Disusun guna memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah AIK 1 yang
diampu oleh dosen Dr. Syahril S.T.,M.M.
Disusun oleh :
KELOMPOK 1
2024
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan nikmat serta hidayah-
Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hadits: Sejarah, Fungsi Hadits,
Macam - Macam Hadits”.
Selawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar Muhammad saw.
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Quran dan sunah untuk
keselamatan umat di dunia.
Kelompok 1
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
B. Identifikasi Masalah
C. Kerangka Masalah
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
2
umat Islam, untuk memahami peran penting hadits dalam
memberikan konteks dan petunjuk praktis.
3. Menyelidiki peran dan penggunaan berbagai jenis hadits, seperti
shahih, dhaif, dan hasan, sebagai panduan dalam memahami dan
mempraktikkan ajaran Islam, untuk memberikan pemahaman yang
lebih mendalam tentang keabsahan dan kegunaan masing-masing
jenis hadits.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hadits
4
persoalan keluarga dan kebutuhan biologis, maka hadis tersebut
disampaikan melalui istri-istri Nabi sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau
pidato di tempat terbuka, misalnya ketika haji wada’ dan fath alMakkah.
Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H, Nabi menyampaikan
khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin
yang sedang melakukan ibadah haji, isinya terkait dengan bidang
muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM yang meliputi
kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan,
dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk
menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk
menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang
teguh pada al-Qur’an dan Hadis.Nabi muhamad SAW memberi perintah
kepada para sahabat dan utusan-utusan para pedagang untuk berperan
dalam penyebaran hadits, Setiap mereka pergi berdagang, sekaligus juga
berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka peroleh dari
Nabi kepada orang-orang yang mereka temui.
5
merupakan sahabat yang secara sungguh-sungguh mengikuti majlis Nabi,
banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun dari sudut usia tergolong
jauh dari masa hidup Nabi.
Pada masa Nabi SAW, hadis tidak ditulis secara resmi sebagaimana
al-Qur’an, hal ini dikarenakan adanya larangan dari Nabi. Larangan
menulis hadis dari Rasul sendiri sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Said
al-Khudri, bahwa Rasulullah SAW telah bersabda,
6
Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah)
yang berisi tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash
dengan lembarannya yang diberi nama alSahifah al-Shadiqah, dinamakan
demikian karena ia menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri,
sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya. Begitu juga dengan
Ali ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki
catatan hadis. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul
tentang penulisan hadis, namun karena memang ada riwayat lain yang
menyatakan bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis,
sebagaimana diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn
Amr ibn al-Ash yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari
Rasulullah, karena menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan
marah, sehingga ucapannya tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah
diadukan pada Rasulullah, beliau bersabda:
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi zat yang jiwaku berada
ditanganNya, tidak keluar dari mulutku kecuali kebenaran.”
Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu
riwayat menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadis dan di riwayat
lain menyatakan bahwa Rasul mengizinkannya. Dalam memandang hal ini,
para ulama berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat dua
pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang
penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya. Menurut
mereka, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada awal-awal
Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara hadis dan ayat
al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ayat
al-Qur’an, Namun ketika kekhawatiran tersebut mulai hilang karena para
sahabat telah mengetahui dan terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat
al-Qur’an, sehingga mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan
mana yang bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan
7
hadis. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat
tersebut tidak bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu
dikhususkan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur
adukkan hadis dan alQur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak
dikhawatirkan mencampur adukkan keduanya, yaitu izin seperti yang
dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau dalam kata lain
Rasul melarang penulisan hadis secara resmi, tetapi tetap mengizinkan
para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri. Jadi larangan itu bersifat
umum sedangkan izin hanya berlaku untuk sahabat tertentu. Demikianlah,
hadis pada masa Rasul tidak tertulis kecuali hanya sedikit saja. Setelah
Rasulullah SAW wafat, para sahabat sangat berhati-hati dalam
meriwayatkan hadis karena konsentrasi mereka kepada Alquran yang baru
dikodifikasi pada masa Abu Bakar tahap awal, khalifah Abu Bakar tidak
mau menerima suatu hadis yang disampaikan oleh seseorang, kecuali
orang tersebut mampu mendatangkan saksi untuk memastikan kebenaran
riwayat yang disampaikannya. Dan masa Utsman tahap kedua, masa ini
terkenal dengan masa taqlîl ar-riwayâh (pembatasan periwayatan), para
sahabat tidak meriwayatkan hadis kecuali disertai dengan saksi dan
bersumpah bahwa hadis yang ia riwayatkan benar-benar dari Rasulullah
SAW. Para sahabat merupakan rujukan yang utama bagi dasar ilmu
riwayah hadis. Yakni, karena hadis pada masa Rasulullah SAW merupakan
suatu ilmu yang didengar dan didapatkan langsung dari beliau, maka
setelah beliau wafat hadis di sampaikan oleh para sahabat kepada generasi
berikutnya dengan penuh semangat dan perhatian sesuai dengan daya
hafal mereka masing-masing. Para sahabat juga telah meletakkan
pedoman periwayatan hadis untuk memastikan keabsahan suatu hadis.
