Anda di halaman 1dari 12

M A K A L A H

SUMBER HUKUM ISLAM YANG


MUTAFFAQ DAN MUKHTALAF

Disusun Oleh: Kelompok 1


Khoiru Fatin Nabila
Elma Aulia
Nurhayati
Vera Ainun
Ahmad Dimas Putra Ilham

MA DAARUL MUQIMIEN
TAHUN AJARAN
2023/2024
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini tentang "
SUMBER HUKUM ISLAM YANG MUTAFFAQ DAN MUKHTALAF ".

Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
turut memberikan kontribusi dalam penyusunan makalah ini. Tentunya, tidak akan
bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak. Sebagai
penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini.

Oleh karena itu, kami dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang
kami susun ini memberikan manfaat dan juga inspirasi untuk pembaca.

Tangerang, 31 Agustus 2023.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah

Salah satu kelemahan yang dialami oleh umat Islam saat ini adalah
kecenderungan yang sangat tinggi untuk memperlajari fiqh, namun
mengabaikan ushul fiqh. padahal ushul fiqh adalah akar dari fiqh. dengan
mempelajari ushul fiqh akan lebih mudah dan lebih mendalam dalam
mempelajari fiqh, karena ushul fiqh merupakan kerangka berpikir berupa
kaidah-kaidah yang selalu digunakan dalam melahirkan ijtihad fiqh. dengan
demikian, ushul fiqh merupakan ilmu yang pokok dalam dalam bingkai hukum
islam yang penting untuk dipelajari.

Seperti yang kita ketahui bahwa belajar itu adalah proses dan bertahap, begitu
pula ketika kita belajar ushul fiqh kita juga akan mempelajari poin demi poin.
Salah satu poin yang dipelajari dalam ushul fiqh adalah tentang sumber-sumber
hukum. Tidak hanya itu kajian ushul fiqh begitu luas diantaranya adalah hukum
syara’, dalil hukum syara’ dan usaha merumuskan hukum syara’ dari
sumbernya atau ijtihad dan yang berkenaan dengannya. tapi kali ini kita hanya
akan terfokus untuk memperdalam tentang sumber-sumber hukum Islam.

B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan sumber hukum?

2. Apakah yang dimaksud dengan Al-Qur’an?

3. Apakah yang dimaksud dengan As-Sunnah?

4. Apakah yang dimaksud dengan Ijma’?


5. Apakah yang dimaksud dengan Qiyas?

BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN SUMBER HUKUM ISLAM

Makna sumber hukum adalah persoalan polemik antara ahli ilmu tashawuf dan
ahli fiqh. Ahli tashawuf berpendapat bahwa sumber hukum, secara hakiki
adalah Allah, sementara ahli fiqh berpendapat bahwa sumber hukum itu adalah
Al-Qur’an sebagai dalil hukum. Senada dengan pikiran tersebut, Jaih Mubarok
menegaskan bahwa: “... Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-
Qur’an bukan sumber hukum, tetapi dalil hukum. Pendapat ini saya ungkapkan
karena saya khawatir kalau Al-Qur’an dijadikan sumber hukum akan
melahirkan kecenderungan adanya pengabaian terhadap eksistensi Allah.
Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat teologis. Dengan demikian, terdapat
tiga tema yang berhubungan dengan Al-Qur’an sebagai sumber hukum, Allah
berfirman tanpa suara dan huruf (bi shaut wa harf) sebagai madlul, dan mushaf
Al-Qur’an yang beredar di masyarakat yang ditulis dengan suara dan huruf (bi
shaut wa harf) adalah dalil hukum. Apabila kita terpaksa kita mengatakan
bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang dimaksud sumber disana dalam
artian majazi.”

Sumber hukum yang bersifat wahyu adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah,


sedangkan hukum bersifat ijtihadi diantaranya adalah ijma’, qiyas, istihsan,
maslalah mursalah, dan lainnya. Wahyu adalah sumber utama dan utama.
Menurut Al-Ghazali, maksud wahyu sebagai sumber utama disini adalah Al-
Qur’an, sementara As-Sunnah, sekalipun sifatnya wahyu, hanya berfungsi
sebagai hukum penjelas atau pemberita (mukhbir) tentang hukum Allah.
Adapun kehadiran ijma’ berfungsi sebagai petunjuk atau argumen (dalil)
tentang eksistensi dan fungsi As-Sunnah. Disamping itu, kehadiran akal
menjadi penting pula sebagai penegas mengenai tidak adanya hukum apabila
tidak terdapat keterangan dari ketiga sumber hukum itu. Walaupun hukum
Islam dari segi sumbernya dapat dibedakan beberapa macam, semuanya
berfungsi sebagai petunjuk (dalil), tentang ada atau tidak adanya suatu hukum.
Oleh karena itu, semuanya disebut sebagai dalil-dalil utama hukum (adillah al-
ahkam).

