Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH PEMBUKUAN DAN PENGHIMPUNAN HADITS

MAKALAH

DISUSUN OLEH:

PUTRA MINDAR ILHAM PRATAMA / 10120220079

DOSEN PENGAMPUH:

H. YUNUS ANWAR Lc.,M.Ag.

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadis merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an.
Istilah hadis biasanya mengacu pada segala sesuatu yang terjadi sebelum
maupun setelah kenabiannya. Terma hadis terkadang dipertukarkan dengan
istilah sunnah. Sebagian ulama hadis menganggap kedua istilah tersebut
adalah sinonim (mutaradif), sementara sebagian yang lainnya ada yang
membedakan antara keduanya. Sejarah dan perkembangan hadis dapat
dilihat dari dua aspek penting, yaitu periwayatan dan pen-dewan-annya.
Dari keduanya dapat diketahui proses dan transformasi yang berkaitan
dengan perkataan, perbuatan, hal ihwal, sifat dan taqrir dari Nabi SAW.
kepada para sahabat dan seterusnya hingga munculnya kitab-kitab
himpunan hadis untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan ini. Terkait
dengan masa pertumbuhan dan perkembangan hadis, para ulama berbeda
dalam menyusunnya. M.M. Azamiy dan Ajjaj al-khatib membagi-nya
dalam dua periode, dan Muhammad Abd al-Ra’uf membaginya ke dalam
lima periode, sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy membaginya dalam tujuh
periode.
Kelahiran hadis sebagaimana dimaksud terkait langsung dengan
pribadi Nabi Muhammad SAW, sebagai sumber hadis, dimana beliau telah
membina umatnya selama kurang lebih 23 tahun, dan masa tersebut
merupakan kurun waktu turunnya wahyu (al-Qur’an), berbarengan dengan
itu keluar pula hadis. Lahirnya hadis pada masa Nabi adalah adanya
interaksi Rasullah sebagai mubayyin (pemberi penjelasan) terhadap ayat-
ayat al-Qur’an kepada sahabat atau umat lainnya, dalam rangka
penyampaian risalah, dan juga karena adanya berbagai persoalan hidup
yang dihadapi oleh umat dan dibutuhkan solusi atau jalan pemecahannya
dari Nabi SAW, lalu para sahabat memahami dan menghafal apa yang
telah diterimanya dari Nabi SAW. Sepeninggal Nabi Muhammad SAW,
kalangan sahabat sangat berhatihati dalam menerima dan meriwayatkan
hadis. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya menjaga kemurnian al-Qur’an
agar tidak tercampur dengan hadis, selain itu juga untuk menjaga
keorisinalitas hadis tersebut. Keadaan di era tabi’in sedikit berbeda dengan
apa yang terjadi di era sahabat. Karena al-Qur’an ketika itu telah
disebarluaskan ke seluruh negara.
Islam, sehingga tabi’in bisa mulai menfokuskan diri dalam
mempelajari hadis dari para sahabat yang mulai bersebaran ke suluruh
penjuru dunia Islam. Dengan demikian, pada masa Tabi’in sudah mulai
berkembang penghimpunan hadis (aljam’u wa al-tadwin), meskipun masih
ada percampuran antara hadis 34 Nabi dengan fatwa sahabat. Barulah di
era tabi’ al-tabi’in hadis telah dibukukan, bahkan era ini menjadi masa
kejayaan kodifikasi hadis. Kodifikasi dilakukan berdasar perintah khalifah
Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah yang
kebijakannya ditindaklanjuti oleh ulama diberbagai daerah hingga pada
masa berikutnya hadis terbukukan dalam kitab hadis.1

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada
masa Rasul?
2. Bagaimana Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada
masa sahabat?
3. Bagaimana Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada
masa tabi’in?
4. Bagaimana pembukuan hadits?

C. Tujuan
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk mengetahui Sejarah
perkembangan hadits pada masa rasul, sahabat, dan masa tabi’in.

1Alamsyah. (2013). Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya. Al-Hikmah: Jurnal UIN Alauddin, Volume
14, Nomor 2.
PEMBAHASAN

A. Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada masa Rasulullah


SAW.
Hadis pada masa ini dikenal dengan Ashr al-Wahy wa al—Takwin,
yakni masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.2 Keadaan
seperti ini sebenarnya menuntut dengan serius dan kesangat hati-hatian para
sahabat sebagai pewaris pertama jaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah
dijelaskan Nabi melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa
yang didengar dan disaksikan oleh para sahabat itu adalah pedoman bagi
amaliah dan ubudiah mereka.3

1. Petunjuk rasulullah SAW.


Rasulullah Saw pun memerintahkan kepada para sahabatnya agar
untuk menghafal, menyampaikan dan menyebar luaskan hadis-hadis. Nabi
sendiri tidak hanya memerintahkan, namun memang beliau juga banyak
memberikan semangat melalui do’a-do’anya dan tidak jarang Nabi juga
menjanjikan kebaikan akhirat bagi mereka yang menghafal hadis dan
menyampaikan kepada orang lain.4 Hal tersebut kemudian membuat
semangat motivasi untuk para sahabat meningkat dalam menghafal hadis.

2. Cara rasul SAW. Menyampaikan hadits


Ada beberapa cara Rasulullah saw menyampaikan hadis kepada para
sahabat, yaitu: Pertama, melalui majelis ilmu, yakni tempat pengajian yang
diadakan oleh Nabi Muhammad saw untuk membina para jamaah. Kedua,
dalam banyak kesempatan Rasulullah saw juga menyampaikan hadisnya
melalui para sahabat tertentu, yang kemudian disampaikannya kepada orang

2 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 50


3 Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), 70
4 Ahmad Isnaeni, Historisitas Hadis dalam Kacamata M. Mustafa Azami, QUHAS: Jurnal of Qur’an and

Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1, (2014), 233 (diakses pada 2 Mei 2019)
lain. Jika hadis yang disampaikan berkaitan dengan persoalan keluarga dan
kebutuhan biologis, maka hadis tersebut disampaikan melalui istri-istri Nabi
sendiri. Ketiga, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, misalnya
ketika haji wada’ dan fath al-Makkah. Ketika menunaikan ibadah haji pada
tahun 10 H, Nabi menyampaikan pidato yang sangat bersejarah di depan
ratusan ribu kaum muslimin yang sedang melakukan ibadah haji, isinya
terkait dengan bidang muamalah, ubudiyah, siyasah, jinayah, dan HAM
yang meliputi kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan ekonomi,
kebajikan, dan solidaritas. Selain itu juga adanya larangan dari Nabi untuk
menumpahkan darah, larangan riba, menganiaya, dan juga perintah untuk
menegakkan persaudaraan sesama manusia, serta untuk selalu berpegang
teguh pada al-Qur’an dan Hadis.5

