MAKALAH
DISUSUN OLEH:
DOSEN PENGAPUH:
MAKASSAR
2023
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ketika Muhammad mendekati batas akhir hayatnya, mayarakat arab telah
menjelma menjadi umat yang terkondisikan dengan baik di atas norma-norma Islam.
Dalam keadaan demikian, beliau merasa telah berhasil merampungkan misi
kerasulannya yang sudah diembannya sejak pertama kali menerima wahyu. Dalam
mejalankan misinya itu, seluruh perilaku dan kondisi yang hadir pada diri
Muhammad dipersepsikan sebagai sistem etika universal yang menjadi sumber
hukum yang kedua setelah al- Qur’an. Sebab sistem etika tersebut tidak lepas dari
kerangka etika al-Qur’an. Pernyataan ini didukung oleh salah satu riwayat yang
disampaikan oleh ‘Aisyah bahwa prilaku (akhlak) muhammad adalah al-Qur’an.
Riwayat di atas menunjukkan bahwa keberadaan hadis (sunnah) Nabi sangat
penting dan mendasar karena kedudukannya sebagi sumber hukumsama dengan al-
qur’an. Namun jika diurut secara hirarkis maka sumber hukumyang pertama adalah
al-Qur’an, sedangkan hadis menempati posisi yang kedua. Keduanya menjadi satu-
kesatuan yang intregral.1
Dalam perspektif sejarah pertumbuhan dan perkembangannya, hadis telah
menjadi referensi bagi seluruh bentuk tata kehidupan bagi masyarakat generasi awal.
Karena posisinya sebagai fokus referensi demikian, maka hadis pernah dimanfaatkan
oleh kelompok-kelompok tertentu, baik internal maupun eksternal komunitas muslim
untuk kepentingan yang tidak proporsional, bahkan tidak benar.2 Untuk tujuan
demikian, hadis diproyeksikan sebagai alat legitimasi bagi kepentingan individual
maupun komunal yang pada ujung- ujungnya melahirkan hadis maudlu’ (palsu).
B. Rumusan Masalah
1
Muhammad Mahfuz al-Tarmasi, Manhaj Zawi al-Nasr (Surabaya : Maktabah Ahmad bin Saad bin Nabhan, 1974), h.8;
Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karaci: Centrall Institut of Islamic Research, 1965), h. 1-4; Amir
Syarifuddin, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 2000), h. 75.
2
latar belakang munculnya hadis palsu dalam M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi : Antara Pengingkar dan Pembelanya (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), h. 7.
1. Bagaimana kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam ?
2. Apa saja fungsi hadis dalam hubungannya dengan Al-Qur’an?
3. Apa perbedaan antara hadits Nabawi, hadits Qudsi, dan Al-Qur’an?
C. Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui kedudukan hadits sebagai sumber hukum islam
2. Mengetahui fungsi hadits dalam hubungannya dengan Al-Qur’an
3. Mengetahui perbedaan antara hadits Nabawi, hadits Qudsi, dan Al-Qur’an
PEMBAHASAN
A. Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Pada suatu hari, Imran bin Husayn duduk dan berbincang-bincang Bersama sahabat-
sahabatnya. Tiba-tiba di antara mereka ada yang berkata “Janganlah kamu menceritakan
kepada kami kecuali Al-Qur’an”. Imran bin Husayn berkata kepadanya, tahukah kamu
seandainya kamu dan sahabat-sahabat kamu hanya berpegang teguh kepada Al-Qur’an,
maka apakah kamu akan mendapatkan penjelasan bahwa salat zuhur itu empat rokaat
dan salat magrib itu tiga rokaat, serta kamu mengeraskan bacaanmu dua rakat pertama
dari salat magrib?” Selanjutnya dia berkata, “wahai kaumku, berpegang teguhlah dan
ambillah daripadaku hadits Nasbi Muhammad SAW., karena sesungguhnya jika kamu
mengabaikannya, niscaya kamu akan sesat.”3
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadis sebagai sumber ajaran Islam, dapat
dillihat beberapa argumenttasi berupa dalil-dalil, baik naqli (berdasarkan Al-Qur’an)
maupun aqli (rasional).
1. Dalil Al-Qur’an
Allah memerintah kaum muslimin untuk patuh dan tunduk kepada rasul-Nya
sebagaimana mereka patuh dan tunduk kepada Allah swt. Sebagaimana dijelaskan
pada beberapa ayat berikut:
ُقْل َأِط يُعوا َهَّللا َو الَّرُس وَل ۖ َفِإْن َتَو َّلْو ا َفِإَّن َهَّللا اَل ُيِحُّب اْلَك اِفِر يَن
“Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".’’ (Q.S. Ali Imran: 32)
... َو َم ا آَتاُك ُم الَّرُس وُل َفُخ ُذ وُه َو َم ا َنَهاُك ْم َع ْنُه َفاْنَتُهواۚ َو اَّتُقوا َهَّللاۖ ِإَّن َهَّللا َش ِد يُد اْلِع َقاِب
‘’….Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.’’ (Q.S. Al-Hasyr: 7)
3
Nuur al-Diin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiy ‘Uluum al-Hadiits. Diterjemahkan oleh Mujiyo dengan judul: ‘Ulum al-Hadits, Jilid
I (Cetakan I, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), h. 2.
