MAKALAH
DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAMPUH:
MAKASSAR
2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Istilah hadis biasanya mengacu pada segala sesuatu yang terjadi sebelum
maupun setelah kenabiannya. Terma hadis terkadang dipertukarkan dengan
istilah sunnah. Sebagian ulama hadis menganggap kedua istilah tersebut
adalah sinonim (mutaradif), sementara sebagian yang lainnya ada yang
membedakan antara keduanya. Sejarah dan perkembangan hadis dapat
dilihat dari dua aspek penting, yaitu periwayatan dan pen-dewan-annya.
Dari keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang berkaitan
dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW.
kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab
himpunan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait
dengan masa pertumbuhan dan perkembangan hadis, para ulama berbeda
dalam menyusunnya. M.M. Azamiy dan Ajjaj al-khatib membagi-nya
dalam dua periode, dan Muhammad Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam
lima periode, sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh
periode.
Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan
pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah
membina umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut
merupakan kurun waktu turunnya wahyu (al-Qur’an), berbarengan dengan
itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada masa Nabi adalah adanya
interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat-
ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka
penyampaian risalah, dan juga karena adanya berbagai persoalan hidup
yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya
dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan menghafal apa yang
telah diterimanya dari Nabi SAW. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW,
kalangan sahabat sangat berhatihati dalam menerima dan meriwayatkan
hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian al-Qur’an
agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga untuk menjaga
keorisinalitas hadis tersebut. Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan
apa yang terjadi di era sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu telah
disebarluaskan ke seluruh negara.
Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri dalam
mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh
penjuru dunia Islam. Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai
berkembang penghimpunan hadis (aljam’u wa al-tadwin), meskipun masih
ada percampuran antara hadis 34 Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di
era tabi’ al-tabi’in hadis telah dibukukan, bahkan era ini menjadi masa
kejayaan kodifikasi hadis. Kodifikasi dilakukan berdasar perintah khalifah
Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang
kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama diberbagai daerah hingga pada
masa berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis.1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada
masa Rasul?
2. Bagaimana Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada
masa sahabat?
3. Bagaimana Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada
masa tabi’in?
4. Bagaimana pembukuan hadits?
C. Tujuan
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui Sejarah
perkembangan hadits pada masa rasul, sahabat, dan masa tabi’in.
1Alamsyah. (2013). Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya. Al-Hikmah: Jurnal UIN Alauddin, Volume
14, Nomor 2.
PEMBAHASAN
Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1, (2014), 233 (diakses pada 2 Mei 2019)
lain. Jika hadis yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan
kebutuhan biologis, maka hadis tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi
sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, misalnya
ketika haji wada’ dan fath al-Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada
tahun 10 H, Nabi menyampaikan pidato yang sangat bersejarah di depan
ratusan ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya
terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM
yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi,
kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk
menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk
menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang
teguh pada al-Qur’an dan Hadis.5
5 Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis, 4.2 (2020)
sekitar 10 orang saja. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.6
Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu
sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan
di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga
soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu
masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada
beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima
hadis dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-
Sabiqun alAwwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali
ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan
Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama Bersama Nabi, akan
tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-
sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan
Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara sungguhsungguh
mengikuti 36 majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun
dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup Nabi.
Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa
cara, menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan
pengajaranpengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi
mengulangulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan
hadis melalui media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang
pandai menulis. Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan
kepada para raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat
tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang
zakat dan tata cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mem-
praktek secara langsung di depan para sahabat, misalnya ketika beliau
6 Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar, 2018).
mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan
sebagainya.7
13 Ibid. Hal. 49
tulisan, kesemuanya itu melalui informasi yang disampaikan para sahabat
dari Nabi SAW. Melalui informasi yang disampaikan para sahabat itu,
materi (matan) hadis yang diterima secara berantai dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Tanpa kehadiran sahabat, maka mustahil pesanpesan
Nabi akan sampai kepada generasi selanjutnya.
