Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

HADITS : SEJARAH, FUNGSI HADITS, MACAM-MACAM HADITS

Disusun guna memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah AIK 1 yang
diampu oleh dosen Dr. Syahril S.T.,M.M.

Disusun oleh :

KELOMPOK 1

Mealvin Febriani Sulistia (230312049)


Nasrul Aen Fatihah (230312065)
Nida Nur Sabilla (230312067)
Rafi Hanif Ardiansyah (230312074)
Shalma Nabila Putri Dewi (230312084)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANDUNG

2024
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadits: Sejarah, Fungsi Hadits,
Macam - Macam Hadits”.

Selawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar Muhammad saw.
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Quran dan sunah untuk
keselamatan umat di dunia.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya


kepada Bapak Dr. Syahril S.T.,M.M. selaku dosen pembimbing mata kuliah AIK
1 dan kepada segenap pihak yang telah memberikan bimbingan serta arahan
selama penulisan makalah ini.

Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman untuk para pembaca.

Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penyusunan


makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 15 Januari 2024

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................i


DAFTAR ISI ............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 2
C. Kerangka Masalah .............................................................................. 2
D. Tujuan Penelitian ............................................................................... 2
E. Penelitian yang Relevan ...................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................... 4
A. Sejarah Hadits ................................................................................... 4
B. Fungsi Hadits ................................................................................... 10
C. Macam-Macam Hadits ....................................................................... 15
1. Hadits Shahih ................................................................................ 15
2. Hadits Hasan ................................................................................. 18
3. Hadist Dhaif .................................................................................. 21
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 27

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Alquran sebagai kalam Allah (firman Allah) mencakup segala aspek


persoalan kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan pencipta-Nya,
sesama manusia dan alam semesta yang merupakan persoalan mendasar
dalam setiap kehidupan manusia. Alquran sebagai kitab suci umat Islam
sangat kaya dengan pesan-pesan yang mengandung nilai-nilai pendidikan.
Sedangkan hadits bermakna seluruh sikap, perkataan dan
perbuatan Rasulullah Saw. dalam menerapkan ajaran Islam serta
mengembangkan kehidupan umat manusia yang benar-benar membawa
kepada kerahmatan bagi semua alam, termasuk manusia dalam
mengaktualisasikan diri dan kehidupannya secara utuh dan bertanggung
jawab bagi keselamatan dalam kehidupannya. Kedudukan al-Sunnah
dalam kehidupan dan pemikiran Islam sangat penting, karena di samping
memperkuat dan memperjelas berbagai persoalan dalam Alquran, juga
banyak memberikan dasar pemikiran yang lebih kongkret mengenai
penerapan berbagai aktivitas yang mesti dikembangkan dalam kerangka
hidup dan kehidupan umat manusia.
Dalam meneliti kekuatan hadits serta kelemahan hadits
serta kelemahan hadits dan untuk dijadikan hujjah hukum, serta untuk
mengamalkan hadits, perlu dipahami hadits–hadits yang berkembang
baik dari segi kualitas mapun kuantitas.

1
B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, dapat diambil beberapa identifikasi


masalah sebagai berikut:
1. Perkembangan hadits sepanjang sejarah Islam.

2. Hubungan antara Al-Qur'an dan hadits dalam konteks memberikan


pedoman hidup.
3. Macam-macam hadits dari segi kualitas.

C. Kerangka Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas muncul


kerangka masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana proses pengumpulan dan penyusunan hadits


berkembang seiring berjalannya waktu?
2. Bagaimana hubungan antara fungsi hadits sebagai penjelas ajaran
Al-Qur'an dan sebagai panduan praktis dalam menjalani kehidupan
sehari-hari?
3. Apa perbedaan antara hadits sahih, hadits hasan, dan hadits dhaif?

D. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Meneliti perkembangan proses pengumpulan dan penyusunan hadits


seiring berjalannya waktu dalam konteks sejarah Islam.
2. Menganalisis hubungan antara fungsi hadits sebagai penjelas ajaran
Al-Qur'an dan sebagai panduan praktis dalam kehidupan sehari-hari

2
umat Islam, untuk memahami peran penting hadits dalam
memberikan konteks dan petunjuk praktis.
3. Menyelidiki peran dan penggunaan berbagai jenis hadits, seperti
shahih, dhaif, dan hasan, sebagai panduan dalam memahami dan
mempraktikkan ajaran Islam, untuk memberikan pemahaman yang
lebih mendalam tentang keabsahan dan kegunaan masing-masing
jenis hadits.

E. Penelitian yang Relevan

Penulis melakukan penelusuran terkait penelitian serupa yang


relevan dengan Sejarah, Fungsi, Dan Macam-Macam Hadist. Beberapa
penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

Menurut Muhammad Iqbal Ikhwani, (2015) dalam penelitiannya


menyatakan bahwa perjalanan hadis pada tiap-tiap periodenya mengalami
berbagai persoalan dan hambatan yang dihadapinya. yang antara satu
periode dengan periode lainnya tidak sama, maka pengungkapan sejarah
persoalannya perlu diajukan ciri-ciri khusus dan persoalan-persoalan
tersebut. Di antara ulama tidak seragam dalam menyusun periodesasi
pertumbuhan dan perkembangan hadis ini. Membicarakan hadis pada
masa Rasul Saw. berarti membicarakan hadis pada awal pertumbuhannya.
Maka dalam uraiannya akan terkait langsung dengan pribadi Rasul Saw.
sebagai sumber hadis.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Sejarah Hadits

Hadits terlahir sejak zaman Nabi Muhammad Saw, pada tahun 13


sebelum hijriah atau bertepatan pada tahun 610 M sampai 623 M.

Pada masa ini dikenal dengan ASHR AL-WAHY WA AL-TAKWIN, yakni


masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat islam, wahyu yang di
turunkan Allah Swt. dijelaskan oleh nabi melalu perkataan, perbuatan, dan
taqrir nya. Sehingga apa yang didengar dan disajikan oleh para sahabat
merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah. Rasulullah SAW juga
memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,
menyampaikan dan menyebarluaskan hadis-hadis. Nabi sendiri tidak
hanya memerintahkan, namun beliau juga banyak memberi spirit melalui
doa-doanya, dan tak jarang Nabi juga menjanjikan kebaikan akhirat bagi
mereka yang menghafal hadis dan menyampaikannya kepada orang lain.
Hal itulah yang kemudian memotivasi para sahabat untuk menghafalkan
hadis, Para sahabat pun dapat secara langsung memperoleh hadis dari
Rasulullah SAW sebagai sumber hadis. Tempat yang dijadikan Nabi dalam
menyampaikan hadis sangat fleksibel, terkadang hadis disampaikan ketika
Nabi bertemu dengan sahabatnya di Masjid, pasar, ketika dalam
perjalanan, dan terkadang juga di rumah Nabi sendiri. Biasanya ada
beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para sahabat
dan umatnya, yaitu: pertama, melalui majlis ilmu, yakni tempat pengajian
yang diadakan oleh Nabi Muhammad SAW untuk membina para jamaah.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan
hadisnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya
kepada orang lain. Jika hadis yang disampaikan berkaitan dengan

4
persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis tersebut
disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau
pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fath alMakkah.
Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan
khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin
yang sedang melakukan ibadah haji, isinya terkait dengan bidang
muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi
kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan,
dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk
menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk
menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang
teguh pada al-Qur’an dan Hadis.Nabi muhamad SAW memberi perintah
kepada para sahabat dan utusan-utusan para pedagang untuk berperan
dalam penyebaran hadits, Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga
berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari
Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.

Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu


sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya
perbedaan di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah
SAW, dan juga soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta
berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid
Rasulullah SAW. Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat
yang banyak menerima hadis dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang
tergolong kelompok Al-Sabiqun al-Awwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab,
Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat
alMukminin (Siti Aisyah dan Ummu Salamah), sahabat yang meskipun
tidak lama bersama Nabi, akan tetapi banyak bertanya kepada para
sahabat lainnya secara sungguh-sungguh seperti Abu Hurairah, dan
Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan Abdullah ibn Abbas yang

5
merupakan sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi,
banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong
jauh dari masa hidup Nabi.

Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa


cara, menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan
pengajaran-pengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi
mengulangulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan
hadis melalui media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang
pandai menulis. Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan
kepada para raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat
tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang
zakat dan tata cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan
mempraktek secara langsung di depan para sahabat, misalnya ketika
beliau mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah
haji dan sebagainya.

Pada masa Nabi SAW, hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana
al-Qur’an, hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan
menulis hadis dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said
al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,

“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, kecuali


alQur’an, dan barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur’an, maka
hendaklah ia menghapuskannya.”

Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit


menunjukkan adanya kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis
akan bercampur baur dengan catatan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun
demikian, ada juga riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada masa

6
Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah)
yang berisi tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash
dengan lembarannya yang diberi nama alSahifah al-Shadiqah, dinamakan
demikian karena ia menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri,
sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya. Begitu juga dengan
Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki
catatan hadis. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul
tentang penulisan hadis, namun karena memang ada riwayat lain yang
menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis,
sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn
Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari
Rasulullah, karena menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan
marah, sehingga ucapannya tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah
diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda:

“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada
ditanganNya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”

Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu
riwayat menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadis dan di riwayat
lain menyatakan bahwa Rasul mengizinkannya. Dalam memandang hal ini,
para ulama berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat dua
pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang
penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut
mereka, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada awal-awal
Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis dan ayat
al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ayat
al-Qur’an, Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para
sahabat telah mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat
al-Qur’an, sehingga mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan
mana yang bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan

7
hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat
tersebut tidak bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu
dikhususkan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur
adukkan hadis dan alQur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak
dikhawatirkan mencampur adukkan keduanya, yaitu izin seperti yang
dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau dalam kata lain
Rasul melarang penulisan hadis secara resmi, tetapi tetap mengizinkan
para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu bersifat
umum sedangkan izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu. Demikianlah,
hadis pada masa Rasul tidak tertulis kecuali hanya sedikit saja. Setelah
Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru
dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak
mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali
orang tersebut mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran
riwayat yang disampaikannya. Dan masa Utsman tahap kedua, masa ini
terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para
sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi dan
bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah
SAW. Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu
riwayah hadis. Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan
suatu ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka
setelah beliau wafat hadis di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi
berikutnya dengan penuh semangat dan perhatian sesuai dengan daya
hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga telah meletakkan
pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu hadis.
Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh
supaya dapat diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang
mardud untuk ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.

8
Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis
karena orangnya masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan
yang lain. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite
politik, yaitu antara pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah
menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah
itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhû’) dari masing-masing
sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas.
Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadis
dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking
kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku
mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Pada periode Tabi’in,
penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi.
Demikian juga dikalangan ulama-ulama hadis selanjutnya. Perkembangan
ilmu hadis semakin pesat ketika ahli hadis membicarakan tentang daya
ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau tidak (dhâbit), bagaimana
metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa adâ), hadis yang
kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) ataukompromi, kalimat
hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi,
aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan
(syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan
abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis mulai di tulis
dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari
ilmuilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain
atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya,
penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i
adalah ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu hadisnya secara
tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis

9
bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang
ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm.
Dan solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts
karya Asy-Syafi’i (w. 204 H). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak
terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan kitab Al-Umm. Sesuai
dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang disebut pada masa
kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,
perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan
keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis masih
terpisah-pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia
masih dalam bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan orang
pertama kali menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya
AlBukhari, Muslim, dan Tirmidzi.7 Dr. Ahmad Umar Hasyim juga
menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu hadis adalah Ali bin
Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari
dan Muslim.8 Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah kitab
Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan
ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Kedua kitab
tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog
yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan
Mu’tazilah dan ahli bid’ah.