3. Keadaan para sahabat dalam menerima dan meriwayatkan hadits


para sahabat adalah orang-orang Arab asli yang mayoritas buta
huruf, mereka tidak pandai membaca dan menulis, namun memiliki
kemampuan hafalan yang luar biasa. Namun demikian, ini tidak berarti
bahwa di antara mereka tidak ada seorang pun yang bisa menulis dan
membaca. Keadaan ini hanyalah sebagai ciri kebanyakan dari mereka;
Sejarah telah mencatat bahwa sejumlah orang di antara mereka ada yang
mampu membaca dan menulis, Adiy bin Zaid Al-Abbady (wafat 35 sebelum
hijrah) misalnya, sudah belajar menulis hingga menguasainya, dan
merupakan orang pertama yang menulis dengan bahasa Arab dalam surat
yang ditujukan kepada Kisra. Sebagian orang Yahudi juga mengajarkan
anak-anak di Madinah menulis Arab. Kota Makkah dengan pusat
perdagangannya sebelum kenabian, menjadi saksi adanya para penulis dan
orang-orang yang mampu membaca. Sebagian informasi menyatakan
bahwa orang yang mampu membaca dan menulis di kota Makkah hanya

5 Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis, 4.2 (2020)
sekitar 10 orang saja. Inilah yang dimaksud bahwa orang Arab adalah
bangsa yang ummi.6
Respon sahabat dalam menerima dan menguasai hadis tidak selalu
sama. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: adanya perbedaan
di antara mereka dalam soal kesempatan bersama Rasulullah SAW, dan juga
soal kesanggupan bertanya pada sahabat lain, serta berbedanya waktu
masuk Islam dan jarak tempat tinggal dari masjid Rasulullah SAW. Ada
beberapa sahabat yang tercatat sebagai sahabat yang banyak menerima
hadis dari Rasulullah, misalnya para sahabat yang tergolong kelompok Al-
Sabiqun alAwwalun (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Utsman ibn Affan, Ali
ibn Abi Thalib, dan Ibn Mas’ud), Ummahat al-Mukminin (Siti Aisyah dan
Ummu Salamah), sahabat yang meskipun tidak lama Bersama Nabi, akan
tetapi banyak bertanya kepada para sahabat lainnya secara sungguh-
sungguh seperti Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Umar, Anas ibn Malik, dan
Abdullah ibn Abbas yang merupakan sahabat yang secara sungguhsungguh
mengikuti 36 majlis Nabi, banyak bertanya kepada sahabat lain meskipun
dari sudut usia tergolong jauh dari masa hidup Nabi.
Hadis yang disampaikan Nabi kepada para sahabat melalui beberapa
cara, menurut Muhammad Mustafa Azami ada tiga cara, yaitu: Pertama,
menyampaikan hadis dengan kata-kata. Rasul banyak mengadakan
pengajaranpengajaran kepada sahabat, dan bahkan dalam rangka untuk
memudahkan pemahaman dan daya ingat para sahabat, Nabi
mengulangulang perkataannya sampai tiga kali. Kedua, menyampaikan
hadis melalui media tertulis atau Nabi mendiktekan kepada sahabat yang
pandai menulis. Hal ini menyangkut seluruh surat Nabi yang ditujukan
kepada para raja, penguasa, gubernur-gubernur muslim. Beberapa surat
tersebut berisi tentang ketetapan hukum Islam, seperti ketentuan tentang
zakat dan tata cara peribadatan. Ketiga, menyampaikan hadis dengan mem-
praktek secara langsung di depan para sahabat, misalnya ketika beliau

6 Syaikh Manna Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar, 2018).
mengajarkan cara berwudhu, shalat, puasa, menunaikan ibadah haji dan
sebagainya.7

4. Pemeliharaan hadits dalam hafalan dan tulisan


Untuk memelihara kemurnian dan mencapai kemaslahatan Al-
qur’an dan hadis, sebagai dua sumber ajaran Islam, Rasululloh SAW.
Mengambil kebijaksanaan yang berbeda. Terhadap AlQur’an, beliau secara
resmi memberi instruksi kepada sahabat tertentu supaya menulis disamping
menghafalkannya, sedangkan terhadap hadis, perintah resmi itu hanya
untuk menghafal danmenyampaikannya kepada orang lain. Perintah resmi,
seperti halnya Al-Qur’an, tidak diperkenankan Rasul.8
Akan tetapi ada beberapa nash-nash yang bertentangan dalam hal
penulisan hadis, sebagian menunujukkan adanya larangan penulisan dan
sebagian lain membolehkan adanya penulisan.9 Diantara nash-nash yang
mebolehkan yaitu adanya sahabat yang menulis hadis-hadis nabi yang
menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rosululloh SAW., sehingga
diberinya nama ash-shahifa as-shodiqoh.10 Ash-shahifa as-shodiqoh
merupakan salah satu shahifah- shahifah yang terkenal pada masa Nabi
yang ditulis oleh Abdulloh bin Amru bin Al-Ash langsung dari Rosululloh.11
Sedang nash yang tidak membolehkan antara lain riwayat Abu hurairah
Rodlyallohu Anhu, beliau berkata, “Rasululloh SAW datang kepada kami
dan sedangkan kami menulis hadis, lalu beliau berkata, “ Apa yang sedang
kalian tulis?” kami menjawab, “ Hadis-hadis yang kami dengar dari
engkau.” Beliau berkata, “Apakah kalian menghendaki kitab selain
Kitabulloh? Tidaklah sesat umat sebelum kalian melainkan kerana menulis
dari kitab-kitab selain Kitabulloh.”12 Dan masih banyak nash-nash yang lain
tentang pertentangan penulisan hadis.