Mereka juga berbicara tentang para rijal-nya, hal ini mereka tempuh
supaya dapat diketahui hadis makbul untuk diamalkan dan hadis yang
mardud untuk ditinggalkan. Dan dari sini muncullah mushthalah al-hadits.
8
Pada masa awal Islam belum diperlukan sanad dalam periwayatan hadis
karena orangnya masih jujur-jujur dan saling mempercayai satu dengan
yang lain. Akan tetapi, setelah terjadinya konflik fisik (fitnah) antar elite
politik, yaitu antara pendukung Ali dan Mu’awiyah dan umat berpecah
menjadi beberapa sekte; Syi’ah, Khawarij, dan Jumhur Muslimin. Setelah
itu mulailah terjadi pemalsuan hadis (hadis mawdhû’) dari masing-masing
sekte dalam rangka mencari dukungan politik dari masa yang lebih luas.
Melihat kondisi seperti hal di atas para ulama bangkit membendung hadis
dari pemalsuan dengan berbagai cara, di antaranya rihlah checking
kebenaran hadis dan mempersyaratkan kepada siapa saja yang mengaku
mendapat hadis harus disertai dengan sanad. Pada periode Tabi’in,
penelitian dan kritik matan semakin berkembang seiring dengan
berkembangnya masalah-masalah matan yang para Tabi’in hadapi.
Demikian juga dikalangan ulama-ulama hadis selanjutnya. Perkembangan
ilmu hadis semakin pesat ketika ahli hadis membicarakan tentang daya
ingat para pembawa dan perawi hadis kuat atau tidak (dhâbit), bagaimana
metode penerimaan dan penyampaiaan (thammul wa adâ), hadis yang
kontra bersifat menghapus (nâsikh dan mansûkh) ataukompromi, kalimat
hadis yang sulit dipahami (gharîb al-hadîts), dan lain-lain. Akan tetapi,
aktivitas seperti itu dalam perkembangannya baru berjalan secara lisan
(syafawî) dari mulut ke mulut dan tidak tertulis. Ketika pada pertengahan
abad kedua Hijriyah sampai abad ketiga Hijriyah, ilmu hadis mulai di tulis
dan dikodifikasi dalam bentuk yang sederhana, belum terpisah dari
ilmuilmu lain, belum berdiri sendiri, masih campur dengan ilmu-ilmu lain
atau berbagai buku atau berdiri secara terpisah. Tetapi pada dasarnya,
penulisan hadis baru dimulai pada abad kedua Hijriyah. Imam Syafi’i
adalah ulama pertama yang mewariskan terori-teori ilmu hadisnya secara
tertulis sebagaimana terdapat dalam karyanya. Misalnya ilmu hadis
9
bercampur dengan ilmu ushul fiqih, seperti dalam kitab Ar-Risâlah yang
ditulis oleh Asy-Syafi’i, atau campur dengan fiqih seperti kitab Al-Umm.
