Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH HADITS PRA-KODIFIKASI

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 3

1. MHD ALWI RITONGA NIM : (2230100023)


2. SELTINA PUTRI MARBUN NIM : (2230100006)

Dosen Pengampu :

FAUZI RIZAL S.Ag, M.A

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UIN SYEKH ALI HASAN AHMAD ADDARY
PADANGSIDIMPUAN

T.A 2023
BAB I

PEMBUKAAN

A. Latar Belakang
Hadits merupakan pedoman kedua bagi umat Islam di dunia setelah
Al-Qur’an, yang tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam
disiplin ajaran Islam. Hadits atau yang lebih dikenal dengan Sunnah
adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.
Dengan demikian, keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya
sangat berbeda dengan Al-Qur’an.
Penulisan dan pembukuan Al-Qur’an lebih dulu ditulis dan
dibukukan dibandingkan hadits. Hal ini dikarenakan, salah satu fungsi
hadits adalah menjelaskan apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an danada
larangan untuk membukukan Al-Qur’an dan hadits dalam waktu yang
sama. Dalam makalah ini akan dibahas sejarah perkembangan hadits sejak
masa pra kodifikasi dan masa kodifikasi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pra-kodifikasi pada masa
Rasulullah SAW?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pra-kodifikasi pada masa
sahabat?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pra-kodifikasi pada masa
tabi’in?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN HADITS PRA KODIFIKASI PADA MASA


RASULULLAH SAW, SAHABAT DAN TABI’IN
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah
dilalui oleh hadits dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan,
penghayatan dan pengalaman umat dari generasi ke generasi dan dalam
beberapa periode tersebut ada yang termasuk pra kodifikasi (sebelum
dibukukan) danada juga yang termasuk kodifikasi (setelah dibukukan).1
Kodifikasi atau tadwin (‫ )التدوين‬hadits artinya adalah pencatatan atau
pembukuan hadits. Istilah tadwin menurut bahasa Arab, dari kata dawwana-
yudawwinu yang berarti penyusunan yang berserakan, pengumpulan,
penilaian, peraturan dan perundang-undangan.2 Dalam Bahasa popular
disebut kodifikasi yang berasal dari bahasa Inggris, condification yang berarti
penyusunan secara sistematis.3 Menurut Dr. Muhammad ibn Mathar Al-
Azharani tadwin adalah:

ُّ ‫ب َتجْ َم ُع ِف ٌْ ِه ال‬
ُ‫صحُف‬ ٍ ‫ان اَ ْو ِك َتا‬ ِ ‫َت ْق ٌِ ٌْ ُد ْال ُم َت َفرَّ ِق ْال ُم َش َّت‬
ٍ ‫ت َو َجم ُع ُه ِفًْ ِدٌ َْو‬
“Mengikat yang berserak-serakan kenudian mengumpulkannya menjadi satu
diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”
Periodisasi sejarah perkembangan hadits pra kodifikasi meliputi :
1. Masa Rasulullah
2. Masa Sahabat Besar, semenjak permulaan masa pemerintahan Abu Bakar
sampai berakhirnya zaman Ali bin Abi Thalib

1 . Annisa,“Sejarah Hadits Meliputi Pra Modifikasi dan Modifikasinya” diakses dari http://annisa-
elrumaisha.blogspot.com/2012/04/sejarah-hadits-meliputi-pra-modifikasi.html, pada 24 Februari
2017 pukul 19:15 WIT.
2 . Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Multi
Karya Grafika, 1998), hlm.919
3 . John M, Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1997),
hlm.122

