Anda di halaman 1dari 41

SUMBER HUKUM ISLAM

Sebagai salah satu tugas pada mata kuliah Al Arabiyyah Lil Bahsil Ilmi

Dosen Pengampu : Dr. KH. Toyib Bakhtiar Zaini M.A.

Kelompok 2 :

Dandi Arif Ab Aziz

Lelly Nurbaya

Taryan

MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM CIPASUNG

SINGAPARNA-TASIKMALAYA

2022
PENDAHULUAN

Islam di tengah-tengah kemajuan segala bidang sebagai hasil dari cipta, rasa serta karya
dari manusia sekarang ini di tuntut akan eksistensinya di dalam memenuhi perkembangan
pengetahuan dan teknologi. Sejarah perkembangan hukum Islam telah mengajarkan kepada
kita bahwa transformasi nilai sosial, kultural, ekonomi dan bahkan politik ikut mempengaruhi
terjadinya perubahan hukum Islam. Hukum Islam bukanlah unifikasi yang baku yang sudah
tidak bisa di interpretasikan, melainkan sebagai kekuatan normatif yang selalu menjadikan,
menempatkan, memperlakukan atau mempertimbangkan kepentingan masyarakat sebagai
substansi dari posisi fleksibilitasnya (flexible-position), selama tidak berorientasi
mengorbankan keluhuran hukum Islam. Oleh karena itu interpretasi terhadap perkembangan
iptek serta problema umat dalam realitas sosial kemasyarakatan dalam perspektif hukum
islam merupakan keperluan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Sebagai sebuah ajaran, Islam memiliki keistimewaan tersendiri dibanding dengan


agama lain yang ada di dunia ini. Keistimewaan itu paling tidak dapat dilihat dari fenomena
yang terjadi pada masyarakat dunia penghuni bumi ini, yaitu suatu realitas akan kebenaran
Islam sebagai ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun juga.

Fenomena ini ada, boleh jadi karena Islam memiliki dua karakter yang menarik, yaitu
orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam aplikasi. Hal ini dapat terlihat empat sumber
hukum dalam Islam. Yaitu al-Qur'an, Hadits, Ijma' dan Qiyas. Yang kesemuanya banyak
memberikan kontribusi bagi umat Islam.

Setiap ajaran tentunya terdapat hukum-hukum yang mengikat para pemeluknya. Dalam
agama Islam, terdapat beberapa sumber hukum yang mengatur tindak-tanduk pemeluknya
(Muslim) dalam kegiatannya menjadi seorang hamba dan khalifah di Bumi. Sumber hukum
Islam merupakan dasar utama untuk mengambil istinbat hukum. Oleh karenanya segala
sesuatu yang menjadi pokok permasalahan haruslah berdasarkan pada sumber hukum
tersebut.

Sumber hukum Islam yang paling inti adalah Al Qur’an yang merupakan wahyu yang
di turunkan kepada nabi Muhammad SAW. yang di tugaskan menyampaikan risalah kepada
umatnya. Selanjutnya yang menjadi sumber utama adalah hadits yang memang bisa

2
dibilang merupakan penjelasan dan tata cara melakukan peribadahan yang di sabdakan nabi
Muhammad SAW..

Ada juga sumber hukum cabang dari Islam yaitu Ijma’ dan Qiyas yang di sabdakan
oleh para Ulama sehingga bisa di jadikan dasar hukum bagi para Muslimin. Selain itu yang
di sepakati adanya, ada juga cabang-cabang sumber hukum islam yang lain (tidak disepakati)
walaupun tidak semua ulama mengakui keberadaannya, yakni: istihsân, istishab, istishlah,
al-‘urf, sadd al-dzarî‘ah, madzhab al-shahabi, dan syar‘u man qablanâ.

3
PEMBAHASAN

A. Sumber hukum islam yang disepakati


1. Al-qur’an
Al-Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan – qur’anan,
yakni sesuatu yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah merupakan Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. dan sampai kepada kita secara mutawatir serta
membacanya berfungsi sebagai ibadah1.

Sebagian ulama’ ada yang menambahkan sifat lain dari definisi alQur’an. Redaksi
tambahan dari Ali ash-Shabuni yaitu al-mu’jiz bi wasithati alamin Jibril as. Al-maktub fi al-
mushaf, al-mabdu bi surati al-Fatihah wa almakhattam bi surati an-Nas. Namun, menurut
pendapat Yunahar Ilyas pengertian yang disuguhkan oleh ash-Shabuni lebih tepat kepada
pengertian mushaf bukan al-Qur’an. Karena yang dimaksud dengan al-Qur’an bukan saja
yang tertulis di dalam mushaf, melainkan yang dibaca secara lisan berdasarkan kemampuan
hafalan. Apalagi pada era teknologi saat ini, al-Qur’an tidak hanya berwujud mushaf yang
tertulis melainkan juga berbentuk digital, compact disc dan audio (rekaman)2.

Selain sebagai firman Allah kepada Nabi saw. Al-Qur’an juga sebagai mukjizat
daripada Nabi saw. Mukjizat sendiri berarti sesuatu yang melemahkan atau perkara yang
keluar dari kebiasaan (amru khariju lil’adah). Dikatakan sebagai mujkizat karena pada saat
itu masyarakat Arab Jahiliyah pandai dalam membuat sastra Arab (syair), sastra Arab pada
saat itu bearada dalam puncak kejayaan sehingga membuat manusia berbondong-bondong,
berlomba-lomba dalam membuat syair, dan syair yang terbaik akan ditempel di dinding
Ka’bah dan membuat yang bersangkutan merasa sombong.

Setelah datangnya al-Qur’an kepada Nabi saw. Masyarakat Arab terkagum-kagum dan
takjub akan lantunan yang terdapat pada al-Qur’an, mereka mengatakan bahwa al-Qur’an
adalah buatan Nabi saw. Bukan firman dari Allah swt. akan tetapi itu semua tidak benar
karena Nabi adalah seorang yang ummi (tidak dapat membaca dan menulis) dan dibantah
oleh al-Qur’an. Jika memang benar al-Qur’an adalah syair buatan manusia (Muhammad
saw.) maka masyarakat jahiliyah dituntut untuk membuat syair yang seindah seperti al-
qur’an, dan terbukti mereka tidak sanggup.

1
Manna’ Khalil al-Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Qahirah: Maktabah Wahbah,tt), 14.
2
Muhammad ‘Ali ash-Shabuni, al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an (Makkah: Nasyru Ihsan, 2003), h.6.

4
Al-Qur’an yang diturunkan secara mutawatir, dari segi turunnya berkualitas qath’i
(pasti benar). Akan tetapi hukum-hukum yang dikandung al-quran ada kalanya bersifat qath’i
(pasti benar)da nada kalanya bersifat zhanni (relatif benar) Istilah qath’I dan zhanni masing-
masing terdiri atas dua bagian,yaitu yang menyangkut attsubut (kebenaran sumber) dan al-
dalalah (kandungan makna).Tidak terdapat perbedaan pendapat dikalangan umat islam
menyangkut kebenaran sumber al-quran, Semua bersepakat meyakini bahwa redaksi ayat-
ayat al-quran yang terhimpun dalam mushaf dan dibaca kaum muslim diseluruh penjuru
dunia adalah sama tanpa sedikit perbedaan dengan yang diterima nabi Muhammad saw dari
allah memalui malaikat jibril.

Ayat yang bersifat qath’i adalah lafadz-lafadz yang mengandung pengertian tunggal
dan tidak bisa dipahami makna lain darinya.Dalil-dalil qath’I dapat dipahami begitu saja dan
penolakan terhadapnya berarti bentuk kekufuran. Misalnya, masalah akidah, seperti
keyakinan terhadap surge dan neraka, serta yaumul hisab, adalah masalah-masalah agama
yang tidak dapat dibantah lagi kepastiannya sehingga kita tidak punya alas an untuk tidak
meyakininya.

Contoh dari ayat yang qath’i adalah Aqimu al-shalah, artinya “Dirikanlah shalat”, Jika
perhatian hanya ditunjukkan kepada nash al-quran yang berbunyi aqimu Al-shalah, maka
nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk
perintah, sebab banyak ayat al-quran yang menggunakan redaksi perintah, sebab banyak ayat
alquran yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah
wajib.kepastian tersebut datang dari pemahaman terhadap nash-nash lain (yang walaupun
dengan redaksi atau konteks berbeda-beda,disepakati bahwa kesemuanya mengandung
makna yang sama.

Adapun ayat yang mengandung hukum zhanni adalah lafadz-lafazd yang dalam al-
quran mengandung pengertian lebih dari satu dan memungkinkan untuk di ta’wilkan. Ini
merupakan contoh ayat yang zhanni QS.Al baqarah : 228, yang artinya : Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Lafadz quru dalam bahasa arab
adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih). Didalam ayat tersebut bisa berarti bersih
(suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanitawanita yang
ditalak harus menunggu tiga kali quru’.dengan demikian ,akan timbul dua pengertian yaitu
tiga kali bersih atau tiga kali kotor.jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak
dikatakan qath’i.karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa

5
menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang mengatakan tiga kali bersih dan ada
yang mengatakan tiga kali haid.

Merujuk pada pembahasan para ulama’, sebagian dari mereka ada yang membagi
hukum yang terkandung dalam al-Qur’an menjadi tiga,15 sebagaimana pernyataan Wahbah
Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga dikutip oleh Ernawati,
diantaranya3:

a. Hukum Akidah (I’tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan manusia
kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul, serta hari akhir.
b. Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan kepribadian
diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan menghindari sifat-sifat
buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki, sombong.
c. Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan dengan
sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama,
muamalah ma’a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah, seperti shalat,
puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya; Kedua, muamalah ma’a anNaas atau
pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia baik secara pribadi maupun
kelompok. Contohnya, kontrak kerja, hukum pidana, dan lain sebagainya.

Sebagian dari ulama’ sepakat dengan pembagian hukum al-Qur’an tersebut, namun
tidak berdasarkan pembagian yang sudah ada. Melainkan dengan tiga bagian lain, yaitu
Tauhid, Tazkir, dan Hukum.4 Dari seluruh pembagian hukum di atas, menurut Hasbullah
Thalib secara umum kandungan hukum dalam al-Qur’an ada lima bagian, diantaranya5.

a. Al-Ahkam al-I’tiqadiyyah (suatu hukum yang berorientasi pada keimanan dan


keyakinan).
b. Al-Ahkam al-Khuluqiyah (suatu hukum yang berkenaan dengan akhlak)
c. Al-Ahkam al-Kauniyah (suatu hukum yang berkenaan dengan alam semesta).
d. Al-Ahkam al-‘Ibariyah (suatu hukum yang kaitannya dengan peristiwa atau kejadian
pada masa lalu dan dapat diambil pelajarannya (ibrah).

3
Siska Lis Sulistiani, “Perbandingan Sumber Hukum Islam,” Tahkim: Jurnal Peradaban dan Hukum Islam 1, 1
(2018): 105.
4
Jalaluddin al-Suyuthi, al-Itqaan fi Oulum al-Qur’an, jilid 2 (Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), jld.-2, h.
278.
5
Zamakhsyari bin Hasballah Thaib, “Metode al-Qur’an dalam Menampakkan Ayat-Ayat Hukum,” Suloh: Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 7, 1 (2019): 64.

6
e. Al-Ahkam al-Syar’iyyah al-‘Amaliyyah (hukum-hukum yang mengatur perilaku dan
perkataan mukallaf yang ditimbang dengan neraca syari’ah).

2. Hadist
Secara etimologi Hadis berasal dari kata ( ‫ ) – حدث يحدث‬artinya al-jadid “sesuatu yang
baru” atau khabar “kabar”6. Maksudnya jadid adalah lawan dari al-qadim (lama), seakan-
akan dimaksudkan untuk membedakan al-Qur’an yang bersifat qadim7.

Sedangkan khabar maksudnya berita, atau ungkapan, pemberitahuan yang diungkapkan


oleh perawi hadis dan sanadnya bersambung selalu menggunakan kalimat haddatsana
(memberitakan kepada kami)8.

