Penulis :
YULIANA PUASA (2210026)
ANITA(22210024)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits
dari masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari
generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadis sejak masa lahirnya di
masa Rasulullah SAW meneliti dan membin hadits, serta segala hal yang memengaruhi hadits
tersebut.
Di samping sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW adalah panutan dan tokoh
masyarakat. Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan
terwujud secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setiap kali ada kesempatan
Rasulullah SAW memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat dengan berbagai media. Hadis
Rasulullah SAW yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal dan dicatat. Dengan
demikian, ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan hadis.. dari Periode
Rasulullah SAW sampai periode sekarang. Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah
ini, berjudul “Sejarah Perkembangan Hadis; masa prakodifikasi hadist (Masa Rasulullah SAW,
Khulafa‟ Rasyidin, Tabi‟in), masa kodifikasi dan pembukuan
Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi?
2. Bagaimana sejarah penulisan dan kodifikasi hadis?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi kodifikasi hadits?
Tujuan Masalah
1. Untuk mendeskripsikan sejarah perkembangan hadis pra kodifikasi.
2. Untuk mendeskripsikan sejarah penulisan dan kodifikasi hadis.
3. Untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kodifikasi hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
Hadis pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun
wahyu dan pembentukan masyarakat Islam. Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-
hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah SWT
kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang
didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan
ubudiah mereka.
1. Kebjaksanaan Rasulullah SAW tentang Hadits Ketika Rasulullah SAW masih hidup, sikap
dan kebijaksanaan beliau tentang hadits ialah sebagai berikut:
a. Rasulullah SAW memerintahkan kepada para sahabatnya untuk menghafal,
menyampaikan dan menyebarkan hadits-hadits. Dalil yang menunjukkan perintah ini
yaitu:
Dan ceritakanlah daripadaku. Tidak ada keberatan bagimu untuk menceritakan apa yang kamu
dengar daripadaku. Barangsiapa berdusta pada diriku, hendaklah dia bersedia menempati
kediamannya dineraka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Ada dorongan kuat yang cukup memberikan motivasi kepada para sahabat dalam kegiatan
menghafal hadits. Pertama, karena kegiatan menghafal merupakan budaya bangsa Arab yang
telah diwarisinya sejak pra Islam dan mereka terkenal kuat hafalannya. Kedua, Rasulullah SAW
banyak memberikan spirit melalui doa-doanya. Ketiga, seringkali ia menjanjikan kebaikan
akhirat kepada mereka yang menghafal hadits dan menyampaikannya kepada orang lain
Rasulullah SAW melarang para sahabat untuk menulis hadits-haditsnya. Dalil yang menunjukkan
perintah ini yaitu:
Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal daripadaku, terkecuali al-Qur‟an. Dan
barangsiapa telah menulis daripadaku selain al-Qur‟an, hendaklah ia menghapusnya.” (HR.
Ahmad dan Muslim).
2. Cara Rasulullah SAW Menyampaikan Hadits Umat Islam pada masa ini dapat secara langsung
memperoleh hadits dari Rasulullah SAW sebagai sumber hadits. Tempat pertemuan antara
Rasulullah SAW dan sahabatnya, seperti di Masjid, rumahnya sendiri, pasar, ketika dalam
perjalanan, dan ketika muqim (berada di rumah). Melalui tempat tersebut Rasulullah SAW
menyampaikan hadits yang disampaikan melalui sabdanya yang didengar oleh para sahabat
(melalui musyafahah), dan melalui perbuatan serta taqrirnya yang disaksikan oleh para sahabat
(melalui musyahadah). Ada beberapa cara Rasulullah SAW menyampaikan hadits kepada para
sahabat, yaitu:
A. Melalui majlis al-‟ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membina para jama‟ah. Melalui majlis ini para sahabat
memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk
selalu mengkonsentrasikan diri guna mengikuti kegiatan dan ajaran yang diberikan oleh
Rasulullah SAW.