B. Fungsi Hadits

Fungsi al-Hadits terhadap Al-Qur’an yang paling pokok adalah


sebagai bayan, sebagaimana ditandaskan dalam ayat:
“ k e t e r a n g a n - k e t e r a n g a n (mu`jizat) dan kitab-kitab.
Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan

10
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan. (Qs.16:44)”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas

memberikan penjelasan tentang kitab Allah. Penjelasan Rasul


itulah yang dikategorikan kepada al-hadîts. Umat manusia tidak
akan bisa memahami al-Qur`ân tanpa melalui al-hadîts tersebut.
Al-Qur`ân bersifat kullydan ‘am, maka yang juz’iy dan rinci adalah
al-hadîts.
Imam Ahmad menandaskan bahwa seseorang tidak mungkin
bisa memahami al-Qur`ân secara keseluruhan tanpa melalui al-hadîts.
Imam Al-Syatibi juga berpendapat bahwa kita tidak akan bisa
mengistinbath atau mengambil ke-sim pulan dari hukum al-Qur`ân
tanpa melalui al-hadîts. Dengan demikian jelaslah fungsi al-hadîts
terhadap al-Qur`ân itu cukup penting, yaitu sebagai bayân atau
penjelas.
Berikut adalah contoh serta gambaran tentang bagaimana al-hadîts
menjelaskan isi al-Qur`ân:
1. Al-Qur`an telah menghalalkan makanan yang baik-baik (Qs.5:1),
dan mengharamkan yang kotor-kotor (Qs.7:156); tetapi di antara
keduanya (di antara yang baik-baik dan yang kotor-kotor) itu ada
terdapat beberapa hal yang tidak jelas atau syuhbat, yang
samarsamar (tidak nyata baik dan tidak nyata buruknya). Ukuran baik
dan buruk pun menurut pandangan manusia akan berbeda. Oleh
sebab itu, Rasul SAW yang menetapkan mana yang baik dan
mana yang buruk itu, dengan istilah halal dan haramnya. Beliau
mengharamkan segala hewan-hewan (binatang-binatang) buas, yang
mempunyai taring, dan burung-burung yang mempunyai kuku yang
mencakar dan yang menyambar, demikian juga beliau

11
mengharamkan keledai jinak (bukan keledai hutan), karena
semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor dan yang kejikeji.
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak
memabukan, dan mengharamkan segala mi-numan yang
memabukkan. Di antara yang tidak memabukkan dan yang
memabukkan ada beberapa macam minuman, yang sebenarnya
tidak memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga,
seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang
ditaruh dalam bejana yang dicat dengan ter dari dalamnya (al-
Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu yang dilobangi
(al- Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan
dan membawa kebinasaan. Kemudian Rasulullah SAW kembali
menghalalkan segala sesuatu yang tidak memabukkan.
3. Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap
oleh hewan-hewan pemburu yang sudah diajar dengan patuh
dan mengerti. Jelas, apabila hewan pemburu itu belum terlatih, maka
haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang
ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang ditangkapnya
itu buat dirinya sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar
antara dua masalah yaitu: apabila hewan pemburu itu
sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya
sendiri, tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tandatanda
bahwa buruannya itu telah dimakannya sendiri sekalipun sedikit,
maka bagaimanakah hukumnya? Sunnah Rasulullah SAW,
menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing pemburu,
maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan
hewan yang ditangkapnya itu untuk dirinya sendiri.
4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan
dengan muthlaq, artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu

12
diabaikannya, maka diwajibkan jaza (balasan) atas orang yang
melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu
dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak
mengerjakan ihram. Pengecualian itu dengan muthlaq juga.
Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang
sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh
Rasul SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang sedang
ihram itu, sama saja, hukumnya antara yang sengaja dengan
yang tidak disengaja, dalam kewajibannya menunaikan denda atau
dam.

