Anda di halaman 1dari 29

SEJARAH HADIST YANG MELIPUTI PRAKODIFIKASI DAN

PASCAKODIFIKASI
Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadist
Dosen Pengampu : Dr. Suhada, M.Ag

Disusun Oleh :

Muhammad Iqbal Maulana 21.01.00.086


Muhammad Erwinsyah 21.01.00.089
Sarah Salsabila 21.01.00.106

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH JAKARTA
YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM AL-MAHBUBIYAH
JAKARTA
2022 M/1444 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik
dan hidayahNya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
membahas materi “Sejarah Hadist yang Meliputi Prakodifikasi dan
Pascakodifikasi”. Shalawat dan salam tak lupa kami sampaikan kepada Junjungan
Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan umatnya yang setia
hingga akhir zaman.
Kami telah menyelesaikan makalah guna menyelesaikan tugas mata kuliah
Ulumul Hadist. Dalam pembuatan makalah ini kami telah usahakan semaksimal
mungkin dengan bantuan dari berbagai pihak. Sehingga kami mengucapkan
terimakasih terhadap pihak-pihak yang telah membantu kami. Semoga makalah
ini dapat bermanfaat.
Kami sadar dalam penulisan makalah ini, masih banyak terdapat
kesalahan, baik disengaja maupun tidak sengaja. Untuk itu, kami meminta maaf
yang sebesar-besarnya. Kami mengharapa adanya kritik dan saran yang dapat
membantu menyempurnakan makalah kami.

Jakarta, 6 November 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………… i


DAFTAR ISI ……………………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………... 1

A. Latar Belakang ...……………………………………………………..1


B. Rumusan Masalah …………………………………………………... 2
C. Latar Belakang ……………………………………………….....……2

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………….3

A. Sejarah Perkembangan Hadits Pra-Kodifikasi ……………………….3


1. Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW ………………… 3
2. Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa` Rasyidin ...……………...6
3. Perkembangan Hadits pada Masa Tabi’in ….….…………………...11
B. Sejarah Perkembangan Hadits Pasca Kodifikasi …………………….12
1. Kodifikasi Hadits Abad III Hijriyah ...…....………………………....13
2. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah ……………………………...15
3. Kodifikasi Hadis Abad IV-VIII Hijriah Sampai Sekarang ………….16

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………19


A. Kesimpulan ……………………………………………………………...19
B. Saran ………………………………………………………………….….20
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..21

ii
iii
BAB I

1
2

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Al-Qur`an adalah sumber pertama syari`ah Islam dan as-Sunnah adalah


sumber kedua. As-Sunnah merupakan penjelas al-qur`an, perinci hukum-
hukumnya, dan mengeluarkan furu’ ‘cabang’ dari ushul ‘pokok’nya. As-sunnah
adalah praktek nyata ajaran Islam yang dilakukan oleh Rasulullah Muhammad
SAW. Untuk seluruh umat manusia. Hadits merupakan gambaran aktifitas
kenabian yang berhubungan dengan perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW.
yang dijadikan suri tauladan yang baik.
Hadits telah ada sejak awal perkembangan Islam adalah sebuah kenyataan
yang tidak bisa diragukan lagi. Sesungguhnya semasa hidup Rasulullah SAW
adalah wajar sekali jika kaum muslimin (para sahabat r.a.) memperhatikan apa
saja yang dilakukan maupun yang diucapkan oleh beliau, terutama sekali yang
berkaitan dengan fatwa-fatwa keagamaan. Orang-orang Arab yang suka
menghafal dan syair-syair dari para penyair mereka, ramalan-ramalan dari
peramal mereka dan pernyataan-pernyataan dari para hakim, tidak mungkin
lengah untuk mengisahkan kembali perbuatan-perbuatan dan ucapan-ucapan dari
seorang yang mereka akui sebagai Rasul Allah.
Di samping sebagai utusan Allah, Nabi adalah panutan dan tokoh
masyarakat. Selanjutnya dalam kapasitas sebagai apa saja (Rasul, pemimpin
masyarakat,panglima perang, kepala rumah tangga, teman) maka, tingkah laku,
ucapan dan petunjuknya disebut sebagai ajaran Islam. Beliau sendiri sadar
sepenuhnya bahwa agama yang dibawahnya harus disampaikan dan terwujud
secara kongkret dalam kehidupan nyata sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada
kesempatan, Nabi memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan
berbagai media, dan para sahabat juga memanfaatkan hak itu untuk lebih
mendalami ajaran Islam. Dari sinilah, peneliti ingin meneliti tentang sejarah hadits
pra-kodifikasi dan pasca kodifikasi.

B. Rumusan Masalah
3

1. Bagaimanakah Sejarah perkembangan hadits pada masa pra-kodifikasi dan


pasca kodifikasi ?

C. Tujuan
Dalam setiap penelitian apapun bentuknya senantiasa di barengi dengan
tujuan tertentu, oleh karena itu sebagai kelengkapan penjelasan penulisan
mengenai tujuan dan kegunaan penelitian yaitu untuk mengetahui Sejarah
perkembangan Hadits dan pembukuannya, dari zaman Rasulullah hingga
sekarang.
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah diharapkan agar para pelajar
mampu mengkaji dan memahami perkembangan hadits pada masa pra-kodifikasi
dan pasca kodifikasi.
BAB II

4
5

PEMBAHASAN

A. Sejarah Perkembangan Hadits Pra-Kodifikasi

Sejarah perkembangan hadits Pra-kodifikasi terjadi dalam tiga


periode yang akan dibahas di pembahasan selanjutnya, yaitu:

1. Periode pertama, yakni masa Rasulullah (dari 13 SH - 11 H).


2. Periode kedua, yakni masa khulafa` Rasyidin (dari 12 H – 40 H).
3. Periode ketiga, yakni masa Sahabat Kecil dan Tabi`in Besar (41 H – akhir
abad pertama H).

