MA DAARUL MUQIMIEN
TAHUN AJARAN
2023/2024
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tentang "
SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTAFFAQ DAN MUKHTALAF ".
Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan
bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sebagai
penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini.
Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang
kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu kelemahan yang dialami oleh umat Islam saat ini adalah
kecenderungan yang sangat tinggi untuk memperlajari fiqh, namun
mengabaikan ushul fiqh. padahal ushul fiqh adalah akar dari fiqh. dengan
mempelajari ushul fiqh akan lebih mudah dan lebih mendalam dalam
mempelajari fiqh, karena ushul fiqh merupakan kerangka berpikir berupa
kaidah-kaidah yang selalu digunakan dalam melahirkan ijtihad fiqh. dengan
demikian, ushul fiqh merupakan ilmu yang pokok dalam dalam bingkai hukum
islam yang penting untuk dipelajari.
Seperti yang kita ketahui bahwa belajar itu adalah proses dan bertahap, begitu
pula ketika kita belajar ushul fiqh kita juga akan mempelajari poin demi poin.
Salah satu poin yang dipelajari dalam ushul fiqh adalah tentang sumber-sumber
hukum. Tidak hanya itu kajian ushul fiqh begitu luas diantaranya adalah hukum
syara’, dalil hukum syara’ dan usaha merumuskan hukum syara’ dari
sumbernya atau ijtihad dan yang berkenaan dengannya. tapi kali ini kita hanya
akan terfokus untuk memperdalam tentang sumber-sumber hukum Islam.
B. Rumusan Masalah
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM
Makna sumber hukum adalah persoalan polemik antara ahli ilmu tashawuf dan
ahli fiqh. Ahli tashawuf berpendapat bahwa sumber hukum, secara hakiki
adalah Allah, sementara ahli fiqh berpendapat bahwa sumber hukum itu adalah
Al-Qur’an sebagai dalil hukum. Senada dengan pikiran tersebut, Jaih Mubarok
menegaskan bahwa: “... Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-
Qur’an bukan sumber hukum, tetapi dalil hukum. Pendapat ini saya ungkapkan
karena saya khawatir kalau Al-Qur’an dijadikan sumber hukum akan
melahirkan kecenderungan adanya pengabaian terhadap eksistensi Allah.
Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat teologis. Dengan demikian, terdapat
tiga tema yang berhubungan dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, Allah
berfirman tanpa suara dan huruf (bi shaut wa harf) sebagai madlul, dan mushaf
Al-Qur’an yang beredar di masyarakat yang ditulis dengan suara dan huruf (bi
shaut wa harf) adalah dalil hukum. Apabila kita terpaksa kita mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang dimaksud sumber disana dalam
artian majazi.”
Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua yaitu dalil
syara’ yang disepakati (Muttafaq):
1) Al Qur’an
Secara bahasa kata ُ ْالقُرْ آنterambil dari kata َ قَ َرا. bentuknya sepola dengan
kata فُ ْعاَل نseperti kata ُ َرانNال ُغ ْف.ْ Penambahan huruf alif dan nun berfungsi
untuk menunjukkan kesempurnaan. maka secara bahasa kata ُرْ آنNNُ ْالقbukan
sekedar bacaan (ٌ)قِ َراءة, tetapi bacaan yang sempurna.
Secara istilah, Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat jibril dengan lafadz berbahasa
Arab dengan makna yang benar sebagai hujah bagi Rasul, sebagai pedoman
hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-
Fatihah dan di akhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya.
2) As-Sunnah
a. Sunnah Qauliyah
b. Sunnah Fi’liyyah
Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan
oleh sahabat Nabi semuanya disebut sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi bisa
beraneka ragam bentuknya. Hal ini, dapat dilihat dari kedudukan Nabi
sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah.
Kedua, perbuatan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi
tidak wajib bagi umatnya seperti Nabi wajib shalat Dhuha, tahajud, dan
berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib.
Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya boleh lebih dari
empat.
c. Sunnah Taqririyyah
3) Ijma’
Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari
ُ اِجْ َما،ُ يُجْ ِمع، اَجْ َم َع, yang memiliki banyak arti diantaranya: ketetapan hati
kata ع
atau keputusan untuk melakukan sesuatu dan sepakat. Adapun secara istilah,
Ijma’ adalah “kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah
wafatnya Rasul terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus”. Dari definisi
tersebut ada beberapa kata kunci yang harus diperjelas:
b. Sesudah nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih hidup tidak
ada ijma’. Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung
oleh Nabi.
Para ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam
islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-Qur’an dan sunah. Tak ada
ulama yang menolak keberadaan ijma sebagai sumber hukum. posisi ijma’
sebagai sumber hukum didasari oleh nas al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59:
)٥٩( .... ُول َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَِإن تَنَا َز ْعتُ ْم
َ ال َّرسNيَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا
lafal ulil amri mengandung dua pengertian sebagaimana tafsir Ibnu Abbas:
2. penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.
3. Qiyas
Dilihat dari segi bahasa, kata ُ ْالقِيَاسberasal dari bahasa Arab, bentuk masdar
ً َ قِي، ُ تَقِيْس, ُ قَاسartinya mengukur dan membandingkan sesuatu dengan
dariNاNاس
semisalnya.
b. Kasus yang lama sudah ada hukumnya berdasarkan nas. Adapun hukum
yang baru (cabang) belum ada nasnya.
c. Antara hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki
sebab yang yang sama.
Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’,
Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
3. Kelompok yang meggunakan qiyas secara luas dan mudah. mereka pun
berusaha mengabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat
diantara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tingi
terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian
ayat al-Qur’an atau sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-Qur’an bukan sumber
hukum, tetapi dalil hukum. karena dikhawatirkan kalau Al-Qur’an dijadikan
sumber hukum akan melahirkan kecenderungan adanya pengabaian terhadap
eksistensi Allah. Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat teologis. Apabila kita
terpaksa kita mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang
dimaksud sumber disana dalam artian majazi.
Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua yaitu dalil
syara’ yang disepakati (Muttafaq) dan dalil syara’ yang tidak disepakati
(mukhtalaf). Dalil syara’ yang disepakati ada empat yaitu, Al-Qur’an. As-
Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Adapun Dalil syara’ yang tidak disepakati
(diperserlisihkan) s ada tujuh yaitu, istihsan, mashalah mursalah, istishab, urf,
mazhab sahabi, syar’u man qablana, dan saddu al-zariat.
B. Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus
mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita
pelajri sesuia dengan al-
Qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam Al-Qur’an,
As- Sunnah, ijma’ dan Qiyas.