14 Siddik Firmansyah, ‘Kritik atas Literatur Masa Awal Pembukuan (Metodologi Sejarah Kodifikasi Hadis
Ulama Klasik)’, Holistic Al-Hadis, 7.2 (2021), 137.
15 Ahmad Umar Hashim, ‘As-Sunnah An-Nabwiyah’ (Fajalah: Maktabah Gharib, 1980).
nabi yang terkenal seperti, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash,
Jabir bin Abdullah Al-Anshari, dan Abdullah bin Abbas. Pada periode
tersebut, para Sahabat juga selalu menghafal dan mengingat (mudzakaroh,
memorizing) kembali hadis-hadis baik sendiri maupun kelompok, dan
saling membantu antara satu dengan yang lain dalam menghafal.16
Setidaknya terdapat tiga cara yang dilakukan para sahabat dalam
menjaga dan menghafal hadis secara akurat, yaitu dengan penghafalan,
merekam, dan praktik. Yang pertama adalah penghafalan, para sahabat telah
terbiasa untuk mendengar perkataan nabi, dan memperhatikan perbuatan
beliau dengan sangat hati-hati, dan di antara para sahabat terbiasa untuk
membahas dan mempelajari ulang apa yang telah disampaikan nabi. Yang
kedua adalah merekam, para sahabat yang memiliki kemampuan dalam
menulis memiliki tugas khusus dalam mencatat hadis-hadis yang diperoleh
dari nabi. Yang ketiga adalah praktik, para sahabat mempraktikkan apa yang
telah mereka dapat dari nabi.17
Anjuran para sahabat untuk menghafal dan mengingat-ingat hadis
sangat banyak, sebagaimana Ibnu Abbas berkata, “Apabila kalian
mendengar hadis dari padaku, hendaknya kalian saling mengingat-
ingatkan”. Said bin Jubair juga meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata,
“Ingat-ingatlah hadis ini agar ia tidak hilang, sebab hadis itu tidak seperti
Al-Qur’an yang dipelihara secara keseluruhan oleh Allah. Apabila kalian
tidak mau mengingat-ingat hadis, maka hal itu akan hilang”.18
Pasca penulisan Al-Qur’an selesai dan telah disebarkan ke
daerahdaerah perluasan Islam, sebagian para sahabat mulai
mengkonsentrasikan diri pada al-Sunnah dengan menghafalnya,
mempelajari isi kandungannya dan tidak sedikit yang memulai menulisnya.
Hal itu setelah dipandang bahwa pelarangan tersebut telah selesai masa
berlakunya. Bahkan Abdullah bin Mas’ud berkata; “Pada masa Rasulullah
16 Muhammad Mustafa Azmi, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Pustaka Firdaus, 1994).
17 Siddik Firmansyah, ‘Kritik atas Literatur Masa Awal Pembukuan (Metodologi Sejarah Kodifikasi Hadis
Ulama Klasik)’, Holistic Al-Hadis, 7.2 (2021), 137 .
18 azmi
kita tidak menulis hadis apapun kecuali menyangkut al-istikharah dan
tasyahhud”. Ini mengindikasikan bahwa penulisan selain Al-Qur’an pada
masa sahabat telah ada walau jumlahnya sangat minim, disamping
menjelaskan bahwa Ibn Masud tidaklah termasuk orang yang melarang
penulisan hadis.19
19 Masturi Irham, ‘Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi Dari Tinjauan Sejarah’, Addin, 7.2 (2015).
Bakar, Umar, Usman) meriwayatkan hadis secara lisan, hanya Ali yang
meriwayatkan hadis secara lisan dan tulisan.20
20Zain, Lukman, (2014). Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal Driya al-Afkar,
Volume 2, Nomor 01
para 37 ulama berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat dua
pendapat.
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang
penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya.