B. DALIL SYARA’ YANG DISEPAKATI

Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua yaitu dalil
syara’ yang disepakati (Muttafaq):

a. Sumber Hukum Islam yang Muttafaq (Disepakati)

1) Al Qur’an

Secara bahasa kata ُ‫ ْالقُرْ آن‬terambil dari kata َ‫ قَ َرا‬. bentuknya sepola dengan
kata ‫ فُ ْعاَل ن‬seperti kata ُ‫ َران‬N‫ال ُغ ْف‬.ْ Penambahan huruf alif dan nun berfungsi
untuk menunjukkan kesempurnaan. maka secara bahasa kata ُ‫رْ آن‬NNُ‫ ْالق‬bukan
sekedar bacaan (ٌ‫)قِ َراءة‬, tetapi bacaan yang sempurna.

Secara istilah, Al-Qur’an ialah Kalam Allah yang diturunkan oleh Allah
kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat jibril dengan lafadz berbahasa
Arab dengan makna yang benar sebagai hujah bagi Rasul, sebagai pedoman
hidup, dianggap ibadah membacanya dan urutannya dimulai dari surat al-
Fatihah dan di akhiri oleh surat an-Nas serta dijamin keasliannya.

Al-Qur’an diturunkan pertama kali di Kota Mekkah tepatnya di Gua Hira


pada tahun 611 M dan berakhir di Madinah pada tahun 633 M dalam rentang
waktu 22 tahun beberapa bulan. Berdasarkan terjemah Departemen Agama
RI. Al-Qur’an terdiri dari 30 juz, 114 surat, 6.326 ayat, dan 324.345 huruf.
Berdasarkan turunnya Al-Qur’an terbagi menjadi dua yaitu ayat Makiyah
dan ayat Madaniyah. Al-Qur’an juga disebut sebagai mu’jizat. Al-Qur’an
juga memiliki keotentikan dan keorisinalan yang terjamin dari mulai
diturunkannya sampai sekarang, hal ini berarti bahwa tidak ada perubahan
baik berupa pengurangan maupun penambahan terhadap ayat-ayat Al-
Qur’an. Maka tidak ada keraguan terhadap kebenaran dan keaslian Al-
Qur’an.

Al-Qur’an merupakan hujjah dan hukum-hukumnya dijadikan sebagai


undang-undang yang harus diikuti dan ditaati oleh manusia karena Al-
Qur’an diturunkan dari Allah SWT, disampaikan kepada manusia dengan
jalan yang pasti dan tidak terdapat keraguan tentang kebenarannya tanpa ada
campur tangan manusia. Hal ini mengandung arti bahwa Al-Qur’an
merupakan mu’jizat yang membuat manusia tidak mampu untuk
mendatangkan semisalnya.

2) As-Sunnah

Sunnah merupakan sumber hukum kedua yang muttafak (disepakati) setelah


Al-Qur’an. Kata sunnah (ُ‫ ) ُسنَّة‬berasal dari bahasa Arab yang terbentuk dari
kata ‫ ُّن‬N‫ يَ ُس‬,‫ َّن‬N‫س‬.
َ yang artinya jalan atau cara. Adapun menurut Abu Zahra
Sunnah berarti “perkataan, perbuatan dan pengakuan Nabi”.

a. Sunnah Qauliyah

Sunnah qauliyah dilihat dari jumlahnya paling banyak dibanding sunah


fi’liyah dan taqririyah. Sunah qauliyah artinya ucapan Nabi dalam
berbagai kondisi yang didengar oleh sahabat dan disanpaikan kepada
orang lain.
Dalam sunah qauliyah terdapat permasalahan yang tampaknya perlu
dipertegas karena ada dua bentuk yang dapat keluar dari lisan Nabi.
Pertama bisa berupa perkataan Nabi (sunah qauliyah) bisa juga berupa
ayat al-Qur’an untuk membedakan apakah itu qauliyah atau al-Qur’an
maka dapat diteliti, jika benar yang keluar dari lisan Nabi itu al-Qur’an,
maka biasanya Nabi menyuruh sahabatnya untuk menghafal, menulis,
dan mengurutkannya sesuai denganpetunjuk Allah. Jika keluar lisan Nabi
ini berupa sunah qauliyah, maka nabi melarang untuk menuliskannya
karena khawatir akan bercampur dengan al-Qur’an.

