musnad yang memuat hadis
Nabi dan memisahkannya dari perkataan sahabat dan fatwa tabi’in. Penyusun
kitabnya adalah Abu Daud al-Tayalisi (202 H). Kitab yang sejenis dan paling
memadai adalah adalah Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, meskipun Imam
Ahmad hidup pada masa sesudahnya. Walaupun sudah dipisahkan dari perkataan
sahabat dan fatwa tabi’in, hadis dalam kitab musnad masih bercampur antara
hadis yang shahih dan yang tidak shahih. Oleh karena itu pada masa pertengahan
abad ke III H disusunlah kitab yang didalamnya benar-benar termuat hadis yang
shahih, misalnya Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Sunan at-Tirmidzi, Sunan Abu
Daud, Sunan Ibn Madjah, dan Sunan alNasa’i.Orang yang pertama menulis dan
mengumpulkan hadis dalam satu bab tertentu
adalah al-Jarir Amir al-Sya’bi, beliau menyusun kitab hadis khusus tentang
talak. Kemudian diteruskan oleh Abdullah ibn Musa alAbasy al-Kufi, Musaddad
al-Basry, Asad ibn Musa dan Na’im ibn Hammad al-Khaza’i. Pada abad ketiga ini
muncul berbagai kitab hadis, maka diadakan kritik terhadap matan dan sanad
hadis serta jarh wa ta’dil dalam suatu hadis. Usaha ini kemudian dikenal dengan
istilah pen-tashih-an dan penyaringan hadis dengan kriteria tertentu, sebagaimana
yang dilakukan oleh al-Bukhari dan beberapa orang muridnya, sehingga hadis

12
yang diproduksi termasuk hadis yang berskala nilainya. Al-Siba’i menyatakan
bahwa setelah masa alBukhari kegiatan pembukuan dan pengumpulan hadis
terhenti. Yang berkembang hanya tradisi penyempurnaan dan pengembangan
hadis. Adapun kitab-kitab yang disusun dan dibukukan pada abad ke III H, yang
terkenal yaitu:
1. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam alBukhari (256 H)
2. Al-Jami’ al-Shahih, karya Imam Muslim (261 H)
3. Al-Sunan, karya Ibn Majah (273 H)
4. Al-Sunan, karya Abu Daud (275 H)
5. Al-Sunan, karya al-Tirmidzi
6. Al-Sunan, karya al-Nasa’i (303 H)
7. Al-Musnad, karya Ahmad ibn Hanbal
8. Al-Musnad, karya al-Darimi
9. Al-Musnad, karya Abu Daud alTayalisi.
Dengan usaha para ulama besar abad ke tiga, tersusunlah tiga macam kitab
hadis, yaitu: kitab-kitab Shahih, kitab-kitab Sunan serta kitab-kitab Musnad.
Sedangkan abad IV-VI merupakan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan,
dan penghimpunan (ashr al-tahdzib wa al-tartib wa al-istidrak wa al-jam’u).
Dengan karakteristik penulisan hadis berbentuk Mu’jam (Ensiklopedi), Shahih
(himpunan Shahih saja), mustadrak (susulan shahih), Sunan al-Jam’u (gabungan
antara dua atau beberapa kitab hadis), ikhtishar (resume), istikhraj dan syarah
(ulasan). Pada masa berikutnya, yakni abad ke VII-VIII H dan berikutnya disebut
dengan masa penghimpunan dan pembukuan hadis secara sistematik (al-Jam’u wa
at-Tanzhim).Setelah pemerintahan Abbasiyyah jatuh ke bangsa Tartar pada tahun
656 H, maka pusat pemerintahan pindah dari Baghdad ke Cairo, Mesir dan India.
Pada masa ini banyak kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang
ilmu hadis, seperti al-Barquq. Di samping itu ada juga usaha dari ulama India
dalam mengembangkan kitab-kitab hadis. Di antaranya Ulumul Hadis karangan
al-Hakim. Demikian perkembangan penulisan dan pengkodifikasian hadis sampai
abad 12 H. Mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada
kegiatan yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya

13
membaca, memahami, takhrij, dan memberikan syarah hadis-hadis yang telah
terhimpun sebelumnya.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulumul Hadits adalah istilah ilmu hadits didalam tradisi hadits. ( ‘ulum al-
hadits) ‘ulum al-hadits terdiri atas dua kata yaitu ‘ulum dan al-hadits. Kata ‘ulum
dalam bahasa Arab adalah bentuk jamak dari ‘ilm yang berarti “ilmu”, sedangkan
hadits berarti: “segala sesuatu yang taqrir atau sifat”. Dengan demikian gabungan
antara ‘ulum dan al-hadits mengandung pengertian “Ilmu yang membahas atau
yang berkaitan dengan hadits Nabi Saw”.
Pada dasarnya ulumul hadist telah lahir sejak dimulainya periwayatan
hadist di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw wafat, ketika umat merasakan
perlunya menghimpun hadist-hadist Rasul Saw dikarenakan adanya kekhawatiran
hadist-hadist tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan
pencatatan dan periwayatan hadist.mereka telah mulai mempergunakan kaidah-
kaidah dan metode-metode tertentu ddalam menerima hadist, namun mereka
belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Pada abad ke-2 H, ketika hadist telah di bukukan secara resmi atas
prakarsa Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dan dimotori oleh Muhammad bin
Muslim bin Syihab al-Zuhri, para ulama yang bertugas dalam menghimpun dan
membukukan hadist tersebut menerapkan ketentuan-ketentuan ilmu hadist yang
sudah ada dan berkembang sampai pada masa mereka.
Pada abad ke-3 H yang dikenal dengan masa keemasan dalam sejarah
perkembangan hadist, mulailah ketentuan-ketentuan dan rumusan kaidah-kaidah
hadist ditulis dan dibukukan, namun masih bersifat parsial. Pada abad ke-4 dan
ke-5 Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang membahas tentang
ilmu hadist yang bersifat komprehensif.
Pada abad-abad berikutnya bermunculanlah karya-karya di bidang ilmu
hadist ini, yang sampai saat sekarang masih menjadi referensi utama dalam
membicarakan ilmu hadist.

15
DAFTAR PUSTAKA

Abd al-Majid, Al-Hasani Hasyim, Ushul al-Hadis al-Nabawi, Kairo: al-Hadisah li

al Thaba’ah, t.t Abu Syahbah, Muhammad ibn Muhammad, al-Wasit fi Ulum wa

Mustalah al-Hadis, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t Abu Zahwi, Muhammad, al-

Hadis wa al-Muhaddisun al-Inayah al-Ummah al-Islamiyah bi al-sunnah bi al-

Muhammadiyyah, Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t Agus, M. Sholihin dan Agus

Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung, Pustaka Setia, 2013 Ajjaj, Muhammad al-

Khatib, as-Sunnah qabl at-Tadwin, Kairo:Maktabah Wahbah, 1963 Alamsyah,

Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya, al-Hikmah: Jurnal UIN Alauddin,

Volume 14, Nomor 2, 2013 Alfatih, Muhammad Suryadilaga, Ulumul Hadis,

Yogyakarta: Kalimedia, 2015 Ali, K., A Study of Islamic History, Delhi: Idarah

al-Adabiyat Delhi, 1980 As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Hadis, Dr. H.

Ramly Abdul Wahid, MA, 2005. Studi Ilmu Hadist. Cita Pustaka Medi Bandung

Drs. H. Ahmad Izzan, M.Ag 2004. Ulumul Hadist. Bandung:Tafakur

Syaikh Manna Al-Qaththan. 2005. PENGANTAR STUDI ILMU HADITS. Jakarta

Muhammad Dede Rudliyana, MA. 2004. Perkembangan pemikiran Ulumul

Hadist dari klasik sampai modern. Pustaka Setia: Bandung

16

Anda mungkin juga menyukai