1. Periode Pertama: Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW


a. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadits

Rasul adalah orang yang diberi wahyu oleh Allah SWT dan
diperintahkan penyampaikan kepada umat manusia, tetapi ketika wahyu
yang turun kebanyakan hanya menerangkan hal-hal yang bersifat global
maka diperlukan adanya penjelasan dari Rasul yang memerinci dan
menafsirkan keglobalan tersebut. Penjelasan, perincian dan penafsiran
Rasul terhadap keglobalan al-Qur`an itulah hadits.
Ketika Islam baru muncul di Mekah, Rasul menjadikan dar al-
Arqam sebagai pusat dakwah Islam. Namun setelah Islam berkembang
dengan pesat – yang di mulai di Madinah – tempat pengajaran Islam,
dalam hal ini hadits tidak terfokus hanya pada satu tempat, tetapi
dimana ada kesempatan disitulah hadits diajarkan.1

1
Lukman Zain, MS., Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya
dalam journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm. 3
6

Adapun beberapa cara yang digunakan oleh Rasulullah dalam


menyampaikan Hadits kepada para sahabat yaitu dengan pengajaran
bertahap; berangsur-angsur dalam penyampaian hadits, kemudian
disampaikan ditempat-tempat majlis ta`lim seperti dar al-Arqam yang
telah disebutkan diatas. Selain itu, Rasulullah juga menyampaikan
hadits dengan cara bertutur kata dengan halus dan lembut, juga
menerapkan dalam kehidupan sehari-hari. Rasulullah juga
menyampaikan hadits kepada istri beliau dan kaum wanita yang berada
di majlis. Beliau juga menyampaikan hadits melalui para sahabat
tertentu, kemudian mereka menyampaikan kepada yang lain. Dan beliau
menyampaikan hadits melalui pidato di tempat terbuka, seperti ketika
haji wada` dan fathul Makkah.2

b. Cara Sahabat Memperoleh Hadits dari Nabi SAW.


Adapun cara para sahabat memperoleh hadits dari Nabi SAW (menurut
Prof. Dr. H. Zainul Arifin),3 yakni:
a. Dengan mengikuti majelis-majelis Nabi SAW, seperti pada
khutbah jum`at, khutbah hari raya, setelah shalat berjama`ah, dan
waktu-waktu lain yang tidak ditentukan sesuai dengan kondisi yang
dikehendaki.
b. Dengan cara menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
diri Nabi SAW, seperti apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah,
r.a. bahwa Nabi SAW pada suatu hari melewati orang menjual
makanan, ia menanyakan bagaimana cara menjualnya, kemudian
Nabi mendapat perintah atau wahyu agar memasukkan tangannya
ke dalam tumpukan makanan dan ternnyata bagian dalam
tumpukan itu basah. Kemudian Nabi SAW bersabda: “Tidak
termasuk golongan kami orang-orang yang menipu.”4

2
Mohammad Gufron, M.Pd, Rahmawati, MA., Ulumul Hadits Praktis dan mudah
(Yogyakarta:Sukses Offset, 2013), hlm.22-23.
3
Prof. Dr. H. Zainul Arifin. MA, Ilmu Hadits Historis & metodologis,(Surabaya:
Pustaka al-Muna, cet. 1, 2014), hlm. 73-76.
4
Ahmad bin Hambal, Musnad al-Imam Ahmad, Vol. 1., 214 (Hadits nomor 124)
7

c. Dengan menyaksikan peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa


umat Islam, dalam hal ini mereka menanyakan hukumnya kepada
Nabi SAW, kemudian beliau memberikan fatwa dan jawaban
kepada mereka dan menjelaskan hukum-hukum yang berkenaan
dengan masalah pribadi maupun dengan orang lain.
d. Dengan menyaksikan segala sikap dan tingkah laku Nabi SAW, di
samping memperoleh dengan mengikuti majelis-majelis Nabi, para
sahabat memperoleh hadits dengan menyaksikan segala sikap dan
tingkah laku Nabi dalam hal berkaitan dengan masalah-masalah
ibadah, mu`amalah dan lainnya.

Di sisi lain, pegangan para sahabat dalam menerima hadits dari Rasul
adalah dengan kekuatan hafalan mereka, hal ini karena para sahabat yang
pandai menulis sangat sedikit jumlahnya. Tetapi keorisinalan hadits sangat
dimungkinkan tetap terjaga karena bangsa Arab pada saat itu mempunyai
kekuatan hafalan yang luar biasa, sehingga merupakan sesuatu hal yang mudah
bagi mereka untuk menghafal hadits-hadits yang datang dari Rasul.5
Beberapa sahabat yang banyak memperoleh pelajaran dari Nabi SAW
dapat dibedakan menjadi kelompuk sebagai berikut:

1. Yang mula-mula masuk islam yang dinamai as-sabiqun al-awwalun


seperti khulafa` empat dan Abdullah ibn Mas`ud.
2. Yang berada di samping Nabi SAW. dan bersungguh-sungguh
menghafalnya, seperti Abu Hurairah dan yang mencatat seperti
Abdullah ibn Amr ibn Ash.
3. Yang hidupnya sesudah Nabi SAW., dapat menerima hadits dan sesama
sahabat. Seperti Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
4. Yang erat hubungannya dengan Nabi SAW., yaitu Ummahat al-
Mu`minin, seperti Aisyah dan Ummu salamah.6
c. Kontroversi Penulisan Hadits pada Masa Nabi SAW.

5
Lukman Zain, MS., Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya
dalam journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014 hlm.3
8

Semua penulis sejarah Nabi SAW, ulama hadits dan umat Islam
sepakat, bahwa al-Qur`an memperoleh perhatian yang penuh dari Rasulullah
SAW maupun dari para sahabat. Nabi SAW selalu memerintahkan kepada
sahabat untuk menulis al-Qur`an di lampiran-lampiran, tulang, pelepah
kurma, batu dan lain-lain.7
Hal ini sangat berbeda dengan penulisan hadits pada masa
Rasulullah, bahkan Nabi SAW hanya memerintahkan kepada para sahabat
untuk menghafalkan hadits-hadits tersebut dan tidak memintanya untuk
dibukukan. Adapun beberapa sebab antara lain:
1. Jika hadits dibukukan, maka Nabi SAW merasa khawatir catatan-catatan
hadits akan bercampur baur dengan catatan-catatan ayat al-Qur`an.8
2. Berhubung pada waktu itu, para sahabat masih banyak yang ummi.
3. Nabi percaya atas kekuatan hafalan para sahabatnya dan kemampuan
mereka, untuk memelihara semua ajarannya tanpa catatan.
4. Membukukan ucapan, amalan, serta mu`amalah Nabi adalah suatu hal
yang sukar, karena memerlukan adanya segolongan sahabar yang terus-
menerus harus menyertai Nabi untuk menulis al-Qur`an, padahal orang-
orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung.9

2. Periode Kedua: Perkembangan Hadits pada Masa Khulafa` Rasyidin


(dari 12 H – 40 H)
a. Pengertian Sahabat Nabi SAW

6
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, Ed. 3, 2009 hlm.30
7
Zainul Arifin, Ilmu Hadits Historis & Metodologis, Surabaya: Pustaka al-Muna, Ed. 1,
2014, hlm.77
8
Lukman Zain, Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm.8
9
Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, Ed. 3, 2009, hlm.31
.
9

Menurut Ibnu Hajar dan ahli Hadits lainnya, pengertian sahabat


adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan
beriman dan meninggal dalam keadaan beriman pula. Lebih lanjut lagi
beliau mengatakan, masuk dalam kategori orang yang bertemu Nabi SAW,
baik orang yang lama bermujalasah atau hanya sebentar bersama beliau,
orang yang turut berperang atau tidak. Sahabat yang paling akhir wafatnya
adalah Abu al-Thufail `Amir ibn Wa`ilah al-Laitsi, yang meninggal pada
tahun 110 H di Makkah.10

b. Menjaga Pesan Rasulullah SAW.

Rasulullah sangat disegani dan ditaati oleh para sahabatnya. Mereka


sadar bahwa mentaati Rasulullah adalah wujud dalam berbakti kepada Allah
SWT. Oleh karena itu, para sahabat sangat bersungguh-sungguh dalam
menerima segala yang dajarkan oleh Rasulullah SAW dan mentaatinya.
Beliau berpesan kepada para sahabat agar selalu berpegang teguh kepada al-
Qur`an dan Hadits, sebagaimana sabdanya:

‫ضلُّ ْوا أََب دًا‬


ِ ‫ص ْمتُ ْم ِب ِه َفلَ ْن َت‬ ْ ‫إِنِّ ْي َق ْد َت َر ْك ُت ِف ْي ُك ْم َما إِ ِن‬
َ ‫اع َت‬
)‫اب اهللِ َو ُسنَّ ُة َن ِبيِّ ِه (رواه الحاكم‬ َ ‫ِك َت‬
“Telah kutinggalkan untuk kalian, selama kalian berpegang teguh padanya,
maka kalian tidak akan tersesat selamanya, yaitu kitab Allah dan sunnah
Nabi-Nya (Sunnahku) (HR. al-Hakim).11

c. Cara Sahabat Meriwayatkan Hadits Rasulullah SAW.

10
Mohammad Gufron, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Seukses Offset,
2013, hlm. 26.
11
Ibid., 26.
10

Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, para sahabat belum


mempunyai fikiran untuk penghimpunan dan pengkodifikasian hadits
karena banyak problem yang dihadapi, diantaranya timbulnya kelompok
yang murtad, timbulnya peperangan sehingga banyak penghafal al-Qur`an
yang gugur dan konsentrasi mereka bersama Abu Bakar dalam
membukukan al-Qur`an. Demikian juga kasus lain, kondisi orang-orang
asing/non-Arab yang masuk Islam yang tidak paham bahasa Arab secara
baik sehingga dikhawatirkan tidak bisa membedakan antara al-Qur`an dan
hadits.12
Menurut Muhammad al-Dzahabi, Abu Bakar merupakan sahabat
nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan
hadits. Hal ini terlihat ketika Abu Bakar dalam periwayatan hadits pada
tindakannya yang telah membakar catatan-catatan hadits miliknya. Putri
Abu Bakar Aisyah r.a. menyatakan bahwa Abu Bakar telah membakar
catatan yang berisi sekitar lima ratus hadits, menjawab pertanyaan Aisyah
r.a., Abu Bakar menjelaskan bahwa dia membakar catatan itu karena dia
khawatir berbuat salah dalam periwayatn hadits. Hal ini telah membuktikan
sikap kehati-hatian Abu Bakar dalam periwayatan hadits.13
Maka, dapat dimaklumi bila jumlah Hadits yang diriwayatkan relatif
tidak banyak, padahal dia seorang sahabat yang telah lama bergaul lama dan
sangat akrab dengan Nabi SAW, mulai dari masa sebelum Nabi hijrah ke
Madinah sampai wafat.

12
Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag., Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 2,
2013), hlm. 52.
13
Muhammad al-Dzahabi, Kitab Tadzkirah al-Huffazh, (Beirut: Dar al-Kutub al-
Ilmiyah, 1177)., hlm. 2. Juga lihat Lukman Zain, Sejarah Hadits, Dhiya`…, 12.
11

Tidak lain halnya dengan Khalifah Umar ibn al-Khattab, beliau juga
sangat berhati-hati dalam periwayatan hadits Nabi SAW. hal itu terbukti
ketika Umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay ibn Ka`ab,
Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para
sahabat lain mendengarnya pula, di antaranya Abu Dzar menyatakan telah
mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan Ubay tersebut.
Hal itu dikarenakan Umar sangatlah berhati-hati dalam menerima hadits
meskipun dari para sahabatnya sendiri. Dalam hal ini Umar juga
menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan
hadits dimasyarakat, alasannya, agar masyarakat tidak terganggu
konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur`an.
Mendengar hal tersebut, Abu Hurairah yang dilain hari banyak
menyampaikan riwayat hadits, terpaksa menahan diri tidak banyak
meriwayatkan hadits pada masa Umar. Abu Hurairah pernah menyatakan,
sekiranya dia banyak meriwayatkan hadits pada masa Umar, niscaya dia
akan dicambuk oleh Umar. Kebijakan Umar tersebut bukan berarti bahwa
Umar sama sekali melarang para sahabat untuk meriwayatkan hadits, tetapi
dimaksudkan agar masyarakat lebih berhati-hati dalam priwayatan hadits,
dan agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur`an tidak terganggu.
Begitu juga dengan kebijakan Usman ibn Affan tentang periwayatan
hadits tidak jauh berbeda dengan dua khalifah sebelumnya, tetapi langkah
Usman tidaklah setegas langkah Umar ibn al-Khattab.
Dalam suatu kesempatan khutbah, Utsman meminta kepada para
sahabat agar tidak banyak meriwayatkan hadits yang mereka tidak pernah
mendengar hadits itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Pernyataan ini
menunjukkan pengakuan Usman atas sikap hati-hati kedua khalifah
pendahulunya. Dan sikap hati-hati ini ingin dilanjutkan pada masa
kekhalifahannya.
12

Usman pribadi tampaknya memang tidak banyak meriwayatkan


hadits. Ahmad ibn Hanbal meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari
riwayat Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itu pun banyak matan hadits
yang terulang, karena perbedaan sanad. Dengan demikian, jumlah hadits
yang diriwayatkan oleh Usman tidak sebanyak yang diriwayatkan oleh
Umar ibn Khattab.
Dari uaraian tersebut dapat dikemukakan bahwa pada masa Usman
ibn Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits telah lebih banyak
bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada masa Umar. Usman
melalui khutbahnya telah menyampaikan seruan agar umat Islam berhati-
hati dalam meriwayatkan hadits. Akat tetapi seruan itu tidak terlihat begitu
besar pengaruhnya terhadap para periwayat tertentu yang bersikap “longgar”
dalam periwayatan Hadits. Hal itu terjadi, karena selain pribadi Usman tidak
sekeras pribadi Umar, juga karena wilayah Islam telah semakin luas.
Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesulitan
pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
Tidak berbeda dengan sikap Khalifah Ali ibn Abi Thalib dengan
ketiga khalifah sebelumnya dalam periwayatan hadits. Secara umum Ali
barulah bersedia menerima riwayat hadits setelah periwayat hadits yang
bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu
benar-benar berasal dari Nabi SAW. kecuali kepada periwayat yang benar-
benar dipercaya olehnya.
Dengan demikian dapat dinyatakan, fungsi sumpah dalam
periwayatan hadits bagi Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan
periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang
menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar diyakini tidak mungkin
keliru.
13

Ali ibn Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi.
Hadits yang diriwayatkannya, selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk
tulisan. Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda,
pembebasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larangan
melakukan hukum kisas terhadap orang islam yang membunuh orang kafir.
Maka tecatat bahwa Ali ibn Abi Thalib merupakan periwayat terbanyak bila
dibandingkan dengan ketiga khalifah pendahulu.
Kehati-hatian Ali dalam kegiatan periwayatan hadits sama dengan
masa sebelumnya. Akan tetapi situasi umat islam pada masa Ali telah
berbeda dengan masa sebelumnya. Pada masa Ali, pertentangan politik
dikalangan islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok
pendukung Ali dengan pendukung Muawiyah telah terjadi. Hal ini
membawa dampak negatif dalam bidang periwayatan hadits. Kepentingan
politik telah mendorong pihak-pihak tertentu melakukan pemalsuan hadits.
Dengan demikian, tidak seluruh periwayat hadits dapat dipercaya. Diantara
sahabat Nabi yang menunjukkan sikap hati-hati dalam periwayatan hadits
antara lain: Annas ibn Malik, Abdullah ibn Umar, dan Sa`ad ibn Abi
Waqqas.14
Pada periode sahabat, terdapat beberapa dokumen-dokumen hadits
tertulis, diantaranya: (1) al-Sahifah Al-Shadiqah yang ditulis oleh `Abdullah
Ibn ‘Amr, (2) Shahifat ‘Aliy ibn Abi Thalib dan al-Shahifat al-Jami’ah yang
ditulis oleh Aliy ibn Abi Thalib, (3) Kitab Faraidh yang ditulis oleh Zaid
Ibn Tsabit, (4) Shahifat Hasan Ibn Aliy yang ditulis oleh hasan ibn ‘Aliy (5)
Shahifat Jabir Ibn Abdillah yang ditulis oleh Jabir Ibn Abdillah (6) Nuskhat
Samurah Ibn Jundub yang ditulis oleh Samurah Ibn Jundub, (7) Kitab dan
Mushhaf Fatimah al-Zahra’ yang ditulis oleh Fatimah Al-Zahra putri
Rasulullah SAW., dan masih banyak lagi dokumen-dokumen hadits yang
tertulis pada masa shahabat.15

14
Lukman Zain, Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm.12-17.

15
Saifuddin, Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011), hlm.128-136.
14

3. Periode Ketiga: Perkembangan Hadits pada Masa Tabi’in (41 H – akhir


abad pertama H)

Sebagaimana para sahabat, para tabi`in juga cukup berhati-hati dalam


periwayatan hadits. Hanya saja beban mereka tidak terlalu berat jika dibanding
dengan yang dihadapi para sahabat.16 Pada masa tabi`in pula, islam telah meluas
ke negeri Syam, Irak, Mesir, Samarkand, bahkan pada tahun 93 Hijriyah sampai
ke Spanyol. Para tabi`in menerima riwayat hadits dari para sahabat, baik di
Masjid-masjid ataupun yang lainnya, ada yang dalam bentuk catatan-catatan dan
ada pula yang dihafal. Pada masa ini pula al-Qur`an sudah dikumpulkan dalam
satu mushaf, sehingga tidak lagi menghawatirkan mereka. Selain itu pada masa
akhir khulafa` al-Rasyidin (pada masa Usman ibn Affan) para sahabat ahli hadits
telah menyebar ke beberapa wilayah kekuasaan Islam.17
Pada saat ini, hadits mulai diperhatikan secara penuh tidak sebagaimana
pada masa awal khulafa` al-Rasyidin, dan disebarkan secara luas dengan tidak
hanya ketika diperlukan, namun juga sebagai pelajaran, sehingga keberadaan
sahabat di suatu kota sangat menarik para Tabi`in untuk menghimpun hadits.
Adapun kota-kota yang dikenal sebagai pusat hadits adalah Madinah, Mesir,
Maghribi, Andalusia, Yaman, Jurjan, dan Khurasan.18

16
Lukman Zain, Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya dalam
journal Dhiya` al-Afkar, Vol. 2, No. 01. Juni 2014, hlm.18.
17
Mohammad Gufron, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah, Yogyakarta: Seukses Offset,
2013, hlm. 32.
18
Zainul Arifin, Ilmu Hadits Historis & Metodologis, Surabaya: Pustaka al-Muna, Ed. 1,
2014, hlm. 86-87
15

Diantara hal lain yang muncul pada periode ini, adalah munculnya
hadits-hadits palsu, hal itu terjadi setelah wafatnya Ali ra. Ketika itu, umat islam
terpecah menjadi tiga golongan, yaitu: Pertama: golongan Syi`ah, pendukung
Ali bin Abi Thalib. Kedua: golongan Khawarij, penentang Ali dan Mu`awiyah.
Ketiga: golongan Jama`ah, yang tidak mendukung kedua golongan diatas. Maka
ketiga golongan tersebut pada mula-mula mencari hujjah-hujjah untuk
memperkuat golongan mereka dengan mencari dalil dari al-Qur`an, apabila
mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat al-Qur`an dan
menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongan mereka. Langkah terakhir,
apabila mereka tidak menemukan di keduanya (al-Qur`an dan Hadits), maka
mereka memalsukan hadits. Dan yang pertama mereka palsukan adalah hadits
mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan.19

19
Hasby Ash-Shiddieqy, , Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang: PT Pustaka
Rizki Putra, Ed. 3, 2009, hlm.50.
16

Mulai saat itu terdapatlah diantara riwayat-riwayat ada yang shahih dan
ada yang palsu. Dan kian hari kian bertambah banyak dan beraneka pula. Mula-
mula yang memalsukan hadits adalah golongan Syi`ah sebagaimana yang diakui
sendiri oleh Ibnu Abi al-Hadid, seorang ulama Syi`ah dalam kitabnya Syarh
Nahju al-Balaghah, dia menulis,”ketehuilah bahwa asal mula timbul hadits yang
menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan Syi`ah sendiri.”
Perbuatan mereka ini ditandingi oleh golongan Jama`ah, mereka juga membuat
hadits-hadits untuk mengalahkan hadits yang dibuat oleh golongan Syi`ah
tersebut.
Maka dengan keterangan ringkas tersebut nyatalah bahwa kota yang
mula-mula mengembangkan hadits-hadits palsu ialah Baghdad (Iraq) tempat
kaum Syi`ah berpusat.20

B. Perkembangan Hadis Pada Masa Pasca Kodifikasi


Pada masa ini kodifikasi dilakukan dengan cara seleksi atau penyaringan
hadist kodifikasi hadist ini terjadi Ketika pemerintahan dipegang oleh dinasti
Bani Abbas, khususnya pada masa Al–Makmun sampai dengan Al-Muktadir
(sekitar Tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini, karena pada
periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan
beberapa hadist yang dha’if dari yang shahih bahkan masih ada yang maudhu’
tercampur pada yang sahih.21 Dalam masa pasca kodifikasi ini terdapat
beberapa tahapan, sebagai berikut:
1. Kodifikasi Hadist Abad III Hijriah

20
Ibid., hlm. 51.
21
Idri, studi Hadist, (Jakarta:kencana,2010,cet.1),hlm.93
17

Pada abad ketiga Hijriah ini merupakan masa penyaringan dan


pemisah antara sabda Rasulullah dengan Fatwa sahabat dan tab’in. Masa
penyeleksian ini terjadi pada zaman Bani Abbasyiyah, yakni al-Ma’mun
sampai al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H). Pada saat ini pula mulai
dibuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat untuk menentukan apakah suatu
hadist itu sahih atau dho’if. Para ulama hanya menulis dan penelitian
mereka untuk diteliti kejujurannya, kekuatan hafalannya, dan lain
sebagainya. Para ulama hanya menulis dan mengumpulkan hadist-hadist
Nabi lengkap dengan hafalan, dan lain sebagainya. Para ulama hanya
menulis dan mengumpulkan hadis-hadis Nabi lengkap dengan sandnya,
yang kemudian kitab-kitab hadist hasil karya mereka disebut Musnad.
Banyak kitab-kitab Musnad yang ditulis dari Abad II sampai Abad
III Hijriah, diantaranya kitab-kitab yang ditulis oleh Abu Dawud
Sulayman ibn Jarud al-Thayali (204 H), Abu bakr ‘AbdAllah ibn Zubayr
al-Bashri (228 H), Ahmad ibn Hanbal (241 H/885 H), Ishaq ibn Rawath
(161-238 H), dan Ustman ibn Abi Syaybah (156-239 H). Diantara
Musnad-Musnad itu, Musnad karya Ahmad ibn Hanbal-lah yang
terlengkap dan paling luas cakupannya. 22
Pada periode Abad ke III H ini disebut masa kejayaan sunnah (Min
‘Ushur Al-Izdihar) atau disebut masa kemasan sunnah (Min Al-jami’ Ash-
shahih) yang dipedomani oleh umat Islam dan buku-buku hadist Musnad.
Maksud buku Induk Hadist enam ialah buku Hadist yang dijadikan
pedoman dan referensi para ulama Hadist berikutnya, yaitu;
1. Al-Jami’ Ash-Shahih li Al-Bukhari (194-256 H)
2. Al-Jami’ Ash-Shahih li Muslim bin Al-Hajjaj Al-Qusyayri
(204-261 H)
3. Sunan An-Nasa’i li Ahmad ibn Syu’aib al-Khurasani al-
Nasa’i (215-303 H)
4. Sunan Abu Dawud li Abu Dawud Sulayman ibn al-Asy’ast
al-Sijintani (202-276 H)

22
Munzier Suparta, Ilmu Hadist, (Jakarta:PT.Raja grafindo Persada,2003),hlm.91-92
18

5. Jami’ At-Tirmidzi li Abu ‘Isa Muhammad ibn ‘Isa ibn


Surah al-Turmudzi (209-269 H)
6. Sunan Ibn Majah Al-Qazwini li ‘Abd Allah ibn Muhammad
ibn Yazid ibn’Abd Allah al-Qazwini (209-276 H)
Periode ini masa yang paling sukses dalam pembukuan hadis,
sebab pada masa ini ulama hadis telah berhasil memisahkan hadis Nabi
SWA dari yang bukan hadis atau dari hadis Nabi dari perkataan sahabat
dan fatwanya yang telah berhasil pula mengadakan filterisasi
(penyaringan) yang sangat teliti apa saja yang dikatakan Nabi, sehingga
telah dapat dipisahkan mana hadis yang shahih dan mana yang bukan
shahih. Dan yang pertama kali berhasil membukukan hadis shahih saja
adalah Al-Bukhori kemudian disusul Imam Muslim. Oleh karena itu, pada
periode ini juga disebut masa kodifikasi dan fiterisasi (Ashr Al-jami’ wa
At-Tashhih).
Sebagaian ulama pada periode ini juga ada yang mengkodifikasikan hadis
menurut berdasarkan nama periwayat para sahabat yang diperolehnya yang
disebut dengan bentuk Musnad, seperti:
1. Musnad Abu Dawud Sulaiman bin Dawud Ath-thayalisi (w.204 H).
2. Musnad Abu Bakar Abdullah bin Az-Zubair Al-Humaidi (w.219 H).
3. Musnad Al-Imam Ahmad bin Hanbal (w. 211 H).
4. Musnad Abu Bakar Ahmad bin Amar Al-Bazzar (w. 204 H).
5. Musnad Abi Ya’la Ahmad bin Ali Al-Mutsanna Al-Mushili (w. 307 H).
Perkembangan pembukuan hadis pada periode abad III ini ada 3 bentuk, yaiti
sebagai berikut:
1. Musnad, yaitu menghimpun semua hadis dari tiap-tiap sahabat tanpa
memperhatikan masalah atau topiknya, tidak perbab seperti Fikih dan
kualitas hadisnya ada yang shahih, hasan, dan dha’if. Misal, semua Hadis
Nabi yang diperoleh dari periwayat Abu Hurairah dikelompokan pada bab
hadis-hadis AbuHurairah. Contoh kitab yang disusun secara musnad ialah:
Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dan Musnad Ahmad
Rahawaih (161-238 H).
19

2. Al-Jami’, yaitu teknik mengakumulasi sembilan masalah yaitu aqa’id,


hukum, perbudakan(riqaq), adab makan minum, tafsir, tarikh dan sejarah,
sifat-sifat akhlak, (syama’il), fitnah ( fitan), dan sejarah (Manakib).
Misalnya kitab Al- Jami’ As-Shahih li Al-bukhari, Al-Jami’ As-Shahih li
Muslim dan Jami’ At-Tirmidzi.
3. Sunan, teknik penghimpunan hadis secara bab seperti fiqh, setiap bab
memuat beberapa hadis dalam satu topik, seperti Sunan An-Nasa’i, Sunan
ibn Majah, dan Sunan abu Dawud.23

2. Kodifikasi Hadis Abad IV-VII Hijriah


Kalau Abad pertama, kedua, dan ketiga, hadis berturut-turut
mengalami masa periwayatan, penulisan, pembukuan, serta penyaringan
dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, yang sistem pengumpulannya
didasarkan pada pencarian sendiri, maka pada Abad keempat dan
seterusnya digunakan metode yang berlainan. Demikian pula, para ulama
yang terlibat pada sebelum abad keempat disebut ulama mutaqaddimun
dan ulama yang terlibat dalam kodifikasi hadis pada Abad keempat dan
seterusnya disebut ulama mutaakhirun.
Hadis-hadis yang dikumpulkan oleh ulama pada Abad ini
kebanyakan dikutib dari kitab-kitab karya ulama mutaqaddimun, sedikit
sekali yang mencari kepada para penghafal hadis, karena semua hadis
sudah ditulis dalam beberapa kitab sehingga tradisi periwayatan hadis
mulai berkuranng.
Pembukuan pada periode ini bertujuan untuk mengembangkan
variasi pen-tadwin-an terhadap kitab hadis-hadis yang sudah ada, seperti
al-Kutub, al-Sittah, al-Muwaththa’ Imam Malik ibn Anas, dan Al-Musnad
Ahmad ibn Hanbal, untuk menyusun kitab-kitab yang berbentuk jawami’,
takhrij, athraf, syarah,dan muktashar, dan menyusun hadis untuk topik-
topik tertentu.

23
Abdul Majid khon,Ulumul Hadist,hlm.56-58
20

Dengan demikian, usaha-usaha ulama hadis pada abad-abad ini meliputi beberapa
hal berikut:
a. Mengumpulkan hadis-hadis al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab
sebagaimana dilakukan oleh Ismail ibn Ahmad yang dikenal dengan
sebutan Ibn al-Furrat (w. 414 H) dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al-
Jawzaqa dengan kitabnya al-Jami’ bayn al-Shahihayn.
b. Mengumpulkan hadis-hadis dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab,
sebagaimana dilakukan oleh ‘Abd ai-Haqq ibn ‘Abd Rahman al-Syibli
yang dikenal dengan Ibn Khurrath dengan kitabnya al-Jami’.
c. Mengumpulkan hadis-hadis dari berbagai kitab ke dalam satu kitab,
sebagaimana dilakukan oleh al-Imam Husayn ibn Mas’ud al-Baghawi (w.
516 H) dengan kitabnya Mashahib al-sunnah yang kemudian diseleksi
oleh al-Khath ibn al-Thabrizi dengan kitabnya Misykah al-Mashabih.
d. Mengumpulkan hadis-hadis hukum dalam satu kitab hadis, sebagaimana
dilakukan oleh Ibn Taymiyah dengan kitabnya Muntaqa al-Akhbar yang
kemudian disyarah oleh oleh al-Syawkanidengan kitabnya Nayl al-
Awthar.

3. Kodifikasi Hadits Abad Ketujuh Hijriah Sampai Sekarang


Kodifikasi hadis yang dilakukan dengan abad ketujuh dilakukan
dengan cara menertibkan isi kitab hadis, menyaringnya dan menyusun
kitab takhrij, membuat kitab jami’ yang umum, kitab yang mengumpulkan
kitab hadis hukum, mentahrij hadis yang terkenal di masyarakat,
menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadis disertai dengan menerangkan
derajatnya, mengumpulkan hadis dari shahih bukhari dan shahih muslim,
men-tashih sejumlah hadis yang belum di tashih oleh ulama sebelumnya ,
mengumpulkan hadis-hadis tertentu sesuai topik dan mengumpulkan hadis
dalam jumlah tertentu.
Periode ini memang tidak jauh berbeda dengan abad sebelumnya
ketika muncul kitab-kitab hadis yang model penyusunanya hampir sama
seperti penyusunan kitab-kitab jami’, tahkrij, athraf.
21

Kitab-kitab jawami’ umum yang mengumpulkan hadis yang


terdapat dalam beberapa kitabantaralain:jami’ al masanid wa sunan al hadi
ila qawam al sunan karya al hafidz ibnu katsir (w. 774 h)

4. Faktor-faktor pendorong Kodifikasi Hadis


Kodifikasi hadis pada zaman Umar ibn Abd Al-aziz dilatar
belakangi oleh dua faktor yaitu: pertama, para ulama hadis telah tersebar
ke berbagai negeri, di khawatirkan hadis akan hilang bersama wafatnya
mereka, sementara generasi penerus tidak diperkirakan tidak menaruh
perhatian terhadap hadis. Kedua, banyak berita yang diada-adakan oleh
orang-orang yang suka berbuat bid’ah seperti Khawarij, Rhafidhah,
Syi’ah dan lain-lain.
Faktor-faktor penyebab dilakukanya kodifikasi hadis tersebut dapat
menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
Faktor internal :
1. Hadist Nabi sangat berarti dalam rangka untuk memberikan petunjuk
bagi umat Islam untuk kemaslahatan dalam menempuh kehidupan
dunia dan akhirat.
2. Semangat untuk menjaga Hadist, sebagai salah satu warisan Nabi
yang sangat beharga karena nabi pernah bersabda bahwa beliau
meninggalkan dua hal yang jika umat islam berpegangan pada
keduanya mereka tidak akan tersesat selamanya, yaitu Al-Qur’an dan
Hadist Nabi (HR.Al-Hakim Al Nasyaburi).
3. Semangat keilmuan yang tertanam dalam umat Islam saat itu
termasuk di dalam nya aktifitas tulis menulis dan priwayatan Hadist.
4. Adanya kebolehan dan izin untuk menulis Hadist pada saat itu.
5. Para penghafal periwayatan Hadist semakin berkurang karena
meninggal dunia baik disebabkan karena adanya peperangan maupun
yang lainnya.
6. Rasa bangga dan puas Ketika mampu menjaga Hadist Nabi dengan
menghafal dan kemudian meriwayatkannya.
22

Faktor Eksternal:
1. Penyebaran Islam dan semakin meluasnya daerah kekuasaan islam
sehingga banyak periwayat Hadist yang tersebar ke berbagai daerah.
2. Kemunculan dan meluasnya pemalsuan Hadist yang disebabkan
antara lain oleh perbedaan politik dan aliran, dan kemudian Hadist
palsu mengancam keberadaan Hadist Nabi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadits pra-kodifikasi meliputi masa Rasulullah SAW, Sahabat, dan
Tabi’in. Pada periode Rasulullah terdapat larangan penulisan Hadits (Nahyu al-
Kitabah), hanya ada perintah untuk menghafalnya saja dan tidak ada karya buku
yang tertulis dimasa ini, hanya berwujud lembaran-lembaran (shahifah).
Periode kedua: masa Sahabat, hadits tidak terlalu banyak berkembang
karena sikap kehati-hatian para sahabat, dan apabila ingin menyampaikan suatu
hadits, maka harus disertai sumpah dan saksi. Hal ini menunjukkan bahwa
Sahabat sangat mengagungkan perintah nabi agar mendahulukan al-Qur’an. Dan
pada masa sahabat belum terdapat buku-buku hadits, tetapi hanya berupa
lembaran-lembaran (shahifah).
Periode ketiga: masa Tabi’in mulailah penghimpunan dan pengumpulan
hadits (al-Jam’u waat-Tadwin), tetapi pada masa sahabat ini masih banyak hadits
Nabi yang bercampur dengan fatwa sahabat dan aqwal sahabat. Adapun buku-
buku hadits pada masa tabi’in seperti Shahafiyah, Mushannaf, Muwaththa’,
Musnad, dan Jami’ Musnad.
Hadits masa pasca kodifikasi dilakukan dengan cara seleksi atau
penyaringan hadist. Kodifikasi hadist ini terjadi Ketika pemerintahan dipegang
oleh dinasti Bani Abbas, khususnya pada masa Al–Makmun sampai dengan Al-
Muktadir (sekitar Tahun 201-300 H). Munculnya periode seleksi ini, karena pada
periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa
hadist yang dha’if dari yang shahih bahkan masih ada yang maudhu’ tercampur
pada yang sahih.

23
24

B. Saran

Dalam menyusun makalah hadits pra-kodifikasi, yaitu pada masa


Rasulullah SAW, Sahabat, tabi’in, dan masa pembukuan dan perkembangan
hadits pastilah makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu bagi para
mahasiswa, pembaca dan khususnya dosen pengampu mata kuliah studi hadits,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran.
DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Zainul. Ilmu Hadits Historis & Metodologis, (Surabaya: Pustaka al-Muna,
Ed. 1, 2014).

Dzahabi, Muhammad. Kitab Tadzkirah al-Huffadz, (Beirut: Dar al-Kutub al-


Islamiyah, 1177).

Gufron, Muhammad., Rahmawati., Ulumul Hadits Praktis dan Mudah,


(Yogyakarta: Seukses Offset, 2013).

Hambal, Bin Ahmad. Musnad al-Imam Ahmad, ( Vol. 1).

Majid, Abdul, Khon. Ulumul Hadits, (Jakarta: Bumi Aksara, Ed. 2, 2013).

Muhammad, Hasby Ash-Shiddieqy, Teungku. Sejarah dan Pengantar Ilmu


Hadits, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, Ed. 3, 2009).

Saifuddin., Arus Tradisi Tadwin Hadits dan Historiografi Islam, (Yogyakarta:


Pustaka Pelajar, 2011).

Zain, Lukman, “Sejarah Hadits Pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya”,


Dhiya’ al-Afkar, Journal IAIN Syeikh Nurjati Cirebon, Vol. 2. No. 01.
(Cirebon, 2014).

Idri, Studi Hadist, Jakarta: kencana,2010,cet.1

Suparta,Munzier. Ilmu Hadist. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2003

Khon,Abdul Majid. Ulumul Hadist

25

Anda mungkin juga menyukai