b. Sunnah Fi’liyyah

Semua perbuatan dan tingkah laku Nabi yang dilihat dan diperhatikan
oleh sahabat Nabi semuanya disebut sunah fi’liyah. Perbuatan Nabi bisa
beraneka ragam bentuknya. Hal ini, dapat dilihat dari kedudukan Nabi
sebagai manusia biasa dan sebagai utusan Allah.

Pertama, perbuatan Nabi yang merupakan kebiasaan yang lumrah


dikerjakan oleh manusia pada umumnya seperti cara makan dan minum,
berdiri, duduk, cara berpakaian, memelihara jenggot dan mencukur
kumis. Kesemuanya merupakan tabiat Nabi sebagai manusia biasa.
Menurut sebagian ulama bahwa kebiasaan kemanusiaan Nabi seperti itu
dapat berdampak hukum, yaitu sebagai sunah untuk diikuti. Tetapi
sebagian ulama yang lain, mengatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan Nabi
seperti itu tidak berdampak hukum dengan demikian tidak harus diikuti.

Kedua, perbuatan Nabi yang hanya wajib dilakukan oleh Nabi tetapi
tidak wajib bagi umatnya seperti Nabi wajib shalat Dhuha, tahajud, dan
berqurban. Bagi umatnya perbuatan-perbuatan tersebut tidaklah wajib.
Nabi boleh kawin lebih dari empat, namun bagi umatnya boleh lebih dari
empat.

Ketiga, perbuatan Nabi yang merupakan penjelasan hukum yang


terkandung dalam al-Qur’an seperti tentang cara shalat, puasa, haji, jual-
beli, dan utang piutang. Maka semua perbuatan itu berdampak kepada
pembentukan hukum bukan hanya bagi Nabi tetapi juga bagi umatnya.

c. Sunnah Taqririyyah

Maksudnya adalah sikap Nabi terhadap suatu kejadian yang dilihatnya


berupa perbuatan dan ucapan sahabat. Sikap Nabi itu adakalnya dengan
cara mendiamkannya, tidak menunjukkan tanda-tanda mengingkari atau
menyetujuinya atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu
dianggap sebagai perbuatan Nabi yang hukumannya boleh dilakukan.
Contoh, ketika ketika Nabi mendiamkan orang yang memakan binatang
dhab (sebangsa biawak). Dengan sikap diam Nabi itu berarti boleh
hukumnya makan daging tersebut. Karena seandainya haram niscaya
Nabi tidak diam, pasti beliau melarangnya. Contoh lain, ketika Nabi
menepuk dada Muadz bin Jabal setelah diutus oleh Nabi ke negeri
Yaman yang menandakan bahwa Nabi membenarkan semua yang
dikatakan oleh Muadz bin Jabal seraya berkata “segala puji hanya milik
Allah yang telah meberikan pertolongan kepada utusan Rasul-Nya”.

3) Ijma’

Secara bahasa kata ijma’ berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk masdar dari
ُ ‫ اِجْ َما‬،ُ‫ يُجْ ِمع‬،‫ اَجْ َم َع‬, yang memiliki banyak arti diantaranya: ketetapan hati
kata ‫ع‬
atau keputusan untuk melakukan sesuatu dan sepakat. Adapun secara istilah,
Ijma’ adalah “kesepakatan semua imam mujtahid pada suatu masa setelah
wafatnya Rasul terhadap hukum syara’ mengenai suatu kasus”. Dari definisi
tersebut ada beberapa kata kunci yang harus diperjelas:

a. Semua Mujtahid, artinya bahwa ijma’itu harus disepakati semua


mujtahid. Tidak ada diantara mereka yang menolaknya.

b. Sesudah nabi wafat, artinya bahwa pada masa Nabi masih hidup tidak
ada ijma’. Karena segala permasalahan hukum dapat dijawab langsung
oleh Nabi.

c. Hukum Syara’, artinya kesepakatan itu hanya terbatas pada masalah


hukum amaliah (syara’) dan tidak masuk kepada masalah akidah.