2
3. Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar

B. PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA RASULULLAH SAW


Masa ini dikenal dengan masa wahyu dan pembentukan hukum serta
dasar-dasarnya, dimulai pada permulaan Nabi diangkat menjadi Rasulullah
hingga wafat. Perkembangan hadits pada masa ini ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
a. Para sahabat menerima dan memperoleh hadits dengan cara berhubungan
langsung dengan Nabi, baik ketika safar (perjalanan) ataupun muqim
(berdiam) untuk menanyakan berbagai masalah atau mengetahui perbuatan
dan akhlak Nabi yang perlu dicontoh. Para sahabat tidak memiliki
penguasaan hadits yang sama antara satu dan lainnya. Hal ini bergantung
pada beberapa hal berikut :
a) Perbedaan kesempatan bersama Rasulullah SAW
b) Perbedaan kesanggupan untuk selalu bersama Rasulullah Saw
c) Perbedaan kekuatan hafalan dan kesungguhan bertanya kepada
sahabat lain
d) Perbedaan waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal mereka dari
majelis Rasulullah SAW
Para sahabat yang sering menerima pelajaran Rasulullah SAW, yaitu :
a) Yang pertama masuk Islam, seperti khalifah empat dan Abdullah bin
Mas’ud
b) Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh-sungguh
menghafal hadits, seperti Abu Hurairah dan Abdullah bin Amr bin
Ash
c) Yang lama hidupnya sesudah Nabi karena dapat menerima hadits dari
sesame sahabat, seperti Anas bin Malik dan Abdullah bin Abbas
d) Yang erat hubungannya dengan Nabi, seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah.
b. Hadits atau Sunnah Nabi tidak ditulis seperti Al-Qur’an, karena ada
larangan Nabi SAW yang khawatir jika bercampur dengan Al-Qur’an.

3
1. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadits
Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam
menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu sebagai berikut :
a. Pengajaran bertahap, berangsur-angsur dalam menyampaikan Hadits.
b. Disampaikan ditempat atau majlis al-ilm. Rasulullah menjadikan Dar al-
Arqam bin Abdi Manaf di Mekkah menjadi markas dakwah Islam, ketika
dakwah masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tempat ini dikenal
dengan Dar al-Islam.
c. Menyampaikan Hadits dengan menggunakan pendekatan dan pendidikan,
yakni menyampaikannya dengan tutur kata yang halus
hingga menyenangkan pendengar, menggunakan Bahasa yang jelas dan
tegas, serta terkadang mengulang lebih dari satu kali, agar hadits
tertanam kuat dalam ingatan para sahabat
d. Menyampaikan hadits tidak terlalu panjang, karena beliau khawatir kalau
para sahabat bosan
e. Rasulullah memberikan contoh atau suri tauladan pada kehidupan sehari-
hari
f. Rasulullah menyampaikan sabdanya dengan melihat situasi dan kondisi,
sehingga orang pedalaman dengan kekerasan karakter mampu memahami
sabda Rasulullah, demikian pula orang kota.
g. Rasulullah juga mengajarkan kaum wanita, baik pada istri-istri beliau
ataupun pada kaum muslimat di majlis mereka.
h. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah juga banyak menyampaikan
hadits melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada yang lain
i. Melalui ceramah di tempat terbuka, yang diberikan beliau hanya tiap-tiap
hari jumat, hari raya dan waktu-waktu yang tidak ditentukan, jika
keadaan menghendaki. Seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari
Ibnu Mas’ud :

4
‫ َك َرا َه َة السَّأ َ َم ِة َعلٌَ َْنا‬,‫َّام‬ َ َ ْ ْ َ ْ ُ
ِ ٌ‫ان ال َّن ِبًُّ ٌَ َت َخ َّول َنا ِبال َم ْوعِ ظ ِة تِلوُ ال َم ْوعِ ظ ِة فِى ْاأل‬
َ ‫َك‬

“Nabi saw. Selalu mencari waktu-waktu yang baik untuk memberikan


pelajaran supaya kamitidak bosan.”