Selain itu, banyak juga ayat yang menyebutkan bahwa ketaatan kita
kepada Allah SWT sejajar dengan ketaatan kepada Allah. Beberapa ayat itu antara
lain sebagai berikut:
َم ْن ُيِط ِع الَّرُس وَل َفَقْد َأَطاَع َهَّللا
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah”
(Q.S. An-Nisa: 80)
2. Dalil Hadis
Kedudukan hadis juga dapat dilihat melalui hadis hadis nabi. Nabi
Muhammad bersabda sebagai berikut:
َتَر ْك ُت ِفيُك ْم َأْم َر ْيِن َلْن َتِض ُّلوا َم ا َتَم َّس ْكُتْم ِبِهَم ا ِك َتاَب ِهَّللا َو ُس َّنَة َنِبِّيِه
“Aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat
selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-
Nya.” (H.R. Malik no.1935)
Dalam hadis lain rasulullah saw bersabda ;
َفَعَلْيُك ْم ِبُس َّنِتي َو ُس َّنِة اْلُخ َلَفاِء اْلَم ْهِد ِّييَن الَّر اِشِد يَن َتَم َّس ُك وا ِبَها
“Kalian berpegang dengan sunahku, sunah para khalifah yang lurus dan
mendapat petunjuk, berpegang teguhlah dengannya.” (H.R. Abu Dawud no. 3991)
56
Lihat seperti yang dikutip oleh Fazlur Rahman, ibid
6
7
Muhammad Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis : Telaah Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 9.
dalam bahasa Arab. Oleh karena itu mereka yang memiliki pengetahuan yang
mendalam tentang bahsa Arab akan mampu memahami al-Qru’an dengan baik
tanpa bantuan hadis.
Dari pengalaman sejarah, mereka menganggap bahwa penyebab utama
kemunduran Islam adalah perpecahan yang diakibatkan karena berpegang pada
hadis. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab hadis dianggap sebagai dongeng
semata. Kodifikasi hadis terjadi jauh stelah wafatnya Nabi, sehingga dengan
mudah umat Islam mempermainkan dan memalsukan hadis. Kritik sanad yang
dkemukakan berupa al-Jarh wa al-Ta’dil sangat lemah untuk membuktikan
kebenaran hadis.8
Argumen-argumen yang mereka kemukakan tersebut pada dasarnya tidak
kuat. Berikut ini dikemukakan kelemahan-kelemahannya:
1. Kata tibyan (penjelasan) yang termuat dalam surah al-Nahl 89 di atas,
menurut al-Syafi’I mencakup beberapa pengertian. Yakni: ayat al-Qur’an
secarategas menjelaskan adanya: 1)berbagai kewajiban misalnya salat,
puasa, zakat dan haji, 2)berbagai larangan misalnyaberbuat zina, minum
khamar, makan bangkai dan daging babi, dan 3) teknis pelaksanaan ibadah
tertentu misalnya tata cara berwudu. Ayat al-Qur’an menjelaskan adanya
kewajiban tertentu yang sifatnya global seperti dalam kewajiban shalat;
dalam hal ini, hadis Nabilah yang menjelaskan tehnis pelaksanaannya.
Nabi menetapkan suatu ketentuan hukum yang di dalam Al-Qur’an tidak
tidak dikemukakan secara tegas. Ketentuan dalam hadis tersebut wajib
ditaati sebab Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman
untuk mentaati Nabi. Allah mewajibkan kepada hambanya untuk
melakukan ijtihad. Kewajiban ijtihad sama kedudukannya dengan
kewajiban mentaati perintah lainnya yang telah di tetapkan olah Allah. 9
8
Lihat Mustafa al-Sibai, Op. Cit. h. 128-129.
9
Lihat Muhammad bin Idris al-Syafii, al-Risalah, terj. Nurcholis Madjid, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 7-68-71.
Sebagian ulama berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat di atas ialah bahwa al-Qur’an menjelaskan segaka ketentuan
agama, tapi penjelasan itu ada yang berupa al-Qur’an (ayat dengan ayat) dan ada yang berupa hadis Nabi. Hadis Nabi
dicakup oleh ayat tersebut sebab salah satu fungsi Nabi menurut al-Qur’an adalah menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Lebih
jelasnya lihat Muhammad bin Ali bin Muhammad bin al-Syaukani, Fath al-Qadir (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), h. 187
Jadi berdasarkan surat al-Nahl ayat 89 tersebut hadis Nabi merupakan sumber
penjelasan ketentuan agama Islam. Ayat dimaksud sama sekali tidak menolak
keberadaan hadis Nabi. Bahkan, ayat itu telah memberikan kedudukan yang
sangat penting terhadap hadis. Sebab, ada bagian ketentuan agama termuat
penjelasannya dalam hadis dan tidak termuat secra tegas dan rinci dalam al-
Qur’an.