B. Dalam banyak kesempatan Rasulullah SAW juga menyampaikan haditsnya melalui para
sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang lain. Jika yang berkaitan
dengan soal keluarga dan kebutuhan biologis (terutama yang menyangkut hubungan
suami istri), ia sampaikan melalui istri-istrinya.
C. Melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika haji wada‟ dan Fath
Makkah.5 Ketika menunaikan ibadah haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi Muhammad
SAW menyampaikan khatbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum
muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya terkait dengan bidang muamalah,
ubudiyah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia yang meliputi kemanusiaan, 5 Munzier
Suparta, Ilmu Hadits, 72-73. 6
persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi, kebajikan, dan solidaritas isi khatbah itu antara
lain larangan menumpahkan darah kecuali dengan hak dan larangan mengambil harta orang lain
dengan batil, larangan riba, menganiaya, persaudaraan dan persamaan diantara manusia harus
ditegakkan, dan umat Islam harus selalu berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan Hadits.6 3.
Perbedaaan Para Sahabat dalam Menguasai Hadits Diantara para sahabat tidak sama perolehan
dan penguasaan hadits. Hal ini tergantung kepada beberapa hal.
Pertama, perbedaan mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW.
Kedua, perbedaan mereka dalam soal kesanggupan bertanya kepada sahabat lain.
Ketiga, perbedaan mereka karena berbedanya waktu masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari
masjid Rasulullah SAW.
Ada beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima hadits dari
Rasulullah SAW dengan beberapa penyebabnya, antara lain:
Para sahabat yang tergolong kelompok Al-Sabiqun Al-Awwalun (yang mula-mula masuk
Islam), seperti Abu Bakar, Umar Ibn Khattab, Utsman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib dan
Ibn Mas‟ud.
Ummahat Al-Mukminin (Istri-Istri Rasulullah SAW), seperti Siti Aisyah dan Ummu
Salamah. Hadits-hadits yang diterimanya, banyak yang berkaitan dengan soal keluarga
dan pergaulan suami istri.
Para sahabat yang disamping selalu dekat dengan Rasulullah SAW juga menuliskan
hadits-hadits yang diterimanya, seperti Abdullah Amr Ibn Al-„Ash.
Sahabat yang meskipun tidak lama bersama Rasulullah SAW, akan tetapi banyak
bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-sungguh, seperti Abu Hurairah.
Para sahabat yang secara sunggguh-sungguh yang mengikuti majlis Rasulullah SAW,
banyak bertanya kepada sahabat lain dari sudut usia tergolong yang hidup lebih lama dari
wafatnya Rasulullah SAW, seperti Abdullah Ibn Umar, Anas Ibn Malik danAbdullah ibn
Abas
Sementara itu, menurut Muhamad Musthafa „Azami, bahwa para sahabat menerima hadits
dari Rasulullah SAW melalui tiga macam cara, yaitu:
1) Melalui metode hafalan. Secara historis masyarakat Arab secara umum adalah
masyarakat yang kuat daya hafalannya sehingga terlepas apakah mereka pandai
mengenal baca tulis (ummi) atau tidak, akan membantu dalam menerima dan
memahami hadis dari Rasulullah SAW. Di sisi lain, beliau juga sering
mengulangulang apa yang telah diucapkannya.
2) Metode tulisan. Di antara para sahabat Nabi Muhammad SAW yang setelah menerima
hadis dari beliau, mereka langsung menuliskannya. Metode ini hanya bisa dilakukan
oleh orang-orang tertentu yang memiliki kemahiran dalam menulis saja.
3) Metode praktik. Para sahabat mempraktikkan secara langsung hadis-hadis yang
diterima dari Nabi Muhammad SAW dalam kehidupan sehai-hari, dan jika terjadi
perbedaan, maka mereka dapat langsung mengkonfirmasikannya kepada Rasulullah
SAW.