7 Ash-Shiddieqy, M.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Hadis.


8 Sohari Sahrani, Op. Cit., Hal. 53-54.
9 Manna’ Al-Qaththan. Op. Cit., Hal. 47
10 Sohari Sahrani, Op. Cit., Hal. 55
11 Manna’ Al-Qaththa. Op. Cit., Hal. 50
12 Ibid. Hal. 47
Dengan adanya perbedaan nash-nash inilah para ulama berselisih
pendapat dalam penulisan hadis dan memadukannya sebagai hukum, antara
lain:
a. Larangan penulisan terjadi pada awal masa perkembangan Islam,
dikhawatirkan terjadi percampuran dan penggabungan antara hadis
dan Al-Qur’an. Ketika keadaan sudah aman dan kondusif dan
banyak penghafal Al-Qur’an, Rosululloh SAW mengizinkan untuk
menulis hadis, dan larangan sebelumnya menjadi terhapus.
b. Larangan hanya khusus pada penulisan hadis bersamaan dengan Al-
Qur’an dalam satu lembar, karena dikhawatirkan terjadi kemiripan
atau persamaan.
c. Larangan hanya bagi orang yang diyakini mampu menghafalnya
karena dikhawatirkan akan bergantung pada tulisan, sedang
diperbolehkan bagi orang yang diyakini tidak mampu
menghafalnya.13
Dan tidak diragukan lagi bahwa adanya perbedaan ini hanyalah
terjadi pada masa awal saja, kemudian ijma’ kaum muslimin sepakat
membolehkan penulisan tersebut. Kalaulah tidak ditulis tentu hadis itu akan
lenyap pada masa-masa berikutnya.

B. Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada masa sahabat


Periode kedua sejarah perkembangan hadis adalah masa Khulafa’
Rasyidin (Abu Bakar, Umar ibn Khattab, Usman ibn Affan, dan Ali ibn Abi
Thalib) yang berlangsung sekitar tahun 11 H sampai dengan 40 H. Masa ini
disebut dengan masa sahabat besar. Pengertian sahabat menurut istilah ilmu
hadis yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis, adalah orang Islam yang
pernah bergaul atau melihat Nabi dan meninggal dalam keadaan beragama
Islam. Keterlibatan sahabat Nabi dalam proses diterimanya hadis adalah
sebuah keniscayaan. Baik hadis yang diriwayatkan secara lisan maupun

13 Ibid. Hal. 49
tulisan, kesemuanya itu melalui informasi yang disampaikan para sahabat
dari Nabi SAW. Melalui informasi yang disampaikan para sahabat itu,
materi (matan) hadis yang diterima secara berantai dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Tanpa kehadiran sahabat, maka mustahil pesanpesan
Nabi akan sampai kepada generasi selanjutnya.

1. Memlihara Amanah Rosulullah SAW.


Sebagai upaya untuk menjaga keaslian hadis, para sahabat nabi
banyak menjaga dan menghafal hadis tersebut dari pada menuliskannya, hal
ini dikarenakan Nabi saw tidak memberikan perintah dalam menulis hadis
bahkan Rasulullah melarang untuk menulis hadis pada masa awal Islam.14
Larangan menulis hadis sebagai mana diriwayatkan oleh Said Al-Khudri,
bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-
Qur’an, dan barang siapa telah menulis dari padaku selain Al-Qur’an
maka hendaklah ia menghapuskannya.”
Para sahabat membuat majelis untuk memperdalam ilmu
keislamannya, hal ini karena besarnya keinginan mereka dalam pembahasan
yang datang dari nabi baik hadis atau pun Al-Qur’an yang kadang dilakukan
di atas mimbar atau duduk bersama dengan para sahabat berdampingan,
hadis yang datang dari nabi tidak serta merta dihafalkan, namun para
sahabat sering mendiskusikan hadis tersebut setelah proses pembelajaran
yang disampaikan nabi selesai, hal ini bertujuan memberikan pemahaman
yang mendalam, sehingga ingatan dan hafalan para sahabat semakin kuat.15
Sahabat nabi sebagian telah menulis hadis ketika Nabi saw masih
hidup, sedang yang lainnya menulis hadis ketika Nabi saw telah wafat. Abu
Bakar As-Shidiq, Umar bin Khattab, dan Ustman bin Affan merupakan
sahabat yang tidak menulis hadis, adapun sebagian sabat yang menulis hadis

14 Siddik Firmansyah, ‘Kritik atas Literatur Masa Awal Pembukuan (Metodologi Sejarah Kodifikasi Hadis
Ulama Klasik)’, Holistic Al-Hadis, 7.2 (2021), 137.
15 Ahmad Umar Hashim, ‘As-Sunnah An-Nabwiyah’ (Fajalah: Maktabah Gharib, 1980).
nabi yang terkenal seperti, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Amr bin Ash,
Jabir bin Abdullah Al-Anshari, dan Abdullah bin Abbas. Pada periode
tersebut, para Sahabat juga selalu menghafal dan mengingat (mudzakaroh,
memorizing) kembali hadis-hadis baik sendiri maupun kelompok, dan
saling membantu antara satu dengan yang lain dalam menghafal.16
Setidaknya terdapat tiga cara yang dilakukan para sahabat dalam
menjaga dan menghafal hadis secara akurat, yaitu dengan penghafalan,
merekam, dan praktik. Yang pertama adalah penghafalan, para sahabat telah
terbiasa untuk mendengar perkataan nabi, dan memperhatikan perbuatan
beliau dengan sangat hati-hati, dan di antara para sahabat terbiasa untuk
membahas dan mempelajari ulang apa yang telah disampaikan nabi. Yang
kedua adalah merekam, para sahabat yang memiliki kemampuan dalam
menulis memiliki tugas khusus dalam mencatat hadis-hadis yang diperoleh
dari nabi. Yang ketiga adalah praktik, para sahabat mempraktikkan apa yang
telah mereka dapat dari nabi.17
Anjuran para sahabat untuk menghafal dan mengingat-ingat hadis
sangat banyak, sebagaimana Ibnu Abbas berkata, “Apabila kalian
mendengar hadis dari padaku, hendaknya kalian saling mengingat-
ingatkan”. Said bin Jubair juga meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas berkata,
“Ingat-ingatlah hadis ini agar ia tidak hilang, sebab hadis itu tidak seperti
Al-Qur’an yang dipelihara secara keseluruhan oleh Allah. Apabila kalian
tidak mau mengingat-ingat hadis, maka hal itu akan hilang”.18
Pasca penulisan Al-Qur’an selesai dan telah disebarkan ke
daerahdaerah perluasan Islam, sebagian para sahabat mulai
mengkonsentrasikan diri pada al-Sunnah dengan menghafalnya,
mempelajari isi kandungannya dan tidak sedikit yang memulai menulisnya.
Hal itu setelah dipandang bahwa pelarangan tersebut telah selesai masa
berlakunya. Bahkan Abdullah bin Mas’ud berkata; “Pada masa Rasulullah