Menurut mereka, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada
awal-awal Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara
hadis dan ayat al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk
menjaga kemurnian ayat al-Qur’an. Namun ketika kekhawatiran
tersebut mulai hilang karena para sahabat telah mengetahui dan
terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga
mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang
bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis.
b. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat
tersebut tidak bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu
dikhususkan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur
adukkan hadis dan al-Qur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak
dikhawatirkan mencampuradukkan keduanya, yaitu izin seperti
yang dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau
dalam kata lain Rasul melarang penulisan hadis secara resmi, tetapi
tetap mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri.
Jadi larangan itu bersifat umum sedangkan izin hanya berlaku untuk
sahabat tertentu. Demikianlah, hadis pada masa Rasul tidak tertulis kecuali
hanya sedikit saja.21
22 Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis, 4.2 (2020)
23 Irham, Masturi, ‘Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi Dari Tinjauan Sejarah’, Addin, 7.2 (2015)
Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai
bentuk, jika disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada
juga yang harus dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terbentuk
dalam ibadah dan amaliah para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan
mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada satu hadis pun yang tercecer
apalagi terlupakan. Perihal menulis hadis, di samping melakukan hafalan
secara teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadis-hadis yang telah
diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau
suratsurat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai
gurunya.24
24 Utang Ranu Wijaya, ‘Ilmu Hadis’, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
25
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.
Nakha’i, dan abu Ishaq Al-sa’bi.di Basrah, ialah Hasan Al-basri,
Muhammad ibn sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibnu ‘Ubaid, Abdullah
ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi, dan Hisyam ibn Hasan.di
Syam, ialah Salim ibn Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu
Sulaiman Al-Darani, dan Umar ibn hana’i. Di Mesir, ialah Amr ibn Al-
Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-hadrami, Yazid ibn Abi habib, Abdullah ibn
Abi jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil. Di Andalus, ialah Ziyad
ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’, dan
Muslim ibn Yasar. Di Yaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn
Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid. Kemudian di Khurasan, para
sahabat yang terjun, antara lain Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit Al-
Anhsari, dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.26
26
M. Hasbi ,Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan
Bintang, Cet. Ke-11 th. 1993. hlm. 74-75
b. Nafi' al-Madani: Beliau adalah seorang ulama di bidang qira'at al-
Qur'an. Nama lengkapnya adalah Nafi' bin Abdurrahman bin Abi
Nu'aim al-Laitsi al-Kanani atau lebih dikenal sebagai Nafi' al-
Madani
c. Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz: Beliau adalah khalifah kedelapan
pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.
Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dipelopori dalam kodifikasi hadis
secara resmi
Pada masa Tabi'i al-Tabi'in, kodifikasi hadis telah menggunakan
metode yang sistematis, yaitu dengan mengelompokkan hadis-hadits yang
ada sesuai dengan bidang bahasan, meskipun dalam penyusunannya masih
bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan Tabi'in. Barulah pada
awal abad kedua Hijriah, dalam kodifikasinya, hadis telah dipisahkan dari
qaul sahabat dan Tabi'in. Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga sistem
penerimaan dan periwayatan hadis dengan sistem sinad. Maraknya
pemalsuan hadis yang terjadi di akhir masa Tabi'in yang terus berlanjut
sampai masa sesudahnya menjadikan para ulama untuk meneliti.27
27 https://islamic-center.or.id/sejarah-hadits-pada-masa-tabiin/
Mustafa al-Siba’i menegaskan bahwa orang pertama yang membuat
hadis palsu dengan bercorakkan pengkultusan pribadi adalah kaum Syi’ah.
Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa diantara hadis palsu adalah hadis yang
menegaskan kekhalifahan Ali menurut Ibn Hazm, orang yang meriwayatkan
hadis tersebut adalah Abal Hamra, yang aku tidak mengenalnya. Kegiatan
syi’ah dalam membuat hadis palsu itu mendapat tanggapan dari pihak lain
yang menjadi rivalnya dengan membuat hadis palsu pula. Dengan membuat
hadis palsu mereka memandang pendiriannya atau partainya akan
mendapatkan dukungan mayoritas umat Islam karena telah dijustifikasi oleh
sebuah argumentasi dari hadis Nabi.