2. Memang benar al-Qur’an tertulis dengan bahasa Arab, susunan kata-
katanya ada yang berlaku umum dan ada yang berlaku khusus, di samping
ada yang berstatus global dan berstatus rinci. Untuk mengetahui bahwa
sesuatu ayat berlaku khusus ataupun rinci diperlukan petunjuk al-Qur’an
dan hadis. Jdi orang yang ingin memahami kandungan al-Qur’an dengan
baik, walaupun orang itu memiliki pengetahuan yang dalam tentang
bahasa Arab tetap saja memerlukan penjelaan-penjelasan dari Nabi
3. Dalam sejarah, umat Islam telah meengalami kemajuan zaman klasik
(650-1250 M) puncak kemajuan terjadi sekitar tahun 650-1000 M. Ulama
besar yang hidup pada masa ini tidak sedikit jumlahnaya baik di bidang
Tafsir, fiqh, hadis, ilmu kalam, filsafat, sejarah, maupun dalam bidang
pengetahuan
lainnya.10 Berdasarkan bukti sejarah ini ternyata, periwayatan dan
perkembangan pengetahuan hadis berjalan seiring dengan perkembangan
pengetahuan yang lainnya. Ajaran hadis telah ikut mendorong kemajuan
umat Islam. Karena hadis sebagaimana al-Qur’an telah memerintahkan
kepada orang-orang yang beriman untuk menuntut ilmu pengetahuan. Di
samping itu banyak hadis Nabi yang memerintahkan umat Islam bersatu
dan menjahui perpecahan.
4. Umat Islam memberikan perhatian yang besar terhadap hadis Nabi bukan
hanya dimulai pada zaman Tabi’in dan tabi’ al-tabi’in melainkan sejak
zaman Nabi. Kegiatan itu berjaln secara berkesinambungan hingga
mencapai puncaknya pada masa tabi’in dan tabi al-tabi’in. Hal ini menjadi
logis sebab para sahabat yang mengajarkan hadis, jumlahnya banyak dan
10
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 11.
masing-masing memiliki murid yang tidak sedikit.11 Karenanya sangat
wajar bila pemerhati hadis pada masa tabi’in makin bertambah jumlahnya
dibandingkan pada zaman sahabat. Jadi tidak benar sama sekali jika
sekarang ada pendapat yang menyatakan bahwa apa yang sekarang
dianggap hadis Nabi itu tidak lebih dari dongeng-domgeng semata.
Sekiranya hadis yang terhimpun dalam berbagai kitab hadis itu terdapat
hadis yang lemah, ataupun palsu, tidaklah berarti bahwa sesluruh hadis
yang ada didalamnya juga palsu atau lemah.
5. Kritik sanad dalam ilmu al-jarh wa al-ta’dil bukan saja mengeritik para
periwayatnya saja, melainkan juga persambungan sanadnya. Untuk
meneliti persambungan sanad, salah saatu hal yang harus diperhatikan
ialah bentuk tahamul wa’ada al- hadis yang termaktub dalam sanad itu.
Selain itu, orang yang melakukan kritik tidak bisa sembarangan, tetapi
harus memiliki syarat-syrat yang sah sebagai pengeritik.12 Jadi cukup ketat
tata-ketentuan yang berkenaan dengan kritik sanad tersebut.
Argumen yang mereka ajukan dalam rangka menolak hadis sebagai sumber
ajaran Islam itu ternyata lemah dan tidak memiliki basis akademis yang kuat,
lebih aneh lagi dalam pengingkaran mereka terhadap hadis, mereka justeru
menggunakan dalil dari hadis itu sendiri,13 satu hal yang sangat ironis, sebab
sesuatu yang diingkarinya justru kembali mereka jadikan basis argumen.
11
Lihat M.M. ‘Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yaqub, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994),
khususnya Bab IV.
12
M. Syuhudi Ismail, op.cit.h. 119.
13
Lihat Muhammad Abu Sahw, al-Hadis wa al-Muhaddisun (Mesir, Maktabah al- Misriyah, t.th.), h. 21.
14
Muhammad Abu Zahrah, op.cit. h. 218.
yang yang diterjemahkan dan dipahami secara keliru termasuk ayat yang
membicaarkan fungsi Nabi Muhammaad saw.15
Selurh umat islam menolak paham inkar al-sunnah ini. Mereka sepenuhnya
mengakui otoritas hadis Nabi sebagai sumber justifikasi bagi perumusan ajaran
islam, sejak dari level tatacara peribadatan murni hingga level sosial
kemasyarakatan.