Secara terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli hadis,
namun makna yang dimaksud adalah sama. Al-Ghouri memberi definisi sebagai berikut;

‫ أو صفة‬،‫ أو تقرير‬،‫ أو فعل‬،‫أضيف إيل النيب من قول‬

“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan,
taqrir, atau sifat.”9

Maksud dari qaul (perkataan) adalah ucapan, dan fi’il (perbuatan) ialah perilaku nabi
yang bersifat praktis, dan taqrir (keputusan) sesuatu yang tidak dilakukan nabi tetapi nabi
tidak menginkarinya, dan sifat maksudnya adalah ciri khas dari kepribadian nabi. Selain
pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering disamakan dengan istilah Sunnah, khabar,
dan atsar, sebagaimana berikut;

a) Sunnah

Kata Sunnah berarti jalan yang terpuji. Sunnah ialah segala sesuatu yang ditinggalkan
oleh Rasulullah saw. berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik, atau akhlaq, serta
perilaku kehidupan baik sebelum diangkat menjadi Rasul (seperti mengasingkan diri yang
beliau lakukan di Gua Hira’) atau setelah kerasulan beliau. Adapun menurut “Ulama’ Fiqh”,
Sunnah merupakan segala sesuatu yang datang dari Nabi yang bukan fardlu dan tidak wajib10.

Dari definis diatas keduanya mempunyai nilai yang sama, yakni sama-sama
disandarkan kepada dan bersumber dari Nabi saw. jika dari fungsinya Ulama’ hadis
6
Abdu al-Majid al-Ghouri, Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsah (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 2007), 10.
7
Mustafa al-Azami, Studies in Hadith Methodology and Literature (USA: American Trust Publication, 2012), 1.
8
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2015), 2.
9
Abdu al-Majid al-Ghouri, Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsah, 10.
10
Musthafa ash-Shiba’i, as-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy (Dar al-Waraq, tt), 65.

7
mempertegas bahwa Nabi saw. sebagai teladan kehidupan. Adapun Ulama fiqh berpendapat
bahwa Nabi saw sebagai syar’i yakni sumber hukum Islam.

b) Khabar

Secara bahasa Khabar artinya al-Naba’ (berita). Selain itu khabar juga berarti hadis,
sebagai mana telah dijelaskan di atas. Khabar berbeda dengan hadis, hadis adalah sesuatu
yang datang dari Nabi, sedangkan khabar ialah berita yang datang selain dari Nabi. Maka
dapat disimpulakan bahwa khabar lebih umum dari pada hadis11.

c) Atsar

Secara etimologi atsar berarti “sisa atau suatu peninggalan” (baqiyat al-Syai).
Sebagaimana dikatan di atas bahwa atsar adalah sinonim dari hadis, artinya ia mempunyai
arti dan makna yang sama. Selain itu atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada sahabat
dan tabi’in, yang terdiri dari perkataan atau perbuatan12.

Mayoritas Ulama’ lebih condong atas pengertian khabar dan atsar untuk segala sesuatu
yang disandarkan kepada Nabi saw dan demikian juga kepada Sahabat dan tabi’in13.

Jika ditinjau dari segi makna hadis, maka hadis dapat di bagi menjadi tiga, yaitu Hadis
Qauli, Hadis Fi’li, dan Hadis Taqriri. Adapun macam-macam hadis jika ditinjau dari segi
penyandarannya maka ada dua macam, yakni Hadis Nabawi (yang disandarkan kepada Nabi)
dan Hadis Qudsi (yang disandarkan kepada Tuhan/ Allah).

Kedudukan hadits dalam Islam menempati posisi yang sakral, yakni sebagai sumber
hukum setelah al-Qur’an. Maka, untuk memahami ajaran dan hukum Islam, pengetahuan
terhadap hadis haruslah suatu hal yang pasti. Rasulullah saw. adalah orang yang diberikan
amanah oleh Allah swt untuk menyampaikan syariat yang diturunkannya untuk umat
manusia, dan beliau tidak menyampaikan sesuatu terutama dalam bidang agama, kecuali
bersumber dari wahyu. Oleh karenanya kerasulan beliau dan kemaksumannya menghendaki
wajibnya setiap umat Islam untuk berpegang teguh kepada hadis Nabi SAW.

Pendapat para ulama tentang kedudukan hadis terhadap al-Qur’an:14

11
Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis (Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, tt), 16.
12
Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, 16.
13
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998), 46.
14
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis (Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998), 63-65.

8
a. al-Qur’an dengan sifat yang qath’I al-wurud (keberadaannya yang pasti dan diyakini)
sudah seharusnya kedudukannya lebih tinggi dari pada hadis. Dimana status hadis
(kecuali yang mutawatir) adalah zhanni al-wurud.
b. Hadis berfungsi sebagai penjelas dan penjabar dalam atas al-Qur’an. Maksudnya,
yang dijelaskan adalah al-Qur’an yang kedudukannya lebih tinggi. Maka eksistensi
dan keberadaan hadis sebagai bayyan tergantung kepada eksistensi al-Qur’an.
c. Sikap para sahabat yang selalu merujuk kepada al-Qur’an terlebih dahulu jika
bermaksud mencari jalan keluar atas suatu masalah. Jika di dalam al-Qur’an tidak
ditemukan maka merreka merujuk kepada Sunnah yang mereka ketahui, atau bisa
menanyakan kepada sahabat yang lain.
d. Hadis Muadz secara tegas menyatakan urutan kedudukan antara al-Qur’an dan
Sunnah. “Sesungguhnya ketika Rasulullah hendak mengutus Muadz bin Jabal ke
Yaman, beliau bertanya kepada Muadz, “Bagaiamana engkau memutuskan perkara
jika diajukan kepadamu?” Maka Muadz menjawab, “Aku akan memutuskan
berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an).” Rasul bertanya lagi, “Apabila engkau tidak
menjumpai jawabannya di dalam kitab Allah?” Muadz berkata, “Aku akan
memutuskan dengan Sunnah.” Rasul selanjutnya bertanya lagi, “Bagaiaman jika
engkau tidak menemukan di dalam Sunnah dan tidak di dalam kitab Allah?” Muadz
menjawab, “Aku akan berijtihad dengan mempergunakan akalku.” Rasul saw
menepuk dada Muadz seraya berkata, “Alhamdulillah atas taufik yang telah
dianugerahkan Allah kepada utusan Rasulnya.”

Pada dasarnya Hadis Nabi adalah sejalan dengan al-Qur’an karena keduanya bersumber
dari wakyu. Akan tetapi mayoritas hadis sifatnya adalah operasional, karena fungsi utama
hadis adalah sebagai penjelas atas al-Qur’an. Secara garis besar, fungsi Hadis terhadap al-
Qur’an ada tiga, diantaranya:15

a) Menegakkan kembali keterangan atau Perintah yang terdapat di dalam al-Qur’an.


Dalam hal ini hadis datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan al-
qur’an.
b) Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang datang secara mujmal
(global). Dalam hal ini kaitannya ada tiga hal (1). Menafsirkan serta memperinci ayat-
ayat yang bersifat umum, (2). Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum, (3).
Memberi batasan terhadap ayat bersifat mutlaq.
15
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, 70-77.

9
c) Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an (bayan Tasyri’)

Penerapan sumber hukum para ulama’ sepakat bahwa al-Qur’an yang utama, dan hadis
yang kedua. Kesepakatan ini berdasarkan al-Qur’an sebagai firman Allah, sedangkan hadis
bersumber dari nabi yang merupakan makhluk atau hamba Allah meskipun dikarunia
beberapa kelebihan istimewa lain. Di sisi lain kesepakatan tersebut juga mengacu kepada
perkataan Nabi kepada Muadz bin Jabal sebagaimana berikut;

“Rasulullah SAW bersabda kepada Mu’adz bin Jabal: Bagaimana kamu akan memutuskan
perkara jika dihadapkan pada suatu persoalan hukum? Mu’adz menjawab: saya akan
memutuskannya berdasarkan kitab Allah (al-Qur’an). Rasulullah bersabda: jika kamu tidak
menjumpainya dalam al-Qur’an?. Mu’adz menjawab: maka berdasarkan pada sunnah
Rasul. Rasulullah bersabda: jika tidak menjumpainya juga dalam sunnah Rasul? Muadz
menjawab: saya akan berijtihad berdasarkan akal pikiran saya.” (HR Imam Abu Dawud)

Melihat percakapan di atas antara Nabi kepada Muadz, maka dapat dipahami bahwa
utamanya adalah al-Qur’an baru kemudian hadis. Percakapan tersebut juga diperlukan bagi
mujtahid apabila merujuk sebuah hukum haruslah berpedoman pada al-Qur’an sebelum
mengambil pedoman dari Sunnah nabi, jika tidak ditemukan maka diperbolehkan mengambil
dari Sunnah-sunnah Nabi.16

3. Ijma
Salah satu sumber penetapan dalam hukum islamsetelah Al-Qur’an dan as Sunnah
adalah ijma, yang memiliki tingkatkat argumentatif dan menempati tempat ketiga dalam
sumber hukum islam.

Kata ijma itu sendiri secara sistematis baru pada masa-masa mazhab awal. Seperti yang
disepakati oleh jumhur ulama sunni,bahwa ijma adalah kesepakatan para mujtahidin umatt
islam di suatu masa sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.

Menurut Al Amidi ijma seperti yang dikutip oleh Amir Syarifuddin:

“Kesepakatan sejumlah ahlul halil wal aqdi (para ahli yang berkompoten mengurusih
umat ) dari masa umat muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.”

Sedangkan menurut jumhur ulama ushul fiqh yang lain seperti abu zahra dan wahab
khallaf merumuskan ijma dengan kesepakatan atau konsensus para mujtahid dari umat

16
Abu Yasid, “Hubungan Simbiotik al-Qur’an dan Hadis dalam Membentuk Diktum-Diktum Hukum,” Jurnal
Tsaqafah 7, 1 (2011): 141.

10
muhammad pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah saw terhadap suatu hukum syara’
mnegenai suatu kasus atau peristiwa.

Di rumusan tersebut jelaslah bahwa ijma adalah kesepakatan dan yang sepakat adalah
semua mujtahid musli yang berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafanya nabi17.

Ijma yang sampai saat ini masi dipakai dilihat dari segi cara terjadinya kesepakatan
terhadap hukum syara’ itu maka ijma dapat di bagi menjadi dua bentuk yaitu ijma sharih dan
ijma sukuti.

Ijma sharih atau lafzhi adalah kesepaktan para mujtahid baik melalui pendapat maupun
perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. Ijma sharih ini juga lsangat langka terjadi,
bahkan jangankan yang di lakukan dalam suatu majelis pertemuan tidak dalam forum pun
sulit dilakukan.

Bentuk ijma yang kedua dalah ijma sukuti yaitu kesepaktan ulama melalui cara seorang
mujtahid atau lebih mengemukakan pendapatanya tentang hukum satu masalah dalam masa
tertentu kemdian pendapat itu tersebar luas serta di ketahui orang banyak dan tidak ada
seorangpun di antara mujtahid lain yang menggungkapkan perbedaan pendapat atau
menyangah pendapat itu setelah meneliti pendapat tersebut. Ijma sukuti ini pengaruhnya
terhadap hukum yang bersifat zhanni (tidak qat’i).

Dalil yang menjadi dasar ijma adalah ayat-ayat Al-Qur;an dan hadist nabi antara lain :
Q.s An- Nisa 115.

‫لِ ِه َجهَنَّ َم‬u‫ص‬ْ ُ‫ق ال َّرسُو َل ِم ْن بَ ْع ِد َما تَبَيَّنَ لَهُ ْالهُد َٰى َويَتَّبِ ْع َغي َْر َسبِي ِل ْال ُمْؤ ِمنِينَ نُ َولِّ ِه َما ت ََولَّ ٰى َون‬
uِ ِ‫َو َم ْن يُ َشاق‬
‫صيرًا‬
ِ ‫ت َم‬ ْ ‫ۖ َو َسا َء‬

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan
mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan
Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”

Definis yang di berikan oleh Abu Hanifah tentang ijma seperti yang di definisikan oleh
jumhur ulama sunny lainya yaitu kesepakatan para mujtahid ulama islam di suatu masa
sesudah masa Nabi saw terhadap suatu urusan.

17
Hasbi Ash Shiddieqy, pokok-pokok pengangan Imam Mazhab, Edisi II (Cet.ke -1 Semarang: Pustaka Firdaus,
1997), h.161

11
Sedangkan definis yang di pakai oleh Imam Malik yaitu bahwa ijma merupakan
persetujuan pendapat ahl-al halli w al aqdi dari umat in karena menurunya suatu urusan yang
telah di ijma’i maka ia telah di ijma;i oelh para ahli figih dan ahli ilmu dan mereka tidak
berselisih di dalamnya.

Sedangkan Imam Ahmad sendiri berpendapat bahwa ijma tidakmmungkin terjadi dan
sangat sulit untuk mengetahuinya karena ijma tidak mungkin terjadi selain pada masa
sahabat.

Menurut penegasan ulama Hanafiyyah bahwa Abu Hanifah ijma adalah salah satu
hujjah agama dan mereka tidak membedakan antar macam-macam ijma itu (ijma qauli dan
ijma sukuti), adapun Imam hanafiyyah menetapkan ijma hanya mealului logika (dalil akal).

Sementara menurut Imam Malik ijma penduduk madina yang dapat di jadikan hujjah
yaitu ijma mereka terhadap masalah-masalah yang telah di tetapkan oleh Rasulullah SAW.

Imam syaf’i menyimpulkan bahwa tidak dapat seorang mendakwakan ijma terkecuali
pada sekumpulan fardu yang telah di tetapkan agama.

4. Qiyas
Qiyas merupakan suatu cara penggunaan ra‟yu untuk menggali hukum syara‟ dalam
hal-hal yang nash al-Qur‟an dan sunnah tidak menetapkan hukumnya secara jelas. Pada
dasarnya ada dua macam cara penggunaan ra‟yu, yaitu penggunaan ra‟yu yang masih
merujuk kepada nash dan penggunaan ra‟yu secara bebas tanpa mengaitkannya kepada nash.
Bentuk pertama secara sederhana disebut qiyas, meskipun qiyas tidak menggunakan nash
secara langsung, tetapi karena merujuk kepada nash, maka dapat dikatakan bahwa qiyas juga
menggunakan nash walaupun tidak secara langsung18.
Sedang mengenai definisinya menurut ulama ushul fiqh, qiyas berarti menghubungkan
suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya,dalam hukum
yang telah ditetapkan oleh nash karena adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat
hukumnya (Abdul Wahab Khallaf, 2002: 74). Para ulama Hanabilah berpendapat bahwa illat
merupakan suatu sifat yang berfungsi sebagai pengenal suatu hukum. Sifat pengenal dalam
rumusan definisi tersebut menurut mereka sebagai suatu tanda atau indikasi keberadaan suatu
hukum. Misalnya, khamer itu diharamkan karena ada sifat memabukkan yang terdapat dalam
khamer19.

18
Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana, Hal. 170
19
Nasrun Haroen, Op. Cit., hal. 76-77

12
Mayoritas ulama Syafi‟iyyah mendefinisikan qiyas dengan “Membawa (hukum) yang
(belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi
keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat20.
Untuk dapat mengerti maksud definisi diatas maka dibawah ini penulis paparkan
beberapa contoh qiyas sebagai berikut:
Jual beli diwaktu adzan haram hukumnya berdasar firman Allah:
‫صاَل ِة ِم ْن يَوْ ِم ْال ُج ُم َع ِة فَا ْس َعوْ ا ِإلَ ٰى ِذ ْك ِر هَّللا ِ َو َذرُوا ْالبَ ْي َع ۚ ٰ َذلِ ُك ْم خَ ْي ٌر لَ ُك ْم ِإ ْن ُك ْنتُ ْم‬ َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا نُو ِد‬
َّ ‫ي لِل‬
َ‫تَ ْعلَ ُمون‬
Artinya: Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka
bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.(QS. Al-Jumu‟ah: 9)
Dilarang berjual beli pada waktu itu karena mengganggu sholat, maka sebab yang
seperti itu termasuk pada semua macam perjanjian atau kegiatan lain yang mengganggu
sholat karena disamakan dengan jual beli.
Dengan contoh-contoh tersebut, maka jelaslah bagaimana definisi qiyas sebagai sumber
hukum Islam yang disepakati para ulama karena penetapan hukum tersebut tidak
menyimpang dari nash al-Qur‟an.
Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil
syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid
menetapkan hukum syara‟ di luar yang ditetapkan oleh nash. Oleh karena itu terdapat
perbedaan pendapat tentang kedudukan qiyas sebagai dalil hukum syara‟.21
Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas, dikalangan ahli fiqih terbagi
menjadi tiga kelompok seperti berikut:
Pertama, Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-
hal yang tidak jelas nashnya dalam Qur‟an, hadits, pendapat sahabat dan ijma‟ ulama.
Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak berlebihan. Kedua, kelompok Zhahiriyah dan
Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak qiyas secara penuh dan tidak mengakui illat nash,
juga tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk mengungkap alasan-alasan
guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Ketiga, kelompok yang
memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha menggabungkan dua hal yang tidak terlihat

20
www.nurulwatoni.tripod.com, Op. Cit., hal. 4
21
Amir Syarifuddin, Op Cit. hal. 177

13
kesamaan illat diantara keduanya, bahkan menerapkan qiyas sebagai pembatas keumuman al
Qur‟an dan hadits22.
Dari pengertian qiyas yang telah disebut diatas dapat dijelaskan bahwa unsur pokok
atau rukun qiyas terdiri atas empat unsur berikut:
a. Ashl, menurut ahli ushul fiqh, merupakan obyek yang telah ditetapkan hukumnya
oleh ayat al-Qur‟an, hadits Rasulullah atau Ijma‟. Contohnya, pengharaman wisky
dengan meng-qiyas-kannya kepada khamar. Maka yang Ashl adalah khamar yang
telah ditetapkan hukumnya melalui nash.23
b. Far‟u (cabang), adalah sesuatu yang tidak ada nashnya menurut Muhammad Abu
Zahrah seperti wisky dalam kasus diatas.24
c. Hukum Ashl, hukum syara‟ yang ditetapkan oleh suatu nash atau ijma‟ yang akan
diberlakukan kepada far‟u, seperti keharaman meminum khamar menurut Nasrun
Haroen.
d. Illat, suatu sifat yang menjadi motif dalam menentukan hukum, dalam kasus khamar
di atas illatnya adalah memabukkan25.
Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada ketentuannya
dalam al-Qur‟an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum
yang tetap berlaku.
b. Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama artinya sudah ada
menurut ketegasan al-Qur‟an dan hadits.
c. Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, artinya hukum asal
itu dapat diberlakukan pada qiyas.
d. Tidak boleh hukum furu‟ (cabang) terdahulu dari hukum asal, karena untuk
menetapkan hukum berdasarkan kepada illatnya (sebab).
e. Hendaklah sama illat yang ada pada furu‟ dengan illat yang ada pada asal.
f. Hukum yang ada pada furu‟ hendaklah sama dengan hukum yang pada asal. Artinya
tidak boleh hukum furu‟ menyalahi hukum asal.
g. Tiap-tiap ada illat ada hukum dan tidak ada illat tidak ada hukum, artinya illat itu
selalu ada.
22
Muhammad Abu Zahrah, 2000. Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma‟shum dkk, Jakarta : PT Pustaka
Firdaus. Hal. 339-340
23
Rachmat Syafe‟i, 1999. Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung : CV. Pustaka Setia :
hal. 87
24
Muhammad Abu Zahrah, Op Cit. hal. 352
25
Nasrun Haroen, Op Cit. Hal. 65

14
h. Tidak boleh illat itu bertentangan menurut ketentuan-ketentuan agama, artinya tidak
boleh menyalahi kitab dan sunnah.26
Qiyas dapat dibagi menjadi beberapa segi dalam hal ini dapat dibagi tiga yaitu sebagai
berikut:
1. Qiyas Awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu‟.
2. Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ sama keadaannya dengan
berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama.
3. Qiyas Adwan, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih lemah dibandingkan
dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi
persyaratan27.

B. Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati


1. ‘Urf
Secara bahasa, kata „urf berasal dari akar kata ‫ يعشف‬- ‫ عشف‬yang berarti mengetahui,28
kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang diketahui, dikenal, dianggap baik, dan diterima
oleh akal sehat.29 Juga berarti apa yang diketahui dan dikenal atau kebiasaan.30 Sedangkan
menurut istilah ahli ushul, Abdul Wahhab Khalaf menjelaskan bahwa:
ٔ ‫ ٔيس ّن انعادة‬,‫انعشف يا حعاسف ان اُس ٔساس ٔا عهي ي ق ٕل ا فعم أ حشك‬
‫ ال فشق بي‬:ٍ u‫ف نسا انششعيي‬
‫ انعشف ٔانعادة‬31
“Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan oleh
mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan. Hal ini juga
dinamakan adat. Dan menurut para ahli hukum Islam tidak ada perbedaan antara al-„urf
dengan al-„adah”.

Berdasarkan kedua pengertian di atas, dapat dipahami bahwa „urf itu mengandung tiga
unsur, yaitu: pertama, adanya perbuatan atau perbuatan yang berlaku berdasarkan
kemantapan jiwa; kedua, sejalan dengan pertimbangan akal sehat; dan ketiga, dapat diterima
oleh watak pembawaan manusia.

26
Nazar Bakry, 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Hal. 48
27
Amir Syarifuddin, Op Cit. Hal. 2
28
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-Buku
Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, t.t.), h. 987.
29
A. Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 77.
30
Noel J. Coulson, The History of Islamic Law, alih bahasa Hamid Ahmad, Hukum Islam dalam Lintasan
Sejarah, (Jakarta: P3M, 1987), h. 270.
31
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. I, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), h. 89.

15
Para ulama‟ sepakat bahwa „urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak
bertentangan dengan Syara‟. Ulama‟ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa
amal ulama‟ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama‟ Hanafiyah menyatakan
bahwa pendapat ulama‟ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi‟i terkenal dengan
qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang
berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau
berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah
dengan „urf. Tentu saja „urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Adapun kehujjahan „urf sebagai dalil syara‟ didasarkan atas argumen-argumen berikut
ini:

a. Firman Allah pada surah al-A‟raf ayat 199

u‫ َن‬u‫ ي‬uِ‫ ل‬u‫ ِه‬u‫ ا‬u‫ َج‬u‫ ْل‬u‫ ا‬u‫ ِن‬u‫ َع‬u‫ض‬ uِ u‫ر‬uْ u‫ ُع‬u‫ ْل‬u‫ ا‬uِ‫ ب‬u‫ر‬uْ u‫ ْأ ُم‬u‫و‬uَ u‫و‬uَ u‫ ْف‬u‫ َع‬u‫ ْل‬u‫ ا‬u‫ ِذ‬u‫ُخ‬
uْ u‫ ِر‬u‫ َأ ْع‬u‫و‬uَ u‫ف‬

Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang bodoh”.

Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang
ma‟ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma‟ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

b. Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas‟ud:

Artinya: Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan sesuatu
yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.

Ungkapan Abdullah bin Mas‟ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya,
menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim
yang sejalan dengan tuntunan umum syari‟at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik
di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai
baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-
hari.

Secara umum, para ulama ushul fiqh membagi ragam „urf dari tiga perspektif,10 yakni:

a. Dari sisi bentuknya/sifatnya, „urf terbagi menjadi dua :

16
ٗ u‫ف انهف‬uu‫ ) انعش‬yakni kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan
1) „Urf lafzhi (‫ظ‬u
lafal/ungkapan tertentu, sehingga ada makna khusus yang terlintas dalam pikiran
mereka, meskipun sebenarnya dalam kaidah bahasa ungkapan itu bisa mempunyai
arti lain. Beberapa contoh klasik yang akan kita temui dalam banyak literatur Ushul
Fikih untuk „urf dalam bentuk ini adalah kata walad, yang arti sebenarnya bisa
berupa putra atau putri seperti dalam firman Allah SWT:

‫م ۖ لِل َّذ َك ِر ِم ْث ُل َحظِّ اُأْل ْنثَيَ ْي ِن‬uْ ‫م هَّللا ُ فِي َأوْ اَل ِد ُك‬uُ ‫صي ُك‬
ِ ‫ۚ يُو‬

Akan tetapi kebiasaan orang-orang Arab memahami kata walad dengan arti anak laki-
laki. Selain itu kata dâbbah yang sebenarnya berarti binatang melata, oleh penduduk Iraq
difahami sebagai keledai. Contoh yang berkenaan dengan hukum adalah kata thalâq dalam
bahasa Arab, yang sebenarnya berarti lepas atau melepaskan, tapi kemudian difahami dengan
konotasi putusnya ikatan perkawinan. Maka seseorang suami yang mengatakan kepada
istrinya: “thalaqtuki”, maka terjadi talak dalam pernikahan mereka.

2) Urf „amali (ً‫ع ٗه‬uu‫ف ان‬uu‫ ) انعش‬adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan atau mua‟malah. Seperti jual-beli tanpa ijab dan qabul, yang itu sudah
menjadi kebiasaan masyarakat. Atau garansi dalam membeli sesuatu, seperti garansi
jam bahwa jam itu bagus untuk waktu tertentu. Atau jual beli dengan antaran
barang tanpa tambahan biaya. Atau memberikan mahar dalam pernikahan di
kalangan masyarakat Arab sebelum datangnya Islam. Dan lain sebagainya.
b. Dari segi cakupannya, ataupun keberlakuannya di kalangan masyarakat maka „urf ini
dibagi menjadi dua bagian juga, yakni „urf yang umum dan yang khusus:
1) Urf yang umum ( ‫ ) انعشف انعاو‬adalah adalah tradisi atau kebiasaan yang berlaku
secara luas di dalam masyarakat dan di seluruh daerah. Akan tetapi kami tidak
mendapatkan batasan yang jelas tentang batasan dan cakupan „urf yang umum ini.
Apakah hanya dengan berlakunya sebuah kebiasaan di kalangan mayoritas
masyarakat „urf itu bisa disebut dengan „urf „âmm atau tidak. Ataukah „urf yang
hanya berlaku di suatu tempat saja seperti Minangkabau saja bisa dikatakan „urf
yang umum atau tidak.
1) Urf yang khusus (‫ ) انعشف انخاص‬adalah kebiasaan yang berlaku pada masyarakat
tertentu dan di daerah tertentu atau di kalangan tertentu. Meskipun para ulama
Ushul Fikih tidak mensyaratkan zaman tertentu dalam mengkategorikan „urf yang
khusus ini, tapi dari beberapa contoh yang sering mereka ajukan terlihat bahwa

17
waktu juga termasuk kondisi yang bisa membedakan sesuatu apakah ia termasuk
dari „urf yang umum atau yang khusus.
a. Sedangkan ditinjau dari keabsahannya menurut syari‟at, „urf dibagi menjadi dua
macam, yaitu: „urf yang baik (‫ف انظحيح‬uu‫ ) انعش‬dan „urf yang jelek ( ‫ف انفاسذ‬uu‫) انعش‬,
konsepnya adalah apakah ia sesuai dan sejalan dengan syari‟ah atau tidak. Pembagian
„urf dalam bentuk inilah yang menjadi pusat kajian para ulama Ushul dalam kajian
„urf. Maka tidak mengherankan bila beberapa kajian sekilas tentang „urf hanya akan
mengemukakan pembagian „urf dari segi kesesuaiannya dari syari‟ah ataukah tidak.

Untuk itu, para ahli metodologi hukum Islam (ahli ushul) mensyaratkan beberapa syarat
sebagai berikut:32

a. 'Urf itu (baik yang bersifat umum atau khusus atapun yang bersifat perbuatan atau
ucapan) berlaku secara umum, artinya 'Urf itu berlaku dalam mayoritas kasus yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat dan keberlakuannya dianut oleh mayoritas
masyarakat.
b. 'Urf itu telah memasyarakat ketika persoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu
muncul. Artinya. 'Urf yang akan dijadikan sandaran hukum itu lebih dahulu ada
sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
c. 'Urf itu tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu
transaksi. Artinya, dalam suatu transaksi apabila kedua belah pihak telah menentukan
secara jelas hal-hal yang harus dilakukan, maka „Urf itu tidak berlaku lagi.33
d. Urf itu tidak bertentangan dengan nash-nash qath‟i dalam syara‟.34 Jadi „urf dapat
dijadikan sebagai sumber penetapan hukum bila tidak ada nash qath‟i yang secara
khusus melarang melakukan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam
masyarakat. Contohnya, kebiasaan masyarakat dalam menyelenggarakan pesta atau
hajatan yang disertai mabuk-mabukan untuk lebih memeriahkan suasana.

Dengan persyaratan tersebut di atas para ulama memperbolehkan penggunaan al-‟Urf


sebagai sumber Hukum Islam. Tentunya persyaratan tersebut muncul bukan tanpa alsan,
tetapi persoalan teologis, dan sosio-historis-antropologis, menjadi pertimbangan utama.

32
Musthafa Ahmad al-Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqh al-„Am, (Beirut: Dar al-Fikr, 1967-1968), h. 873.; Musthafa
Ahmad al-Zarqa, Al-Fiqh al-Islam fi Tsaubih al-Jadid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), h. 874.;
33
Izzudin ibn „Abd Salam, Qawa‟id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.t.),
Jilid II, h. 178.
34
Al-Zarqa‟, Musthafa Ahmad., Al-Fiqh al-Islam fi Saubih al-Jadid, (Beirut: Dar al-Fikr, 1968), Jus II, h. 880.

18
2. Istihsan
Di dalam bahasa Arab Istihsan diartikan dengan pengertian: “Menganggap sesuatu itu
baik” atau “Mengikuti sesuatu yang baik” atau “Menganggap baik/bagus”.35

Menurut Abdul Wahab Khalaf bahwa Istihsan dalam pengertian Bahasa ialah:
Menganggap baik sesuatu. Sedangkan menurut istilah Ulama Ushul ialah: Berpindahnya
seorang mujtahid dari tuntutan Qiyas Jalli (Qiyas Nyata) kepada Qiyas Khafi (Qiyas Samar),
atau dari Hukum Kully (Umum) kepada hukum pengecualian, karena ada dalil yang
menyebabkan dia mencela akalnya dan dimenangkan baginya perpindahan ini. Jadi apabila
terjadi sesuatu kejadian dan tidak terdapat dalam Nash mengenai hukumnya, maka untuk
membicarakan hal itu terdapat dua segi yang saling bertentangan yaitu: Pertama, “Segi nyata
yang menghendaki suatu hukum” dan kedua, “Segi tersembunyi yang menghendaki hukum
lain”.

Para ulama yang menerima Istihsan sebagai dalil hukum, mereka mengembalikan dasar
Istihsan kepada al-Qur‟an dan as-Sunnah.

Adapun dalil yang berasal dari al-Qur‟an antara lain yaitu:

  3‫ َر‬3‫ ْس‬3‫ ُع‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ُم‬3‫ ُك‬3ِ‫ ب‬3‫ ُد‬3‫ ي‬3‫ ِر‬3ُ‫ي‬ ْ 3ُ‫ ي‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ُم‬3‫ ُك‬3ِ‫ ب‬3ُ ‫ هَّللا‬3‫ ُد‬3‫ ي‬3‫ ِر‬3ُ‫ي‬
‫ اَل‬3‫و‬3َ 3‫ َر‬3‫س‬

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”


(QS. al-Baqarah: 185).

Ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum, maka Istihsan dapat dibagi menjadi
berbagai macam Istihsan, di antaranya menurut Ulama Hanafiyah yaitu:

1. Berpindahnya suatu hukum dari Qiyas Zhahir kepada suatu Qiyas Khafi. Contoh:
Berdasarkan Qiyas Zhahir yaitu hak pengairan tanah pertanian dan hak lalu lintas di
dalam harta wakaf tanah pertanian tidak termasuk harta wakaf apabila tidak disebut
dengan tegas pada waktu mewakafkannya, sebab wakaf di-qiyas-kan kepada hal jual
beli yaitu sama-sama berakibat hilangnya (mengeluarkan) hak milik dari seorang
pemiliknya.
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh Nash yang umum kepada yang
khusus. Contoh: Kasus pencurian pada musim/masa kelaparan, berdasarkan Nash
yang umum telah tersebutkan dalam surat al-Maidah: 38 yang artinya: ”Pencuri laki-
35
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progessif, 1997),
265.

19
laki dan pencuri perempuan hendaklah dipotong tangannya”. Melihat ayat tersebut di
atas bahwa setiap pencuri, baik laki-laki maupun perempuan harus dipotong
tangannya, akan tetapi Umar Bin Khathab tidak melakukan hal tersebut yaitu
memotong tangan terhadap pencuri pada masa kelaparan.
3. Berpindahnya suatu hukum yang Kulli kepada hukum yang merupakan kekecualian.
Contoh: Orang yang dititipi barang harus bertanggung jawab atas barang yang
dititipkan kepadanya, apabila yang menitipkan meninggal dunia, maka orang yang
dititipi barang tersebut harus mengganti barang tadi jika melalaikan dalam
pemeliharaannya. Dalam kasus ini, berdasarkan Istihsan, maka seorang ayah tidak
diwajibkan menggantinya, karena ia dapat menggunakan harta anaknya untuk
mengongkosi hidupnya.

Ada tiga pendapat Ulama tentang nilai Istihsan sebagai hujjah yaitu:

1. Pendapat dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah yang mengatakan bahwa
Istihsan adalah dalil syara‟ dengan alasan yaitu:
a. Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-
hukum yang ternyata bahwa penggunaan Qiyas adalah menerapkan yang umum
atau dalil yang Kulli yang kadang-kadang di dalam beberapa kasus menyebabkan
hilangnya kemashlahatan manusia, karena kasus-kasus ini mempunyai
kekhususan-kekhususan tersendiri.
b. Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-nash Syara‟ yang
menunjukan bahwa Allah Yang Maha Bijaksana berpindah dari sebagian kasus-
kasus yang bisa digunakan Qiyas atau umumnya Nash kepada hukum lain yang
memberikan kemashlatan dan menolak kemafsadatan, misalnya Allah
mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih selain atas
nama Allah.
2. Ulama-ulama yang menolak Istihsan sebagai dalil syara‟.
a. Syari‟at itu berupa Nash atau mengembalikan kepada Nash dengan Qiyas, maka
di manakah letaknya Istihsan dan dalam hal ini bertentangan dengan firman Allah
SWT yang terdapat di dalam al-Qur‟an surat al-Qiyamah: 36 yang artinya:
“Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa
pertanggungan jawab)?”.36

36
Ibid., 1000.

20
b. Istihsan tidak ada dlabit-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk
mengqiyaskannya, sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu
kasus, maka dia akan menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik
sesuai dengan seleranya.
c. Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan dengan
Nash atau tidak dikembalikan kepada Nash, maka Istihsan boleh dilakukan oleh
siapa saja meskipun tidak mengetahui al-Qur‟an.
3. Pendapat yang menyatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara‟, bukan juga dengan
dalil yang Mustaqil, akan tetapi kembali kepada dalil syara‟ yang lain, sebab setelah
diteliti tujuan pokok Istihsan itu tetap kembali kepada mashlahat. Alasannya (baik
Madzhab Syafi‟i maupun Madzhab Hanafi), apabila Istihsan diartikan sebagai apa-
apa yang dianggap baik oleh manusia saja sesuai dengan keinginan hawa nafsunya
tanpa adanya dalil, sehingga yang demkian itu adalah bathil dan tidak bisa
diterima.37

3. Maslahah mursalah
Menelusuri makna maslahah mursalah harus diawali dari pelacakan makna secara
etimologis (lugatan) atas kata tersebut. Maslahah ah mursalah terdiri dari dua kata, yaitu
kata maslahah dan mursalah. Secara etimologis, kata maslahah merupakan bentuk Masdar
(adverb) yang berasal dari fi‘l (verb), yaitu saluha. Dilihat dari bentuk-nya, di samping kata
maslahah merupa-kan bentuk adverb, ia juga merupakan bentuk ism (kata benda) tunggal
(mufrad, singular) dari kata masâlih (jama‘, plural).38 Kata maslahah ini telah diserap ke
dalam bahasa Indonesia menjadi maslahat, begitu juga kata manfaat dan faedah.
Secara etimologis, kata maslahah memiliki arti: manfa‘ah, faedah, bagus, baik
(kebaikan), guna (kegunaan).39 Menurut Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, dalam bukunya al-Maqâsid
al-‘Âmmah li asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah menyatakan bahwa maslahah itu memiliki dua arti,
yaitu arti majâzî dan haqîqî. Yang dimaksud dengan makna majâzî di sini, kata al-‘Âlim,
adalah suatu perbuatan (al-fi‘l) yang di dalamnya ada kebaikan (saluha) yang memiliki arti
manfaat. Contoh dari makna majâzî ini, misalnya mencari ilmu. Dengan ilmu akan
mengakibatkan kemanfaatan. Contoh lainnya, misalnya, bercocok tanam dan perdagangan,
dengan melakukan ini semua, akan diperoleh manfaat, yaitu diperoleh kepemilikan harta.
Makna maslahah seperti ini merupakan lawan dari mafsadah karena itu, keduanya tidak

37
Acep Djazuli & I. Nurol Aen, Ushul Fiqh………., 138-142.
38
Ibn al-Manzûr, Lisân al-‘Arab al-Muhît (Beirut: Dâr al-Fikr, 1972), Juz II, hlm. 348;
39
Al-Bûtî, Dawâbit al-Maslahah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 2001), hlm. 27.

21
mungkin dapat bertemu dalam suatu perbuatan. Makna maslahah secara majâzî ini secara
jelas dapat ditemukan dalam kitab-kitab ma‘âjim al-lugah, sepeti kamus al-Muhît dan al-
Misbâh al-Munîr.40
Dalam kajian usul fikih, makna maslahah secara istilah bisa dilihat dari berbagai segi41
1. dilihat dari segi kepentingan atau kebutuhan maslahah dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu:
a. maslahah darûriyyah adalah kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan
pokok manusia di dunia dan di akhirat yang harus menjadi perioritas utama.
b. Maslahah hâjiyah adalah kemaslahatan yang dibutuhkan untuk menyempurnakan
kebutuhan pokok.
c. Maslahah tahsîniyyah adalah kemaslahatan yang sifatnya pelengkap.
2. dilihat dari segi kandungan maslahah. Dilihat dari segi ini, maslahah dibagi menjadi
maslahah ‘ammah, maslahah khassah.
a. maslahah ‘ammah adalah kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan
orang banyak atau kebanyakan (mayoritas) orang.
b. maslahah khassah adalah kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.
3. dilihat dari segi berubah dan tidaknya, maslahah dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:
a. maslahah oeâbitah adalah kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai
akhir zaman. Untuk kemaslahatan ini dapat diberikan contoh, misalnya,
kewajiban salat, puasa, zakat dan haji.
b. maslahah mutagayyarah adalah kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu dan subjek hukum. Kemaslahatan ini berkaitan dengan
bidang muamalah dan adat istiadat.
4. dilihat dari segi keberadaannya dihubungkan dengan didukung dan tidaknya
maslahah dibagi menjadi tiga, yaitu:
a. maslahah mu‘tabarah adalah kemaslahatan yang didukung oleh dalil secara
eksplisit, baik al-Quran, al-Sunnah al-Maqbûlah maupun ijma‘. Artinya, sumber
kemaslahatan seperti ini, baik bentuk maupun jenisnya disebutkan secara jelas di
dalam sumber utama ajaran Islam tersebut. Contoh untuk maslahah mu‘tabarah
ini adalah larangan minuman keras merupakan bentuk kemaslahatan untuk
memelihara akal.

40
Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, al-Maqâsid al-‘Âmmah li asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah (Herndon Virgina: The
Internasional Institute of Islamic Thought, 1991), hlm. 132.
41
Ibid., 149. Bandingkan dengan Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Jakarta: Logos, 1996), hlm.115-118.

22
b. maslahah mulgah adalah kemaslahatan yang keberadaannya ditolak oleh syara‘
disebabkan bertentangan dengan ajaran Islam. Contoh untuk kemaslahatan ini
adalah hukuman berpuasa dua bulan berturut-turut bagi orang yang melakukan
hubungan seksual antara suami istri pada bulan Ramadan di siang hari.
c. Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang keberdaannya tidak disebutkan
atau didukung oleh dalil tetapi juga keberadaannya tidak ditolak oleh dalil.

Adapun kata mursalah, secara etimologis adalah bentuk ism maf‘ûl yang berasal dari
kata kerja (fi‘l, verb) arsala dengan mengikuti wazan af‘ala. Kata arsala-yursilu irsâl, secara
Bahasa memiliki makna asy-syâ‘iah, almutlaqah, sesuatu yang terlepas.42 Yang dimaksud
dengan mursalah dalam konteks ini adalah terlepas dari dalil. Yang dimaksud dengan dalil di
sini adalah dalil khusus.43 Bila digabungkan dengan kata maslahah, maka disimpulkan bahwa
maslahah mursalah itu maksudnya adalah adanya maslahah dalam suatu perbuatan atau benda
yang adanya tidak didasarkan pada dalil atau nas tertentu dalam penentuan maslahahnya bagi
manusia, baik yang membenarkan atau yang membatalkannya.
Istilah maslahah mursalah yang awalnya digagas oleh Mâlik ini, di kalangan mazhab
Syâfi‘î atau mazhab lainnya, pembahasannya biasanya bergandengan dengan sistematisasi
pembagian maslahah menjadi tiga, pertama, maslahah mu`tabarah, yaitu maslahah yang
keberadaanya didasarkan kepada dalil nas, baik al-Quran maupun as-Sunnah al-Maqbûlah.
Artinya, semua hukum yang disebutkan oleh nas disebut dengan maslahah mu`tabarah.
Contoh maslahah mu‘tabarah ini, misalnya, larangan membunuh,m mencuri, berzina, berjudi
dan sebagainya. Kalau ada hukum baru, maka hukum baru ini dapat diputuskan dengan jalah
menganalogikan dengan maslahah yangn ada ketentuannya di dalam al-Quran dan as-Sunnah
al-Maqbûlah. Metode memutuskan masalah baru seperti ini, dalam kajian usul fikih disebut
dengan, qiyâs. Kedua, maslahah mulgah, yaitu menentukan maslahah yang bertentangan
dengan nas. Maslahah seperti ini ditolak oleh ulama usul fikih untuk dipegangi atau dijadikan
sebagai dasar dalam memutuskan hukum baru. Ketiga, maslahah mursalah, yaitu maslahah
yang tidak disebutkan di dalam nas tetapi nas tidak membenarkan atau menolaknya.44
4. Syar’u man qablana
Syar`u secara etimologi berarti mengalir. Syariat adalah bentuk isim fa`ilnya secara
bahasa adalah tempat yang didatangi orang yang ingin minum yang dilintasi manusia untuk

42
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: tp, tt), hlm. 532.
43
At-Tayyib as-Sanûsî Ahmad, al-Istiqrâ’ wa Aoearuh fî al-Qawâ‘id al-Usûliyyah wa al-Fiqhiyyah: Dirâsah
Nazariyyah Tatbîqiyyah (al-Mamlakah al-`Arabiyyah as-Sa‘ûdiyyah: Dâr at-Tadmûriyyah,(2008), hlm. 532-
533.
44
Al-Ghazali, al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), hlm. 251.

23
menghilangkan rasa haus mereka. Syariat juga diartikan sebagai jalan yang lurus atau
thariqatun mustaqimatun sebagaimana diisyarakan dalam Alquran Surat Al-Jatsiyah: 18.45
Dalam kaitannya dengan syariat Islam, maka dapat dikatakan bahwa syariat adalah
hukum yang dibawa oleh Nabi Muhammad . yang didalamnya terdapat berbagai aturan yang
diperuntukkan bagi manusia. Beni menukil tulisan Al-Maududi bahwa syariat merupakan
ketetapan Allah dan RasulNya yang berisi ketentuanketentuan hukum dasar yang bersifat
global, kekal, dan universal yang diberlakukan bagi semua hambaNya berkaitan dengan
masalah akidah, ibadah, dan muamalah.
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai
asas yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Diantara asas yang sama itu
adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang akhirat, tentang janji, dan
ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan ada juga yang berbeda sesuai
dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.46
Dengan demikian, Syar`u Man Qablana adalah hukum-hukum Allah yang dibawa oleh
para Nabi/Rasul sebelum Nabi Muhammad Saw. dan berlaku untuk umat mereka pada zaman
itu. QS. Al-Syuura: 13

  3‫ َم‬3‫ ي‬3‫ ِه‬3‫ ا‬3‫ َر‬3‫ ِإ ْب‬3‫ ِه‬3ِ‫ ب‬3‫ ا‬3َ‫ ن‬3‫ ْي‬3َّ‫ ص‬3‫ َو‬3‫ ا‬3‫ َم‬3‫ َو‬3‫ك‬3َ 3‫ ْي‬3َ‫ ِإ ل‬3‫ ا‬3َ‫ ن‬3‫ ْي‬3‫ح‬3َ 3‫و‬3ْ ‫ َأ‬3‫ ي‬3‫َّ ِذ‬3‫ل‬3‫ ا‬3‫و‬3َ 3‫ ا‬3‫ح‬3ً 3‫و‬3ُ‫ ن‬3‫ ِه‬3ِ‫ ب‬3‫ى‬3ٰ 3َّ‫ ص‬3‫و‬3َ 3‫ ا‬3‫ َم‬3‫ ِن‬3‫ ي‬3ِّ3‫د‬3‫ل‬3‫ ا‬3‫ن‬3َ 3‫ ِم‬3‫ ْم‬3‫ ُك‬3َ‫ ل‬3‫ َع‬3‫ر‬3َ 3‫َش‬
3ْ 3‫ ُم‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ى‬3َ‫ ل‬3‫ َع‬3‫ َر‬333ُ‫ ب‬3‫ َك‬3ۚ 3‫ ِه‬33‫ي‬33ِ‫ ف‬3‫ا‬3‫ و‬333ُ‫ ق‬3َّ‫ ر‬3َ‫ ف‬3َ‫ ت‬3َ‫ اَل ت‬3‫ َو‬3‫ن‬3َ 3‫ ي‬3ِّ3‫د‬33‫ل‬3‫ ا‬3‫ا‬3‫ و‬333‫ ُم‬3‫ ي‬3ِ‫ َأ ق‬3‫ن‬3ْ ‫ َأ‬3ۖ 3‫ى‬3ٰ 33‫س‬3
3‫ ا‬333‫ َم‬3‫ن‬3َ 3‫ ي‬3‫ ِك‬3‫ ِر‬33‫ش‬ 3َ ‫ ي‬3‫ع‬3ِ 3‫و‬3َ 3‫ى‬3ٰ 33‫س‬3
3َ ‫ و‬3‫ ُم‬3‫و‬3َ
َ 3َ‫ ي‬3‫ن‬3ْ 3‫ َم‬3‫ ِه‬3‫ ْي‬3َ‫ ِإ ل‬3‫ ي‬3ِ‫ ب‬3َ‫ ت‬3‫ج‬3ْ 3َ‫ ي‬3ُ ‫ هَّللا‬3ۚ 3‫ ِه‬3‫ ْي‬3َ‫ ِإ ل‬3‫ ْم‬3‫ ُه‬3‫ و‬3‫ ُع‬3‫ ْد‬3َ‫ت‬
ُ 3‫ ي‬3ِ‫ ن‬3ُ‫ ي‬3‫ن‬3ْ 3‫ َم‬3‫ ِه‬3‫ ْي‬3َ‫ ِإ ل‬3‫ ي‬3‫ ِد‬3‫ ْه‬3َ‫ ي‬3‫ َو‬3‫ ُء‬3‫ ا‬3‫ش‬
3‫ب‬
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah
tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya.
Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Syariat sebelum kita dalam pengertian di atas, dapat dibagi dalam tiga kelompok:
1. Syariat terdahulu yang terdapat dalam Alquran atau penjelasan Nabi yang
disyariatkan untuk umat sebelum Nabi Muhammad dan dijelaskan pula dalam
Alquran atau Hadis Nabi bahwa yang demikian telah dinasakh dan tidak berlaku lagi
bagi umat Nabi Muhammad.

45
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 37.
46
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3 (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009) hal. 112.

24
2. Hukum-hukum dijelaskan dalam Alquran maupun Hadis Nabi disyariatkan untuk
umat sebelumnya dan dinyatakan pula berlaku untuk umat Nabi Muhammad dan
dinyatakan berlaku untuk selanjutnya.
3. Hukum-hukum yang disebutkan dalam Alquran atau hadis Nabi dijelaskan berlaku
untuk umat sebelum Nabi Muhammad, namun secara jelas tidak dinyatakan berlaku
untuk kita, juga tidak ada penjelasan bahwa hukum tersebut telah dinasakh.
5. Madzhab shahabi
Yang di maksud dengan mazhab sahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW.
tentang suatu kasus di mana hukumnya tidak di jelaskan secara tegas dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah Rasulullah.47 Mazhab sahabi berbeda dengan ijma sahabi dalam kedudukanya
sebagai dalil syara’. Mazhab sahabi masih banyak di perselisihkan dan sifatnya ada yang
logis dan tidak sedang ijma sahabi kehujjahanya diterima oleh semua pihak.
Para ulama membagi mazhab sahabi kedalam beberapa macam, diantaranya.48
1. Perkataan sahabat yang tidak termasuk objek Ijtihad. Dalam hal ini semua ulama
sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah.
2. Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan
sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3. Perkataan sahabat yang tersebar di antara sahabat yang lainya dan tidak diketahui
ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa
dijadikaan hujjah, karene ini merupakan ijma’ sukuti, 49
bagi mereka yang
berpendapat bahwa ijma’ sukuti bisa dijadikan hujjah.
4. Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul as-
Shahabi yangs eperti inilah yang menjadi perselisihan para ulama mengenai
keabsahanya sebagai hujjah dalam fiqih islam.
Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lain, hal ini sudah disepakati namun
masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat sahabat bisa menjadi hujjah atas tabi’in dan
orang setelah tabi’in, ulama ushul mempunyai 3 pendapat, diantaranya adalah;50
1. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabi dapat menjadi hujjah. Pendapat ini
berasal Imam Maliki, Abu Bakar ar-Razi dan Imam Syafi’I dalam kaum Qadimnya,
termasuk Imam Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat.
Alasan pendapat ini adalah Firman Allah SWT surah Ali Imran ayat 110.
47
Satria Effendi & M.Zaeni,Ushul Fiqih, ed.1, cet.2, Prenada Media, Jakarta, 2008, hal.169
48
Ibid..hal. 175
49
yaitu suatu ijma' di mana para ulama' diam, tidak mengatakan pendapatnya. Diam di sini dianggap
menyetujui.
50
Satria Effendi & M.Zaeni,Ushul Fiqih, ed.1, cet.2, Prenada Media, Jakarta, 2008, hal.190

25
3‫ن‬3َ 3‫و‬3ُ‫ ن‬3‫ْؤ ِم‬33ُ‫ ت‬3‫ َو‬3‫ ِر‬3‫ َك‬3‫ ْن‬3‫ ُم‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ِن‬3‫ َع‬3‫ن‬3َ 3‫و‬3ْ 3‫ َه‬3‫ ْن‬3َ‫ ت‬3‫ َو‬3‫ف‬ 3ِ 3‫ و‬3‫ ُر‬3‫ ْع‬3‫ َم‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3ِ‫ ب‬3‫ن‬3َ 3‫ و‬3‫ ُر‬3‫ ْأ ُم‬3َ‫ ت‬3‫س‬ ِ 3‫َّ ا‬3‫ن‬3‫ ل‬3ِ‫ ل‬3‫ت‬ 3ْ 3‫ج‬3َ 3‫ ِر‬3‫خ‬3ْ ‫ ُأ‬3‫َّ ٍة‬3‫ ُأ م‬3‫ر‬3َ 3‫ ْي‬3‫خ‬3َ 3‫ ْم‬3ُ‫ ت‬3‫ ْن‬3‫ُك‬
3‫ َن‬3‫ و‬3ُ‫ ق‬3‫س‬3ِ 3‫ ا‬3َ‫ ف‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ُم‬3‫ ُه‬3‫ ُر‬3َ‫ ث‬3‫ َأ ْك‬3‫و‬3َ 3‫ن‬3َ 3‫و‬3ُ‫ ن‬3‫ ْؤ ِم‬3‫ ُم‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ُم‬3‫ ُه‬3‫ ْن‬3‫ ِم‬3ۚ 3‫ ْم‬3‫ ُه‬3َ‫ ل‬3‫ ا‬3‫ر‬3ً 3‫ ْي‬3‫خ‬3َ 3‫ن‬3َ 3‫ ا‬3‫ َك‬3َ‫ ل‬3‫ب‬
ِ 3‫ ا‬3َ‫ ت‬3‫ ِك‬3‫ ْل‬3‫ ا‬3‫ ُل‬3‫ َأ ْه‬3‫ن‬3َ 3‫ َم‬3‫ آ‬3‫و‬3ْ 3َ‫ ل‬3‫و‬3َ 3ۗ 3ِ ‫هَّلل‬3‫ ا‬3ِ‫ب‬

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar (Q.S Ali Imran :110)

ayat ini mengajurkan agar sahabat selalu melakukan perbuatan yang ma’ruf, sedang
perbuatan yang ma’ruf adalah wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima.

2. Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab sahabi secara mutlak tidak bisa dijadikan
hujjah/dasar hukum. Pendapat ini berasal dari jumhur Asy’ariyah dan Mu’tazilah,
Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid (baru)51 juga Abu Hasan al-Kharha dari
golongan Hanafiyah.52 Alasan mereka antara lain firman Allah dalam surah al-Hasr
ayat 2.
3. Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’idan pendapat terkuat dari
Imam Ahmad bin Hambal, menyatakan bahwa pendapat sahabat, itu menjadi hujjah
dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat di
dahulukan. Alasan yang mereka kemukakan antara laina dlah firman Allah SWT
dalam surah at-Taubah ayat 100;
Dalam pandangan Abu Zahrah, Mazhab Sahabi terdiri dari beberapa bentuk,
diantaranya;
1. Apa yang disampaikan sahabat itu berupa berita yang di dengar dari Nabi SAW, tetapi
ia tidak menyatakan bahwa berita itu sebagai sunnah Nabi SAW.
2. Apa yang diberitakan sahabat itu sesuatu yang di dengar dari orang yang pernah
mendengarnya dari Nabi SAW, akan tetapi orang tersebut tidak menjelaskan bahwa
yang di dengar itu berasal dari nabi.
3. Sesuatu yang disampaikan dari sahabat itu merupakan hasil pemahamanya dari ayat
al-Qur’an yang orang lain tidak memahaminya.
4. Sesuatu yang disampaikan sahabat, telah disepakati oleh lingkunganya, namun yang
menyampaikan hanya sahabat itu seorang.

51
Imam Syafi'i pada awalnya pernah tinggal menetap di Baghdad. Selama tinggal di sana ia
mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim ("pendapat yang lama"). Ketika
kemudian pindah ke Mesir karena munculnya aliran Mu’tazilah yang telah berhasil memengaruhi kekhalifahan,
ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda dengan yang sebelumnya ditemui di Baghdad. Ia kemudian
mengeluarkan ijtihad-ijtihad baru yang berbeda, yang biasa disebut dengan istilah Qaul Jadid ("pendapat yang
baru").
52
Satria Effendi & M.Zaeni,Ushul Fiqih, ed.1, cet.2, Prenada Media, Jakarta, 2008, hal.193

26
5. Apa yang disampaikan sahabat merupakan hasil pemahaman atas, dalil-dalil karena
kemampuanya dalam bahasa dan dalam penggunaan dalil lafal.

6. Istishlah
Dari segi bahasa, istishlah yang biasa juga disebut mashlahah mursalah berasal dari
kata mashlahah dan mursalah. Mashlahah berasal dari kata shalahah dengan tambahan alif
pada awalnya berarti baik, lawan kata dari mafsadah yang berarti rusak. Atau dalam arti yang
lain yakni al-shalah artinya manfaat atau terlepas dari kerusakan.53 Mashlahah dalam arti
umum adalah semua yang mendatangkan manfaat bagi manusia. Jadi segala yang bisa
menimbulkan manfaat disebut mashlahah. Dengan lain perkataan di dalam mashlahah
terkandung dua hal pokok yakni mendatangkan kebaikan dan menolak mafsadah.

Wahab Khallaf menyebutkan bahwa istishlah menurut bahasa adalah ‫ طلب اإلصالح‬/
mencari kebaikan.54

Sebagai dasar pengambilan kata mashlahah adalah sesuai dengan firman Allah swt. di
dalam QS. Al-Baqarah [2], 220:

u‫ ْم‬uُ‫ه‬u‫ و‬uُ‫ ط‬uِ‫ل‬u‫ ا‬u‫َخ‬u uُ‫ ت‬u‫ن‬uْ ‫ ِإ‬u‫و‬uَ uۖ u‫ ٌر‬uu‫ ْي‬u‫ َخ‬u‫ ْم‬uُ‫ ه‬uَ‫ ل‬u‫ اَل ٌح‬u ‫ص‬ uْ ‫ ِإ‬u‫ل‬uْ uُ‫ ق‬uۖ u‫ى‬uٰ u‫ َم‬u‫ ا‬uَ‫ ت‬uَ‫ ي‬u‫ ْل‬u‫ ا‬u‫ ِن‬u‫ َع‬u‫ك‬
َ uَ‫ن‬u‫و‬uُ‫ َأ ل‬u‫ ْس‬uَ‫ ي‬u‫ َو‬uۗ u‫ ِة‬u‫ر‬uَ u‫خ‬uِ ‫آْل‬u‫ ا‬u‫و‬uَ u‫ ا‬uَ‫ ي‬u‫ ْن‬u‫ ُّد‬u‫ل‬u‫ ا‬u‫ ي‬uِ‫ف‬
u‫ ٌز‬u ‫ي‬uu‫ ِز‬u‫ َع‬uَ ‫ هَّللا‬u‫ ِإ َّن‬uۚ u‫ ْم‬u‫ ُك‬uَ‫ ت‬uَ‫ ن‬u‫ َأَل ْع‬uُ ‫ هَّللا‬u‫ َء‬u‫ ا‬u u‫ َش‬u‫و‬uْ uuَ‫ ل‬u‫و‬uَ uۚ u‫ح‬ uْ u‫ ُم‬u‫ ْل‬u‫ ا‬u‫ن‬uَ u‫ ِم‬u‫ َد‬u ‫س‬u
ِ uِ‫ ل‬u ‫ص‬ uِ u‫ ْف‬u‫ ُم‬u‫ ْل‬u‫ ا‬u‫ ُم‬uَ‫ ل‬u‫ ْع‬uَ‫ ي‬uُ ‫ هَّللا‬u‫ َو‬uۚ u‫ ْم‬u‫ ُك‬uُ‫ن‬u‫ ا‬u‫ َو‬u‫خ‬uْ ‫ ِإ‬uuَ‫ف‬
u‫ ٌم‬u‫ ي‬u‫ ِك‬u‫ح‬uَ

Terjemahnya:

“...dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah berbuat baik kepada
mereka adalah lebih baik, dan jika kamu bergaul dengan mereka, maka mereka adalah
saudaramu. Dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan
perbaikan...”.

Di dalam ayat ini terdapat kata ishlah yang berarti berbuat baik dan kata mushlih
artinya orang yang berbuat baik.

mashlahah mursalah atau istishlah adalah cara menetapkan hukum terhadap suatu
peristiwa yang tidak terdapat dalil syara’ yang bersifat melegitimasi atau menolaknya dengan
pertimbangan dapat mewujudkan kemaslahatan atau menghindarkan keburukan bagi manusia
dengan tetap selaras dan sejalan dengan maqashid al-syari’.

53
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 322.
54
Abd. Wahab Khallaf, Mashadir al-Tasyri’ al-Islamiy fi Ma La Nashsha Fiqh (Kuwait: Dar al-Qalam, 1972).

27
Dari segi penamaan, sebagian pakar ushul menggunakan kata istishlah seperti
kebanyakan ulama Hanabilah. Dan ada juga yang menamainya dengan mashlahah mursalah.
Tetapi ada pula yang menyebut dengan mashlahah muthlaqah. Meski berbeda, tetapi
penamaan itu tidak membawa pada perbedaan pengertian secara esensial.

Mengenai kehujjahan istishlah, terdapat perbedaan di kalangan ulama dalam hal boleh
atau tidaknya menggunakan mashlahah dalam menanggulangi suatu persoalan. Beberapa di
antaranya sebagai berikut:

1. Imam Malik dan Imam Ahmad serta para pengikut mazhabnya, mereka berpendapat
bahwa istishlah adalah salah satu metode yang diakui oleh syariat untuk menetapkan
hukum yang tidak ada nashnya.
2. Imam Syafi’i dan sebagian pengikut mazhabnya. Ulama golongan Syafi’iyah pada
dasarnya juga menjadikan mashlahah sebagai salah satu dalil syara’ meski ada
sebagian yang tidak membolehkan.
3. Imam al-Thufy, salah seorang pengikut Imam Hanbaliy berpendapat bahwa istishlah
adalah dalil syara’ yang pokok yang memuat aturan muamalah dan sejenisnya yang
disimpulkan pada hukum-hukum yang disyariatkan untuk menarik manfaat dan
menolak mafsadat.
4. Imam Hanafi dan penganut mazhabnya. Pandangan ulama Hanafiyah terhadap
istishlah ini terdapat perbedaan.

Dalam rangka menghindari terjadinya penetapan hukum syara’ yang mengikuti hawa
nafsu, ulama yang menggunakan istishlah sebagai hujjah menetapkan berbagai persyaratan
yang ketat. Syarat-syarat tersebut, di antaranya adalah:

1. Mashlahah tersebut adalah mashlahah yang hakiki yang telah melalui proses istiqra’
2. Mashlahah tersebut harus logis, memberi manfaat dan menghindarkan mudharat bagi
mayoritas umat.
3. Penetapan hukum bagi suatu mashlahah harus sejalan dan selaras dengan tujuan-
tujuan syara’ dan tidak kontradiktif dengan dalil-dalil syara’ (Al-Qur’an, al-Sunnah,
dan ijma’sharih ).
4. Tujuan dari penetapan mashlahah ini adalah untuk mengangkat kesulitan dan
kepelikan yang menimpa umat pada masa tertentu.

Adapun macam-macam istihlah terdiri dari tiga, yaitu:

28
1. Mashlahah yang Diakui Ajaran Syari’ah
a. Mashlahah al-Dharuriyyah.
b. Mashlahah al-Hajiyah.
c. Mashlahah al-Tahsiniyyah.
2. Mashlahah yang Tidak Diakui Ajaran Syari’ah
a. Mashlahah al-Mulghah
3. Mashlahah yang Tidak Terikat pada Jenis Pertama dan Kedua.
a. Mashlahah al-gharibah
b. Mashlahah al-Mursalah,

7. Sadd Al Dzari’ah
Kata sadd al-dzari’ah ( (‫ سد ا لذ ریعة‬merupakan bentuk prase idhafah yang terdiri dari
dua kata yaitu sad ( ‫ ) سد‬dan dzari’ah ( ‫) الذاریعة‬. Kata sadd merupakan masdar dari – ‫سد – یسد‬
‫ سد ا‬yang berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak.55 Sedangkan al-dzari’ah ( (‫الذ ریعة‬
merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti wasilah (perantara) bentuk jama’
dari al-dzari’ah adalah aldzara’I (‫)الذرائع‬
Secara istilah para ulama memberikan pengertian dzari’ah dengan redaksi dan
penekanan yang berbeda satu sama lain.
Menurut Ibn Rusyd al-Dzari’ah adalah sesuatu yang pada lahirnya boleh tetapi
penghubung kepada perbuatan yang dilarang, seperti jual beli yang membawa kepada riba.56
Selain itu Ibn Rusyd, al-Qarafi, salah seorang ulama Malikiyah, mengatakan bahwa al-
dzari’ah adalah wasilah (pengantara) untuk mencapai tujuan tertentu, sebagaimana wasilah
kepada haram adalah haram dan wasilah kepada yang wajib adalah wajib, seperti berusaha
untuk melaksanakan shalat jum’at dan mengerjakan ibadah haji.57
Menurut Qarafi, sasaran hukum dzari’ah dapat dilihat dari dua, pertama maqashid yaitu
sesuatu yang mengandung maslahat dan mafsadah, kedua wasail yaitu hal-hal yang
membawa kepada maqashid dan hukum wasail sama dengan hukum maqashid, hanya saja
tingkat wasail lebih rendah dari tingkat maqashid.58
Mayoritas fuqaha’ sepakat menggunakan sad al-dzari’ah sebagai dasar dalam
penetapan hukum Islam. Namun mereka berbeda pada kuantitas penggunaanya. Fuqaha’ yang
menggunakan sad al-dzari’ah sebagai dasar dalam penetapan hukum Islam menggemukakan
dalil yang terdapat dalam al-Qur’an, sunnah, amal sahabat dan tabi’in.
55
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi, Lisan al-Arabi, (Beirut : Dar Shadir, tt), juz 3, h. 207
56
Ibn Rusd, Al-Muqaddimah. Kitab al- Bay’, juz II, (Beirut : Dar al-Fukr. Tt), h. 524
57
Syihab al-Din Ahmad Idris al-Qarafi, Tanqih al-Fushul, ( Beirut : Dar al-Fikr), h 48
58
Syihab al-Din Ahmad Idris al-Qarafi, al-Furuq, Juz II, Beirut, Alam al-Kutub, tt. h. 33

29
1. Al-qur’an sebagai dasar sad aldzari’ah.
Firman Allah dalam surat al-An’am (6) : 108

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah Kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang
dahulu mereka kerjakan.
Pada dasarnya tidak ada salahnya memaki berhala (sembahan kaum musrik) bahkan
menghancurkannya seperti yang dilakukan Nabi Ibrahim As.59 Akan tetapi dapat dipastikan,
meraka akan membalas memaki Allah, bahkan dengan makian yang lebih kasar. Oleh karena
itu, Allah melarang hal di atas untuk menutup dzari’ah yang menyebabkan kaum musrik
memaki-Nya.
2. Sunnah sebagai dasar sadd aldzari’ah
Sabda Rasulullah SAW
Dari Busyr bin Artha ia berkata : Saya mendengar Nabi SAW. Bersabda : “Tidak
dipotong tangan (pencuri) dalam peperangan”. (H.R Abu Daud)
Hadis di atas melarang penerapan hukuman potong tangan di saat peperangan
berlangsung. Padahal, hukuman potong tangan telah diatur seara tegas dalam al-Qur’aan, dan
telah diterapkan. Nabi sendiri sangat sungguh-sungguh untuk menerapkan hukuman tersebut
sekalipun terhadap putrinya, Fatimah sendiri, demikian tegasnya dalam suatu riwayat.
Pengecualian dalam riwayat Abu Daud ini untuk menghindari bahaya (sad aldzari’ah) agar
pencuri ketika itu tidak melarikan diri dan bergabung dengan musuh.60
3. Fatwa Sahabat
Kasus kurban (udhiyah)
Menyembelih hewan untuk kurban bagi orang yang mampu adalah salah satu atau
ibadah sosial dan disyari’atkan sejak Nabi Adam As. Nabi Muhammad SAW. Sendiri
mencela orang yang mampu berkurban tetapi tidak melaksanakan.61 Meskipun demikian,
sebagian sahabat, dengan sengaja, pernah meninggalkan (tidak melaksanakan) kurban. Hal
ini mereka lakukan untuk menghindari munculnya anggapan sementara orang bahwa
menyembelih hewan kurban hukumnya wajib.62
59
Al-Qur’an S. al-Anbiya’ : 58
60
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, op.cit, .h. 17
61
Al-Kahlani, Op.cit, Juz 4, h. 91
62
Husain Hamid Hasan, Op.cit, h. 228

30
4. Ijtihad Tabi’in
Disamping dalil-dalil al-Qur’an, sunnah, amal, dan fatwa sahabat yang menjadi
landasan hukum sad al-dzari’ah terdapat pula ijtihad para tabi’in yang beramal dengan sad
al-dzari’ah. Diantaranya, fuqaha’ Madinah tidak menyukai puasa enam hari pada bulan
Syawal yang dilakukan langsung setelah bulan Ramadhan. Hal tersebut dikhawatirkan kalau
orang awam memahami puasa enam hari syawal tersebut sebagai puasa fardhu Ramadhan.63
Jika diperhatikan tulisan para ulama ushul fikih, maka dzariah dapat dibagi kepada
beberapa bentuk dengan melihat kepada segi. Pertama, dilihat dari
segi jenis akibat yang ditimbulkan dzari’ah. Kedua, dilihat dari segi kualitas
kemafsadatan yang ditimbulkan dzari’ah. Ketiga, dengan melihat kepada kehujjahan atau
kedudukan hukum suatu perbuatan yang menjadi dzari’ah.
1. Dilihat dari segi jenis akibat yang ditimbulkan dzari’ah, dari segi ini, Ibnu
Qayyim al-Jawziyyah membagi dzari’ah kepada dua.64
a. Dzari’ah yang jelas membawa kepada suatu kemafsadatan
Contoh seperti meminum minuman yang memabukkan semisal khamar
akan menyebabkan mabuk, dan mabuk itu adalah suatu kemafsadatan. Jika
menggunakan metode qiyas, maka dalam hal ini, termasuk penggunaan
obat-obat terlarang, seperi heroin, narkotik, dan sebagainya yang akan
menyebabkan akal kehilangan keseimbangan (fly).
b. Dzari’ah yang pada dasarnya dibolehkan, bahkan dianjurkan, akan tetapi
menjadi perantara ( penyebab ) terjadinya sesuatu yang dilarang.
Contoh, seorang menikahi wanita yang ditalak tiga suami. Pernikahan
tersebut bertujuan agar bekas suami yang telah mentalak tiga wanita itu
boleh menikah lagi dengan bekas istrinya. Akad ini lazim disebut dengan
nikah tahlil, ini dilarang karena sengaja dijadikan jalan menuju perbuatan
yang dilarang, meskipun pada dasarnya melakukan akad nikah tidak
dilarang.
2. Dilihat dari segi hukum dzari’ah
Pembagian dzari’ah dari segi ini dikemukakan oleh al-Qarafi. Pada awal bab ini
telah diutarakan bahwa pandangan al-Qarafi dalam wacana dzari’at mengacu
pada pengertian umum. Dalam kontek ini, jika dzari’at menuju sesuatu yang
dilarang, maka hukumnya juga wajib, dan sterusnya.

63
Imam Malik, al-Muwathat’ Syarh al- Suyuthi, juz I, h. 228
64
Ibnu Qayyim al-Jawziyyah, Op.cit, h. 148

31
Dengan demikian, apabila dzari’ah menuju pada suatu yang hukumnya tidak
disepakati, maka hukumnyapun, jelas diperselisihkan. Dengan dasar pemikiran
di atas maka al-Qarafi membagi dzari’at kepada tiga kategori :65
a. Dzari’at yang disepakati terlarang dan harus ditutup.
Al-Qarafi mencontohkan : menggali lobang di jalan umum, membubuhi
racun pada makanan yang biasanyan dimakan orang, dan memasuki
sembahan kaum musyrik yang diduga akan mengandung kemarahan
mereka dan akan membalas memaki Allah.
b. Dzari’at yang disepakati tidak dilarang
Al-Qarafi mencontohkan, seperti tidak dilarang membudidayakan
tanaman anggur, meskipun ada kemungkinan buah anggur diolah menjadi
khamar.
c. Dzari’ah yang diperselisihkan ulama
Contoh, jual beli ajal (yang telah disebutkan), memandang wanita 66(apakah
harus dilarang karena akan dikhawatirkan akan membawa kepada
pertemuan zina atau tidak dilarang karena dianggap tidak akan membawa
Pada perbuatan zina), dan lainnya yang menurut al-Qarafi jumlahnya
mencapai ribuan.67
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat dipahami, bahwa dzari’ah ada yang
harus dilarang untuk menghindari dampak mafsadatnya, dan ada yang tidak harus dilarang
karena lebih mempertimbangakan maslahatnya.
Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa mettode sad al-dzari’ah, memiliki landasan
yang kuat dari nas syarak. Ada ulama ushul yang menerimanya sebagai hujah dan ada yang
menolaknya.
a. Ulama Yang Menerima
Dikalangan Maliki dan Hanabbilah, kaidah sad al-dzari’ah dalam hubungannya
dengan dalil-dalil fikiih merupakan suatu kaidah yang diinduksi dari sejumlah dalil
nash, ayat-ayat dan hadis Nabi diantaranya, seperti yang telah dikemukakan dibagian
awal bab ini yang mendukung untuk suatu pengertian bahwa kaidah ini sejalan
dengan tujuan syara’
b. Ulama yang menolak

65
Al-Qarafi, Loc.cit
66
Jalal al-Din ‘Abd Rahman, Op.cit, h. 291
67
Al-Karafi, Op.cit

32
Kelompok ulama yang tidak menerima sad al-dzari;ah sepenuhnya sebagai metode
menetapkan hukum adalah mazhab Zhahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka
yang hanya menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh).
Sementara sad al-Dzari’ah adalah hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang
masih dalam tingkatan dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat.
8. Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((‫ استصحب‬dalam
shigat is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرار الصحبة‬. Kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan “sahabat” atau
“teman”, dan ‫تمرار‬uu‫ اس‬diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara
lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.68

Sedangkan secara istilah (terminologi), terdapat beberapa definisi yang dikemukakan


oleh para ulama, di antaranya ialah:

1. Imam Isnawi

            Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah
ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum
tersebut.

2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah

            Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan
meniadakan apa yang sebelumnya tiada.69

3. Abdul-Karim Zaidan

            Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.70

Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu,
diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada
sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.71

Adapun syarat-syarat istisham sebagai berikut:


68
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm. 78
69
M. Fadlil Said An-Nadwi, Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot, (Surabaya : Al-Hidayah, 2004), hlm.
134
70
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 267
71
Chaerul Umam dkk, Ushul Fiqih 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), hlm.79

33
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa
hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap
hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak
saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk
menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.

Para ulama ushul fiqih mengemukakan bahwa istishab ada 5 macam yang sebagian
disepakati dan sebagian lain diperselisihkan. Kelima macam Istishab itu adalah 72:

1. Istishab hukum Al- Ibahah Al- Asliyyah

Maksudnya menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh
selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Misalnya seluruh pepohonan
di hutan adalah merupakan milik bersama umat manusia dan masing- masing orang
berhak menebang dan memanfaatkan pohon dan buahnya, sampai ada bukti yang
menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik sesorang.

2. Istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung
terus.

Misalnya hukum wudhu seseorang yang telah berwudhu dianggap berlangsung terus
sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu
apakah wudhunya masih ada atau sudah batal, maka berdasarkan Istishab wudhuya
dianggap masih ada karena keraguan tidak bisa mengalahkan keyakinan.

Istishab terdapat dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang
mengkhususkannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nasakh (yang
membatalkannya).

Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya. Kewajiban
berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam tetap wajib bagi umat
Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya.

3. Istishab hukum akal sampai adanya hukum syar’i.

Maksudnya, umat manusia tidak dikenakan hukum syar’i sebelum datangnya syara’.
Seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat

72
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 268

34
manusia,sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya seseorang
menggugat orang lain bahwa ia berhutang kepadanya sejumlah uang, maka penggugat
berkewajiban untuk mengemukakan bukti atas tuduhannya, apabila tidaksanggup,
maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berhutang pada
penggugat.

4. Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan


ijma’ itu diperselisihkan.

Menurut ulama’ Malikiyyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan
shalatnya, karena adanya ijma’ yang mengatakan bahwa shalatnya sah apabila sebelum
melihat air. Ulama Hanabilah dan Hanafiyyah mengatakan orang yang melakukan
shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya
untuk berwudhu.

Adapun Contoh Istishab Sebagai Berikut : Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A
dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15
tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini
B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum
ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang
ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah
hukum yang ditetapkan dengan istishab.73

Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab
itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak
ada yang mengubah atau yang mengecualikan.

Para ulama ushul fiqih berbeda pendapat tentang kehujjahan isthishab ketika tidak ada
dalil syara’ yang menjelaskan suatu kasus yang dihadapi74 :

1. Ulama Hanafiyah : menetapkan bahwa istishab itu dapat menjadi hujjah untuk
menolak akibat-akibat hukum yang timbul dari penetapan hukum yang berbeda
(kebalikan) dengan penetapan hukum semula, bukan untuk menetapkan suatu hukum
yang baru. 

73
Abdul Karim Zaida, Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh, (Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4, 1994), hlm. 274
74
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm.82

35
2. Ulama mutakallimin (ahli kalam) : bahwa istishab tidak bisa dijadikan dalil, karena
hukum yang ditetapkan pada masa lampau menghendaki adanya adil.
3. Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Zhahiriyah dan Syi’ah : bahwa istishab bisa
menjadi hujjah serta mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah ada, selama belum
ada yang adil mengubahnya.

KESIMPULAN
Setiap ajaran tentunya terdapat hukum-hukum yang mengikat para pemeluknya. Dalam
agama Islam, terdapat beberapa sumber hukum yang mengatur tindak-tanduk pemeluknya
(Muslim) dalam kegiatannya menjadi seorang hamba dan khalifah di Bumi. Sumber hukum
Islam merupakan dasar utama untuk mengambil istinbat hukum. Oleh karenanya segala
sesuatu yang menjadi pokok permasalahan haruslah berdasarkan pada sumber hukum
tersebut. Berdasarkan keterangan tentang sumber dan dalil hukum ulama ushul juga sering
mengidentifikasi sumber atau dalil hukum syara’ ke dalam dua kategori, yaitu sumber dan
dalil hukum yang disepakati dan sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati.

Adapun yang termasuk dalam kategori sumber dan dalil hukum yang disepakati, terdiri
dari 4 hukum:

1. Al-qur’an

36
2. Hadist
3. Ijma’
4. Qiyas

Adapun yang termasuk dalam kategori sumber dan dalil hukum yang tidak disepakati,
terdiri dari 8 hukum:

1. ‘urf
2. Istihsan
3. Maslahah mursalah
4. Syar’u man qablana
5. Madzhab shahabi
6. Istishlah
7. Sadd al-dzari’ah
8. Istishab

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Qahirah: Maktabah Wahbah,tt.

Ash-Shabuni, Muhammad ‘Ali. al-Tibyan fi Ulum al-Qur’an. Makkah: Nasyru Ihsan, 2003.

Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam.” Tahkim: Jurnal Peradaban dan
Hukum Islam 1, 1 (2018).

Al-Suyuthi, Jalaluddin. al-Itqaan fi Oulum al-Qur’an. Beirut: Daar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt.

Thaib, Zamakhsyari bin Hasballah. “Metode al-Qur’an dalam Menampakkan Ayat-Ayat


Hukum.” Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 7, 1 (2019).

Al-Ghouri, Abdu al-Majid. Mu’jam al-Mushthalahat al-Haditsah. Beirut: Dar Ibnu Katsir,
2007.

37
Al-Azami, Mustafa. Studies in Hadith Methodology and Literature. USA: American Trust
Publication, 2012.

Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2015.

Ash-Shiba’i, Musthafa. As-Sunnah wa Makanatuha fi al-Tasyri’ al-Islamiy. Dar al-Waraq, tt.

Al-Thahan, Mahmud. Taisir Musthalah al-Hadis. Alexandria: Markaz Huda li al-Dirasat, tt.

Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998.

M. Hasbi ash- Shiddieqy, Falsafah Hukum islam, (jakarta : Bulan : Bintang, 1988)

Amir Syarifuddin, 2009. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Kencana

Nasrun Haroen, 1997. Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu

www.nurulwaton.tripod.com, 2010. Makalah Metode Qiyas Dalam Istinbat Hukum Menurut


Ibnu Hazm: Pendekatan Historis.
Muhammad Abu Zahrah, 2000. Ushul Fiqih, terj. Saefullah Ma‟shum dkk, Jakarta: PT
Pustaka Firdaus
Rachmat Syafe‟i, 1999, Ilmu Ushul Fiqih untuk IAIN, STAIN, PTAIS, Bandung: CV. Pustaka
Setia
Nazar Bakry, 1996. Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Hasbi Ash
Shiddieqy, pokok-pokok pengangan Imam Mazhab, Edisi II (Cet.ke -1 Semarang:
Pustaka Firdaus, 1997)

Ahmad Warson Munawwir, tt. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak.

A. Hanafi, 1970, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Noel J. Coulson, 1987, The History of Islamic Law, alih bahasa Hamid Ahmad, Hukum Islam
dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: P3M.

Abdul Wahab Khallaf, 1994, Ilmu Ushul Fiqih, cet. I. Semarang: Toha Putra Group.

Musthafa Ahmad al-Zarqa, 1967-1968, Al-Madkhal al-Fiqh al-„Am. Beirut: Dar al-Fikr.

„Izzudin ibn „Abd Salam, t.t, Qawa‟id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam. Beirut: Dar al-Kutub
al-„Ilmiyyah, Jilid II.

38
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. Surabaya:Pustaka
Progessif, 1997.
Acep Djazuli dan I. Nurol Aen, Ushul Fiqh. Bandung: Gilang Aditya Press, 1997.
Ibn al-Manzûr, 1972, Lisân al-‘Arab al-Muhît, Beirut: Dâr al-Fikr, Juz II.
Al-Bûtî, 2001 Dawâbit al-Maslahah fî asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Beirut: Muassasah al-Risâlah.
Yûsuf Hâmid al-‘Âlim, 1991, al-Maqâsid al-‘Âmmah li asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah Herndon
Virgina: The Internasional Institute of Islamic Thought.
Ahmad Warson Munawwir, tt. Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, Yogyakarta: tp.
At-Tayyib as-Sanûsî Ahmad, 2008, al-Istiqrâ’ wa Aoearuh fî al-Qawâ‘id al-Usûliyyah wa
al-Fiqhiyyah: Dirâsah Nazariyyah Tatbîqiyyah, al- Mamlakah al-`Arabiyyah as-
Sa‘ûdiyyah: Dâr at-Tadmûriyyah.
Al-Ghazali, t.t., al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usûl, Beirut: Dâr al-Fikr.
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2008.
Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, revisi 3. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2009.
Khallaf, Abd. Wahab. Mashadir al-Tasyri’ al-Islamiy fi Ma La Nashsha Fiqh. Kuwait: Dar
al-Qalam, 1972.
Mukarram bin Muhammad bin Manzhur al-Afriqi, tt, Lisan al-Arabi, Beirut : Dar Shadir
Rusd Ibn, Al-Muqaddimah. Tt, Kitab al-Bay’, juz II, Beirut : Dar al-Fukr.
Syihab al-Din Ahmad Idris, tt, al-Qarafi, al-furuq, Beirut : ‘Alam al-Kutub
M. Fadlil Said An-Nadwi. Ushul Fiqih Terjemah Syarah Al-Waroqot. Surabaya : Al-
Hidayah. 2004.
Abdul Karim Zaidan. Al-Wajiz Fi Usul al-Fiqh. Beirut: Muassasah al-Risalah. Cet 4. 1994.
Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.

39
40
41

Anda mungkin juga menyukai