Berangkat dari pertentangan politik tersebut dalam kenyataan telah
mengakibatkan timbulnya pertentangan dalam bidang teologi dan pada
gilirannya menyeret pula dalam bidang jurisprundensi. Hal ini adalah
sebagai konsekuensi logis. Sebagai dari pendukung aliran teologi yang
timbul pada saat itu telah membuat juga berbagai hadis palsu untuk
memperkuat argumentasi aliran yang mereka yakni benar. Sudah barang
tentu, kalangan musuh Islam yang berkeinginan meruntuhkan Islam dari
dalam tidak menyia-nyiakan pertentangan politik yang timbul dikalangan
umat Islam. Para musuh Islam itu juga menggunakan senjata dengan
membuat berbagai hadis palsu dalam memerangi Islam. Dan pada
gilirannya, hal ini diikuti oleh kepentingan lain yang turut mendorong
seseorang untuk memalsukan hadis. Untuk memperoleh gambaran lebih
jelas tentang faktor-faktor yang mendorong seseorang memalsukan hadis,
hal ini akan dibahas dalam sub pembahasan tersendiri berikut ini.
Upaya Mengatasi Pemalsuan Hadits dalam pentas sejarah
perkembangan Islam merupakan kenyataan yang tak dapat terelakkan. Hal
ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi pemahaman umat Islam. Oleh
karena itu, upaya pemberantasan pemalsuan hadis dipandang merupakan
suatu keniscayaan, di samping pemeliharaan terhadap otentisitasnya. Dalam
rangka memberikan solusi terhadap persoalan pemalsuan hadis yang
muncul, ulama telah menawarkan konsep-konsep dasar yang bersifat
metodologis yang memungkinkan secara akurat mampu mendeteksi
pemalsuan hadis tersebut. Artinya, prosedur yang ditempuh dalam
menerima hadis adalah berupa pengujian dan penelitian hadis sebagai upaya
mengatasi pemalsuan hadis, yakni: meneliti sanad hadits, mengukuhkan
hadits-hadits, meneliti rawi hadis dalam menetapkan status kejujurannya,
dan mnetapkan kaidah-kaidah umum untuk mengklasifikasikan hadis.28
28Zain, Lukman, (2014). Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal Driya al-Afkar,
Volume 2, Nomor 01.
3. Munculnya pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab
setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi
pengikut Ali dan pengikut Mu'awiyah, dan Khawarij yang keluar dari
keduanya.
Masing-masing golongan berusaha memperkuat mazhabnya dengan
cara menakwil Al-Qur'an bukan yang sebenarnya, atau membuat nash-nash
hadis dan menisbatkan kepada Rasulullah apa yang tidak beliau katakan
untuk memperkuat pendapat mereka. Perbuatan demikian dilakukan oleh
kelompok Syi'ah. Sedangkan Khawarij tidak membolehkan perbuatan dusta
dan menganggap kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, apalagi berdusta
kepada Rasulullah. Diriwayatkan dari Ibnu Syihab berkata, "Kalaulah tidak
karena adanya hadis-hadis yang datang dari belahan timur yang tidak kami
ketahui keberadaannya, niscaya aku tidak akan menulis dan tidak
mengizinkan penulisan hadis.”29
Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz belum
menyeluruh dan sempurna, hal ini dikarenakan beliau wafat sebelum Abu
Bakar ibn Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadis kepadanya. Para ahli
hadis memandang bahwa usaha Umar ibn Abdul Aziz merupakan langkah
awal dari pembukuan hadis. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadis ini
terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar ibn Abdul
Aziz atas perintahnya”.30
Pada periode awal pembukuan hadis, urutan bab-bab dan
pembahasan disiplin tiap ilmu belum disusun secara sistematis, upaya
pembukuan secara sistematis baru dilakukan oleh Imam Muhammad ibn
Syihab Az-Zuhri dengan beberapa metode yang berbeda, yang kemudian
para ulama hadis menyusun buku hadis secara sistematis berdasarkan sanad
dan bab.