وما انزلنا علیك الكتاب اال لتبین لھم الذى اختلفتم فیھ
Artinya: Dan kami tidak menurunkan al-Kitab kepada-Mu (Muhammad) melainkan
agar engkau dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan.16
Bila al-Qur'an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fikih maka sunnah disebut
sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani, dalam hubungannya dengan al-
Qur'a,n maka hadis menjalankan fungsi sebagai berikut:
1. Menguatkan dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam al- Qur'an
yang dikenal dengan istilah fungsi ta'kid dan taqrir.
2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksuud dalam al-Qur'an dalam
hal:
a. Menjelaskan arti yang masih samar atau ijmal seperti kata shalat,
karena dapat saja shalat itu berarti do'a sebagaimana dipakai secara
umum pada waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian
perbuatan yang terdiri dari ucapan dan perbuatan dalam rangka
menjelaskan apa yang dimaksud shalat pada ayat tersebut.
15
Lihat Ahmad Husnan, Gerakan Ingkar Sunnah dan Jawabannya (Jkarta: Media Dakwah, 1980), h. 44-46.
16
Depag RI, op.cit., h. 64.
b. Merinci apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara garis besar
misalnya menentukan waktu-waktu salat yang disebutkan dalam al-
Qur'an.
c. Membatasi apa-apa yang dalam al-Qur'an disebutkan secara umum,
misalnya hak kewarisan anak laki-;aki dan anak perempuan.
d. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam al-Qur'an
misalnya Allah melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita
yang bersaudara, diperluas Nabi bahwa bukan saja saudara ayah tapi
juga saudara ibunya.
3. Menetapkan sesuatu hukum dalam hadis yang secara jelas tidak ada dalam al-
Qur'an. Fungsi sunnah dalam bentuk ini dikenal dengan istilah Itsbat.17
Pada prinsipnya hadis nabi yang berfungsi sebagai penjelas (bayan) terhadap al-
Qur’an. Akan tetapi dalam melihat berbagai macam penjelasan nabi dan berbagai ragam
ketentuan yang dikandung oleh suatu ayat, maka interpretasi tentang bayan tersebut oleh
ulama yang satu berbeda dengan ulama lainnya. Sebagai contoh, Abu Hanifah
mengklasifikasikan bayan hadis tersebut menjadi : bayan taqrir, bayan tafsir, dan bayan
tafdil (nasakh); imamMalik membagi menjadi : bayan taqrir, bayan taudhih (tafsir),
bayan tafsil, bayan bashthi (tasbth dan ta’wil), dan bayan tasyri’; Imam Syafi’i
mengkategorikannya menjadi : bayan tafsil, bayan takhsish, bayan ta’yin bayan tasyri’
dan bayan naskh.18
Fungsi hadis terhadap Al-Qur’an itu diungkapkan sendiri oleh Al-Qur’an yaitu sebagai
bayan (penjelasan dan menerangkan terhadap sesuatu yang kabur dan tersembungi
pengertiannya). Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Nahl: 44:
َو َاْنَز ْلَنٓا ِاَلْيَك الِّذْك َر ِلُتَبِّيَن ِللَّناِس َم ا ُنِّز َل ِاَلْيِهْم َو َلَع َّلُهْم َيَتَفَّك ُرْو َن
17
Amir Syarifuddin, op.cit., 85. Khusus fungsi yang ketiga ini terdapat perbedaan pendapat. Orang yang pertama
mengemukakan fungsi ini adalah al-Syafii. Akan tetapi perlu dicatat bahwa ketika Syafii hendak menetapkan hal itu sangat
dipengaruhi oleh sikap sekian banyak orang pada masanya yang berusaha menolak kedudukan hadis (sunnah).
18
Endang Soetari AD. Ilmu Hadis : Kajian Riwayah dan Dirayah (Bandung : Amal Bakti, 2000),h. 71-77
Artinya: Dan Kami turunkan aż-Żikr (Al-Qur’an) kepadamu agar engkau
menerangkan kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan agar
mereka memikirkan.( QS. An-Nahl: 44)
Juga firman Allah dalam QS. Al-Nahl: 64:
٦٤ َو َم ٓا َاْنَز ْلَنا َع َلْيَك اْلِكٰت َب ِااَّل ِلُتَبِّيَن َلُهُم اَّلِذ ى اْخ َتَلُفْو ا ِفْيِۙه َو ُهًدى َّو َر ْح َم ًة ِّلَقْو ٍم ُّيْؤ ِم ُنْو َن
Artinya: Kami tidak menurunkan Kitab (Al-Qur’an) ini kepadamu (Nabi Muhammad),
kecuali agar engkau menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan serta
menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Dari ayat tersebut di atas diketahui bahwa Nabi Muhammad saw. dibebani tugas oleh
Allah untuk menjelaskan Al-Qur’an kepada umat manusia. Atau dengan ungkapan lain,
hadis berfungsi sebagai penjelasan Al-Qur’an. Penjelasan itu bukan hanya terbatas pada
segi penafsiran melainkan mencakup juga aspek yang lain. Hal tersebut menunjukkan
bahwa Al-Qur’an itu sebenarnya butuh kepada hadis.
