DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 3
Dosen Pengampu :
T.A 2023
BAB I
PEMBUKAAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan pedoman kedua bagi umat Islam di dunia setelah
Al-Qur’an, yang tentunya memiliki peranan sangat penting pula dalam
disiplin ajaran Islam. Hadits atau yang lebih dikenal dengan Sunnah
adalah segala sesuatu yang bersumber atau disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan ataupun ketetapan.
Dengan demikian, keberadaan Al-Hadits dalam proses kodifikasinya
sangat berbeda dengan Al-Qur’an.
Penulisan dan pembukuan Al-Qur’an lebih dulu ditulis dan
dibukukan dibandingkan hadits. Hal ini dikarenakan, salah satu fungsi
hadits adalah menjelaskan apa yang belum jelas dalam Al-Qur’an danada
larangan untuk membukukan Al-Qur’an dan hadits dalam waktu yang
sama. Dalam makalah ini akan dibahas sejarah perkembangan hadits sejak
masa pra kodifikasi dan masa kodifikasi.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pra-kodifikasi pada masa
Rasulullah SAW?
2. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pra-kodifikasi pada masa
sahabat?
3. Bagaimana sejarah perkembangan hadits pra-kodifikasi pada masa
tabi’in?
1
BAB II
PEMBAHASAN
ُّ ب َتجْ َم ُع ِف ٌْ ِه ال
ُصحُف ٍ ان اَ ْو ِك َتا ِ َت ْق ٌِ ٌْ ُد ْال ُم َت َفرَّ ِق ْال ُم َش َّت
ٍ ت َو َجم ُع ُه ِفًْ ِدٌ َْو
“Mengikat yang berserak-serakan kenudian mengumpulkannya menjadi satu
diwan atau kitab yang terdiri dari lembaran-lembaran”
Periodisasi sejarah perkembangan hadits pra kodifikasi meliputi :
1. Masa Rasulullah
2. Masa Sahabat Besar, semenjak permulaan masa pemerintahan Abu Bakar
sampai berakhirnya zaman Ali bin Abi Thalib
1 . Annisa,“Sejarah Hadits Meliputi Pra Modifikasi dan Modifikasinya” diakses dari http://annisa-
elrumaisha.blogspot.com/2012/04/sejarah-hadits-meliputi-pra-modifikasi.html, pada 24 Februari
2017 pukul 19:15 WIT.
2 . Atabik Ali, Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Yogyakarta : Multi
Karya Grafika, 1998), hlm.919
3 . John M, Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1997),
hlm.122
2
3. Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
3
1. Cara Rasulullah Menyampaikan Hadits
Ada beberapa cara yang digunakan Rasulullah SAW dalam
menyampaikan hadits kepada para sahabat, yaitu sebagai berikut :
a. Pengajaran bertahap, berangsur-angsur dalam menyampaikan Hadits.
b. Disampaikan ditempat atau majlis al-ilm. Rasulullah menjadikan Dar al-
Arqam bin Abdi Manaf di Mekkah menjadi markas dakwah Islam, ketika
dakwah masih dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Tempat ini dikenal
dengan Dar al-Islam.
c. Menyampaikan Hadits dengan menggunakan pendekatan dan pendidikan,
yakni menyampaikannya dengan tutur kata yang halus
hingga menyenangkan pendengar, menggunakan Bahasa yang jelas dan
tegas, serta terkadang mengulang lebih dari satu kali, agar hadits
tertanam kuat dalam ingatan para sahabat
d. Menyampaikan hadits tidak terlalu panjang, karena beliau khawatir kalau
para sahabat bosan
e. Rasulullah memberikan contoh atau suri tauladan pada kehidupan sehari-
hari
f. Rasulullah menyampaikan sabdanya dengan melihat situasi dan kondisi,
sehingga orang pedalaman dengan kekerasan karakter mampu memahami
sabda Rasulullah, demikian pula orang kota.
g. Rasulullah juga mengajarkan kaum wanita, baik pada istri-istri beliau
ataupun pada kaum muslimat di majlis mereka.