Fungsi al-Hadits terhadap al-Qur`ân sebagai bayân itu dipahami


oleh ulama dengan berbagai pemahaman, antara lain sebagai
berikut:
a) Bayan Taqrir

Bayan at-taqrir disebut dengan bayan at-ta'kid dan bayan al-itsbat,


yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat
apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur'an. Fungsi hadits dalam
hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur'an. Sehingga dalam
hal ini, hadits hanya seperti mengulangi apa yang disebutkan dalam
al-Qur'an.
Menurut sebagian ulama, bayan ta'kid atau bayan taqrir ini disebut
juga dengan bayan al muwafiq li an-nashl al Kitab. Hal ini dikarenakan
munculnya hadits-hadits itu sesuai dengan nash al-Qur'an.
b) Bayan At-Tafsir

Bayan at-tafsir adalah bahwa kehadiran hadits berfungsi untuk


memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang
masih bersifat global (mujmal), memberikan persyaratan/batasan

13
(taqyid) ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap al-Qur'an yang masih bersifat
umum.

c) Bayan At-Tasyri

Bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran


yang tidak didapati dalam al-Qur’an atau dalam al-Qur’an hanya
terdapat pokok-pokoknya saja. Dalam hal ini seolah-olah nabi
menetapkan hukum sendiri. Namun sebenarnya bila diperhatikan apa
yang ditetapkan oleh nabi hakikatnya adalah penjelasan apa yang
ditetapkan atau disinggung dalam al-Qur’an atau memperluas apa
yang disebutkan Allah secara terbatas.
Dalam hal ini sebagai contoh adalah sebuah hadits yang menyatakan
melarang seorang suami memadu istrinya dengan dua wanita
bersaudara. Hadits ini secara dhahir berbeda dengan Q.S An-Nisa’ (4):
24, maka pada hakikatnya hadits tersebut adalah penambahan atau
penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah dalam firman tersebut.
d) Bayan Al-Nasakh

Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi beberapa pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai naskh
sebagian hukum Al-Qur'an dan ada juga yang menolaknya. Menurut
Abu Hanifah bayan nasakh adalah mengganti suatu hukum atau
menasakh-annya. Sedangkan Imam Syafi’i memberi definisi bayan
nasakh ialah menentukan mana yang di-nasakhkan dan mana yang
kelihatan yang di mansukh dari ayat-ayat Al-Qur'an yang kelihatan
berlawanan.

14
C. Macam-Macam Hadits

1. Hadits Shahih

a) Pengertian Hadits Shahih

Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha, yashihhu,


suhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa
berarti yang sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang
benar. Para ulama‟ biasa menyebut kata shahih itu sebagai lawan
kata dari kata saqim (sakit). Maka hadits shahih menurut bahasa
berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang
selamat.
Hadits shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai
berikut :
“Hadits yang disandarkan kepada Nabi Saw. yang sanadnya
bersambung, diriwayatkan leh (perawi) yang adil dan dhabit
hingga sampai akhir sanad, tidak ada kejanggalan dan tidak
ber’illat”.
Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan lebih ringkas yaitu :

“Hadits yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil,


sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat
dan tidak syadz”.
Dari kedua pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa
hadits shahih merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw. Sanadnya bersambung, perawinya yang adil, kuat
ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada cacat atau rusak.
b) Syarat–syarat Hadits Shahih

Menurut ta’rif muhadditsin, maka dapat dipahami bahwa suatu


hadits dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi lima syarat:

15
a. Sanadnya bersambung

Yang dimaksud sanad bersambung adalah tiap–tiap


periwayatan dalam sanad hadits menerima periwayat hadits dari
periwayat terdekat sebelumnya, keadaan ini berlangsung
demikian sampai akhir sanad dari hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil
Adil di sini adalah periwayat seorang muslim yang baligh,
berakal sehat, selalu memelihara perbuatan taat dan
menjauhkan diri dari perbuatan–perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit

Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang


telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya
kapan saja ia menghendakinya.
d. Tida Janggal atau Syadz

Adalah hadits yang tidak bertentangan dengan hadits lain


yang sudah diketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari ‘illat (cacat)

Adalah hadits yang tidak memiliki cacat, yang disebabkan


adanya hal–hal yang tidak baik, yang kelihatannya samarsamar.
c) Pembagian Hadits Shahih