Dan solusi hadis-hadis yang kontra dengan diberi nama Ikhtilâf Al-Hadîts
karya Asy-Syafi’i (w. 204 H). Hanya saja, teori ilmu hadisnya tidak
terhimpun dalam pembahasan kitab Ar-Risâlah dan kitab Al-Umm. Sesuai
dengan pesatnya perkembangan kodifikasi hadis yang disebut pada masa
kejayaan atau keemasan hadis, yaitu pada abad ketiga Hijriyah,
perkembangan penulisan ilmu hadis juga pesat, karena perkembangan
keduannya secara beriringan. Namun, penulisan ilmu hadis masih
terpisah-pisah, belum menyatu dan menjadi ilmu yang berdiri sendiri, ia
masih dalam bentuk bab-bab saja. Mushthafa As-Siba’i mengatakan orang
pertama kali menulis ilmu hadis adalah Ali bin Al-Madani, syaikhnya
AlBukhari, Muslim, dan Tirmidzi.7 Dr. Ahmad Umar Hasyim juga
menyatakan bahwa orang pertama yang menulis ilmu hadis adalah Ali bin
Al-Madani dan permasalahannya sebagaimana yang ditulis oleh Al-Bukhari
dan Muslim.8 Di antara kitab-kitab ilmu hadis pada abad ini adalah kitab
Mukhtalif Al-Hadîts, yaitu Ikhtilâf Al-Hadîts karya Ali bin Al-Madani, dan
ta’wîl Mukhtalif Al-Hadîts karya Ibnu Qutaibah (w. 276 H). Kedua kitab
tersebut ditulis untuk menjawab tantangan dari serangan kelompok teolog
yang sedang berkembang pada masa itu, terutama dari golongan
Mu’tazilah dan ahli bid’ah.
B. Fungsi Hadits
10
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka
dan supaya mereka memikirkan. (Qs.16:44)”.
Ayat tersebut menunjukkan bahwa Rasul SAW bertugas
11
mengharamkan keledai jinak (bukan keledai hutan), karena
semua itu termasuk binatang yang kotor-kotor dan yang kejikeji.
2. Al-Qur`ân telah menghalalkan segala minuman yang tidak
memabukan, dan mengharamkan segala mi-numan yang
memabukkan. Di antara yang tidak memabukkan dan yang
memabukkan ada beberapa macam minuman, yang sebenarnya
tidak memabukkan, tetapi dikuatirkan kalau-kalau memabukkan juga,
seperti tuak dari ubi, tuak kedelai, tuak labu, atau tuak yang
ditaruh dalam bejana yang dicat dengan ter dari dalamnya (al-
Muzaffat), juga yang ditaruh di dalam batang kayu yang dilobangi
(al- Naqir), dan yang serupa dengan minuman yang memabukkan
dan membawa kebinasaan. Kemudian Rasulullah SAW kembali
menghalalkan segala sesuatu yang tidak memabukkan.
3. Al-Qur’an telah membolehkan daging hewan-hewan yang ditangkap
oleh hewan-hewan pemburu yang sudah diajar dengan patuh
dan mengerti. Jelas, apabila hewan pemburu itu belum terlatih, maka
haramlah memakan hewan dari hasil buruan (yang
ditangkapnya), karena dikuatirtkan bahwa hewan yang ditangkapnya
itu buat dirinya sendiri. Kemudian timbul pertanyaan yang beredar
antara dua masalah yaitu: apabila hewan pemburu itu
sudah terlatih, tetapi buruan itu ditangkapnya untuk dirinya
sendiri, tidak untuk tuan yang menyuruh-nya, denga tandatanda
bahwa buruannya itu telah dimakannya sendiri sekalipun sedikit,
maka bagaimanakah hukumnya? Sunnah Rasulullah SAW,
menjelaskan bahwa jika buruan itu dimakan oleh anjing pemburu,
maka kaum muslimin dilarang memakannya, karena dikuatirkan
hewan yang ditangkapnya itu untuk dirinya sendiri.
4. Al-Qur`ân melarang orang yang sedang ihram mem-buru buruan
dengan muthlaq, artinya tidak me-makai syarat, apabila larangan itu
12
diabaikannya, maka diwajibkan jaza (balasan) atas orang yang
melanggarnya (membunuhnya). Tetapi larangan memburu itu
dikecualikan bagi orang yang halal, artinya bagi yang tidak
mengerjakan ihram. Pengecualian itu dengan muthlaq juga.
Kemudian timbul pertanyaan: Bagaimana hukumnya orang yang
sedang ihram itu memburu dengan tidak disengaja?, Oleh
Rasul SAW dijelaskan bahwa memburu buruan bagi orang yang sedang
ihram itu, sama saja, hukumnya antara yang sengaja dengan
yang tidak disengaja, dalam kewajibannya menunaikan denda atau
dam.
13
(taqyid) ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat mutlak, dan
mengkhususkan (takhsish) terhadap al-Qur'an yang masih bersifat
umum.
c) Bayan At-Tasyri
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi beberapa pendapat yang sangat
tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadits sebagai naskh
sebagian hukum Al-Qur'an dan ada juga yang menolaknya. Menurut
Abu Hanifah bayan nasakh adalah mengganti suatu hukum atau
menasakh-annya. Sedangkan Imam Syafi’i memberi definisi bayan
nasakh ialah menentukan mana yang di-nasakhkan dan mana yang
kelihatan yang di mansukh dari ayat-ayat Al-Qur'an yang kelihatan
berlawanan.
14
C. Macam-Macam Hadits
1. Hadits Shahih
15
a. Sanadnya bersambung
16
“Hadist yang melengkapi setinggi-tinggi sifat yang
mengharuskan kita menerimanya”
Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam
pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai
sebutan dengan hadist shahih.
Adapun contoh hadist Li-dzatih, yang artinya :
(pokok) Islam itu ada lima perkara : mengakui tidak ada tuhan
selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah,
menegakkan sholat (sembahyang), membayar zakat,
menunaikan puasa di bulan Ramadhan dan menunaikan ibadah
haji” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Hadits Shahih Li-Ghairih
17
Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan penilaian
mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadits ahad yang
shahih, yaitu apakah hadits semacam itu memberi faedah qoth’i
sebagaimana hadits mutawatir, maka hadits-hadits tersebut
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan masalah-masalah
aqidah. Akan tetapi yang menganggap hanya memberi faidah
zhanni, berarti hadits-hadits tersebut tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan soal ini. Para ulama dalam hal ini
berbeda pendapat, sebagai berikut :
Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadits shahih
tidak memberi faidah qath’i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah
untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadits-hadits shahih
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim memberikan qaidah
qath’i.
Ketiga : Pendapat Ibn Hazm, bahwa semua hadits shahih
memberikan faidah qath’i, tanpa dibedakan apakah
diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika
memenuhi syarat ke shahih-hannya, adalah sama dalam
memberikan faidahnya.
2. Hadits Hasan
18
tertuduh dusta (pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz)
dan (hadits tersebut) diriwayatkan pula melalui jalan lain”.
Dari uraian di atas maka dapat dipahami bahwa hadits hasan
tidak memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya kurang
kesempurnaan hafalannya. Di samping itu pula hadits hasan hampir
sama dengan hadits shahih, perbedaannya hanya mengenai
hafalan, di mana hadits hasan rawinya tidak kuat hafalannya.
b) Syarat-syarat Hadist Hasan
c. Sanad-sanadnya bersambung,
19
Artinya :”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah Saw. bersabda:
Barang siapa menuntut ilmu pengetahuan karena selain Allah
atau bertujuan selain Allah maka, tempatnya di dalam neraka”.
b. Hadist Hasan Li-Ghairih H
20
pandangan diantara mereka dalam soal penempatan Rutbah
(urutannya), yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.
3. Hadist Dhaif
21
Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang
Tabi‟in:
“Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12
rakaat setelah sembahyang idul fitri , dan 6 rakaat
sembahyang idul Adha.
b. Dhaif dari sudut matannya.
22
Contoh: Tukar menukar yang terjadi pada matan , Hadits
Muslim dari Abu Hurairah r.a
Artinya: “... dan seseorang yang bersedekah dengan sesuatu
yang sedekah yang disembunyikan, hingga tangan
kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan
oleh tangan kirinya”. Hadits ini terjadi pemutarbalikan
dengan Hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim Sendiri,
pada tempat lain, yang berbunyi.
“(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang
dibelanjakan tangan kanannya.)”.
Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi
Ka‟ab bin Murrah bertukar dengan Murrah bin Ka‟ab dan
Muslim bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan Muslim.
(2) Hadits Mudraf
23
Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara
dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan,
melakukan dan menetapkan.
(2) Hadits Munkar
24
Para ulama sepakat melarang meriwayatkan hadits dhaif
bukan maudhu. Adapun hadits dhaif bukan hadits maudhu‟
maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan
untuk berhujjah.
Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
2. Membolehkan
25
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
Saran :
26
DAFTAR PUSTAKA
27