Sa‟ad bin Ubaidah al-Anshar pernah memiliki himpunan hadis Rasulullah SAW. Ibnu Hajar
memastikan bahwa beliau adalah salah seorang penulis jaman jahiliyah. Putranya meriwayatkan
hadis dari catatannya tersebut. Al-Bukhari mengatakan bahwa catatan itu merupakan salinan dari
catatan Abdullah bin Abi Aufa yang menulis sendiri hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. Selain
itu, pada masa Rasulullah SAW, tulisan Abdullah bin „Amr bin al-„Ash termasuk sebagai ash-
Shahifah ash-Shadiqah. Abdullah bin „Amr mencatat dari sumbernya, yakni Rasulullah sendiri.
Yang terhimpun seribu hadis Rasulullah SAW. Shahifah dalam tulisan tangan beliau tidak
ditemui sekarang, namun isinya terhimpun di dalam kitab-kitab Hadis terutama di dalam Musnad
Ahmad.8 Sebagian Sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh
Abdullah bin „Amr. Mereka beralasan,
Rasulullah SAW telah bersabda, “Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku. Dan
barangsiapa yang lelah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur‟an, hendaklah ia
menghapuskannya.”
(HR. Muslim). 7 Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis (Malang: UIN Maliki Press, 2010),
38-4
Dan mereka berkata kepadanya, “Kamu selalu menulis apa yang kamu dengar dari Nabi
Muhammad SAW, padahal beliau kadang-kadang dalam keadaan marah, lalu beliau menuturkan
ssuatu yang tidak dijadikan syariat umum.” Mendengar ucapan mereka, Abdullah bertanya
kepada Rasulullah SAW. Mengenai hal tersebut Rasulullah SAW kemudian bersabda,
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak
keluar dari muutku, selain kebenaran.”
Periode kedua sejarah perkembangan hadits adalah masa Khulafa‟ Rasyidin (Abu Bakar, Umar
Ibn al-Khattab, Usman Ibn Affan, Ali Ibn Abi Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H s/d 40
H. Masa ini juga disebut dengan masa sahabat besar.
Karena pada masa ini perhatian para sahabat masih terfokus pada pemeliharaan dan penyebaran
Al-Qur‟an, maka periwayatan hadits belum begitu berkembang dan kelihatannya berusaha
membatasinya. Oleh karena itu, masa ini oleh para ulama dianggap sebagai masa yang
menunjukkan adanya pembatasan periwayatan.
Pembatasan penyederhanaan hadis, yang ditunjukkan oleh para sahabat dengan sikap kehati-
hatiannya menggunakan dua jalan dalam meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW,
yaitu:
4) Periwayatan Lafzhi adalah periwayatan hadis yang redaksinya atau matannya persis
seperti yang diwurudkan Rasulullah SAW, dan hanya bisa dilakukan apabila mereka
hafal benar apa yang disabdakan Rasulullah SAW.
5) Periwayatan Maknawi adalah periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama
dengan yang didengarnya dari Rasulullah SAW, akan tetapi isi atau maknanya tetap
terjaga
secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasulullah SAW, tanpa ada perubahan
sedikitpun
Dengan demikian, para sahabat Nabi Muhammad SAW sangat kritis dan hati-hati dalam
periwayatan hadits. Tradisi tersebut menunjukkan bahwa mereka sangat peduli tentang
kebenaran dalam periwayatan hadits, diantaranya:
a) Para sahabat, bersikap cermat dan hati-hati dalam menerima suatu riwayat. Ini
dikarenakan meriwayatkan hadits Nabi Muhammad SAW merupakan hal penting, sebagai
wujud kewajiban taat kepadanya.
b) Para sahabat melakukan penelitian dengan cermat terhadap periwayat maupun isi riwayat
itu sendiri.
c) Para sahabat, sebagaimana dipelopori Abu Bakar, mengharuskan adanya saksi dalam
periwayatan hadits.
d) Para sahabat, sebagaimana dipelopori Ali Ibn Abi Thalib, meminta sumpah dari
periwayatan hadits.
e) Para sahabat menerima riwayat dari satu orang yang terpercaya.
