Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sumber ajaran Islam kedua setelah Al-qur’an, As-Sunnah (hadits)
menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam kajian-kajian keIslaman.
Keberadaan dan kedudukannya tidak diragukan lagi. Namun, karena pembukuan
hadits baru dilakukan ratusan tahun setelah Nabi Muhammad SAW wafat, ditambah
lagi dengan kenyataan sejarah bahwa banyak hadits yang dipalsukan, maka
keabsahan hadits-hadits yang beredar dikalangan kaum muslimin diperdebatkan
oleh para ahli.
Para ulama terutama dizaman klasik Islam (650-1250 M), Berusaha keras
melakuakan penelitian dan seleksi ketat terhadap hadits-hadits sehingga dapat
dipilahkan mana hadits yang benar-benar dari Nabi, dan mana yang bukan. Untuk
itu, mereka membuat kaidah-kaidah, ketetuan-ketentuan, pedoman, dan acuan
tertentu untuk menilai hadits-hadits tersebut. Kaidah-kaidah dan ketentuan inilah
kemudian berkembang menjadi ilmu tersendiri, yang disebut dengan ilmu hadits.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari Sunnah?
2. Apa saja macam-macam Sunnah?
3. Bagaimana metode periwayatan Sunnah?
4. Apa saja fungsi dari Sunnah?
5. Bagaimana kedudukan Sunnah sebagai sumber hukum Islam?

C. Tujuan Penulis
Dalam penulisan makalah ini, penulis bertujuan untuk memenuhi tugas
yang diberikan kepada kami dosen kami sebagai syarat belajar mengajar kami di
kelas, serta berbagi wawasan kami tentang as-Sunnah sebagai sumber hukum Islam
melalui makalah ini.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian As - Sunnah
1) Secara terminologi hadis/Sunnah menurut ilmu hadis, segala sesuatu
yang disandarkan kepada nabi Muhammad Saw. Baik perupa perkataan, perbuatan
maupun ketetapannya.
2) Ilmu ushul fiqhi, segala yang diriwayatkan oleh nabi Muhammad saw.
Berupa perkataan ketetapan yang berkaitan dengan hukum.
3) Ilmu Fiqhi, suatu perbuatan yang akan mendapatkan pahala bila
dikerjakan dan tidak berdosa bila tidak dikerjakan, dimasukkan dalam hukum
taklifi.
4) Sunnah berasal dari bahasa arab yang secara etimologi berarti "jalan yang
biasa dilalui" atau "cara yang senantiasa dilakukan" atau "kebiasaan yang selalu
dilaksanakan".
Pengertian Sunnah secara etimologis ini dapat ditemukan dalam sabda
Rasulullah saw, yang diriwayatkan oleh imam Muslim, yang artinya "barang siapa
yang membiasakan sesuatu yang baik maka ia menerima pahalanya dan pahala
orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan
sesuatu yang buruk, maka ia akan menanggung dosanya dan dosa orang mengikuti
sesudahnya".
Perbedaan ahli ushul dengn ahli fiqh dalam memberikan arti pada Sunnah
sebagaimana disebutkan di atas adalah karena mereka berbeda dalam segi
peninjauannya. Ulama ushul menempatkan Sunnah sebagai salah satu sumber atau
dalil hukum fiqh. Untuk itu ia mengatakan, “Hukum ini ditetapkan berdasarkan
Sunnah”. Sedangkan ulama fiqh menempatkan Sunnah itu sebagai salah satu dari
hukum syara’ yang lima yang mungkin berlaku terhadap satu perbuatan. Untuk

2
maksud itu ia berkata, “Perbuatan ini hukumnya adalah Sunnah”. Dalam pengertian
ini Sunnah adalah “hukum”, bukan “sumber hukum”.1

B. Fungsi dan kedudukan Sunnah terhadap Al-Qur'an


Untuk mengetahui secara kongkret fungsi dan kedudukan Hadis dalam
Islam, kita perlu mengetahui lebih dahulu tentang tugas-tugas yang dibebankan
kepada Nabi Muhammad saw. Dalam al-Qur’an kita dapati bahwa nabi saw.
mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut.