Para ulama sepakat bahwa ijma’ merupakan salah satu sumber hukum dalam
islam. Ia menempati urutan ketiga setelah al-Qur’an dan sunah. Tak ada
ulama yang menolak keberadaan ijma sebagai sumber hukum. posisi ijma’
sebagai sumber hukum didasari oleh nas al-Qur’an surat an-Nisa ayat 59:

)٥٩( .... ‫ُول َوُأولِي اَأْل ْم ِر ِمن ُك ْم ۖ فَِإن تَنَا َز ْعتُ ْم‬
َ ‫ ال َّرس‬N‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا َأ ِطيعُوا هَّللا َ َوَأ ِطيعُوا‬

lafal ulil amri mengandung dua pengertian sebagaimana tafsir Ibnu Abbas:

1. penguasa dunia sperti raja, presiden, atau umara.

2. penguasa agama yaitu para ulama mujtahid dan ahli fatwa agama.

3. Qiyas

Dilihat dari segi bahasa, kata ُ‫ ْالقِيَاس‬berasal dari bahasa Arab, bentuk masdar
ً َ‫ قِي‬، ُ‫ تَقِيْس‬, ُ‫ قَاس‬artinya mengukur dan membandingkan sesuatu dengan
dariN‫ا‬N‫اس‬
semisalnya.

Adapun menurut istilah syara’, adalah “Menghubungkan suatu perkara yang


tidak ada hukumnya dalam nas dengan perkara lain yang ada nas hukumnya
karena ada persamaan illat”. Dari definisi diatas dapat ditarik beberapa poin
penting :

a. Ada dua kasus yang mempunyai illat yang sama.

b. Kasus yang lama sudah ada hukumnya berdasarkan nas. Adapun hukum
yang baru (cabang) belum ada nasnya.

c. Antara hukum yang lama dan hukum yang baru masing-masing memiliki
sebab yang yang sama.

Dalam hal penerimaan ulama terhadap qiyas sebagai dalil hukum syara’,
Muhammad Abu Zahrah membagi menjadi tiga kelompok, yaitu:

1. Jumhur Ulama menjadikan qiyas sebagai dalil hukum syara’. mereka


menggunakan qiyas dalam hal-hal tidak terdapat hukumnya dalam nash
al-Quran, sunnah, dan ijma’ ulama. mereka menggunakan qiyas secara
tidak berlebihan dan tidak melampaui batas kewajaran.

2. Kelompok ulama Zhahiriah dan Syi’ah Imamiyah yang menolak


penggunaan qiyas secara mutlak. zahiriah juga menolak penemuan ‘illat
atas suatu hukum dan menganggap tidak perlu mengetahui tujuan
ditetapkannya suatu hukum syara’.

3. Kelompok yang meggunakan qiyas secara luas dan mudah. mereka pun
berusaha mengabungkan dua hal yang tidak terlihat kesamaan illat
diantara keduanya, kadang-kadang memberi kekuatan yang lebih tingi
terhadap qiyas, sehingga qiyas itu dapat membatasi keumuman sebagian
ayat al-Qur’an atau sunnah.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Sumber hukum Islam yang hakiki adalah Allah. Al-Qur’an bukan sumber
hukum, tetapi dalil hukum. karena dikhawatirkan kalau Al-Qur’an dijadikan
sumber hukum akan melahirkan kecenderungan adanya pengabaian terhadap
eksistensi Allah. Pandangan ini sebenarnya lebih bersifat teologis. Apabila kita
terpaksa kita mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah sumber hukum, yang
dimaksud sumber disana dalam artian majazi.

Dalil syara’ dilihat dari aspek kesepakatannya dibagi menjadi dua yaitu dalil
syara’ yang disepakati (Muttafaq) dan dalil syara’ yang tidak disepakati
(mukhtalaf). Dalil syara’ yang disepakati ada empat yaitu, Al-Qur’an. As-
Sunah, Ijma’ dan Qiyas. Adapun Dalil syara’ yang tidak disepakati
(diperserlisihkan) s ada tujuh yaitu, istihsan, mashalah mursalah, istishab, urf,
mazhab sahabi, syar’u man qablana, dan saddu al-zariat.

B. Saran
Sebelum kita mempelajari agama islam lebih jauh, terlebih dahulu kita harus
mempelajari sumber-sumber ajaran agama islam agar agama islam yang kita
pelajri sesuia dengan al-

Qur’an dan tuntunan nabi Muhammad SAW yang terdapat dalam Al-Qur’an,
As- Sunnah, ijma’ dan Qiyas.

Anda mungkin juga menyukai