1. Bayan al-Taqrir.
Bayan al-Taqrir ada juga yang menyebut Bayan al-Tawkid atau Bayan al-
Itsbat. Al-Taqriir berarti memperkuat, mempertegas, dan mendukung.
Maksudnya, hadis mempertegas, memperkuat, dan mendukung sesuatu yang telah
diungkapkan Al-Qur’an. Hadis mengungkap kembali isi kandungan yang
diungkap Al-Qur’an tanpa ada penjelasan lebih lanjut dan terperinci. Sebagai
contoh, pahamilah firman Allah dalam QS. Al-Maidah: 6:
ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْٓو ا ِاَذ ا ُقْم ُتْم ِاَلى الَّص ٰل وِة َفاْغ ِس ُلْو ا ُو ُج ْو َهُك ْم َو َاْيِدَيُك ْم ِاَلى اْلَم َر اِفِق َو اْم َسُح ْو ا ِبُرُءْو ِس ُك ْم َو َاْر ُج َلُك ْم
ِاَلى اْلَك ْعَبْيِۗن َو ِاْن ُك ْنُتْم ُج ُنًبا َفاَّطَّهُرْو ۗا َو ِاْن ُك ْنُتْم َّم ْر ٰٓض ى َاْو َع ٰل ى َس َفٍر َاْو َج ۤا َء َاَح ٌد ِّم ْنُك ْم ِّم َن اْلَغۤا ِٕىِط َاْو ٰل َم ْس ُتُم
الِّنَس ۤا َء َفَلْم َتِج ُد ْو ا َم ۤا ًء َفَتَيَّمُم ْو ا َصِع ْيًدا َطِّيًبا َفاْم َسُح ْو ا ِبُو ُج ْو ِهُك ْم َو َاْيِدْيُك ْم ِّم ْنُهۗ َم ا ُيِر ْيُد ُهّٰللا ِلَيْج َعَل َع َلْيُك ْم ِّم ْن
)6 :5/ ( المۤا ئدة٦ َح َر ٍج َّو ٰل ِكْن ُّيِر ْيُد ِلُيَطِّهَر ُك ْم َو ِلُيِتَّم ِنْع َم َتٗه َع َلْيُك ْم َلَعَّلُك ْم َتْش ُك ُرْو َن
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan
salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu
dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub,
mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus),
atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu
yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin
menjadikan bagimu sedikit pun kesulitan, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan
menyempurnakan nikmat-Nya bagimu agar kamu bersyukur.
Ayat di atas ditegaskan kembali, diperkuat, dan didukung oleh hadis, yaitu sabda
Nabi Muhammad saw. yang berbunyi
Artinya:
Tidak diterima salat seseorang di antara kamu apabila berhadas sebelum
dia berwudhu’.19
2. Bayan al-Tafsir
Hadis menjelaskan ayat yang tidak mudah diketahui pengertiannya. Itulah
yang disebut hadis berfungsi sebagai bayan al-tafsir bagi ayat Al- Qur’an. Bayan
al-tafsir ini ada beberapa macam. Di antaranya ialah:
)43 :2/ ( البقرة٤٣ َو َاِقْيُم وا الَّص ٰل وَة َو ٰا ُتوا الَّز ٰك وَة َو اْر َك ُعْو ا َم َع الّٰر ِكِع ْيَن
Artinya: Tegakkanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta
orang-orang yang rukuk. (Al-Baqarah/2:43)
Ayat ini dijelaskan dan diperinci maksudnya oleh hadis. Nabi
19
Abu al-Husayn Muslim bin al-Hajjaaj (Selanjutnya ditulis Muslim), Shahiih Muslim, Juz I (Indonesia: Maktabat
Dahlan, [s.a]), h. 204
mendemonstrasikan tata cara pelaksanaan salat dan segala bacaaan di dalamnya.
Nabi menjelaskan waktu-watu pelaksanaannya. Nabi Muhammad saw. bersabda:
Artinya: Salatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya salat.20
Banyak sekali hadis yang menjelaskan tentang hal ini secara terperinci.
20
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ismaa’il al-Bukhaariy (Selanjutnta ditulis al- Bukhaariy, Shahiih al-
Bukhaariy, Juz I (Indonesia: Maktabat Dahlan, [s.a]), h. 126
21
Abd al-Wahhab al-Khallaf, ‘Ilm Ushuul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), h. 298.
kedua orang tua, bagian masing-masing seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang
meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua orang
tuanya (saja), ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal)
mempunyai beberapa saudara, ibunya mendapat seperenam. (Warisan
tersebut dibagi) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan
dilunasi) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu.