1. Menjelaskan kitab Allah (al-Qur’an)


Tugas ini berdasarkan firman Allah, “Dan Kami turunkan
kepadamu al-Dzikr (al-Qur’an) agar kamu menerangkan kepada
manusia tentang apa yang diturunkan kepada mereka”. (Q.S al-Nahl :
44). Penjelasan Nabi saw. terhadap al-Qur’an itu dapat berupa perkataan
beliau, dan dapat pula berupa perbuatan beliau. Dua hal ini merupakan
bagian terbesar dari apa yang disebut Hadis Nabawi. Karenanya,
penolakan terhadap Hadis sebenarnya juga merupakan penolakan
terhadap al-Qur’an, karena Hadis yang berfungsi sebagai penjelas al-
Qur’an tadi telah memperoleh legitimasi dari al-Qur’an. Bahkan Hadis
merupakan konsekuensi logis dari al-Qur’an.2
2. Nabi saw. wajib ditaati (mutha’)
“Sosok yang harus dipatuhi”. Ada beberapa ayat dalam al-Qur’an
yang memerintahkan ketundukan penuh kepada Nabi saw. Allah berfirman
yang artinya, “Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul, melainkan untuk
ditaati dengan seizin Allah.”
Lebih jauh Allah swt. berfirman yang artinya, “Katakanlah:
“Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid , Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. hlm. 75
2
Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008. Hlm. 35

3
Satu ayat secara eksplisit khusus menyatakan bahwa menaati Nabi
saw. adalah menaati Allah yang artinya, “Barang siapa menaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling,
(dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.
Dalam konteks kehidupan sekarang, taat kepada Allah berarti taat
kepada ajaran-ajaran yang termaktub dalam al-Qur’an, sementara taat
kepada Rasul berarti taat kepada ajaran-ajaran yang terhimpun dalam hadis
Nabawi. Karenanya, tidak mungkin seorang muslim memisahkan apa yang
berasal dari Nabi saw. (Hadis) dari apa yang datang dari Allah (al-Qur’an).
Karena memisahkan Hadis dari al-Qur’an sama artinya dengan memisahkan
al-Qur’an dari kehidupan manusia.3
3. Menetapkan hukum
Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan al-Qur’an, ia
bukan penjelas dan bukan penguat. Akan tetapi, Sunnah sendirilah yang
menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat
al-Qur’an. Misalnya, keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya
menerangkan yang tersirat dalam surah Al-baqarah: 275 dan An-nisa’: 29:
“Hai orang-orang beriman, Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kamu.” (QS. An-nisa:29)
Demikian juga keharaman makan daging keledai ternak, keharaman
setiap binatang yang berbelalai, dan keharaman menikahi seorang wanita
bersama bibi dan paman wanitanya. Hadis tasyri’ diterima oleh para ulama
karena kapasitas hadis juga sebagai wahyu dai Allah swt. yang menyatu
dengan al-Qur’an, hakikatnya ia juga merupakan penjelasan secara implisit
dalam al-Qur’an.
4. Memberikan teladan

3
Ibid., h. 36.

4
Tugas nabi ini berdasarkan firman Allah, “sesungguhnya telah terdapat
pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”
Nabi saw` bertugas memberikan suri teladan kepada umatnya,
sementara umatnya wajib mencontoh dan meniru teladan-teladan itu.
Setelah mengetahui tugas dan wewenang nabi saw. di atas, maka dapat
diketahui bahwa kedudukan Sunnah itu sebagai berikut.
1) Sunnah sebagai penguat Al-Qur'an,
2) Sunnah sebagai penjelas Al-Qur'an, QS an-Nahl : 44, yang artinya :
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu
Al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”

5. Mayoritas Sunnah relatif kebenarannya (zanniy ath-thubut).

Seluruh umat Islam juga telah berkonsensus bahwa al-Qur’an seluruhnya


diriwayatkan secara mutawatir (para periwayat secara kolektif dalam segala
tingkatan). Maka ia memberi faedah absolut kebenarannya dari Nabi, kemudian
diantaranya ada yang memberi petunjuk makna secara tegas dan pasti (qat‘i ad-
dilalah) dan secara relatif petunjuknya (zanni ad-dilalah).