2. Penyebaran Hadits pada Masa Rasulullah


Adapun penyebaran Hadits pada masa Rasulullah dilakukan dengan cara :
a. Kesungguhan Rasulullah dalam berdakwah dan menyebarkan Islam
b. Kesungguhan para sahabat dalam mempelajari ilmu, menghafalnya dan
menyampaikannya pada kaum Muslim lainnya
c. Peran para Ummul Mukiminim r.a. dalam bertabligh dan menyebarkan
Sunnah diantara istri-istri kaum Muslimin
d. Peran para sahabat dalam bertabligh dan menyebarkan Sunnah terhadap
istri-istri mereka
e. Penyebaran hadits dilakukan sampai ke pusat-pusat pemerintahan islam,
bahkan ke pelosok suku-suku

3. Penghafalan dan penulisan Hadits pada masa Rasulullah


Rasulullah SAW menggunakan jalan yang berbeda dalam memelihara
kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai dua
sumber ajaran Islam. Terhadap Al-Qura’an beliau memerintahkan kepada
sahabat agar menulis dan menghafalnya. Sedangkan terhadap hadits, beliau
menyuruh mereka menghafal dan melarangg menulisnya.

‫آن َف ْل ٌَمْ ُح ُه َو َح ِّد ُثو ا َع ِّنى َوالَ َح َر َج َو َمنْ الَ َت ْك ُتب ُْوا‬ ِ ْ‫ب َع ِّنى َغٌ َْر ْالقُر‬َ ‫َك َت‬
ْ
(‫ )مم سل رواه‬.‫ار‬ ِ ‫ب َعلًََّ َقا َل َهمَّا ٌم َف ْل ٌَ َت َب َّوأ َم ْق َعدَ هُ م َِن ل َّن‬ َ ‫َع ِّن َىو َمنْ ﻛ َذ‬

Beliau bersabda :
Dari abu sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda : “janganlah kalian
menulis (sesuatu) dariku. Barang siapa menulis sesuatu dariku selain Al-
Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Ceritakan saja yang diterima
dariku, yang demikian ini tidak mengapa, dan barang siapa dengan sengaja

5
berbohong tentang diriku hendaklah ia mengambil tempat duduknya di
neraka.” (H.R. Muslim).
Ada dorongan kuat yang memotivasi para sahabat dalam menghafal
hadits,yaitu sebagai berikut :
a. Kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisi
sejak masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya
b. Rasulullah SAW banyak memberikan dorongan melalui doa-doanya
c. Rasuiullah SAW sering menjajikan kebaikan akhirat bagi orang-orang
yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW untuk menulis hadits seperti
disebutkan dalam hadist Abu Said Al-Khudri, ada sejumlah sahabat yang
memiliki catatan-catatan hadits. Hal itu terbukti dengan ditemukannya
riwayat lain, bahwa Rasulullah SAW menyerukan untuk menulis hadits,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa Abu Syahin meminta
Rasulullah untuk dituliskan khutbah pada peristiwa fathul Makkah, karena
khawatir akan lupa. Kemudian beliau bersabda :

‫ا ْكﻛ ُت ُت ْك ا َأِل َش َأِل ا َش ٍها‬


“Tuliskanlah (khutbah itu) untuk Abu Syahin.” (HR Bukhari dan Muslim)
Selain itu ada juga sahabat Abdullah bin Amr bin Al-Ash. Ia memiliki
catatan hadits yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rasulullah SAW.

Beliau mengatakan:

‫ُول هللاِ ص لى هللا ُ ع ل ٌه َوسلم‬ ِ ‫ت أَ ْك ُتبُ ُك َّل َشًْ ٍء أَسْ َم ُع ُه ِمنْ َرس‬ ُ ‫ُك ْن‬
ِ‫ أَ َت ْك ُتبُ ُك َّل َشًْ ٍء َتسْ َم ُع ُه َو ُرسُو ُل هللا‬:‫ َف َن َه ْتنًِ قُ َرٌشٌ َو َقالُوا‬,ُ‫أ ُ ِرٌ ُد ِح ْف َظه‬
‫ت‬ َ َ ‫ َفأ‬,‫ضا‬
ُ ‫مْس ْك‬ َ َّ‫والر‬,َ ‫ب‬ َ ‫هللا ع ل ٌه و سلم َب َش ٌر ٌَ َت َكلَّ ُم فًِ ْال َغ‬
ِ ‫ض‬ ِ ‫ص لى‬
,‫هللا ع ل ٌه و سلم‬ِ ‫ُول ص لى‬ ِ ‫ك ل َِرس‬ ُ ْ‫ َف َذ َكر‬,ِ‫َع ِن ْال ِك َتب‬
َ ِ‫ت َذل‬
ُ ‫ ْك ُتبْ َف َوالَّ ِذيا ُن ْفسِ ً ِب ٌَ ِد ِه َما ٌَ ْخ ُر‬:‫ َف َقا َل‬,ِ‫إِلَى فٌِه‬
.‫ج ِم ْن ُه إِالَّ َح ٌّق‬
“Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah karena aku
ingin menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku, mereka
berkata, “Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah ? Dan