16 Muhammad Mustafa Azmi, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Pustaka Firdaus, 1994).
17 Siddik Firmansyah, ‘Kritik atas Literatur Masa Awal Pembukuan (Metodologi Sejarah Kodifikasi Hadis
Ulama Klasik)’, Holistic Al-Hadis, 7.2 (2021), 137 .
18 azmi
kita tidak menulis hadis apapun kecuali menyangkut al-istikharah dan
tasyahhud”. Ini mengindikasikan bahwa penulisan selain Al-Qur’an pada
masa sahabat telah ada walau jumlahnya sangat minim, disamping
menjelaskan bahwa Ibn Masud tidaklah termasuk orang yang melarang
penulisan hadis.19

2. Kehati-hatian para sahabat menerima dan meriwayatkan Hadist


Pada masa khalifah Ali sama dengan masa sebelumnya, yaitu adanya
sikap kehati-hatian dari para khalifah dalam periwayatan hadis. Namun
situasi umat Islam yang dihadapi Ali telah berbeda dengan masa
sebelumnya. Pada masa Ali, pertentangan politik semakin menajam
dikalangan umat muslim, yaitu terjadinya peperangan antara kelompok
pendukung Ali dan pendukung Muawiyah. Dan kejadian tersebut yang
akhirnya membawa dampak negatif dalam bidang periwayatan hadis.
Kepentingan politik telah mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan
pemalsuan hadis. Itulah yang menjadikan periwayat hadis tidak dapat
dipercaya riwayatnya secara keseluruhan.
Kebijakan al-Khulafa al-Rasyidin tentang periwayatan hadis
terdapat empat bentuk, yaitu: Pertama, seluruh khalifah sepakat tentang
pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadis. Kedua, kesemuanya
melarang untuk memperbanyak periwayatan hadis, terutama pada masa
khalifah Umar ibn Khattab, tujuannya supaya periwayat bersikap selektif
dalam meriwayatkan hadis dan supaya perhatian masyarakat tidak berpaling
dari al-Qur’an. Ketiga, pengucapan sumpah ataupun penghadiran saksi bagi
periwayat hadis merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadis.
Periwayat yang dirasa memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani
kewajiban mengajukan sumpah atau pun saksi. Keempat, kesemua khalifah
telah meriwayatkan hadis, hanya saja tiga khalifah yang pertama (Abu

19 Masturi Irham, ‘Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi Dari Tinjauan Sejarah’, Addin, 7.2 (2015).
Bakar, Umar, Usman) meriwayatkan hadis secara lisan, hanya Ali yang
meriwayatkan hadis secara lisan dan tulisan.20

3. Upaya para Ulama Men-Taufiq-kan Hadist Tentang Larangan Menulis


Hadits.
Pelarangan Nabi dalam penulisan hadis tersebut secara implisit
menunjukkan adanya kekhawatiran dari Nabi apabila hadis yang ditulis
akan bercampur baur dengan catatan ayat-ayat al-Qur’an. Meskipun
demikian, ada juga riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada masa
Rasul ada sebagian sahabat yang memiliki lembaran-lembaran (sahifah)
yang berisi tentang catatan hadis, misalnya Abdullah ibn Amr ibn al-Ash
dengan lembarannya yang diberi nama al-Sahifah alShadiqah, dinamakan
demikian karena ia menulis secara langsung dari Rasulullah sendiri,
sehingga periwayatannya di percaya kebenarannya. Begitu juga dengan Ali
ibn Abi Thalib dan Anas ibn Malik, keduanya sama-sama memiliki catatan
hadis. Hal ini bukan berarti mereka melanggar akan larangan Rasul tentang
penulisan hadis, namun karena memang ada riwayat lain yang menyatakan
bahwa Rasul mengizinkan para sahabat untuk menulis hadis, sebagaimana
diriwayatkan bahwa para sahabat melarang Abdullah ibn Amr ibn al-Ash
yang selalu menulis apa saja yang didengarkannya dari Rasulullah, karena
menurut mereka Rasul terkadang dalam keadaan marah, sehingga
ucapannya tidak termasuk ajaran syar’i, tetapi setelah diadukan pada
Rasulullah, beliau bersabda: “Tulislah apa yang kamu dengar dairiku, demi
zat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidak keluar dari mulutku kecuali
kebenaran.”
Dari sini dapat dilihat bahwa ada dua riwayat yang berbeda, satu
riwayat menyatakan bahwa Nabi melarang penulisan hadisdan diriwayat
lain menyatakan bahwa Rasul mengizinkannya. Dalam memandang hal ini,

20Zain, Lukman, (2014). Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal Driya al-Afkar,
Volume 2, Nomor 01
para 37 ulama berbeda pendapat, dan secara garis besar terdapat dua
pendapat.
a. Pendapat pertama menyatakan bahwa riwayat yang melarang
penulisan hadis dinasakh oleh riwayat yang mengizinkannya.
Menurut mereka, pelarangan penulisan hadis oleh Nabi terjadi pada
awal-awal Islam, karena dikhawatirkan adanya percampuran antara
hadis dan ayat al-Qur’an, jadi hal tersebut dimaksudkan untuk
menjaga kemurnian ayat al-Qur’an. Namun ketika kekhawatiran
tersebut mulai hilang karena para sahabat telah mengetahui dan
terbiasa dengan susunan kalimat-kalimat al-Qur’an, sehingga
mereka bisa membedakan mana ayat al-Qur’an dan mana yang
bukan, maka Rasul mengizinkan mereka untuk menuliskan hadis.
b. Pendapat kedua menyatakan bahwa pada dasarnya kedua riwayat
tersebut tidak bertentangan. Mereka menyatakan bahwa larangan itu
dikhususkan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampur
adukkan hadis dan al-Qur’an, dan diizinkan bagi mereka yang tidak
dikhawatirkan mencampuradukkan keduanya, yaitu izin seperti
yang dilakukan Nabi kepada Abdullah ibn Amr ibn al-Ash. Atau
dalam kata lain Rasul melarang penulisan hadis secara resmi, tetapi
tetap mengizinkan para sahabat menulis hadis untuk diri sendiri.
Jadi larangan itu bersifat umum sedangkan izin hanya berlaku untuk
sahabat tertentu. Demikianlah, hadis pada masa Rasul tidak tertulis kecuali
hanya sedikit saja.21