h. Dalam banyak kesempatan, Rasulullah juga banyak menyampaikan
hadits melalui para sahabat tertentu, kemudian mereka
menyampaikannya kepada yang lain
i. Melalui ceramah di tempat terbuka, yang diberikan beliau hanya tiap-tiap
hari jumat, hari raya dan waktu-waktu yang tidak ditentukan, jika
keadaan menghendaki. Seperti yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary dari
Ibnu Mas’ud :
4
َك َرا َه َة السَّأ َ َم ِة َعلٌَ َْنا,َّام َ َ ْ ْ َ ْ ُ
ِ ٌان ال َّن ِبًُّ ٌَ َت َخ َّول َنا ِبال َم ْوعِ ظ ِة تِلوُ ال َم ْوعِ ظ ِة فِى ْاأل
َ َك
آن َف ْل ٌَمْ ُح ُه َو َح ِّد ُثو ا َع ِّنى َوالَ َح َر َج َو َمنْ الَ َت ْك ُتب ُْوا ِ ْب َع ِّنى َغٌ َْر ْالقُرَ َك َت
ْ
( )مم سل رواه.ار ِ ب َعلًََّ َقا َل َهمَّا ٌم َف ْل ٌَ َت َب َّوأ َم ْق َعدَ هُ م َِن ل َّن َ َع ِّن َىو َمنْ ﻛ َذ
Beliau bersabda :
Dari abu sa’id al-Khudri bahwa Rasulullah bersabda : “janganlah kalian
menulis (sesuatu) dariku. Barang siapa menulis sesuatu dariku selain Al-
Qur’an, maka hendaklah dia menghapusnya. Ceritakan saja yang diterima
dariku, yang demikian ini tidak mengapa, dan barang siapa dengan sengaja
5
berbohong tentang diriku hendaklah ia mengambil tempat duduknya di
neraka.” (H.R. Muslim).
Ada dorongan kuat yang memotivasi para sahabat dalam menghafal
hadits,yaitu sebagai berikut :
a. Kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang telah diwarisi
sejak masa pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya
b. Rasulullah SAW banyak memberikan dorongan melalui doa-doanya
c. Rasuiullah SAW sering menjajikan kebaikan akhirat bagi orang-orang
yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain
Sekalipun ada larangan Rasulullah SAW untuk menulis hadits seperti
disebutkan dalam hadist Abu Said Al-Khudri, ada sejumlah sahabat yang
memiliki catatan-catatan hadits. Hal itu terbukti dengan ditemukannya
riwayat lain, bahwa Rasulullah SAW menyerukan untuk menulis hadits,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, bahwa Abu Syahin meminta
Rasulullah untuk dituliskan khutbah pada peristiwa fathul Makkah, karena
khawatir akan lupa. Kemudian beliau bersabda :
Beliau mengatakan:
ُول هللاِ ص لى هللا ُ ع ل ٌه َوسلم ِ ت أَ ْك ُتبُ ُك َّل َشًْ ٍء أَسْ َم ُع ُه ِمنْ َرس ُ ُك ْن
ِ أَ َت ْك ُتبُ ُك َّل َشًْ ٍء َتسْ َم ُع ُه َو ُرسُو ُل هللا: َف َن َه ْتنًِ قُ َرٌشٌ َو َقالُوا,ُأ ُ ِرٌ ُد ِح ْف َظه
ت َ َ َفأ,ضا
ُ مْس ْك َ َّوالر,َ ب َ هللا ع ل ٌه و سلم َب َش ٌر ٌَ َت َكلَّ ُم فًِ ْال َغ
ِ ض ِ ص لى
,هللا ع ل ٌه و سلمِ ُول ص لى ِ ك ل َِرس ُ ْ َف َذ َكر,َِع ِن ْال ِك َتب
َ ِت َذل
ُ ْك ُتبْ َف َوالَّ ِذيا ُن ْفسِ ً ِب ٌَ ِد ِه َما ٌَ ْخ ُر: َف َقا َل,ِإِلَى فٌِه
.ج ِم ْن ُه إِالَّ َح ٌّق
“Dahulu aku menulis semua yang aku dengar dari Rasulullah karena aku
ingin menghafalnya. Kemudian orang-orang Quraisy melarangku, mereka
berkata, “Engkau menulis semua yang kau dengar dari Rasulullah ? Dan
6
Rasulullah adalah seorang manusia, kadang berbicara karena marah,
kadang berbicara dalam keadaan lapang”.
Mulai dari sejak itu akupun tidak menulis lagi, sampai aku bertemu
dengan Rasulullah dan mengadukan masalah ini, kemudian beliau bersabda
sambil menunjukkan jarinya ke mulutnya, “Tulislah ! Demi yang jiwaku ada
di tanganNya, tidaklah keluar dari mulutku ini kecuali kebenaran.” (H.R. Adu
Dawud, Ahmad, Al-Hakim).4
Lalu ada sahabat Jabir bin Abdillah bin Amr Al-Anshari. Ia memiliki
catatan hadits dari Rasulullah SAW tentang manasik haji. Hadits-haditsnya
kemudian diriwayatkan oleh Muslim. Catatan ini dikenal dengan Shahifah
Jabir.
7
menganggap masa ini sebagai masa yang menunjukkan pembatasan
periwayatan (at-tasabbut wa al-iqlal min ar-riwayat).
8
“Cukup kiranya dosa bagi seorang manusia yang menceritakan segala
apa yang didengarnya.” (H.R. Muslim dari Abu Hurairah)
Oleh karena itu, para sahabat pun sesudah Rasul wafat, sedikit
demi sedikit menyampaikan hadits kepada orang lain. Mereka
menyampaikan amanah.
9
Periwayatan hadits di permulaan masa sahabat masih terbatas sekali.
Hadits disampaikan kepada yang memerlukansaja dan apabila perlu saja,
belum bersifat pelajaran. Perkembangan hadits dan memperbanyak
riwayatnya, terjadi sesudah masa Abu Bakar dan Umar, yaitu masa Ustsman
dan Ali. Dalam masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits
belum lagi diluaskan. Beliau-beliau ini mengerahkan minat umat (sahabat)
untuk menyebarkan Al-Qur’an dan memerintahkan para sahabat untuk
berhati-hati dalam menerima riwayat-riwayat itu.
4. Sebab-Sebab pada Masa Abu Bakar dan Umar, Hadits tidak Tersebar
dengan Pesat
Khalifah Umar bin Khatab ketika memegang tapuk kekhalifahan
meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak
membenarkan orang mengembangkan periwayatan hadits. Ketika mengirim
para utusan ke Iraq beliau mewasiatkan supaya mereka mengembangkan segi
kebagusan tajwidnya, serta mencegah mereka memperbanyak riwayat.
Diterangkan bahwa pernah orang bertanya kepada Abu Hurairah
apakah dia banyak meriwaytakan hadits di masa Umar. Abu Hurairah
menjawab, “Sekiranya saya membanyakkan, tentulah Umar akan mencambuk
saya dengan cambuknya”.7
10
Yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal, boleh disusun
dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Berbeda dengan
meriwayatkan Al-Qur’an, yakni harus dengan lafal dan maknanya yang asli
dan sedikit pun tidak boleh diadakan perubahan dalam riwayat itu.
Susunan lafal Al-Qur’an merupakan mukjizat dari Allah tidak boleh
diganti lafal-lafalnya walaupun dengan sinonimnya. Walaupun sama isinya,
tetapi lain susunannya, tidak dibolehkan. Oleh karena itu, terdapat hadits-
hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal. Lantaran hadits-hadits itu
diriwayatkan oleh sahabat-sahabat dengan secara makna.
11
e. Derajat kelima ialah seorang shahaby berkata, “kami para sahabat berbuat
begini…”
12
D. PERKEMBANGAN HADITS MASA TABI’IN
Menurut Ulama Hadits, Tabi’in adalah orang yang bertemu dengan
satu orang sahabat atau lebih. Para imam sependapat, bahwa akhir masa
tabi’in adalah tahun 150 H. Sedangkan akhir masa atba’al-tabi’in adalah tahun
220 H.
13
Pada masa tabi’in terdapat pergolakan politik. Pergolakan politik
ini sebenarnya sudah muncul sejak masa sahabat, setelah terjadinya perang
Jamal dan perang Siffin, yaitu tatkala kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi
Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan
terpecahnya umat Islam ke dalam beberapa kelompok, yaitu Khawarij,
Syiah, Mu’awiyah dan golongan yang tidak termasuk dalam ketiga
kelompok tersebut (jumhur). Setiap kelompok mengaku berada dalam
pihak yang benar dan menuduh pihak lainnya salah.
Untuk membela pendirian masing-masing, mereka membuat
hadits-hadits palsu. Yang mula-mula membuat hadits palsu ialah orang-
orang yang berasal dari golongan syiah, kemudian golongan khawarij dan
jumhur. Tempat pertama kali berkembangnya hadits palsu adalah daerah
Irak, tempat kaum Syiah berpusat pada saat itu.
Menurut Imam Malik, ada empat jenisorang yang haditsnya tidak
boleh diambil darinya, yaitu :
a. Orang yang kurang akal
b. Orang yang mengikuti hawanafsunya dan mengajak masyarakat untuk
mengikuti hawa nafsunya
c. Orang yang berdusta dalam pembicaraannya walaupun dia tidak
berkepada Rasul
d. Orang yang tampak saleh dan beribadah, tetapi orang itu tidak
mengetahui nilai-nilai hadits yang diriwayatkannya
Para ulama menyusun kitab khusus yang menerangkan hadits-
hadits palsu, diantaranya adalah kitab Tazkirah Al-Maudhu’at karya
Muhammad bin Thahir Al-Maqdizi sebagai upaya memberantas pola-pola
pemalsuan hadits yang semakin merebak. Ciri-ciri hadits palsu antara lain
sebagai berikut :
a. Susunan hadits itu, baik lafaz maupun maknanya janggal sehingga
tidak pantas disabdakan oleh Nabi SAW, seperti :
14
“Janganlah engkau memaki ayam jantan karena dia teman karibku”
b. Isi hadits tersebut bertentangan dengna nash Al-Qur’an dan atau hadits
mutawatir, seperti hadits :
.َش ْك َش َأِلا ْك َش نُت ا َأِل َش اٌءا َأِلمنْك ا ُتﻛ َّنا َشد ٍهاا
“Buah terong itu mnyembunyikan segala macam penyakit”
d. Hadits tersebut bertentangan dengan firman Allah SWT :
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masa Nabi Muhammad SAW, pada masa ini tidak dinyatakan
adanya ilmu hadits, tetapi para peneliti hadits memerhatikan adanya dasar-
dasar dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW mengenai anjuran
pemeriksaan berita yang datang dan perlunya persaksian yang adil.
Rasulullah SAW menyuruh sahabat untuk menulis ayat Al-Qur’an dan
melarang menulis al-Hadits agar tidak tercampur dengan ayat Al-Qur’an.
Masa Sahabat, para sahabat berhati-hati dalam meriwayatkan hadits
karena konsentrasi mereka terhadap Al-Qur’an yang bari dikodifikasikan
pada masa Abu Bakar tahap awal dan masa Utsman tahap kedua. Masa ini
dikenal dengan masa taqlil ar-riwayah (pembatasan periwayatan).
Meriwayatkan hadits disertai dengan saksi dan bersumpah bahwa hadits
yang ia riwayatkan benar dari Rasulullah SAW.
Masa Tabi’in, para ulama membendung hadits dari pemalsuan
denganberbagai cara, diantaranya memeriksa kebenaran hadits dari segi
rawi dan sanadnya. Keharusan sanad dalam periwayatan menjadi tuntutan
yang kuat ketika Ibnu Syihab Az-Zuhri menghimpun hadits dari para
ulama di atas lembaran kodifikasi.
B. Saran
Dalam mempelajari ilmu hadits diperlukan keseriusan
danketekunan serta sumber-sumber referensi yang membahas secara
detail dari ilmu hadits terutama dimulai sejak sejarahnya. Karena dari
sejarah itulah, kita dapat tahu bagaiman sebuah hadits itu dapat bertahan
dan dijadikan pedoman kedua dalam Islam setelah Al-Qur’an dari generasi
ke generasi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Irsyad as-Sari I: 34
John M, Echols. (1997). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka
Utama.
17