Ini adalah ketetapan Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menyatakan bahwa setiap anak mendapatkan warisan dari ke dua
orang tuanya, bagaimanapun keadaannya, beriman atau kafir, seagama dengan
orang tuanya, atau berbeda agama. Semuanya harus mendapat warisan. Inilah
maksud yang dapat dipahami dari ayat ini. Hadis datang memberi pengertian yang
dikehendaki oleh ayat. Hadis memberi batasan maksud yang dikehendaki Allah.
Di antara hadis menjelaskan bahwa keturunan Nabi Muhammad saw tidak boleh
mendapat warisan dari Nabi Muhammad saw. Nabi saw. bersabda, artinya: “ kami
para nabi tidak diwarisi. Apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah.22
Demikian juga, hadis datang membatasi dan mengkhususkan terhadap yang
yang membunuh orang tuanya tidak mendapatkan warisan dari orang tuanya.
Nabi Muhammad saw. Bersabda yang artinya: “orang yang membunuh tidak
mendapat warisan sesuatupun.”23
Demikian juga ayat diatas dibatasi dan diberlakukan khusus bagi orang
muslim tidak mendapatkan warisan dari orang kafir, sebaliknya orang kafir tidak
mendapatkan warisan dari orang muslim. Nabi Muhammad saw. Bersabda, yang
artinya: “orang muslim tidak memberi warisan kepada orang kafir, dan orang
kafir tidak memberi warisan kepada orang muslim (HR. Bukhari dan Muslim).24
22
Al-Bukhaariy, op. cit., Juz IV, h. 4
23
Muhammad bin Ismaa’il al-Kahlaniy al-Shan’aniy, (Selanjutnya tertulis Al- Shan’aniy). Subuul al-Salaam: Syarh
Buluug al-Maraam min Adillat al-Ahkaam, Juz III (Cetzkzn IV, Beirut: Daar Ihya al-Turaats al-‘Arabiy, 1960), h.99
24
Ibid., h. 98.
c. Taqyid al-Ayat al-Muthlaqah
Kata taqyid berarti mengikat dan membatasi. Sedangkan kata muthlaq
berarti “Lafal tertentu yang belum ada ikatannya (batasannya) dengan
lafal lain yang mengurangi cakupannya.”17
Jadi, yang dimaksud hadis berfungsi sebagai taqyid al-ayat al- muthlaqah
adalah hadis datang memberi ikatan dan batasan cakupan yang dikandung
ayat yang muthlaq. Sebagai contoh, firman Allah dalam QS. Al- Maidah:
38:
٣٨ َو الَّساِرُق َو الَّساِر َقُة َفاْقَطُع ْٓو ا َاْيِدَيُهَم ا َج َز ۤا ًۢء ِبَم ا َك َسَبا َنَك ااًل ِّم َن ِهّٰللاۗ َو ُهّٰللا َع ِزْيٌز َح ِكْيٌم
)38 :5/( المۤا ئدة
Artinya: Laki-laki maupun perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya sebagai balasan atas perbuatan yang mereka lakukan dan
sebagai siksaan dari Allah. Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Al-Ma'idah/5:38)
Ayat ini bersifat muthlaq (belum ada ikatan dan batasan), masih mencakup
seluruh kesatuannya tanpa kecuali. Dalam ayat ini, kata aydiya (tangan)
adalah muthlaq yang mencakup seluruh makna kesatuan dari tangan itu
tanpa ikatan dan batasan. Hadis datang memberi batasan dan ikatan bahwa
tangan yang dipotong hanya sebagiannya, yaitu sampai pergelangan saja,
tidak sampai bahu. Juga, jumlah barang yang dicuri tidak dibatasi, banyak
atau sedikit. Hadis datang membatasi dan mengkaitkan sebanyak minimal
seperempat dinar. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., yang
artinya: “Tidak dipotong tangan pencuri kecuali (barang yang dicuri)
seperempat dinar atau lebih.”25
Juga, dalam ayat disebut kata aydiyahuma (kedua tangannya) tidak
beri batasan, dating hadis member batasan bahwa tangan yang dipotong
hanya sampai pergelangan tangan, bukan sampai ke bahu. Hadis
25
‘Abd al-Wahhaab al-Khallaaf, op. cit, h. 307
menginformasikan, yang artinya: “Dibawa kepada Rasulullah saw.