21 As-Shalih, Subhi. (2009). Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.


C. Sejarah pembukuan dan penghimpunan hadits pada masa Tabi’in
1. Sikap dan perhatian Tabi’in pada Hadits
Sebagaimana para sahabat Rasulullah yang penuh keseriusan dan
kehatihatian dalam menghafal dan mempelajari hadis hingga
meriwayatkannya, para tabi’in juga sanga berhati-hati dalam mempelajari
dan meriwayatkan hadis. Peran para tabi’in dalam meriwayatkan hadis
cukup dipermudah dengan adanya pengumpulan Al-Qur’an dalam satu
mushaf, dan telah menyebarnya beberapa pakar hadis ke berbagai negara
Islam. Sejalan dengan pesatnya perluasan wilayah kekuasaan Islam,
penyebaran sahabat-sahabat ke berbagai daerah pun terus meningkat, hal ini
kemudian berimplikasi juga pada meningkatnya penyebaran hadis. Oleh
karena itulah, masa ini dikenal sebagai masa menyebarnya periwayatan
hadis. Ini merupakan sebuah kemudahan bagi para Tabi’in untuk
mempelajari hadis. Metode yang dilakukan para Tabi’in dalam mengoleksi
dan mencatat hadis yaitu melalui pertemuan-pertemuan dengan para
sahabat, selanjutnya mereka mencatat apa yang telah di dapat dari
pertemuan tersebut.22
Jika para sahabat Nabi sudah banyak yang mengoleksi hadis-hadis
Nabi, maka para Tabi’in yang nota benenya para murid sahabat juga banyak
mengoleksi hadis-hadis Nabi bahkan pengkoleksian ini mulai disusun
menjadi suatu kitab yang beraturan. Metode yang dilakukan para Tabi’in
dalam mengoleksi dan mencacat hadis adalah melalui pertemuan-
pertemuan (al-talaqqi) dengan para sahabat selanjutnya mereka mencatat
apa yang didapat dari pertemuan tersebut. Seperti yang dilakukan Said bin
al-Jabir yang mencatat hadis-hadis dari talaqqinya bersama Ibn Abbas,
Abdurrahman bin Harmalah hasil dari talaqqinya Said bin al-Musayyab,
Hammam bin alMunabbih hasil talaqqi dengan Abu Hurairah dan lain-
lain.23

22 Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi Ilmu Hadis, 4.2 (2020)
23 Irham, Masturi, ‘Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi Dari Tinjauan Sejarah’, Addin, 7.2 (2015)
Para Tabi’in menerima hadis Nabi dari sahabat dalam berbagai
bentuk, jika disebutkan ada yang dalam bentuk catatan atau tulisan dan ada
juga yang harus dihafal, di samping itu dalam bentuk yang sudah terbentuk
dalam ibadah dan amaliah para sahabat, lalu Tabi’in menyaksikan dan
mengikutinya. Dengan demikian, tidak ada satu hadis pun yang tercecer
apalagi terlupakan. Perihal menulis hadis, di samping melakukan hafalan
secara teratur, para Tabi’in juga menulis sebagian hadis-hadis yang telah
diterimanya. Selain itu, mereka juga memiliki catatan-catatan atau
suratsurat yang mereka terima langsung dari para sahabat sebagai
gurunya.24

2. Pusat-pusat kegiatan pembinaan Hadits


Tercatat beberapa kota sebagai pusat pembinaan dalam
meriwayatkan hadis, sebagai tempat tujuan para tabi’in dalam mencari
hadis. Kota-kota tersebut ialah Madinah, Makkah, Kufah, Basrah, Syam,
Mesir, Maghribi dan Andalus, Yaman dan Khurasan.25
Pusat pembinaan pertama adalah Madinah. Karena disinilah Rasul
Saw menetap setelah hijrah. Disini pula Rasul Saw membina masyarakat
Islam yang di dalamnya terdiri atas Muhajirin dan Ansar, dari berbagai suku
atau kabilah, disamping dilidunginya umat-umat non Muslim, seperti
Yahudi. Dan para sahabat yang menetap disini diantaranya Khulafa Al-
Rasyidin, Abu Hurairah, Siti ‘Aisyah, abdullah ibn Umar dan Abu Said Al-
Khudri, dengan menghasilkan para pembesar Tabi’in, seperti Sa’id Ibn Al-
Musyayyab, ‘Urwah Ibn Zubair, Ibn Shihab Al-Zuhri, Ubaidullah Ibn
’Utbah Ibn Mas’ud dan Salim Ibn Abdillah Ibn Umar.
Di antara para tabi’in yang membina hadis di Makkah seperti
Mujtahid ibn Jabar, Atha ibn Abi Rabah, Thawus ibn kaisan, dan Ikrimah
maula Ibn Abbas. Di Kufah, ialah Al-Rabi’ ibn Qasim, Kamal ibn Zaid Al-
Nakha’i, Said ibn Zubair Al-Asadi, Amir ibn Sarahil Al-Sya’bi, Ibrahim Al-

24 Utang Ranu Wijaya, ‘Ilmu Hadis’, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
25
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.
Nakha’i, dan abu Ishaq Al-sa’bi.di Basrah, ialah Hasan Al-basri,
Muhammad ibn sirrin, Ayub Al-Sakhyatani, Yunus ibnu ‘Ubaid, Abdullah
ibn ‘Aun, Khatadah ibn Du’amah Al-Sudusi, dan Hisyam ibn Hasan.di
Syam, ialah Salim ibn Abdillah Al-Muharibi, Abu Idris Al-Khaulani, Abu
Sulaiman Al-Darani, dan Umar ibn hana’i. Di Mesir, ialah Amr ibn Al-
Haris, Khair ibn Nu’aimi Al-hadrami, Yazid ibn Abi habib, Abdullah ibn
Abi jafar, dan Abdullah ibn Sulaiman Al-Thawil. Di Andalus, ialah Ziyad
ibn An’am Al-Mu’afil, Abdurrahman ibn Ziyad, Yazid ibn Rafi’, dan
Muslim ibn Yasar. Di Yaman, ialah Hammam ibn Munabah dan Wahab ibn
Munabah, Thawus dan Ma’mar ibn Rasyid. Kemudian di Khurasan, para
sahabat yang terjun, antara lain Muhammad ibn Ziyad ibn Tsabit Al-
Anhsari, dan Yahya ibn Sabih Al-Mugri.26

3. Para penulis dikalangan Tabi’in


Para penulis di kalangan Tabi'in, yang juga dikenal sebagai generasi
kedua umat Islam setelah sahabat Nabi, memiliki peran penting dalam
pengumpulan, penulisan, dan kodifikasi hadis. Pada masa Tabi'in,
penghimpunan hadis (al-jam'u wa al-tadwin) mulai berkembang, meskipun
masih ada percampuran antara hadis Nabi dengan fatwa sahabat. Pada masa
Tabi'i al-Tabi'in, hadis telah dibukukan, dan ini menjadi masa kejayaan
kodifikasi hadis.
Beberapa tokoh terkenal di kalangan Tabi'in yang berperan dalam
pengumpulan dan penulisan hadis antara lain:
a. Sa'id bin Musayyab: Beliau adalah salah satu dari Tujuh Fuqaha
Madinah dan sering dianggap sebagai yang paling berpengaruh di
antara ketujuh tokoh Madinah tersebut. Karena penguasaannya pada
hadis begitu luar biasa, dia dianggap sebagai Tabi'in yang paling
berpengaruh di masanya.

26
M. Hasbi ,Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan
Bintang, Cet. Ke-11 th. 1993. hlm. 74-75
b. Nafi' al-Madani: Beliau adalah seorang ulama di bidang qira'at al-
Qur'an. Nama lengkapnya adalah Nafi' bin Abdurrahman bin Abi
Nu'aim al-Laitsi al-Kanani atau lebih dikenal sebagai Nafi' al-
Madani
c. Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz: Beliau adalah khalifah kedelapan
pada masa Bani Umayyah yang memerintah tahun 99-101 H.
Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz dipelopori dalam kodifikasi hadis
secara resmi
Pada masa Tabi'i al-Tabi'in, kodifikasi hadis telah menggunakan
metode yang sistematis, yaitu dengan mengelompokkan hadis-hadits yang
ada sesuai dengan bidang bahasan, meskipun dalam penyusunannya masih
bercampur antara hadis Nabi dengan qaul sahabat dan Tabi'in. Barulah pada
awal abad kedua Hijriah, dalam kodifikasinya, hadis telah dipisahkan dari
qaul sahabat dan Tabi'in. Selain riwayat bi al-lafdzi, ada juga sistem
penerimaan dan periwayatan hadis dengan sistem sinad. Maraknya
pemalsuan hadis yang terjadi di akhir masa Tabi'in yang terus berlanjut
sampai masa sesudahnya menjadikan para ulama untuk meneliti.27

4. Perpecahan politik dan pemalsuan hadits


Pada mulanya faktor yang mendorong seseorang melakukan
pemalsuan hadis adalah kepentingan politik. Pada masa itu telah terjadi
pertentangan politik antara Ali ibn Abu Talib dan Mu’awiyah ibn Abu
Sufyan. Pada pendukung masing-masing tokoh telah melakukan berbagai
upaya untuk memenangkan perjuangan mereka. Salah satu upaya yang telah
dilakukan oleh sebagian dari mereka adalah pembuatan hadis-hadis palsu.
Dengan kata lain, pemalsuan hadis itu berlangsung setelah umat Islam
terpecah belah dalam bentuk partai-partai atau sekte-sekte. Corak hadis
yang mula-mula dibuat adalah berkenaan dengan pengakultusan pribadi.

27 https://islamic-center.or.id/sejarah-hadits-pada-masa-tabiin/
Mustafa al-Siba’i menegaskan bahwa orang pertama yang membuat
hadis palsu dengan bercorakkan pengkultusan pribadi adalah kaum Syi’ah.
Ibnu Taimiyah menyatakan, bahwa diantara hadis palsu adalah hadis yang
menegaskan kekhalifahan Ali menurut Ibn Hazm, orang yang meriwayatkan
hadis tersebut adalah Abal Hamra, yang aku tidak mengenalnya. Kegiatan
syi’ah dalam membuat hadis palsu itu mendapat tanggapan dari pihak lain
yang menjadi rivalnya dengan membuat hadis palsu pula. Dengan membuat
hadis palsu mereka memandang pendiriannya atau partainya akan
mendapatkan dukungan mayoritas umat Islam karena telah dijustifikasi oleh
sebuah argumentasi dari hadis Nabi.
Berangkat dari pertentangan politik tersebut dalam kenyataan telah
mengakibatkan timbulnya pertentangan dalam bidang teologi dan pada
gilirannya menyeret pula dalam bidang jurisprundensi. Hal ini adalah
sebagai konsekuensi logis. Sebagai dari pendukung aliran teologi yang
timbul pada saat itu telah membuat juga berbagai hadis palsu untuk
memperkuat argumentasi aliran yang mereka yakni benar. Sudah barang
tentu, kalangan musuh Islam yang berkeinginan meruntuhkan Islam dari
dalam tidak menyia-nyiakan pertentangan politik yang timbul dikalangan
umat Islam. Para musuh Islam itu juga menggunakan senjata dengan
membuat berbagai hadis palsu dalam memerangi Islam. Dan pada
gilirannya, hal ini diikuti oleh kepentingan lain yang turut mendorong
seseorang untuk memalsukan hadis. Untuk memperoleh gambaran lebih
jelas tentang faktor-faktor yang mendorong seseorang memalsukan hadis,
hal ini akan dibahas dalam sub pembahasan tersendiri berikut ini.
Upaya Mengatasi Pemalsuan Hadits dalam pentas sejarah
perkembangan Islam merupakan kenyataan yang tak dapat terelakkan. Hal
ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi pemahaman umat Islam. Oleh
karena itu, upaya pemberantasan pemalsuan hadis dipandang merupakan
suatu keniscayaan, di samping pemeliharaan terhadap otentisitasnya. Dalam
rangka memberikan solusi terhadap persoalan pemalsuan hadis yang
muncul, ulama telah menawarkan konsep-konsep dasar yang bersifat
metodologis yang memungkinkan secara akurat mampu mendeteksi
pemalsuan hadis tersebut. Artinya, prosedur yang ditempuh dalam
menerima hadis adalah berupa pengujian dan penelitian hadis sebagai upaya
mengatasi pemalsuan hadis, yakni: meneliti sanad hadits, mengukuhkan
hadits-hadits, meneliti rawi hadis dalam menetapkan status kejujurannya,
dan mnetapkan kaidah-kaidah umum untuk mengklasifikasikan hadis.28

D. Perkembangan pembukuan Hadits


Dalam perjalanannya, usaha untuk mengumpulkan hadis ke dalam
satu buku pertama kali dilakukan oleh Khalifah Umar ibn Abdul Aziz,
beliau adalah Khalifah kedelapan dari dinasti Bani Umayyah yang terkenal
adil dan wara’. Pada periode ketiga ini penulisan dan pembukuan hadis
dilakukan secara resmi, beliau memerintahkan Gubernur Madinah kala itu
Abu Bakar Muhammad Amr ibn Hazm untuk menulis dan membukukan
hadis yang kemudian kebijakan beliau ditindak lanjuti oleh para ulama di
beberapa daerah.
Di antara upaya yang beliau lakukan oleh khalifah Umar ibn Abdul
Aziz adalah sebagai berikut:
1. Tidak adanya larangan pembukuan, sedangkan Al-Qur'an telah dihafal
oleh ribuan orang, dan telah dikumpulkan dan dibukukan pada masa
Utsman, sehingga dapat dibedakan secara jelas antara Al-Qur'an dengan
Hadits dan tidak ada kemungkinan untuk tercampur antara keduanya.
2. Khawatir akan hilangnya hadis, karena ingatan kuat yang menjadi
kelebihan orang Arab semakin melemah, sedangkan para ulama telah
menyebar di beberapa penjuru negeri Islam setelah terjadi perluasan
wilayah kekuasaannya, dan masing-masing dari mereka mempunyai
ilmu, maka diperlukan pembukuan Hadits Rasulullah untuk menjaga
agar tidak hilang.

28Zain, Lukman, (2014). Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya, Jurnal Driya al-Afkar,
Volume 2, Nomor 01.
3. Munculnya pemalsuan hadis akibat perselisihan politik dan mazhab
setelah terjadinya fitnah, dan terpecahnya kaum muslimin menjadi
pengikut Ali dan pengikut Mu'awiyah, dan Khawarij yang keluar dari
keduanya.
Masing-masing golongan berusaha memperkuat mazhabnya dengan
cara menakwil Al-Qur'an bukan yang sebenarnya, atau membuat nash-nash
hadis dan menisbatkan kepada Rasulullah apa yang tidak beliau katakan
untuk memperkuat pendapat mereka. Perbuatan demikian dilakukan oleh
kelompok Syi'ah. Sedangkan Khawarij tidak membolehkan perbuatan dusta
dan menganggap kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, apalagi berdusta
kepada Rasulullah. Diriwayatkan dari Ibnu Syihab berkata, "Kalaulah tidak
karena adanya hadis-hadis yang datang dari belahan timur yang tidak kami
ketahui keberadaannya, niscaya aku tidak akan menulis dan tidak
mengizinkan penulisan hadis.”29
Akan tetapi usaha yang dilakukan oleh Umar ibn Abdul Aziz belum
menyeluruh dan sempurna, hal ini dikarenakan beliau wafat sebelum Abu
Bakar ibn Hazm mengirimkan hasil pembukuan hadis kepadanya. Para ahli
hadis memandang bahwa usaha Umar ibn Abdul Aziz merupakan langkah
awal dari pembukuan hadis. Mereka mengatakan, “Pembukuan hadis ini
terjadi pada penghujung tahun ke 100 pada masa Khalifah Umar ibn Abdul
Aziz atas perintahnya”.30
Pada periode awal pembukuan hadis, urutan bab-bab dan
pembahasan disiplin tiap ilmu belum disusun secara sistematis, upaya
pembukuan secara sistematis baru dilakukan oleh Imam Muhammad ibn
Syihab Az-Zuhri dengan beberapa metode yang berbeda, yang kemudian
para ulama hadis menyusun buku hadis secara sistematis berdasarkan sanad
dan bab.

Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar, 2018)
29

Ina Alif Hamdalah and Dadang Kahmad, ‘History of Hadith Writing, Memorization and Bookkeeping’, in
30

Gunung Djati Conference Series, 2021, IV, 373–84.


Buku-buku yang ditulis pada masa itu dan kini sudah dicetak antara
lain:
a. Al-Muwatha’ karya Imam Malik bin Anas:
b. Al-Mushannaf karya Abdurrazaq bin Hammam Ash-
Shan’ani;
c. As-Sunan karya Said bin Mansur; dan
d. Al-Mushannaf karya Abu Bakar bin Abu Syaibah.
Karya-karya tersebut tidak hanya terbatas pada kumpulan hadis-
hadis Rasulullah SAW, akan tetapi bercampur antara hadis Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam, perkataan para sahabat, dan fatwa para tabi’in. Kemudian
ulama pada periode berikutnya memisahkan pembukuan hanya pada hadis
Rasulullah SAW saja.31
Pada periode selanjutnya disebut juga dengan periode pemurnian,
penyehatan dan penyempurnaan, periode ini berlangsung dari abad ke III H
pada masa dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh khalifah Al-Ma’mun
sampai Al-Mu’tadir. Para ulama pada periode ini melakukan gerakan
penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadis-hadis, pada masa
ini lahirlah enam buku induk hadis (kutubus sittah) 32
, di antara kitab-
kitabnya adalah:
1. Al-Jami‟ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari (194 – 252 H)
2. Al-Jami‟ Ash-Shahih karya Imam Muslim (204 – 261 H)
3. Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud (202 – 261 H)
4. Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi (200 – 279 H)
5. Sunan An-nasa‟i karya An-Nasa‘i (215 – 302 H)
6. Sunan Ibn Majah karya Ibnu Majah (207 – 273 H)
Kemudian periode selanjutnya adalah masa pemeliharaan,
penerbitan, penambahan dan penghimpunan. Berlangsung selama dua abad,
yaitu abad keempat hingga ketujuh hijriah. Para ulama pada periode ini
membuat gerakan yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan generasi