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar, 2018)
29
Ina Alif Hamdalah and Dadang Kahmad, ‘History of Hadith Writing, Memorization and Bookkeeping’, in
30
31 ibid
32 Muhajirin, D R, ‘Ulumul Hadits II’ (Dr. Muhajirin, MA, 2021)
sebelumnya, pada periode ini muncul sejumlah karya baru dalam kitab hadis
seperti syarah, mustakhrij, atraf, mustadrik, dan jami’. Beberapa ulama
hadis dan kitab yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah:
1. Sulaiman bin Ahmad Al-Thabari. Karyanya Al-Mu‟jam al-Kabir, Al-
Mu‟jam Al-Ausath, dan Al-Mu‟jam Al-Shaghir.
2. Abd Al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Al-Daruquthni, karyanya Sunan
Ad-Daruquthni.
3. Abu Awanah Ya‘qub Al-Safrayani, karyanya Shahih Awanah.
4. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih ibnu Huzaimah.
5. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-
Kubra.
6. Majuddin al-Harrani, Karyanya Muntaq Al-Akbar.
7. As-Syaukani, karyanya Nail Authar.
8. Al-Munziri, karyanyaAt-Taqrib wa At-Taqrib.
9. As-Siddiqi, karyanya Dalil Falihin.
10. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, Karyanya Riyadhush Shalihin.33
33 ibid
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para sahabat dalam menjaga dan menghafal hadis secara akurat,
yaitu dengan penghafalan, merekam, dan praktik. Yang pertama adalah
penghafalan, para sahabat telah terbiasa untuk mendengar perkataan nabi,
dan memperhatikan perbuatan beliau dengan sangat hati-hati, dan di antara
para sahabat terbiasa untuk membahas dan mempelajari ulang apa yang
telah disampaikan nabi. Yang kedua adalah merekam, para sahabat yang
memiliki kemampuan dalam menulis memiliki tugas khusus dalam
mencatat hadis-hadis yang diperoleh dari nabi. Yang ketiga adalah praktik,
para sahabat mempraktikkan apa yang telah mereka dapat dari nabi.
Perkembangan hadis pada Rasulullah masyarakat umat Islam masih
terbilang kurang memahami hadis maupun menulis hadis. Pada masa ini
Rasulullah selalu menekankan kepada sahabat agar selalu memahami hadis
dan menyampaikanya kepada umat Islam. Salah satu kebijakan terbesar
Nabi terkait pemeliharaan hadis adalah dengan memerintahkan para
shahabat untuk menghafal.
Pada masa awal penulisan, para ahli hadis telah mengingatkan
adanya masalah penulisan hadis, di antaranya yang pernah dilakukan oleh:
Urwah, AlAkhfasy, Al-Qa’nabi, Yahya bin Abu Katsir. Oleh karena itu ahli-
ahli hadis selalu berusaha dengan semaksimal mungkin untuk
memperlihatkan kembali tulisan- tulisan atau catatan-catatan hadis kepada
gurunya seraya mengoreksinya kembali. Cara untuk mengoreksi hadis
tersebut terdapat dua macam, yaitu seorang murid mengoreksinya sendiri
dengan bantuan teman-temannya, atau ia mengoreksinya dengan bantuan
gurunya.
Dalam pembukuan hadis ada beberapa periode yaitu dintaranyan
Periode Pra Khulafa' Ar-Rasyidin pada masa ini, tersebarnya periwayatan
hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari
hadits pun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadits,
muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga hadit di berbagai daerah di
seluruh negeri. Periode Abad II dan III Hijriah hingga sampai Periode (656
H-Sekarang).
DAFTAR PUSTAKA