6
Rasulullah adalah seorang manusia, kadang berbicara karena marah,
kadang berbicara dalam keadaan lapang”.
Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi, sampai aku bertemu
dengan Rasulullah dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau bersabda
sambil menunjukkan jarinya ke mulutnya, “Tulislah ! Demi yang jiwaku ada
di tanganNya, tidaklah keluar dari mulutku ini kecuali kebenaran.” (H.R. Adu
Dawud, Ahmad, Al-Hakim).4
Lalu ada sahabat Jabir bin Abdillah bin Amr Al-Anshari. Ia memiliki
catatan hadits dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadits-haditsnya
kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatan ini dikenal dengan Shahifah
Jabir.

C. PERKEMBANGAN HADITS PADA MASA SAHABAT


Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa sahabat.
Menurut Ibnu Hajar dan ahli haduts lainnya, pengertian sahabat adalah orang
yang pernah bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan beriman dan
meninggal dalam keadaan beriman pula. Lebih lanjut beliau mengatakan,
masuk dalam kategori orang yang bertemu Rasulullah, baik orang yang lama
bermujalasah atau hanya sebentar bersama beliau, orang yang turut berperang
ataupun tidak. Begitu juga dengan orang yang melihat Rasulullah karena
alasan tertentu, seperti buta.
Perkembangan hadits masa sahabat, khususnya Khulafa Ar-Rasyidin
(Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib),
yaitu sekitar 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini disebut juga sebagai masa
sahabat besar. Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus
pada pemeliharaan dan penyebaran Al-Qur’an, periwayatan hadits belum
begitu berkembang dan masih dibatasi. Oleh karena itu, para ulama

4 . Pusat Kajian Hadits, “Sejarah Penulisan Hadits” diakses dari http://syarah-


hadits.blogspot.com/2015/05/sejarah-penulisan-hadits.html, pada 26 Februari 2017 pukul 22:30
WIT

7
menganggap masa ini sebagai masa yang menunjukkan pembatasan
periwayatan (at-tasabbut wa al-iqlal min ar-riwayat).

1. Sikap Sahabat terhadap Usaha Mengembangkan Hadits sebelum dan


sesudah Nabi SAW wafat
a. Perintah Mentablighkan Hadits
Diberitakan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzy dari riwayat Zaid ibn
Tsabit, bahwa rasulullah bersabda :

ِ َ‫َنض ََّر هللا ُ أًامْ َر َس ِم َع ِم ِّنًْ َم َقال‬


َّ‫ت َف َحف َِظ َها َاو َو َعا َه َفأ َ َّدا َها َك َما َس ِم َع َفرُب‬
‫ُم َبلَّ ِغ أَ ْوعى ِمنْ َسا ِم ٍع‬

“Mudah-mudahan Allah mengindahkan seseorang yang mendengar


ucapanku, lalu dilafalkan dan dipahamkan dan disampaikan kepada orang
lain persis sebagaimana yang dia dengar karena banyak sekali orang
yang disampaikan berita kepadanya, lebih paham daripada yang
mendengarnya sendiri. 5”
Dalam sebuah hadits yang lain yang diberitakan oleh Ibnu Abdi al-
Barr dari Abu Bakrah bahwa nabi SAW bersabda :

َ ‫أَالَ لِ ٌُ َبلِّ ْغ ال َّشا ِه ُد ِم ْن ُك ْم ِء‬


. ‫ب ْال َغا‬
“Ketahuilah, hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada orang
yang tidak hadir (jauh).6”
b. Ancaman terhadap Pendustaan dalam Mentablighkan Hadits
Nabi memerintahkan para sahabat supaya berhati-hati dan
memeriksa benar-benar suatu hadits yang hendak disampaikan kepada
orang lain. Nabi SAW bersabda :
َ ‫َك َفى ِب ْال َمرْ ِء إِ ْثمًا أَنْ ٌ َُح ِّد‬
َ ‫ث ِب ُك ِّل َم‬
‫اس ِم َع‬

5 . Jami’Bayan al-Ilmi I: 41, Hidayah al-Bari I: 287


6 . Irsyad as-Sari I: 34

8
“Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala
apa yang didengarnya.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Oleh karena itu, para sahabat pun sesudah Rasul wafat, sedikit
demi sedikit menyampaikan hadits kepada orang lain. Mereka
menyampaikan amanah.

2. Menaati Pesan Rasulullah SAW


Rasulullah SAW mewasiatkan kepada seluruh umat Islam, kepada
para sahabat agar berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadits serta
mengajarkannya kepada orang lain sebagaimana sabdanya :

.‫اا َش ُت َّن َش ا َش ُت ْك َأِل َأِلا‬


‫ َأِلﻛ َش َش َأِل‬. ‫َأِل َأِله َشم‬
“Telah aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Jika kalian berpegang teguh
kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul-Nya.” (H.R. Hakim)
Sabdanya lagi :

)‫نا ع ص‬ ‫هللاا ناام‬


‫اا خ ىااناا د َأِل‬ (.‫َش ِّل ُت ْك َشا ِّل ا َش َش ْك َش َش ًةا‬
“Sampaikan dariku walaupun satu ayat atau satu hadits.” (H.R. Bukhari dari
Abdullah bin Amr bin Ash)
Pesan-pesan Rasulullah sangat mendalam pengaruhnya kepada para
sahabat, segingga segala perhatian yang tercurah semata-mata untuk
melaksanakan dan memelihara pesan-pesannya.

3. Hadits di Masa Abu Bakar dan Umar bin Khaththab


Para sahabat, sesudah rasul wafat tidaklagi berdiam di Madinah.
Mereka pergi ke kota-kota lain. Maka penduduk kota-kota lain pun mulai
menerima hadits. Para tabi’in mempelajari hadits dari para sahabat itu.
Dengan demikian mulialah berkembang periwayatan hadits dalam kalangan
tabi’in.

9
Periwayatan hadits di permulaan masa sahabat masih terbatas sekali.
Hadits disampaikan kepada yang memerlukansaja dan apabila perlu saja,
belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadits dan memperbanyak
riwayatnya, terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar, yaitu masa Ustsman
dan Ali. Dalam masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits
belum lagi diluaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minat umat (sahabat)
untuk menyebarkan Al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk
berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu.

4. Sebab-Sebab pada Masa Abu Bakar dan Umar, Hadits tidak Tersebar
dengan Pesat
Khalifah Umar bin Khatab ketika memegang tapuk kekhalifahan
meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak
membenarkan orang mengembangkan periwayatan hadits. Ketika mengirim
para utusan ke Iraq beliau mewasiatkan supaya mereka mengembangkan segi
kebagusan tajwidnya, serta mencegah mereka memperbanyak riwayat.
Diterangkan bahwa pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah
apakah dia banyak meriwaytakan hadits di masa Umar. Abu Hurairah
menjawab, “Sekiranya saya membanyakkan, tentulah Umar akan mencambuk
saya dengan cambuknya”.7

5. Cara-cara Para Sahabat Meriwayatkan Hadits


Ada du acara yang dilakukan para sahabat dalam meriwayatkan
hadits, yaitu :
a. Al-Riwayah bi al-Lafdzi, yaitu periwayatan dengan lafadz yang sama
persis dengan apa yang mereka terima dari Rasulullah
b. Al-Riwayah bi al-Ma’na, yaitu periwayatan dengan makna atau maksud
kandungan hadits Rasulullah saja. Dalam hal ini, isi kandungan hadits
sesuai dengan apa yang dimaksudkan Rasulullah.

7 . Jami’ Ahkam al-Bayan II: 121

10
Yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun
dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan
meriwayatkan Al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli
dan sedikit pun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.
Susunan lafal Al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh
diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya. Walaupun sama isinya,
tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan. Oleh karena itu, terdapat hadits-
hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal. Lantaran hadits-hadits itu
diriwayatkan oleh sahabat-sahabat dengan secara makna.

6. Lafal-lafal yang Dipakai Sahabat dalam Meriwayatkan hadits dan


Derajatnya
Lafal-lafal yang diapaki para sahabat dalam meriwaytakan hadits,
baikperkataan Nabi SAW, maupun perbuatannya, para Ahli Ushul
membaginya kepada lima derajat :
a. Derajat Pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shahaby berkata,
“Sami’tu Rasulullahi yaqulu kadza… (saya dengar Rasulberkata
begini…)”, atau “Akhbarani… (mengabarkan kepadaku…)”, atau
“Haddatsani… (menceritakan kepadaku…)”, atau “Syafahani… (berbicara
di hadapanku…)
b. Derajat kedua ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rasul SAW begini,
atau mengabarkan Rasul SAWbegini, atau menceritakan Rasul saw begini.
c. Derajat ketiga ialah seorang shahaby berkata, “Rasul SAW menyuruh
begini atau mengah (melarang) ini…” Ini dihukumi marfu’ menurut
mazhab Jumhur.
Ada tiga kemungkinan mengenai hal ini.
1) Mungkin tidak didengar sendiri perintah tersebut
2) Mungkin perkataan “menyuruh” itu berdasarkan pemahamannya saja
3) Tentang umum dan khususnya
d. Derajat keempat ialah seorang shahaby berkata, “kami diperintahkan
begini, atau kami ditengah (dilarang) begini…”

11
e. Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “kami para sahabat berbuat
begini…”

7. Syarat-syarat yang Ditetapkan Abu Bakar, Umar dan Ali ketika


Menerima Hadits
Sahabat secara umum tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima
hadits dari sesame mereka. Akan tetapi, yang tidak dapat diingkari, bahwa
sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Jika menerima hadits
dari sahabat lainnya mereka meminta untuk bersumpah dan meminta saksi
atas kebenaran hadits tersebut. Sebagaimana yang dikatakan oleh Umar r.a

) ‫ام‬ ‫ا( خ‬.‫اا َش ْك َأِلا ْك َش ِّل َش َش ا َش َأِل َّنا َش ْك َش عْك ُت َشا‬


‫َش َأِل ْك َش‬
“Tegakkanlah saksi atasnya, jika tidak, aku akan menyakitimu.”

8. Hadits di Masa Utsmandan Ali


Ketika kendali pemerintahan dipegang oleh Utsman dan dibuka pintu
perlawatan kepada para sahabat, umat mulai memerlukan keberadaan sahabat,
terutama sahabat-sahabat kecil. Sahabat-sahabat kecil kemudian bergerak
mengukpulkan hadits dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka
meninggalkan tempat kediamannya untuk mencari hadits.

9. Sebab-sebab Para Sahabat tidak Membukukan Hadits dan


Mengumpulkannya dalam Sebuah Buku
Asy-syaikh Abu Bakar ash-Shiqilly berkata dalam Fawa’idnya
menurut riwayat Ibnu Basykual, “Para sahabat tidak mengumpulkan Sunnah-
sunnah Rasulullah dalam sebuah mushaf sebagaimana mereka telah
mengumpulkan Al-Qur’an, karena Sunnah-sunnah itu telah tersebar dalam
masyarakat dan lafal-lafal Sunnah itu tidak terjamin kesempurnyaannya,
sebagaimana Allah SWA telah menjaga Al-Qur’an.8

8 . Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah &Pengantar Ilmu Hadits (Semarang:


Pustaka Rizki Putra, 2009), hlm.38-43

12
D. PERKEMBANGAN HADITS MASA TABI’IN
Menurut Ulama Hadits, Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan
satu orang sahabat atau lebih. Para imam sependapat, bahwa akhir masa
tabi’in adalah tahun 150 H. Sedangkan akhir masa atba’al-tabi’in adalah tahun
220 H.

1. Periwayatan Hadits pada masa Tabi’in


Pada masa tabi’in, islamtelah meluas ke negeriSyam, Irak, Mesir,
Samarkand, bahkan pada tahun 93 Hijriyah sampai ke spanyol. Yang
demikian karena keberangkatan para sahabat ke daerah-daerah tersebut,
terutama dalam rangka tugas memangku jabtan pemerintahan dan
penyebaran ilmu agama. Adapun tokoh-tokoh hadits dikalangan tabi’in
antara lain :
a. Di Madinah : Sa’id bin al-Musayyab, Urwah bin Zubair, Ubaidullah bin
Utbah bin Mas’ud, Ibnu Syihab al-Zuhri, Muhammad bin al-
Munaqadir, dan lain-lainnya
b. Di Makkah : Ikrimah Maulana Ibnu Abbas, Atha’ bin Abi Rabah,
Thawus bin Kasian, Mujahid bin jabr, dan lain-lainnya
c. DiKufah : Kamil bin Zaid al-Nakha’I, Amir bin Syurahil al-Sya’bi,
Sa’id bin Jubair al-Asadi, Ibrahim al-Nakha’i, Abu Ishaq al-Sabi’I,
Abdul Malik bin Umair dan lain-lainnya
d. Di Syiria (Syam) : Salim ibn Abdillah al-Muharibi, Abu Idris al-
Khulani, Abu Sulaiman al-Darani dan lain-lainnya
e. Di Mesir : Yazid bin Abu Hubaib, Umar bin al-Harits, Khair bin
Nu’aim al-Hadhrami, Abdullah bin Sulaiman, dan lain-lainnya
f. Di Yaman : Hamman bin Munabbih, Wahib bin Munabbih, Thawus dan
putranya, Ma’mar bin Rasyid, Abdurrazaq bin Hammam, dan lain-
lainnya.

2. Pergolakan Politik dan Pemalsuan Hadits

13
Pada masa tabi’in terdapat pergolakan politik. Pergolakan politik
ini sebenarnya sudah muncul sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang
Jamal dan perang Siffin, yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi
Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan
terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij,
Syiah, Mu’awiyah dan golongan yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok tersebut (jumhur). Setiap kelompok mengaku berada dalam
pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah.
Untuk membela pendirian masing-masing, mereka membuat
hadits-hadits palsu. Yang mula-mula membuat hadits palsu ialah orang-
orang yang berasal dari golongan syiah, kemudian golongan khawarij dan
jumhur. Tempat pertama kali berkembangnya hadits palsu adalah daerah
Irak, tempat kaum Syiah berpusat pada saat itu.
Menurut Imam Malik, ada empat jenisorang yang haditsnya tidak
boleh diambil darinya, yaitu :
a. Orang yang kurang akal
b. Orang yang mengikuti hawanafsunya dan mengajak masyarakat untuk
mengikuti hawa nafsunya
c. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak
berkepada Rasul
d. Orang yang tampak saleh dan beribadah, tetapi orang itu tidak
mengetahui nilai-nilai hadits yang diriwayatkannya
Para ulama menyusun kitab khusus yang menerangkan hadits-
hadits palsu, diantaranya adalah kitab Tazkirah Al-Maudhu’at karya
Muhammad bin Thahir Al-Maqdizi sebagai upaya memberantas pola-pola
pemalsuan hadits yang semakin merebak. Ciri-ciri hadits palsu antara lain
sebagai berikut :
a. Susunan hadits itu, baik lafaz maupun maknanya janggal sehingga
tidak pantas disabdakan oleh Nabi SAW, seperti :

.‫ِّلد ْك َش ا َش َأِل َّن ُتا َش َأِلد ْك َأِل ْكا‬ ‫َش َش ُت ُّب‬

14
“Janganlah engkau memaki ayam jantan karena dia teman karibku”
b. Isi hadits tersebut bertentangan dengna nash Al-Qur’an dan atau hadits
mutawatir, seperti hadits :

.‫َش َش ْكد ُتخ ُتا َش َش ُتدا ِّل َش َش َأِلاا ْك َش َّن َشا‬


“Anak zina itu tidak akan masuk surga”
c. Isi maksud hadits tersebut bertentangan dengan akal, seperti hadits :

.‫َش ْك َش َأِلا ْك َش نُت ا َأِل َش اٌءا َأِلمنْك ا ُتﻛ َّنا َشد ٍهاا‬
“Buah terong itu mnyembunyikan segala macam penyakit”
d. Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT :

...‫َش َش َش َأِلز ُت َش َأِلز َش ةٌء ِّل ْكز َش ُت ْكخ َش ى‬


“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang yang
lain…” (QS. Fatir: 18).

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Masa Nabi Muhammad SAW, pada masa ini tidak dinyatakan
adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memerhatikan adanya dasar-
dasar dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW mengenai anjuran
pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil.
Rasulullah SAW menyuruh sahabat untuk menulis ayat Al-Qur’an dan
melarang menulis al-Hadits agar tidak tercampur dengan ayat Al-Qur’an.
Masa Sahabat, para sahabat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits
karena konsentrasi mereka terhadap Al-Qur’an yang bari dikodifikasikan
pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua. Masa ini
dikenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan).
Meriwayatkan hadits disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits
yang ia riwayatkan benar dari Rasulullah SAW.
Masa Tabi’in, para ulama membendung hadits dari pemalsuan
denganberbagai cara, diantaranya memeriksa kebenaran hadits dari segi
rawi dan sanadnya. Keharusan sanad dalam periwayatan menjadi tuntutan
yang kuat ketika Ibnu Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para
ulama di atas lembaran kodifikasi.

B. Saran
Dalam mempelajari ilmu hadits diperlukan keseriusan
danketekunan serta sumber-sumber referensi yang membahas secara
detail dari ilmu hadits terutama dimulai sejak sejarahnya. Karena dari
sejarah itulah, kita dapat tahu bagaiman sebuah hadits itu dapat bertahan
dan dijadikan pedoman kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an dari generasi
ke generasi.

16
DAFTAR PUSTAKA

Annisa. (2017). “Sejarah Hadits Meliputi Pra Modifikasi dan Modifikasinya”


diakses dari http://annisa-elrumaisha.blogspot.com/2012/04/sejarah-hadits-
meliputi-pra-modifikasi.html, pada 24 Februari 2017 pukul 19:15 WIT.

Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor. (1998). Kamus Kontemporer Arab-


Indonesia. Yogyakarta. Multi Karya Grafika.

Irsyad as-Sari I: 34

Jami’Bayan al-Ilmi I: 41, Hidayah al-Bari I: 287

Jami’ Ahkam al-Bayan II: 121

John M, Echols. (1997). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama.

Pusat Kajian Hadits. (2017). “Sejarah Penulisan Hadits” diakses


dari http://syarah-hadits.blogspot.com/2015/05/sejarah-penulisan-
hadits.html, pada 26 Februari 2017 pukul 22:30 WIT.

Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy. (2009). Sejarah &Pengantar Ilmu


Hadits. Semarang. Pustaka Rizki Putra.

17

Anda mungkin juga menyukai