Kehadiran Sunnah sebagai penjelas terhadap hal-hal yang global, penguat


secara mutlak, sebagai taksis terhadap dalil Al-Qur'an yang masih umum.
3) Sunnah sebagai musyar'i (pembuat syari'at): memuat hal-hal yang belum
ada dalam Al-Qur'an, tidak memuat hal-hal baru yang tidak ada dalam Al-Qur'an
tapi membuat hal-hal yang landasnya ada dalam Al-Qur'an.
Dari tiga poin di atas, kemudian fungsi hadis dapat dijabarkan dalam
beberapa poin yang oleh ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara
garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadis terhadap al-Qur’an,
yaitu sebagai berikut :4

4
Rusdaya Basri, Ushul Fikih 1, IAIN PAREPARE NUSANTARA PRESS, Pare-Pare, 2019, h. 40-
44

5
1. Bayan Taqrir
Posisi hadis sebagai penguat (taqrir) atau memperkuat keterangan al-qur’an
(ta’kid). Sebagian ulama menyebut bayan ta’kid atau bayan taqrir. Artinya hadis
menjelaskan apa yang sudah dijelaskan al-qur’an, misalnya hadis tentang shalat,
zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat al-qur’an tentang hal itu juga:

Dari Ibnu Umar R.A berkata: Rasulullah SAW bersabda: islam didirikan
atas lima perkara; menyaksikan bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan
bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji, dan
puasa ramadhan. (HR. Al-Bukhari)

Hadis di atas memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, dan puasa


dalam AL-qur’an surah Al-Baqarah (2): 83 dan 183 dan perintah haji pada surah
Al-Imran (3): 97.

2. Bayan Tafsir

Hadis sebagai penjelas (tafsir) terhadap Al-qur’an dan fungsi inilah yang
terbanyak pada umumnya. Penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai
berikut.

a. Tafshil Al-mujamal

Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Al-qur’an yang


bersifat global, baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama
menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir. Misalnya perintah shalat pada
beberapa ayat dalam Al-qur’an hanya diterangkan secara global, yaitu dirikanlah
shalat, tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya; berapa kali sehari
semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya.
Perincian itu terdapat pada hadis Nabi, misalnya sabda Nabi:

Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Al_Bukhari)

Hadis di atas menjelaskan bagaimana shalat itu dilaksanakan secara benar


sebagaimana firman Allah dalam Al-qur’an. Demikian juga masalah haji danzakat.
Dalam masalah haji Nabi bersabda:

6
Ambilah (dariku) ibadah hajimu. (HR. Muslim)

b. Takhsis Al-amm

Hadis mengkhususkan ayat-ayat Al-qur’an yang umu, sebagian ulama


menyebutnya bayan takhshis. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam Surah An-
Nisa’ (4): 11:

Allah mensyariatkan bagimu tentang (bagian pusaka untuk) anak-anakmu.


Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

Kandungan ayat di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli


waris, baik anak laki-laki, anak perempuan, satu, dan atau banyak, orangtua (bapak
dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada, dan
seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhshis)
dengan hadis nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan
agama, dan pembunuh. Misalnya sabda Nabi:

Kami-kelompok para Nabi-tidak meninggalkan harta waris, apa yang kami


tinggalkan sebagai sedekah.

Dan sabda Nabi:

Pembunuh tidak dapat mewarisi (harta pusaka). (HR. At-Tirmizi)

c. Taqyid Al-Muthlaq

Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat Al-qur’an. Artinya, Al-qur’an


keterangannya secara muthlak, kemudian dibatasi dengan hadis yang muqayyad
(taqyid/muqayyad) = dibatasi, muthlaq, = tidak terbatas). Sebagian ulama menyebut
bayan taqyid. Misalnya firman Allah dalam surah Al-Maidah (5): 38:

Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka.

Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlaq nama tangan,
tanpa dijelaskan batas tangan yang harus dipotong apakah dari pundak, sikut, dan
pergelangan tangan. Kata tangan mutlaq meliputi hasta dari bahu pundak, lengan,

7
dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadis,
ketika ada seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan diputuskan hukuman
pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangan.