31 ibid
32 Muhajirin, D R, ‘Ulumul Hadits II’ (Dr. Muhajirin, MA, 2021)
sebelumnya, pada periode ini muncul sejumlah karya baru dalam kitab hadis
seperti syarah, mustakhrij, atraf, mustadrik, dan jami’. Beberapa ulama
hadis dan kitab yang masyhur pada periode ini di antaranya ialah:
1. Sulaiman bin Ahmad Al-Thabari. Karyanya Al-Mu‟jam al-Kabir, Al-
Mu‟jam Al-Ausath, dan Al-Mu‟jam Al-Shaghir.
2. Abd Al-Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Al-Daruquthni, karyanya Sunan
Ad-Daruquthni.
3. Abu Awanah Ya‘qub Al-Safrayani, karyanya Shahih Awanah.
4. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih ibnu Huzaimah.
5. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-
Kubra.
6. Majuddin al-Harrani, Karyanya Muntaq Al-Akbar.
7. As-Syaukani, karyanya Nail Authar.
8. Al-Munziri, karyanyaAt-Taqrib wa At-Taqrib.
9. As-Siddiqi, karyanya Dalil Falihin.
10. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, Karyanya Riyadhush Shalihin.33

33 ibid
PENUTUP

A. Kesimpulan
Para sahabat dalam menjaga dan menghafal hadis secara akurat,
yaitu dengan penghafalan, merekam, dan praktik. Yang pertama adalah
penghafalan, para sahabat telah terbiasa untuk mendengar perkataan nabi,
dan memperhatikan perbuatan beliau dengan sangat hati-hati, dan di antara
para sahabat terbiasa untuk membahas dan mempelajari ulang apa yang
telah disampaikan nabi. Yang kedua adalah merekam, para sahabat yang
memiliki kemampuan dalam menulis memiliki tugas khusus dalam
mencatat hadis-hadis yang diperoleh dari nabi. Yang ketiga adalah praktik,
para sahabat mempraktikkan apa yang telah mereka dapat dari nabi.
Perkembangan hadis pada Rasulullah masyarakat umat Islam masih
terbilang kurang memahami hadis maupun menulis hadis. Pada masa ini
Rasulullah selalu menekankan kepada sahabat agar selalu memahami hadis
dan menyampaikanya kepada umat Islam. Salah satu kebijakan terbesar
Nabi terkait pemeliharaan hadis adalah dengan memerintahkan para
shahabat untuk menghafal.
Pada masa awal penulisan, para ahli hadis telah mengingatkan
adanya masalah penulisan hadis, di antaranya yang pernah dilakukan oleh:
Urwah, AlAkhfasy, Al-Qa’nabi, Yahya bin Abu Katsir. Oleh karena itu ahli-
ahli hadis selalu berusaha dengan semaksimal mungkin untuk
memperlihatkan kembali tulisan- tulisan atau catatan-catatan hadis kepada
gurunya seraya mengoreksinya kembali. Cara untuk mengoreksi hadis
tersebut terdapat dua macam, yaitu seorang murid mengoreksinya sendiri
dengan bantuan teman-temannya, atau ia mengoreksinya dengan bantuan
gurunya.
Dalam pembukuan hadis ada beberapa periode yaitu dintaranyan
Periode Pra Khulafa' Ar-Rasyidin pada masa ini, tersebarnya periwayatan
hadits ke pelosok-pelosok daerah Jazirah Arab, perlawatan untuk mencari
hadits pun menjadi ramai. Karena meningkatnya periwayatan hadits,
muncullah bendaharawan dan lembaga-lembaga hadit di berbagai daerah di
seluruh negeri. Periode Abad II dan III Hijriah hingga sampai Periode (656
H-Sekarang).
DAFTAR PUSTAKA

Andariati, Leni, ‘Hadis Dan Sejarah Perkembangannya’, Diroyah : Jurnal Studi


Ilmu Hadis, 4.2 (2020)
Alamsyah. (2013). Pemalsuan Hadis dan Upaya Mengatasinya. Al-Hikmah: Jurnal
UIN Alauddin,
Azmi, Muhammad Mustafa, Hadis Nabawi Dan Sejarah Kodifikasinya (Pustaka
Firdaus, 1994)
Al-Qaththan, Syaikh Manna, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an (Pustaka Al-Kautsar,
2018)
As-Shalih, Subhi. (2009). Membahas Ilmu-ilmu Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ash-Shiddieqy, M.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Hadis.
Firmansyah, Siddik, ‘KRITIK ATAS LITERATUR MASA AWAL PEMBUKUAN
(Metodologi Sejarah Kodifikasi Hadis Ulama Klasik)’, Holistic Al-Hadis,
7.2 (2021),
Hashim, Ahmad Umar, ‘As-Sunnah An-Nabwiyah’ (Fajalah: Maktabah Gharib,
1980)
Isnaeni, Ahmad, Historisitas Hadis dalam Kacamata M. Mustafa Azami, QUHAS:
Jurnal of Qur’an and Hadith Studies, Volume 3, Nomor 1, 2014
Irham, Masturi, ‘Sistematika Kodifikasi Hadis Nabi Dari Tinjauan Sejarah’, Addin,
7.2 (2015)
Ina Alif Hamdalah and Dadang Kahmad, ‘History of Hadith Writing, Memorization
and Bookkeeping’, in Gunung Djati Conference Series, 2021, IV.
Muhammad Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 50
M. Hasbi ,Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta: PT Bulan
Bintang, Cet. Ke-11 th. 1993.
Muhajirin, D R, ‘Ulumul Hadits II’ (Dr. Muhajirin, MA, 2021)
Munzir Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2010).
Sahrani, Sohari. 2015. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. ke-4, 2003.
Utang Ranu Wijaya, ‘Ilmu Hadis’, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996.
Zain, Lukman, (2014). Sejarah Hadis pada Masa Permulaan dan Penghimpunannya,
Jurnal Driya al-Afkar, Volume 2, Nomor 01
https://islamic-center.or.id/sejarah-hadits-pada-masa-tabiin/

Anda mungkin juga menyukai