seorang pencuri, , maka dia memotonh tangan pencuri itu dari
pergelangan tangan.”26
27
ِAhmad, op. cit., Juz III, h. 238
3. Bayaan al-Tasyrii’
Kata al-tasyri’ berarti pembuatan, perwujudan, penetapan aturan. Jadi, yang
dimaksud hadis berfungsi sebagai bayan al-tasyri’ adalah hadis sendiri
mewujudkan, membuat, dan menetapkan suatu ketentuan, aturan, dan hukum yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Banyak hadis berfungsi sebagai bayaan al-
tasyrii’iy untuk Al-Qur’an. Di antaranya adalah:
a. Hadis tentang zakat fitri yang berbunyi, Rasulullah saw. telah memfardukan
sedekah (zakat) fitri, satu sha’ dari gandung atau satu sha’ dari kurma untuk
anak-anak dan orang deawsa, orang merdeka, dan budak. 28
b. Hadis tentang haram mengumpulkan (menjadikan isteri antara seorang
wanita dengan makciknya. Nabi Muhammad saw. bersabda, Tidak boleh
dinikai seorang wanita bersama (menjadi isteri sekaligus) dengan
saudara perempuan ayahnya dan saudara perempuan ibunya.29
Ketiga fungsi hadis tersebut dapat dinyatakan disepakati oleh ulama. Namun
fungsi yang ketiga ini, yaitu bayan al-tasyri’ dipermasalahkan. Ada yang
melihatnya hadis menetapkan aturan atau hukum tersendiri, tidak ada dasarnya
dalam Al-Qur’an. Yang lain melihat adanya penetapan hadis ada dasarnya dalam
Al-Qur’an. Penjelasan lebih lanjut tentang hal ini dapat dilihat antara lain dalam
kitab Al-Sunnat al-Nabawiyat wa Makanatuha fiy al-Tasyri’ yang disusun oleh
‘Abbas Mutawalliy Hammadah.
4. Bayan al-Nasikh
Kata al-nasikh berarti membatalkan, memindahkan, dan mengubah.
Yang dimaksud hadis berfungsi sebagai bayan al-nasikh terhadap ayat Al-Qur’an
adalah hadis datang sesudah Al-Qur’an dan menghapus ketentuan- ketentuannya.
Banyak ulama menolak fungsi hadis ini, tetapi ada ulama yang
membolehkannya dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Ulama yang membolehkan
dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu:
a. Ibn Hazm dan sebagaian pengikut Aliran Zhahiriyah berpendapat bahwa
28
Muslim, op. cit., Juz I, h. 434
29
Ibid., Juz III, h. 98.
segala macam hadis sahih dapat menasakh Al-Qur’an.
b. Aliran Mu’tazilah berpendapat Hadis Mutawatir saja yang dapat me-nasakh
ayat Al-Qur’an.
c. Aliran Hanafiyah berpendapat bahwa minimal Hadis Masyhur yang dapat
me-masakh ayat Al-Qur’an.30
Hadis yang dijadikan contoh bagi yang membolehkan adanya nasakh hadis
terhadap ayat Al-Qur’an adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang berbunyi,
Sesungguhnya Allah telah memberi setiap orang haknya, maka tidak ada (tidak
boleh) wasiat terhadap ahli waris.31
Hadis ini menasakh ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam QS. Al- Baqarah:
180:
ُك ِتَب َع َلْيُك ْم ِاَذ ا َح َض َر َاَح َد ُك ُم اْلَم ْو ُت ِاْن َتَر َك َخْيًراۖ ۨ اْلَو ِص َّيُة ِلْلَو اِلَد ْيِن َو اَاْلْقَر ِبْيَن ِباْلَم ْع ُرْو ِۚف َح ًّقا
)180 :2/ ( البقرة١٨٠ ۗ َع َلى اْلُم َّتِقْيَن
30
Abbaas Mutawalliy Hammadah, Al-Sunnat al-Nabawiyat wa Makanatuhaa fiy al- Tasyrii’(Kairo: Daar al-Qawmiyah,
[s. a]), h. 173 – 175.
31
Al-Shan’aniy, op. cit, h. 106.
termasuk Al-Quran. Hadits qudsi tetap sebuah hadits, hanya saja Nabi
Muhammad SAW menyandarkan hadits qudsi kepada Allah SWT. Maksudnya,
perkataan Allah SWT itu diriwayatkan oleh Nabi Muhammad SAW dengan
redaksi dari diri beliau sendiri. Bila seseorang meriwayatkan Hadits qudsi,
maka dia meriwayatkannya dari Rasulullah SAW dengan disandarkan kepada
Allah, dengan mengatakan: Rasulullah SAW mengatakan mengenai apa yang
diriwayatkannya dari Tuhannya`, atau ia mengatakan: Rasulullah SAW
mengatakan: Allah Ta`ala telah berfirman atau berfirman Allah Ta`ala.
Hadits qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah
SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah
SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya Hadits qudsi kepada Allah SWT
adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya
Hadits qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara Hadits
qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang,
serta membacanya pun diangggap ibadah.