3. Bayan Naskhi
Hadis menghapus (nasakh) hukum yang diterangkan dalam al-Qur’an.
Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam surah al-Baqarah (2):
180 : “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan
(tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat
untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara makruf. (Ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”
Ayat di atas di-nasakh dengan hadis Nabi: “Sesungguhnya Allah
memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak dan tidak ada wasiat
itu wajib bagi waris.” (HR. An-Nasa’i)
4. Bayan Tasyri’
Hadis menciptakan syariat (tasyri’) yang belum dijelaskan oleh al-
Qur’an. Dala hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskn al-Qur’an,
ia bukan penjelas dan bukan penguat (ta’kid). Akan tetapi, Sunnah
sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat
dalam ayat-ayat al-Qur’an. Dalam hal-hal tertentu yang tidak ada
keterangannya dalam al-Qur’an, Nabi saw. dianugerahi otoritas untuk
menetapkan hukum secara independen. Al-Qur’an, surah al-a’raf, 157, telah
memberikan otoritas kepada Nabi saw., “...Rasul/Nabi menghalalkan bagi
mereka segala hal yang baik, dan mengharamkan bagi mereka segala hal
yang buruk.”. otoritas ini bahkan diperkokoh dengan ayat yang lain, “Apa
yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang
dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”. (al-Hasyr, 7). karenanya,
menolak hukum-hukum yang telah ditetapkan secara independen oleh Nabi
saw. sebenarnya merupakan penolakan terhadap ayat al-Qur’an yang
memberikan otoritas kepada Nabi saw.

8
Itulah beberapa keterangan sekilas tentang fungsi As-Sunnah sebagai
penjelas al-Qur’an. Secara ringkas, dapat disimpulkan, bahwa tan As-
Sunnah, tidak mungkin kita dapat melaksanakan al-Qur’an. Sebab,
bagaimana mungkin kita akan dapat menjalankan shalat, zakat, dan haji-
yang diperintahkan al-Qur’an-tanpa penjelasan tata caranya yang rinci dari
As-Sunnah?5

C. Macam-macam Sunnah
Berdasarkan definisi-definisi Sunnah yang dikemukakan di atas, Sunnah
menjadi sumber hukum Islam (mashadir al-ahkam) dan dalil hukum Islam kedua
(adillat al-ahkam), itu ada tiga macam, yaitu:
1) Sunnah fi'liyyah, yaitu perbuatan yang dilakukan Nabi SAW. Yang dilihat
atau diketahui dan disampaikan para sahabat kepada orang lain, misalnya tata cara
sholat yang ditunjukkan Rasulullah kemudian disampaikan oleh sahabat yang
melihat atau mengetahuinya kepada orang lain.
2) Sunnah qauliyyah, yaitu ucapan nabi saw., yang didengar dan
disampaikan seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain, misalnya sabda
rasulullah yang diriwayatkan imam bukhari dan Muslim, artinya "tidak sah sholat
seseorang yang tidak membaca surat Al-fatihah"
3) Sunnah Taqririyyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan
dihadapkan atau sepengetahuan Nabi saw., tetapi nabi hanya diam dan tidak
mencegah dari Nabi saw ini menunjukkan persetujuan nabi atau (taqrir) terhadap
perbuatan sahabat tersebut.
Ketiga macam Sunnah tersebut (qauliyah, fi’liyah dan taqririryah)
disampaikan dan disebarluaskan oleh yang melihat, mendengar, menerima dan
mengalaminya dari nabi secara beranting melalui pemberitaan atau khabar, hingga
sampai kepada orang yang mengumpulkan, menuliskan dan membukukannya
sekitar abad ketiga Hijriyah. Mengenai apakah memang Nabi Muhammad SAW

5
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2010, h.65-67.

9
pernah berkata, berbuat dan memberikan pengakuan, lebih banyak tergantung
kepada kebenaran pemberita-an tentang adanya Sunnah itu. Selanjutnya para ulama
mengklasifikasikan Sunnah itu berdasarkan kekuatan khabar tersebut.

Kekuatan suatu khabar ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:


berkesinambungannya khabar itu dari yang menerimanya dari Nabi sampai kepada
orang yang mengumpulkan dan membukukannya; kuantitas orang yang membawa
khabar itu untuk setiap sambungan; dan faktor kualitas pembawa khabar dari segi
kuat dan setia ingatannya, juga dari segi kejujuran dan keadilannya.

Dari segi jumlah pembawa khabar, ulama membagi khabar itu kepada tiga
tingkatan:

1) Khabar mutawatir, yaitu khabar yang disampaikan secara


berkesinambungan oleh orang banyak yang kuantitasnya untuk
setiap sambungan mencapai jumlah tertentu yang tidak
memungkinkan mereka bersepakat untuk berbohong.
2) Khabar masyhur, yaitu khabar yang diterima dari Nabi oleh
beberapa orang sahabat kemudian disampaikan kepada orang
banyak yang untuk selanjutnya disampaikan pula kepada orang
banyak yang jumlahnya mencapai ukuran batas khabar mutawatir.
3) Khabar ahad, yaitu khabar yang disampaikan dan diterima dari
Nabi secara perorangan dan dilanjutkan periwayatannya sampai
kepada perawi akhir secara perorangan pula.

Perbedaan yang jelas di antara ketiganya adalah sebagai berikut. Khabar


mutawatir diterima dan disampaikan dari pangkal sampai ke ujung secara mutaatir.
Khabar masyhur yaitu khabar yang diterima dan disampaikan pada tingkat awal
secara perorangan, kemudian dilanjutkan sampai keujungnya secara mutawatir.
Khabar ahad diterima dan disampaikan kemudian secara beranting sampai
keujungnya secara perorangan.

10
Ketiganya berbeda dari tingkat kebenaranya. Tinkat kebenaran yang paling
tinggi adalah khabar mutawatir, kemudian khabar masyhur, sedangkan yang paling
rendah tingkat kebenarannya adalah khabar ahad.6

D. Kehujjahan hadis ahad


1) Ulama sepakat kehujjhaan hadis ahad jika hadisnya benar dan yakin
berasal dari rasul dan telah disepakati oleh para sahabat, tabi'in dan ulama
setelahnya.
2) Mu'tazilah, tidak menerima hadis ahad, alasannya sahabat tidak
menerimanya
3) persyaratan hadis ahad yang disepakati para ulama, persyaratan hadis
mencapai usia baliq dan berakal, perawi orang muslim, perawi orangnya adil yakni
orang yang senantiasa bertaqwa dan menjaga diri dari perbuatan tercela, perawi
betul-betul dhabit terhadap apa yang diriwayatkannya benar-benar dari rasulullah,
memahami kandungan dan menghafalnya.

a. Dalil-dalil kehujahan Hadis


Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas kehujahan Sunnah dijadikan
sebagai sumber hukum Islam. yaitu sebagai berikut.
a. Dalil Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan patuh
kepada rasul dan mengikuti Sunnahnya. Perintah patuh kepada rasul berarti
perintah mengikuti sebagai hujah, antara lain sebagai berikut.
1. Konsekuensi iman kepada Allah adalah taat kepada-Nya, sebagaimana
firman Allah dalam Surah Ali Imran : 179.
Beriman kepada rasul berarti taat kepada apa yang disampaikan kepada
umatnya, baik al-Qur’an maupun hadis yang dibawanya.
2. Perintah beriman kepada Rasul dibarengkan dengan beriman kepada Allah
swt, sebagaimana dalam surah An-nisa: 136

6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1(PT LOGOS Wacana Ilmu: Jakarta, 1997) . h. 82

11
3. Kewajiban taat kepada Rasul karena menyambut perintah Allah,
sebagaimana dalam surah An-nisa: 64
4. Perintah taat kepada Rasul bersama perintah taat kepada Allah,
sebagaimana dalam surah Ali Imran: 32
5. Perintah taat kepada Rasul secara khusus, sebagaimana dalam surah Al-
Hasyr: 7

b. Dalil Hadis
Hadis yang dijadikan dalil Kehujjahan Sunnah juga banyak sekali, di
antaranya sebagaimana sabda Nabi saw. : “Aku tinggalkan pada kalian dua
perkara, kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh kepada keduanya,
yaitu kitab Allah dan Sunnah ku.” (HR. Al-hakim dan Malik)
c. Ijma’ para Ulama
1. Para ulama sepakat bahwa Sunnah sebagai hujah, semua umat Islam
menerima dan mengikutinya, kecuali sekelompok minoritas orang.
2. Kehujahan Sunnah adakalanya sebagai mubayyin (penjelas)
terhadap al-Qur’an, atau berdiri sendiri sebagai hujah untuk
menambah hukum-hukum yang belum diterangkan oleh al-Qur’an.
3. Kehujahan sunnah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i (pasti), baik
dari ayat-ayat al-Qur’an atau hadis dan atau rasio yang sehat maka
bagi yang menolaknya dihukumi murtad.
4. Sunnah yang dijadikannya hujah tentunya sunnah yang telah
memenuhi persyaratan shahih, baik mutawatir atau ahad.

E. Pandangan Ulama Tentang Kemandirian Hadits Dalam Menetapkan


Hukum

Al-Qur‟an menekankan bahwa Rasul saw berfungsi menjelaskan maksud


firman-firman Allah. Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian
banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Abdul Halim
Mahmud, mantan Syaikh Al- Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha

12
Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan
dengan al-Qur‟an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara‟.
Dengan menunjuk kepada pendapat As-Syafi‟i dalam al-Risalah, Abdul Halim
Mahmud menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan al-Qur‟an, ada duafungsi
Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara
ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan
atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-Qur‟an, sedangkan
yang keduamemperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-
ayat al-Qur‟an.

Persoalan yang di perselisihkan adalah, apakah hadis atau sunnah dapat


berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam al-Qur‟an? Para
ulama dalam menanggapi masalah ini, terbagi menjadi dua kelompok, pertama,
kelompok yang mengatakan bahwa sunnah mempunyai kewenangan di dalam
menetapkan suatu hukum, baik sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap
al-Qur‟an maupun sunnah yang berfungsi sebagai penetap dan pembentuk hukum,
meskipun tidak ada dalil yang menjelaskannya di dalam al-Qur‟an. Kedua, ulama
yang berpendapat bahwa sunnah tidak mempunyai kewenangan di dalam
menetapkan suatu hukum, kecuali ada dalilnya dalam al-Qur‟an. Ini berarti
mustahil bagi Rasul untuk melakukan suatu perbuatan syar‟i yang tidak
berdasarkan pada al-Qur‟an.

Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada „ishmah


(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat)
apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian
Nabi saw untuk ditaati. Selain itu, kelompok ini juga berargumen dengan adanya
kewajiban untuk menaati dan mengikuti Rasulullah saw sebagaimana yang telah
diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Firman Allah dalam surat al-
Nisa‟:80 misalnya

13
Barang siapa yang menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah
menaati Allah.”Ayat ini menegaskan bahwa menaati Rasul adalah
identik dengan menaati Allah.Juga firman Allah dalam sirat al-Hasyr:7

Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu terimalah dia, dan apa saja
yangdilarangnya bagimu tinggalkanlah.”

Allah telah memberikan kekhususan kepada Rasul-Nya dengan


memberikan sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai, yaitu sunnah
yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam al-Qur‟an.

Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya


Allah, Inn al- hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah
swt (dalam hal ini al- Qur‟an), ketika hendak menetapkan hukum. Lebih lanjut
mereka mengatakan bahwa sunnah Rasul tidak lain hanyalah sekedar penjelasan
terhadap tuntunan yang diterima dari Allah swt, sebagaimana penjelasan beliau
tentang tata cara shalat, ketentuan hukum jual beli serta hukum syara‟ yang
lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu secara keseluruhan telah ada di dalam
al-Qur‟an baik secara global maupun secara terperinci. Adapun firman Allah
yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah saw seperti dalam
Q.S. al-Nisa‟:80 yang dijadikan dasar bagi ulama yang mengakui atas
kemandirian sunnah, merupakan kewajiban untuk menaati segala penjelasan dan
semua keterangannya.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas,


maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah
terhadap Al-Qurandidefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang
maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci,
pembatas dan bahkan maupun tambahan, ke semuanya bersumber dari Allah
SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi
dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash
ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah

14
penjelasan dariapa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.
Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin
sulit jika Al- Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan
hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat
zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad
Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al- Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa
Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqihmenetapkan hukum-hukum
dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Qur‟an terlebih dahulu. Sehingga,
apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadis) yang sejalan
dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka
menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."

Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih.


Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-
pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat,
mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis.
Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan
pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa hadis dapat saja diamalkan,
walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang
menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang
sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut
kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang
memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak
sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.

Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-


Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu,
tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah,
dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam
bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran.
Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti

15
perintah Nabi-Nya? Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang
sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan
setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga
ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu
yang diterima secara meyakinkan (al-Quran) dan mengabaikan yang tidak
meyakinkan (hadis).

Dalam masalah ini, penulis memandang bahwa perbedaan dari kedua


kelompok yang berselisih di atas bertolak dari pemahaman bahwa sunnah yang
tidak ditemukan dasarnya di dalam al-Qur‟an di anggap tidak sejalan dengan al-
Qur‟an. Oleh karena tidak sejalan, maka tidak boleh diamalkan meskipun
kelompok yang lainnya membolehkan mengamalkannya. Hal ini tentu saja perlu
diluruskan. Karena suatu ajaran Rasul saw tidak boleh dikatakan bahwa ajaran
itu tidak didapatkan dasarnya di dalam al-Qur‟an dan tidak dapat dikatakan tidak
sejalan dengan al-Qur‟an. Sebagaimana yang tertera di dalam al-Qur‟an, dasar
perintah dan larangan bersifat global dan universal. Seperti kewajiban shalat, di
dalam al-Qur‟an hanya dijumpai perintah wajibnya shalat, sedangkan jumlah
raka‟atnya tidak dapat dicari dalam al- Qur‟an. Juga kewajiban zakat dalam al-
Qur‟an, tidak ditemukan ketentuan-ketentuan yang jelas tentang macam-macan
jenis harta yang wajib dizakati, juga jumlah zakat dari berbagai jenis harta yang
wajib dizakati. Semua ketentuan tersebut hanya diperoleh dari sunnah Rasulullah
saw. Jumlah raka‟at dalam shalat, macam dan jenis harta yang wajib dizakati,
besertajumlah zakat yang harus dikeluarkan, semua ketentuan dari Rasul tersebut
tidak dapat dikatakan tidak sejalan dengan al-Qur‟an, tetapi justru sebagai
penjelas melalui uswah Rasulullah saw. Sekiranya contoh-contoh dari Rasulullah
tersebut tidak dapat diamalkan, lantas dari mana kita mengetahui tata cara
menjalankan perintah shalat dan zakat? Selain itu tidak tepat juga dikatakan
bahwa dalam hal ini sunnah bersifat mandiri sebagai sumber hukum syara‟,
tetapi yang benar adalah sunnah muncul karena kebutuhan manusia untuk

16
memahamidan menjalankan perintah dan larangan Allah dalam al-Qur‟an.7

7
Relid Nur Edi, As-Sunnah, Asas, vol. 6, No. 2, 2014, h.140

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadist menurut bahasa al-jadid yang artinya sesuatu yang baru -lawan dari
al-Qadim- artinya yang berarti menunjukkan kepada waktu yang dekat atau waktu
yang singkat. Menurut ahli hadis pengertian hadis ialah segala perkataan Nabi
SAW, perbuatan, dan hal ihwalnya. Sunnah menurut etimologi berarti cara yang
bisa ditempuh baik ataupun buruk.
Struktur hadis yang meliputi sanad dan matan. Sanad ialah rantai
penutur/rawi (periwayat) hadits. Matan ialah redaksi dari hadits. Kedudukan dan
fungsi Hadis yaitu sebagai sumber hukum Islam yang kedua, sebagai penguat dan
pengukuh hukum, sebagai penjelas atau perincian terhadap ayat-ayat Al-Qur’an
yang masih bersifat umum, menetapkan hukum-hukum tidak terdapat dalam Al-
Qur’an.
Hubungan Al-Qur’an dan Sunnah. Ditinjau dari hukum yang ada maka
hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur-an, sebagai penguat hukum yang sudah ada
di dalam Al-Qur-an, penafsir atau pemerincian hal-hal yang disebut secara mujmal
dalam Al-Qur-an, bayan dari mujmal Al-Qur-an, Bayan Tafsiri, Bayan Taqriri,
Bayan Taudhihi.
B. Saran

Para pembaca yang budiman, untuk kesempurnaan karya ilmiah yang


dibuat, maka disarankan agar tetap merujuk kepada referensi lain mengingat
makalah ini masih sangat sederhana dan jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, kami
dengan sangat terbuka menerima masukan yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah yang terkait dengan Hadis sebagai sumber hukum islam.

18
DAFTAR PUSTAKA

 Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Dina Utama, Semarang, 1994.
 Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis., Pustaka Firdaus, Jakarta. Cet-V,2008.
 Al-insan, Jurnal Kajian Islam, Hadits Nabi; otentisitas dan upaya
destruksinya. Vol. 1, no. 2, 2005.
 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid , Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997.
 Rachmat Syafe'i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 2010.
 Relid Nur Edi, As-Sunnah, Asas, vol. 6, No. 2, 2014.

19

Anda mungkin juga menyukai