PASCAKODIFIKASI
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Dr. Suhada, M.Ag
Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik
dan hidayahNya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
membahas materi “Sejarah Hadist yang Meliputi Prakodifikasi dan
Pascakodifikasi”. Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada Junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia
hingga akhir zaman.
Kami telah menyelesaikan makalah guna menyelesaikan tugas mata kuliah
Ulumul Hadist. Dalam pembuatan makalah ini kami telah usahakan semaksimal
mungkin dengan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga kami mengucapkan
terimakasih terhadap pihak-pihak yang telah membantu kami. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.
Kami sadar dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat
kesalahan, baik disengaja maupun tidak sengaja. Untuk itu, kami meminta maaf
yang sebesar-besarnya. Kami mengharapa adanya kritik dan saran yang dapat
membantu menyempurnakan makalah kami.
i
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I
1
2
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
3
C. Tujuan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa di barengi dengan
tujuan tertentu, oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulisan
mengenai tujuan dan kegunaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah
perkembangan Hadits dan pembukuannya, dari zaman Rasulullah hingga
sekarang.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan agar para pelajar
mampu mengkaji dan memahami perkembangan hadits pada masa pra-kodifikasi
dan pasca kodifikasi.
BAB II
4
5
PEMBAHASAN
Rasul adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah SWT dan
diperintahkan penyampaikan kepada umat manusia, tetapi ketika wahyu
yang turun kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang bersifat global
maka diperlukan adanya penjelasan dari Rasul yang memerinci dan
menafsirkan keglobalan tersebut. Penjelasan, perincian dan penafsiran
Rasul terhadap keglobalan al-Qur`an itulah hadits.
Ketika Islam baru muncul di Mekah, Rasul menjadikan dar al-
Arqam sebagai pusat dakwah Islam. Namun setelah Islam berkembang
dengan pesat – yang di mulai di Madinah – tempat pengajaran Islam,
dalam hal ini hadits tidak terfokus hanya pada satu tempat, tetapi
dimana ada kesempatan disitulah hadits diajarkan.1
1
Lukman Zain, MS., Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya
dalam journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm. 3
6
2
Mohammad Gufron, M.Pd, Rahmawati, MA., Ulumul Hadits Praktis dan mudah
(Yogyakarta:Sukses Offset, 2013), hlm.22-23.
3
Prof. Dr. H. Zainul Arifin. MA, Ilmu Hadits Historis & metodologis,(Surabaya:
Pustaka al-Muna, cet. 1, 2014), hlm. 73-76.
4
Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, Vol. 1., 214 (Hadits nomor 124)
7
Di sisi lain, pegangan para sahabat dalam menerima hadits dari Rasul
adalah dengan kekuatan hafalan mereka, hal ini karena para sahabat yang
pandai menulis sangat sedikit jumlahnya. Tetapi keorisinalan hadits sangat
dimungkinkan tetap terjaga karena bangsa Arab pada saat itu mempunyai
kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga merupakan sesuatu hal yang mudah
bagi mereka untuk menghafal hadits-hadits yang datang dari Rasul.5
Beberapa sahabat yang banyak memperoleh pelajaran dari Nabi SAW
dapat dibedakan menjadi kelompuk sebagai berikut:
5
Lukman Zain, MS., Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya
dalam journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014 hlm.3
8
Semua penulis sejarah Nabi SAW, ulama hadits dan umat Islam
sepakat, bahwa al-Qur`an memperoleh perhatian yang penuh dari Rasulullah
SAW maupun dari para sahabat. Nabi SAW selalu memerintahkan kepada
sahabat untuk menulis al-Qur`an di lampiran-lampiran, tulang, pelepah
kurma, batu dan lain-lain.7
Hal ini sangat berbeda dengan penulisan hadits pada masa
Rasulullah, bahkan Nabi SAW hanya memerintahkan kepada para sahabat
untuk menghafalkan hadits-hadits tersebut dan tidak memintanya untuk
dibukukan. Adapun beberapa sebab antara lain:
1. Jika hadits dibukukan, maka Nabi SAW merasa khawatir catatan-catatan
hadits akan bercampur baur dengan catatan-catatan ayat al-Qur`an.8
2. Berhubung pada waktu itu, para sahabat masih banyak yang ummi.
3. Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuan
mereka, untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan.
4. Membukukan ucapan, amalan, serta mu`amalah Nabi adalah suatu hal
yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabar yang terus-
menerus harus menyertai Nabi untuk menulis al-Qur`an, padahal orang-
orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung.9
6
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, Ed. 3, 2009 hlm.30
7
Zainul Arifin, Ilmu Hadits Historis & Metodologis, Surabaya: Pustaka al-Muna, Ed. 1,
2014, hlm.77
8
Lukman Zain, Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm.8
9
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, Ed. 3, 2009, hlm.31
.
9
10
Mohammad Gufron, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Seukses Offset,
2013, hlm. 26.
11
Ibid., 26.
10
12
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 2,
2013), hlm. 52.
13
Muhammad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirah al-Huffazh, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1177)., hlm. 2. Juga lihat Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 12.
11
Tidak lain halnya dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab, beliau juga
sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits Nabi SAW. hal itu terbukti
ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay ibn Ka`ab,
Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para
sahabat lain mendengarnya pula, di antaranya Abu Dzar menyatakan telah
mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan Ubay tersebut.
Hal itu dikarenakan Umar sangatlah berhati-hati dalam menerima hadits
meskipun dari para sahabatnya sendiri. Dalam hal ini Umar juga
menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan
hadits dimasyarakat, alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur`an.
Mendengar hal tersebut, Abu Hurairah yang dilain hari banyak
menyampaikan riwayat hadits, terpaksa menahan diri tidak banyak
meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah pernah menyatakan,
sekiranya dia banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar, niscaya dia
akan dicambuk oleh Umar. Kebijakan Umar tersebut bukan berarti bahwa
Umar sama sekali melarang para sahabat untuk meriwayatkan hadits, tetapi
dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam priwayatan hadits,
dan agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur`an tidak terganggu.
Begitu juga dengan kebijakan Usman ibn Affan tentang periwayatan
hadits tidak jauh berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, tetapi langkah
Usman tidaklah setegas langkah Umar ibn al-Khattab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, Utsman meminta kepada para
sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah
mendengar hadits itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan ini
menunjukkan pengakuan Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah
pendahulunya. Dan sikap hati-hati ini ingin dilanjutkan pada masa
kekhalifahannya.
12
Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan. Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda,
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larangan
melakukan hukum kisas terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.
Maka tecatat bahwa Ali ibn Abi Thalib merupakan periwayat terbanyak bila
dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulu.
Kehati-hatian Ali dalam kegiatan periwayatan hadits sama dengan
masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam pada masa Ali telah
berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Ali, pertentangan politik
dikalangan islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok
pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negatif dalam bidang periwayatan hadits. Kepentingan
politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits.
Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya. Diantara
sahabat Nabi yang menunjukkan sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
antara lain: Annas ibn Malik, Abdullah ibn Umar, dan Sa`ad ibn Abi
Waqqas.14
Pada periode sahabat, terdapat beberapa dokumen-dokumen hadits
tertulis, diantaranya: (1) al-Sahifah Al-Shadiqah yang ditulis oleh `Abdullah
Ibn ‘Amr, (2) Shahifat ‘Aliy ibn Abi Thalib dan al-Shahifat al-Jami’ah yang
ditulis oleh Aliy ibn Abi Thalib, (3) Kitab Faraidh yang ditulis oleh Zaid
Ibn Tsabit, (4) Shahifat Hasan Ibn Aliy yang ditulis oleh hasan ibn ‘Aliy (5)
Shahifat Jabir Ibn Abdillah yang ditulis oleh Jabir Ibn Abdillah (6) Nuskhat
Samurah Ibn Jundub yang ditulis oleh Samurah Ibn Jundub, (7) Kitab dan
Mushhaf Fatimah al-Zahra’ yang ditulis oleh Fatimah Al-Zahra putri
Rasulullah SAW., dan masih banyak lagi dokumen-dokumen hadits yang
tertulis pada masa shahabat.15
14
Lukman Zain, Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm.12-17.
15
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm.128-136.
14
16
Lukman Zain, Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm.18.
17
Mohammad Gufron, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Seukses Offset,
2013, hlm. 32.
18
Zainul Arifin, Ilmu Hadits Historis & Metodologis, Surabaya: Pustaka al-Muna, Ed. 1,
2014, hlm. 86-87
15
Diantara hal lain yang muncul pada periode ini, adalah munculnya
hadits-hadits palsu, hal itu terjadi setelah wafatnya Ali ra. Ketika itu, umat islam
terpecah menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama: golongan Syi`ah, pendukung
Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan Khawarij, penentang Ali dan Mu`awiyah.
Ketiga: golongan Jama`ah, yang tidak mendukung kedua golongan diatas. Maka
ketiga golongan tersebut pada mula-mula mencari hujjah-hujjah untuk
memperkuat golongan mereka dengan mencari dalil dari al-Qur`an, apabila
mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat al-Qur`an dan
menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongan mereka. Langkah terakhir,
apabila mereka tidak menemukan di keduanya (al-Qur`an dan Hadits), maka
mereka memalsukan hadits. Dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits
mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan.19
19
Hasby Ash-Shiddieqy, , Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, Ed. 3, 2009, hlm.50.
16
Mulai saat itu terdapatlah diantara riwayat-riwayat ada yang shahih dan
ada yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak dan beraneka pula. Mula-
mula yang memalsukan hadits adalah golongan Syi`ah sebagaimana yang diakui
sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Syi`ah dalam kitabnya Syarh
Nahju al-Balaghah, dia menulis,”ketehuilah bahwa asal mula timbul hadits yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi`ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Jama`ah, mereka juga membuat
hadits-hadits untuk mengalahkan hadits yang dibuat oleh golongan Syi`ah
tersebut.
Maka dengan keterangan ringkas tersebut nyatalah bahwa kota yang
mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (Iraq) tempat
kaum Syi`ah berpusat.20
20
Ibid., hlm. 51.
21
Idri, studi Hadist, (Jakarta:kencana,2010,cet.1),hlm.93
17
22
Munzier Suparta, Ilmu Hadist, (Jakarta:PT.Raja grafindo Persada,2003),hlm.91-92
18
23
Abdul Majid khon,Ulumul Hadist,hlm.56-58
20
Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadis pada abad-abad ini meliputi beberapa
hal berikut:
a. Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab
sebagaimana dilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Furrat (w. 414 H) dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al-
Jawzaqa dengan kitabnya al-Jami’ bayn al-Shahihayn.
b. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab,
sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd ai-Haqq ibn ‘Abd Rahman al-Syibli
yang dikenal dengan Ibn Khurrath dengan kitabnya al-Jami’.
c. Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab ke dalam satu kitab,
sebagaimana dilakukan oleh al-Imam Husayn ibn Mas’ud al-Baghawi (w.
516 H) dengan kitabnya Mashahib al-sunnah yang kemudian diseleksi
oleh al-Khath ibn al-Thabrizi dengan kitabnya Misykah al-Mashabih.
d. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab hadis, sebagaimana
dilakukan oleh Ibn Taymiyah dengan kitabnya Muntaqa al-Akhbar yang
kemudian disyarah oleh oleh al-Syawkanidengan kitabnya Nayl al-
Awthar.
Faktor Eksternal:
1. Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam
sehingga banyak periwayat Hadist yang tersebar ke berbagai daerah.
2. Kemunculan dan meluasnya pemalsuan Hadist yang disebabkan
antara lain oleh perbedaan politik dan aliran, dan kemudian Hadist
palsu mengancam keberadaan Hadist Nabi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadits pra-kodifikasi meliputi masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan
Tabi’in. Pada periode Rasulullah terdapat larangan penulisan Hadits (Nahyu al-
Kitabah), hanya ada perintah untuk menghafalnya saja dan tidak ada karya buku
yang tertulis dimasa ini, hanya berwujud lembaran-lembaran (shahifah).
Periode kedua: masa Sahabat, hadits tidak terlalu banyak berkembang
karena sikap kehati-hatian para sahabat, dan apabila ingin menyampaikan suatu
hadits, maka harus disertai sumpah dan saksi. Hal ini menunjukkan bahwa
Sahabat sangat mengagungkan perintah nabi agar mendahulukan al-Qur’an. Dan
pada masa sahabat belum terdapat buku-buku hadits, tetapi hanya berupa
lembaran-lembaran (shahifah).
Periode ketiga: masa Tabi’in mulailah penghimpunan dan pengumpulan
hadits (al-Jam’u waat-Tadwin), tetapi pada masa sahabat ini masih banyak hadits
Nabi yang bercampur dengan fatwa sahabat dan aqwal sahabat. Adapun buku-
buku hadits pada masa tabi’in seperti Shahafiyah, Mushannaf, Muwaththa’,
Musnad, dan Jami’ Musnad.
Hadits masa pasca kodifikasi dilakukan dengan cara seleksi atau
penyaringan hadist. Kodifikasi hadist ini terjadi Ketika pemerintahan dipegang
oleh dinasti Bani Abbas, khususnya pada masa Al–Makmun sampai dengan Al-
Muktadir (sekitar Tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini, karena pada
periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa
hadist yang dha’if dari yang shahih bahkan masih ada yang maudhu’ tercampur
pada yang sahih.
23
24
B. Saran
Arifin, Zainul. Ilmu Hadits Historis & Metodologis, (Surabaya: Pustaka al-Muna,
Ed. 1, 2014).
Majid, Abdul, Khon. Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 2, 2013).
25