Para ulama’ ahli hadits membagi hadits–hadits menjadi dua


macam yaitu :
a. Hadits Shahih Li-Dzatih

Ialah hadits shahih dengan sendirinya, artinya hadits shahih


yang memiliki lima syarat atau kriteria sebagaimana disebutkan
pada persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah :

16
“Hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang
mengharuskan kita menerimanya”
Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam
pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai
sebutan dengan hadist shahih.
Adapun contoh hadist Li-dzatih, yang artinya :

“Dari Ibnu Umar ra. Rasulullah Saw. bersabda: “Dasar

(pokok) Islam itu ada lima perkara : mengakui tidak ada tuhan
selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah,
menegakkan sholat (sembahyang), membayar zakat,
menunaikan puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah
haji” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Hadits Shahih Li-Ghairih

Yang dimaksud dengan hadits Li-Ghairih adalah hadits yang


keshahihannya dibantu adanya keterangan lain. Hadits pada
kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek
kedhabitannya. Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat
untuk dikategorikan sebagai hadits shahih. Contoh hadits shahih
Li-Ghairihi :
Artinya : “Dari Abu Hurairah Bahwasanya Rasulullah Saw.
bersabda: “Sekiranya aku tidak menyusahkan umatku tentulah
aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat gigi) di setiap
mengerjakan sholat.” (HR. Bukhari dan Tirmidzi)
c. Kehujjahan Hadits Shahih

Para ulama’ sependapat bahwa hadits ahad yang shahih


dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat islam, namun
mereka berbeda pendapat. Apabila hadits kategori ini dijadikan
untuk menetapkan soal-soal aqidah.

17
Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan penilaian
mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadits ahad yang
shahih, yaitu apakah hadits semacam itu memberi faedah qoth’i
sebagaimana hadits mutawatir, maka hadits-hadits tersebut
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah
aqidah. Akan tetapi yang menganggap hanya memberi faidah
zhanni, berarti hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan soal ini. Para ulama dalam hal ini
berbeda pendapat, sebagai berikut :
Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadits shahih
tidak memberi faidah qath’i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadits-hadits shahih
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim memberikan qaidah
qath’i.
Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadits shahih
memberikan faidah qath’i, tanpa dibedakan apakah
diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika
memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam
memberikan faidahnya.

2. Hadits Hasan

a) Pengertian Hadits Hasan

Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadits hasan adalah hadits


yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya,
yang muttasil sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.”
Imam Tirmidzi mengartikan hadits hasan sebagai berikut :
“Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang

18
tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz)
dan (hadits tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa hadits hasan
tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya kurang
kesempurnaan hafalannya. Di samping itu pula hadits hasan hampir
sama dengan hadits shahih, perbedaannya hanya mengenai
hafalan, di mana hadits hasan rawinya tidak kuat hafalannya.
b) Syarat-syarat Hadist Hasan

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi suatu hadits


yang dikategorikan sebagai hadits hasan, yaitu:
a. Para perawinya yang adil,
b. Ke-Dhabith-an perawinya di bawah perawi hadist shahih

c. Sanad-sanadnya bersambung,

d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,

e. Tidak mengandung ‘illat.

c) Pembagian Hadist Hasan

Para ulama hadits membagi hasan menjadi dua bagian yaitu :

a. Hadist Hasan Li-Dzatih

Yang dimaksud hadits hasan Li-Dzatih adalah hadist hasan


dengan sendirinya, yakni hadist yang telah memenuhi
persyaratan hadist hasan yang lima.
Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para
perawinya terkenal kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya
atau daya kekuatan hafalan belum sampai kepada derajat
hafalan para perawi yang shahih.
Contoh hadist hasan li-dzatih adalah sebagai berikut :

19
Artinya :”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah Saw. bersabda:
Barang siapa menuntut ilmu pengetahuan karena selain Allah
atau bertujuan selain Allah maka, tempatnya di dalam neraka”.
b. Hadist Hasan Li-Ghairih H

Hadist Hasan Li-Ghairihi adalah hadits yang sanadnya tidak


sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa
yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang
menjadikannya fasik dan matan hadistnya adalah baik
berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain”.
Hadist Hasan Li-Ghairihi ialah Hadist Hasan yang bukan
dengan sendirinya, artinya Hadist yang menduduki kualitas
Hasan, karena dibantu oleh keterangan Hadist lain yang
sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama itu terangkat
derajatnya oleh Hadist yang kedua, dan yang pertama itu
disebut Hadist Hasan. Contoh sebagai berikut : Rasulullah SAW,
bersabda :Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jum‟at,
hendak mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian
keluarganya, jika ia tidak memperoleh airpun cukup dengan
wangi-wangian”.(H.R.Ahmad)
Hadist dapat menjadi Hadist Hasan Li-Ghairih, karena
dibantu oleh Hadist yang lain semakna dengannya atau karena
banyak yang meriwayatkannya.
c. Kehujjahan Hadist Hasan

Sebagaimana Hadist Shahih, menurut para ulama ahli Hadist,


bahwa Hadist Hasan, baik Hasan Li-dzatihi maupun Hasan Li-
Ghairihi, juga dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu
hukum, harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan

20
pandangan diantara mereka dalam soal penempatan Rutbah
(urutannya), yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.

3. Hadist Dhaif

1) Pengertian Hadist Dhaif

Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah, sebagai lawan


dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata dhaif
secara bahasa berarti hadists yang lemah, yang sakit atau yang
tidak kuat.
Secara Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara
berbedabeda. Akan tetapi pada dasarnya mengandung maksud
yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang di dalamnya tidak
terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist
Hasan.”
2) Pembagian Hadits Dhaif

a. Dhaif dari sudut sandaran matannya.


Dhaif dari sudut sandaran matannya, maka hal ini terbagi
dua macam, yaitu:
(1) Hadits Mauquf, ialah hadits yang diriwayatkan dari para
sahabat, berupa perkataan, perbuatan dan taqrirnya.
Sebagai contoh Ibnu Umar berkata: Bila kau berada
diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi
hari, dan bila kau berada di waktu pagi jangan menunggu
datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu
persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu
untuk persediaan matimu.” (Riwayat Bukhari)
(2) Hadits Maqhtu, ialah hadits yang diriwayatkan dari
Tabi‟in, berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya.

21
Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang
Tabi‟in:
“Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12
rakaat setelah sembahyang idul fitri , dan 6 rakaat
sembahyang idul Adha.
b. Dhaif dari sudut matannya.

Hadits Syadz, ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para


perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi kandungan
haditsnya bertentangan dengan (kandungan Hadits) yang
diriwayatkan oleh para perawi yang lebih kuat ketsiqahannya.
Contohnya, “Rasulullah Saw., bila telah selesai sembahyang
sunnat dua rakaat fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang
kanannya.”
Hadits Bukhari diatas yang bersanad Abdullah bin Yazid, Said
bin Abi Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a dan
riwayat dari rawi-rawi yang lain yang lebih tsiqah yang
meriwayatkan atas dasar fiil (perbuatan Nabi).
c. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan
secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian di sini adalah ke-Dhaifan tersebut
kadang-kadang terjadi pada sanad dan kadang-kadang pada
matan, yang termasuk hadits yaitu:
(1) Hadits Maqlub, ialah Hadits yang terjadi mukhalafah
(menyalahkan hadits lain), disebabkan mendahulukan dan
mengakhirkan.
Tukar menukar yang dikarenakan mendahulukan sesuatu
pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya
terjadi pada matan hadits dan adakalanya terjadi pada
sanad hadits.

22
Contoh: Tukar menukar yang terjadi pada matan , Hadits
Muslim dari Abu Hurairah r.a
Artinya: “... dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu
yang sedekah yang disembunyikan, hingga tangan
kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan
oleh tangan kirinya”. Hadits ini terjadi pemutarbalikan
dengan Hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim Sendiri,
pada tempat lain, yang berbunyi.
“(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang
dibelanjakan tangan kanannya.)”.
Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi
Ka‟ab bin Murrah bertukar dengan Murrah bin Ka‟ab dan
Muslim bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan Muslim.
(2) Hadits Mudraf

Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara


terminologi hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya
terdapat sisipan atau tambahan.
(3) Hadits Mushahhaf

Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan


dengan hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena
didalamnya terdapat beberapa huruf yang diubah.
Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau pada
makna, sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari
makna, dan maksud semula.
d. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama

Yang termasuk hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya


secara bersama-sama yaitu
(1) Hadits Maudhu

23
Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara
dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan,
melakukan dan menetapkan.
(2) Hadits Munkar

Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang


perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur”.
e. Dhaif dari segi persambungan sanadnya

Hadits-hadits yang termasuk dalam kategori Dhaif atau


lemah dari sudut persambungan sanadnya ialah: Hadits Mursal,
Hadits Mungqathi‟, hadits Mu‟dhal, dan Hadits Mudallas.
(1) Hadits Mursal

Hadits Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah


tabi‟in. Yang dimaksud gugur disini ialah nama sanad
terakhir, yakni nama sahabat tang tidak disebutkan,
padahal sahabat adalah oang pertama menerima Hadits
dari Rasulullah Saw.

(2) Hadits Mungqathi

Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang perawi


atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak
dikenal namanya.
(3) Hadits Mu‟dhal

Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara


berturut-turut, baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan
tabi‟in, atau antara tabi‟in dengan tabi‟in.
f. Berhujjah dengan Hadits Dhaif

24
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif
bukan maudhu. Adapun hadits dhaif bukan hadits maudhu‟
maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan
untuk berhujjah.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat:

1. Melarang secara mutlak

2. Membolehkan

Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits yang memeperbolehkan


berhujjah dengan hadits dhaif untuk keutamaan amal,
memberikan 3 syarat:

a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.

b. Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits Dhaif tersebut,


masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits
yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)
c. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa
hadits tersebut benar-benar bersumber dari Nabi. Tetapi
tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka

Dari beberapa uraian diatas maka dapatlah disimpulkan


bahwa apabila menggunakan hadits Dhaif untuk dijadikan suatu
sugesti amalan maka dapatlah kita pergunakan hal ini
memotivasi bagi masyarakat. Untuk memperbanyak
amalanamalannya, hadits yang diterangkan harus selektif
mungkin juga sampai tidak masuk akal atau rasional.

25
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

Sebagai akhir dari pembahasan dalam makalah ini, penulis


kemukakan kesimpulan-kesimpulan sebagai berikut :

1. Perjalanan hadis telah mengalami masa yang panjang dimana proses


periwayatannya pada awalnya lebih banyak berlangsung secara lisan
dibandingkan dengan tulisan sebagai akibat dari upaya menghindari
bercampur baurnya ayat-ayat al-Qur’an dan hadis.
2. Hadits pada masa Rasul tidak tertulis kecuali hanya sedikit saja.

3. Imam Syafi’i adalah ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu


hadisnya secara tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya.
Besarnya upaya dalam penyebarluasan ditindaklanjuti dengan
berbagai penelitian dan pengkajian.
4. Penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah

Saran :

Setelah dilakukan analisis hadits di atas, penulis sadar bahwa


mungkin ada kesalahan entah pada penulisan, pemahaman pada hadits,
ataupun pada kata-kata yang kurang tepat. Oleh karena itu, penulisan
sangat berperan saran dan kritikan yang dapat mengembangkan karya
tulis ini agar bisa membangun bagi para pembaca untuk lebih bersemangat
dalam mengkaji hadits.

26
DAFTAR PUSTAKA

Agung, J. MACAM-MACAM HADITS DARI SEGI KUALITASNYA

Andariati, L. (2020). Hadis dan Sejarah Perkembangannya. Diroyah:


Jurnal Studi Ilmu Hadis, 4(2), 153-66.Jurnal ilmu hadis,
yogyakarta:2020

Fikri, H. K. (2015). Fungsi Hadits Terhadap Al-QurAn. Tasamuh,


12(2), 178-188.
Setiyanto, D. A. (2014). FUNGSI HADITS TERHADAP Al-QURAN.

27

Anda mungkin juga menyukai