f) Diantara para sahabat terjadi penerimaan dan periwayatan hadis tanpa pengecekan
terlebih dahulu apakah benar dari Nabi atau perkataan orang lain dikarenakan mereka
memiliki agama yang kuat sehingga tidak mungkin berdusta
keadaan sunnah tidak jauh berbeda dari era sahabat. Namun pada masa ini, Al-Qur‟an telah
dikodifikasi dan disebarluaskan ke seluruh negeri Islam, maka tabi‟in dapat memfokuskan diri
dan mempelajari sunnah dari para sahabat. Kemudahan lain, yang diperoleh tabi‟in karena
sahabat Nabi Muhammad SAW telah menyebar ke seluruh penjuru dunia Islam. Sehingga,
mereka mudah mendapatkan informasi tentang sunnah
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah, karena disinilah Rasulullah SAW menetap
setelah hijrah dan Rasulullah SAW juga membina masyarakat Islam yang didalamnya terdiri atas
Muhajirin dan Anshar. Para sahabat yang menetap disini, diantaranya Khulafa‟ Rasyidin, Abu
Hurairah, Sii Aisyah, Abdullah Ibn Umar dan Abu Sa‟id Al-Khudri, dengan menghasilkan para
pembesar Zuhri, Ubaidillah Ibn „Utbah Ibn Mas‟ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar. tabi‟in,
seperti Sa‟id Ibn Al-Musyayyab, „Urwah Ibn Zubair, Ibn Syihab Al-Zuhri. Di antara ulama
hadits yang menghimpun hadits pada masa ini adalah: Ibnu Juraij (w. 150 H di Makkah), Al-
Awza‟I di Syiria (w. 159 H), Sufyan at-Tsawri di Kufah (w. 161 H), Imam Malik al-Muwaththa‟
di Madinah (w. 174 H), dan lain-lain.
Masa ini adalah masa persyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan („Ahd al-syarh wa al-jamu‟
wa al-takhrij wa al-bahts). Ulama pada masa ini mulai mensistemisasi hadits-hadits menurut
kehendak penyusun, memperbarui kitab-kitab mustakhraj dengan cara membagi hadits menurut
kualitasnya
1) Tokoh-tokoh hadis dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
Di antara ulama hadis yang terkenal dalam masa ini ialah Az-Zahaby (748 H), Ibnu Sayyid an-
Nas (734 H), Ibnu Daqiq al-Ied, Mughlathai (862 H), Al-Asqalany (852 H), Ad-Dimyaty (705
H), Al-Ainy (855 H), As-Sayuthy (911 H), Az-Zarkasy (794 H), Al-Mizzy (742 H), Al-Ala‟y
(761 H), Ibnu Katsir (744 H), Az-Zaila‟y (762 H), Ibnu Rajab (795 H), Ibnu Mulaqqin (804 H),
Al-Bulqiny (805 H), Al-Iraqy (806 H), Al-Haitsamy (807 H), Abu Zur‟ah (806 H).
2) Kitab-kitab hadits yang tersusun dalam abad ke-7 Hijriyah sampai sekarang
Perkembangan penulisan hadits pada abad intinya adalah menyusun kembali kitab-kitab hadis
terdahulu secara tematik, baik dari segi matan dan sanadnya untuk memudahkan bagi umat Islam
untuk mempelajarinya ialah sebagai berikut:
a. Al-Mawdhu‟at, yaitu menghimpun hadis-hadis yang mawdhu‟ saja ke dalam
sebuah buku, seperti Al-Mawdhu‟at ditulis oleh Al-Asbahani (w. 414 H), Al-
Mawdhu‟at ditulis oleh Ibnu Al-Jauzi (w. 597 H) dan Al-La‟ali Al-Mashnu‟at fi
Al-Ahadits Al-Mawdhu‟at oleh Jalaludin As-Suyuthi (w. 911 H).
b. Al-Ahkam, yaitu menghimpun hadis-hadis tentang hukum saja seperti fiqh,
misalnya Al-Ahkam Al-Kubra ditulis oleh Ibnu Al-Kharath (w. 581 H), „Umdah
Al-Ahkam oleh Al-Maqdisi (w. 600 H) Dan Bulugh Al-Maram oleh Al-Asqalani
(w. 852 H).
c. Al-Athraf, artinya teknik pembukuan hadis dengan menyebutkan permulaan
hadisnya saja, misalnya Athraf Al-Kutub As-Sittah ditulis oleh Al-Maqdish
dikenal Ibnu Al-Qisrani (w. 507 H).
d. Takhrij, yaitu seorang muhaddits mengeluarkan beberapa hadis yang ada dalam
buku hadis atau pada buku lain dengan menggunakan sanad sendiri atau ditelusuri
sanad dan kualitasnya. Missal, Irwa‟ Al-Ghalil fi Takhrij Ahadits Mannar AsSabil,
oleh Nashiruddin Al-Alban
e. Zawa‟id, yaitu penggabungan beberapa kitab tertentu seperti Musnad dan
Mu‟jam ke beberapa buku induk hadis. Missal, Majma‟ Az-Zawa‟id wa Manba‟
AlFawa‟id ditulis oleh Al-Haitami (w. 807 H). Zawa‟id diartikan mengumpulkan
hadis-hadis yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnya ke dalam
sebuah kitab seperti Zawa‟id Ibnu Madjah dan Zawa‟id As-Sunan Al-Kubra
disusun oleh Al-Bushri (w. 840 H)
f. Jawami‟ atau Jami‟, sebuah kitab hadis yang menghimpun hadis-hadis Nabi
secara mutlak, seperti Al-Jami‟ Al-Kabir yang dikenal dengan sebutan Jami‟
AlJawami‟ dan Al-Jami‟ AsAsh-Shaghir tulisan As-Suyuthi (w. 911 H).
Dengan demikian, mulai abad terakhir ini sampai sekarang dapat dikatakan tidak ada kegiatan
yang berarti dari para ulama dalam bidang hadis, kecuali hanya membaca, memahami, takhrij,
dan memberikan syarah hadis yang telah terhimpun sebelumnya
A. Kesimpulan
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau periode yang telah dilalui oleh hadits dari
masa lahirnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi
ke generasi. Ada beberapa periode dalam sejarah perkembangan hadis, antara lain:
HADIST PERKEMBANGAN KARAKTERISTIK MODEL BARU
Masa Larangan penulisan Hadist di hapal di luar Catatan kepentingan
Rasul kepala pribadi dalam bentuk
lembaran(Shahifa)
Khulafa’ Penyederhanaan Disertai sumpah dan Catatan pribadi dalam
Rasyidin Periwayatan Hadist saksi pada masa ini bentuk lembaran
(Shahifah)
Tabi’in Hadist(Al-Jam’u Hadist Nabi dan Mushanaf,
waTadwin) FatwaSahabat dan Muwaththa, Musnad,
aqwal sahabat jami
Kodifikasi Penghimpunan dan Referensi(Muraja’ah) Mu’jam,Mustadrak,
penerbitan secara pada Buku-buku Zawa’id jami dan
sistematik(al-Jam’u sebelumnya tetapi lain-lain
wa at tanhzim) lebih sistematis
Faktor-faktor penyebab dilakukannya kodifikasi hadis, yaitu kekhawatiran hilangnya hadis dan
kemurnian hadis.
B. Saran
Berkaitan dengan sejarah perkembangan hadis, kami menyadari bahwa dari berbagai referensi
yang ada masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam segi penulisan, sehingga terjadi
kesalahpahamman dalam konsep sejarah perkembangan hadis. Dan kami berharap dari refisian
makalah ini, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca dan barokah. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
As-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2009.
Hakim, Atang Abd & Jaih Mubarok. Metodologi Studi Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya,
2012.
Idri. Studi Hadis. Jakarta: Kencana, 2010.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2012
PL, Noor Sulaiman. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press, 2009.
Solahudin, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Sumbulah, Umi. Kajian Kritis Ilmu Hadis. Malang: UIN Maliki Press, 2010.
Suparta, Munzier. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Press, 2010.
Wahid, Ramli Abdul. Studi Ilmu Hadis. Medan: Citapustaka Media Perintis, 2011