2. Hadits Nabawi
Sedangkan hadits nabawi adalah segala yang disandarkan kepada nabi
Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir atau sifat. Yang berupa
perkataan seperti perkataan Nabi SAW: Sesungguhnya sahnya amal itu disertai
dengan niat. Dan setiap orang bergantung pada niatnya. Sedangkan yang berupa
perbuatan ialah seperti ajaranya pada sahabat mengenai bagaimana caranya
mengerjakan shalat, kemudian ia mengatakan: Shalatlah seperti kamu melihat aku
melakukan shalat. Juga mengenai bagaimana ia melakukan ibadah haji, dalam hal ini
Nabi saw. Berkata: Ambilah dari padaku manasik hajimu.
Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti beliau menyetujui suatu perkara
yang dilakukan salah seorang sahabat, baik perkataan atau pun perbuatan, baik
dilakukan di hadapan beliau atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misalnya
mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, di mana beliau dalam
sebuah riwayat telah mendiamkannya yang berarti menunjukkan bahwa daging
biawak itu tidak haram dimakan.
Hadits nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a. Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW
dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri.
Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi
pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu
dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna
yang diterima dari pihak lain.
b. Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut
pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran
atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian
kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika
terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya.
Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti. Dari sini jelaslah bahwa Hadits
nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang
diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu.32
32
Perbedaan Hadits Qudsi & Hadits Nabawi, sumber darihttps://yudabai.wordpress.com/perbedaan-hadits-qudsi-hadits-
nabawi/diakses pada tanggal 7Maret 2018 pukul 22.00 WIB
d. Kebenaran ayat-ayat Al-Qur'an bersifat qath'i al-wurud (mutlak kebenarannya)
dan kafir meragukannya, sedangkan hadits bersifat zhanni al-wurud (relatif
kebenarannya) kecuali yang diriwayatkan secara mutawatir.
e. Al-Qur'an redaksi dan maknanya dari Allah. Hadits qudsi maknanya dari Allah
dan redaksinya dari Nabi sendiri sesuai dengan maknanya. Sedangkan hadits
nabawi merupakan ijtihad Nabi sesuai dengan wahyu Allah.
f. Proses penyampaian Al-Qur'an lewat wahyu Allah dengan perantara Malaikat
Jibril, yang langsung bertemu dengan Rasul, sedangkan hadits qudsi lewat ilham
yang Allah sampaikan dengan bisikan, mimpi dan isyarat alam, dan hadits
nabawi merupakan penjabaran Nabi terhadap wahyu yang diterimanya
berdasarkan hidayah yang Allah anugerahkan.
g. Kewahyuan Al-Qur'an merupakan wahyu masluw (wahyu yang dibacakan oleh
jibril kepada Muhammad saw), sedangkan hadits merupakan wahyu ghoirul
masluw (wahyu yang tidak dibacakan) tetapi terlintas dalam hati secara jelas dan
haqqul yaqin, kemudian disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dengan
redaksinya sendiri.
h. Membaca Al-Qur'an dinilai sebagai ibadah, setiap satu huruf pahalanya
sebanding dengan 10 kebajikan, sedangkan membaca hadits tidak dinilai ibadah
kecuali disertai dengan niat yang baru.
i. Diantara surat Al-Qur'an wajib dibaca dalam sholat, seperti Surat Al-Fatihah
yang dibaca setiap raka'at. Sedangkan hadits tidaklah dibaca dalam sholat, namun
hadits merupakan petunjuk Rasul yang mengajarkan tata cara mendirikan sholat
sesuai dengan contoh yang telah Rasul kerjakan.
j. Mushab Al-Qur'an diharamkan disentuh oleh orang-orang yang sedang berhadats
dan bernajis, sedangkan hadits tidaklah sedemikian.
k. Imam Ahmad berkata haram Mushab Al-Qur'an diperjual belikan dan Imam
Syafi'i berkata Mushab Al-Qur'an makruh diperjual belikan, sedangkan hadits
tidaklah ada ketetapan hukum dari para ulama tentang keharaman diperjual
belikan.33
33
Al-Ustadz Drs. PM Gunawan Nst. (Dosen 'Ulumul Hadits diSekolah Tinggi IlmuTarbiyah Muhammadiyah
Sibolga). Sumberhttp://alquranhaditsonline.blogspot.co.id/2010/09/perbedaan-hadits-dengan-al-quran.htmldi akses pada
tanggal 6 Maret 2018 pukul 15.45 WIB
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Al-Quran dan Hadits merupakan dua sumber utama ajaran Islam yang
memiliki hubungan yang tidak mungkin terpisahkan antara keduanya. Hal ini
ditunjukkan oleh beberapa fungsi yang diperankan oleh Hadits terhadap al-Quran, di
antaranya: bayan al-ta’kid (menegaskan), bayan al-tafsir (menjelaskan), bayan al-
tasyri’ (menetapkan syari’at) dan bayan nasakh (menghapus/mengganti).
Berdasarkan semua fungsi-fungsi Hadits tersebut menunjukkan bahwa
al-Qur’an lebih membutuhkan Hadits dari pada sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA