Anda di halaman 1dari 9

MATERI PRESENTASI KE 5

HUKUM ISLAM

Pengertian

Pengertian hukum islam menurut beberapa tokoh, dapat diartikan sebagai berikut. 

1. Abdul Ghani Abdullah 

Menurut Abdul Ghani Abdullah dalam bukunya yang diterbitkan di Gema Insani Press
mengungkapkan bahwa hukum islam sebagai hukum yang bersumber dan menjadi bagian
dari agama islam. Ia pun juga menyebutkan bahwa konsepsi hukum islam sebagai dasar dan
kerangka hukum yang ditetapkan oleh Allah. 

Hukum islam menurut Abdul Ghani Abdullah, tidak hanya mengatur antara manusia dengan
Tuhannya saja. tetapi juga mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Juga
mengatur antara hubungan manusia dengan alam semesta.

2. Amir Syarifuddin 

Beda lagi dengan pendapat Amir Syarifuddin, hukum islam menurutnya sebagai perangkat
peraturan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukalaf yang diakui
dan diyakini. 

3. Eva Iryani 

Hukum islam menurut Eva Iryani adalah syariat islam yang berisi sistem kaidah-kaidah yang
didasarkan pada wahyu Allah SWT dan Sunnah Rosul mengenai tingkah laku orang yang
sudah dapat dibebani kewajiban, yang diakui dan diyakini, yang mengikat semua
pemeluknya. 

Eva Iryani menjelaskan bahwa tingkah laku yang dimaksud adalah mengacu pada segala
perilaku dan sikap Rasulullah. Disebutkan pula syariat diambil berdasarkan pada istilah yang
merunut pada hukum-hukum yang diperintahkan Allah Swt untuk umat-Nya dengan
amaliyah. 

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi hukum islam dapat
ditafsirkan sebagai kerangka dasar aturan islam yang merujuk pada Al-Quran dan Hadis.

Sesuai dengan namanya, hukum islam menata hubungan antara insan dengan tuhannya.
Ataupun hubungan antara insan dengan insan bahkan dengan alam semesta.
Sumber Hukum Islam

1. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi
Wasallam sebagai Mukjizat yang paling besar dan agung, melalui Malaikat Jibril dengan
jalan mutawatir sebagai petunjuk bagi seluruh manusia, dan merupakan pahala bagi yang
membacanya.

Pengertian Al-Quran Menurut Para Ahli


Menurut para ahli, definisi Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Muhammad A. Summa (1997)


Al-Qur’an adalah kitab suci ini memuat aturan-aturan yang sangat jelas tentang kehidupan
manusia, baik dari segi lahiriyah maupun batiniyah.

2. Abu Faiz (2014)


Menurutnya, beberapa keutamaan yang akan diperoleh oleh para pecinta Al-Qur’an ini
diantaranya, memperoleh pahala yang sangat besar, selalu bersama para malaikat yang mulia,
menghapus dosa dan keburukan, membersihkan hati serta menentramkan jiwa.

3. Muhammad Ali ash-Shabumi


Definisi Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang paling mulia dan diturunkan Nabi
Muhammad melalui perantara malaikat Jibril, yang ditulis dalam bentuk mushaf-mushaf dan
disampaikan secara mutawatir..

4. Syekh Muhammad Khudari Beik


Al-Qur’an adalah firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk
seluruh umat manusia yang harus dipahami isinya dan diamalkan, dengan jalan atau
penyampaian kepada mutawatir, yang ditulis dengan awal surat Al-Fatihah dan diakhiri surat
An-Nas.

5. Dr. Subhi as-Salih


Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad
SAW, dengan ditulis dalam bentuk mushaf dan diriwayatkan dengan jalan mutawatir
(berangsur-angsur), serta bagi siapa yang membacanya adalah ibadah dan merupakan pahala.

6. Al Qur’an Secara Bahasa (Etimologi)


Dari segi bahasa atau etimologi, istilah Al Qur’an berasal dari Bahasa Arab, yakni merupakan
suatu jamak (banyak) dari masdar fi’il, yaitu qara’a -yaqra’u-qur’anan yang artinya adalah
“bacaan” atau lebih mudahnya “sesuatu yang dibaca berulang-ulang”.

7. Al Qur’an Secara Terminologi


Dalam pandangan Islam, Al Qur’an adalah Kitab Suci Seseorang yang menganut Agama
Islam yang di dalam bentuknya, berisi firman (kalam) Allah SWT yang diturunkan Nabi
Muhammad SAW sebagai mukjizat, dengan disampaikan dengan jalan mutawatir dan bagi
yang membacanya adalah Ibadah.
Dari pengertian Al-Qur’an menurut para ahli diatas, dapatlah dikatakan jika setiap orang,
masyarakat khususnya umat Islam harus senantiasa atau selalu mempertahankan,
menyebarluaskan dan mengaplikasikan pengetahuan mengenai Al-Qur’an. Alasannya karena
Al-Qur’an merupakan kalam Allah SWT yang paling sempurna. Al-Quran adalah kalamullah,
atau kalimat Allah SWT dan berasal dari sisi Allah SWT.

Allah SWT berfirman,

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan
secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang Maha Bijaksana lagi Maha
Tahu.” (QS. Hud: 1).
Keberadaan Al-Quran tidak hanya sebagai kitab suci bagi agama Islam saja. Tetapi juga
dijadikan sebagai sumber hukum Islam yang pokok atau yang paling utama. Seperti yang
diketahui bahwa Alquran berisi ayat-ayat suci yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam.
Ayat-ayat tersebut tidak hanya sekedar dibaca saja, tetapi juga berusaha untuk bisa
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.

Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw melalui perantara malaikat Jibril.
Alquran yang berbahasa Arab adalah sebagai kalam Allah SWT yang tidak akan pernah bisa
dibuat oleh manusia untuk dijadikan tandingannya. Oleh karena itulah, Alquran dijadikan
sebagai sumber hukum Islam yang utama daripada lainnya. Sebagaimana firman Allah SWT
yang tercantum dalam surat Al-Isra ayat 88, Allah SWT berfirman:

ُ ‫ان اَل يَْأتُونَ بِ ِم ْثلِِۦه َولَوْ َكانَ بَ ْع‬ ۟


‫ْض ظَ ِهيرًا‬
ٍ ‫ضهُ ْم لِبَع‬ ِ ‫ت ٱِإْل نسُ َو ْٱل ِج ُّن َعلَ ٰ ٓى َأن يَْأتُوا بِ ِم ْث ِل ٰهَ َذا ْٱلقُرْ َء‬
ِ ‫قُل لَِّئ ِن ٱجْ تَ َم َع‬

Arab-Latin: Qul la`inijtama'atil-insu wal-jinnu 'alā ay ya`tụ bimiṡli hāżal-qur`āni lā ya`tụna


bimiṡlihī walau kāna ba'ḍuhum liba'ḍin ẓahīrā

Artinya: “Katakanlah, Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang
serupa (dengan) Al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya,
sekalipun mereka saling membantu satu sama lain”.

Sebagai sumber hukum Islam, ada beberapa hal yang disampaikan secara rinci dalam Al-
Quran dan ada juga yang disampaikan secara umum. Misalnya saja terkait dengan ibadah
yang dijelaskan secara rinci. Sedangkan untuk masalah yang lainnya tidaklah dijelaskan
dengan rinci. Oleh karena itu, dibutuhkanlah sumber hukum Islam lainnya sebagai
pendukung agar nantinya Al-Quran bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, serta
menjadi pedoman ketika muncul suatu permasalahan.

2. Hadits

Sumber hukum Islam yang kedua adalah hadits. Melalui hadits inilah yang akan memberikan
penjelasan lebih lanjut dari apa yang tercantum di Al-Quran. Hadits adalah satu dari 4 sumber
hukum Islam yang disepakati para ulama. Hadits menjadi rujukan bagi umat muslim untuk
menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Quran.
Dikutip dari buku Memahami Ilmu Hadits oleh Asep Herdi, secara etimologis hadits
dimaknai sebagai jadid, qorib, dan khabar. Jadid adalah lawan dari qadim yang artinya yang
baru. Sedangkan qarib artinya yang dekat, yang belum lama terjadi. Sementara itu, khabar
artinya warta yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada yang
lainnya.
Sedangkan pengertian hadits secara terminologi adalah sabda, perbuatan, dan persetujuan dari
Rasulullah SAW.

Sedangkan secara bahasa, hadis berarti perkataan, percakapan, berbicara. Definisi hadits
dikategorikan menjadi tiga, yaitu perkataan nabi (qauliyah), perbuatan nabi (fi’liyah), dan
segala keadaan nabi (ahwaliyah). Sebagian ulama seperti at-Thiby berpendapat bahwa hadits
melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir nabi. Hadits juga melengkapi perkataan, perbuatan,
dan taqrir para sahabat dan Tabi’in.
Pada dasarnya, Al-Quran dan hadits tidaklah bisa dipisahkan, tetapi saling melengkapi. Oleh
karena itu, keduanya selama ini telah menjadi pedoman bagi masyarakat, terutama umat
Muslim. Jika umat Muslim menjadikan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam dan ternyata
masih belum menemukan titik terang dari suatu permasalahan, maka hadits akan menjadi
pedoman yang berikutnya setelah Al-Quran. Jadi, hadits dapat dikatakan sebagai sumber
hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran.

Berikut adalah firman Allah SWT yang menjelaskan agar selalu menaati Rasulullah saw
sebagaimana tercantum dalam surat Ali Imran ayat 32 yang berbunyi:

َ‫قُلْ اَ ِط ْيعُوا هّٰللا َ َوال َّرسُوْ َل ۚ فَا ِ ْن تَ َولَّوْ ا فَا ِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ٰكفِ ِر ْين‬

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), “ Taatilah Allah dan Rasul. Jika kamu berpaling,


ketahuilah bahwa Allah tidak menyukai orang-orang kafir”.

Kedudukan hadits adalah sebagai penguat dan memberikan keterangan ketika penjelasannya
tidak tercantum di dalam Al-Quran. Apa yang disampaikan dalam hadits adalah hukum yang
sudah ditetapkan oleh Nabi Muhammad SAW yang merupakan petunjuk dari Allah SWT dan
bisa juga dari hasil ijtihad.

Tambahan penjelasan : namun tidak semua hadist itu benar,ada juga hadist-hadist yang
palsu,lalu ada juga hadist yang lemah(Dhaif),nah yang dimaksud hadist lemah(dhaif) itu
apa?...

Hadist Lemah(Dhaif) adalah Hadist yang tidak menghimpun sifat-sifat shahih, dan juga tidak
menghimpun sifat-sifat hadist hasan

Lalu apakah hadist Dhaif termasuk hadist palsu?...

Jawabannya : Tidak,karena hadist Dhaif memang dinisbahkan kepada Rasulullah,tetapi


perawi hadistnya tidak kuat hafalan ataupun kredibilitasnya,atau ada silsilah sanad yang
terputus.

Contoh Hadits Dhaif 1: Diriwayatkan oleh Umar bin Rasyid dari Yahya bin Abi Katsir, dari
Abu Salamah, dari Abu Hurairah menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang
sholat 6 rakaat setelah sholat maghrib dan tidak berbicara sedikit pun di antara sholat
tersebut, maka baginya sebanding dengan pahala ibadah selama 12 tahun.”
Imam ahmad dan Yahya bin Main mengatakan bahwa hadits dari Umar tersebut adalah dhaif
dan tidak bernilai sama sekali. Ini sependapat dengan Imam Bukhari bahwa hadits tersebut
termasuk dalam hadits munkar di mana urutan sanadnya sangat lemah.
Tak hanya itu, Ibnu Hibban menjelaskan bahwa tidak halal menyebut hadits di atas kecuali
untuk maksud mencatatnya. Sebab, dalam suatu riwayat dikisahkan, Umar pernah
memalsukan hadits atas nama Malik dan Ibn Abi Dzib.

Contoh Hadits Palsu:

‫ال َأنَا عَالِ ٌم فَهُ َو َجا ِه ٌل‬


َ َ‫َم ْن قَا َل َأنَا ُمْؤ ِم ٌن فَهُ َو َكافِ ٌر َو َم ْن ق‬

Barangsiapa berkata: ‘Aku adalah seorang mukmin’ maka dia kafir, dan barang siapa berkata:
‘Aku adalah orang yang berilmu’ maka dia adalah orang yang jahil (bodoh)”[12] .

Hadits ini dihukumi oleh Imam as-Subki rahimahullah sebagai hadits yang tidak ada asalnya
dan dinyatakan lemah oleh Imam as-Sakhâwi rahimahullah

Fungsi Hadits
Terdapat 4 macam fungsi hadits terhadap Al Quran yang ditetapkan oleh ulama Atsar,
sebagai berikut:

1. Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan at-Ta’kid dan bayan at-Isbat. Dalam hal ini,
hadits berfungsi untuk menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan dalam Al-
Quran.
2. Bayan at-Tafsir
Fungsi hadits sebagai bayan at-Tafsir yaitu memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-
ayat Al-Quran yang masih mujmal (samar atau tidak dapat diketahui), memberikan
persyaratan ayat-ayat yang masih mutlak, dan memberikan penentuan khusus ayat-ayat yang
masih umum.
3. Bayan at-Tasyri
Bayan at-Tasyri adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak didapati dalam Al
Quran. Fungsi ini disebut juga dengan bayan zaid ala al kitab al-karim.
4. Bayan an-Nasakh
Secara bahasa, an-naskh memiliki arti yang beragam, diantaranya al
ibthal (membatalkan), al ijarah (menghilangkan), at tahwil (memindahkan) stay at
taghyir (mengubah). Adapun yang disebut dengan bayan an nasakh adalah adanya
dalil syara’ (yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada) karena datangnya dalil
berikutnya.
Menurut jumhur ulama, kedudukan hadits menempati posisi kedua setelah Al-Quran. Ditinjau
dari segi wurud atau tsubutnya, Al-Quran bersifat qath’i (pasti) sedangkan hadits
bersifat zhanni al wurud (relatif) kecuali yang berstatus mutawatir (berturut-turut).
3. Ijma’

Ijma berasal dari bahasa Arab ‫ع‬ ٌ ‫ِإجْ َما‬ ijmā yang berarti konsensus. Istilah ini berasal dari kata
‫َأجْ َم َع‬ ajma‘a yang artinya menyepakati. Kata ini berakar dari ‫ج َم َع‬ jama‘a yang
َ berarti
mengumpulkan atau menggabungkan. Menurut KBBI, pengertian Ijma adalah kesesuaian
pendapat (kata sepakat) dari para ulama mengenai suatu hal atau peristiwa. Secara etimologi,
pengertian ijma mengandung dua arti. Pertama, Ijma berarti ketetapan hati untuk melakukan
sesuatu atau memutuskan berbuat sesuatu. Kedua, Ijma berarti sepakat.
Pengertian Ijma adalah kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum-hukum
dalam agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Ijma
adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati dan hasil dari ijma adalah fatwa.
Pengertian Ijma merupakan bagian dari hukum Islam. Dalam Islam, Al-Qur’an dan hadits
adalah dasar hukum yang digunakan. Para ulama menggunakan Al-Qur’an dan hadits sebagai
dasar menetapkan Ijma. Pengertian Ijma penting dipahami ketika mempelajari hukum Islam.
Secara bahasa, ijma adalah mengumpulkan masalah yang setelah itu diberi hukum atas
masalah tersebut lalu diyakini.

Sedangkan menurut istilah, ijma adalah kesepakatan pendapat dari seluruh ahli ijtihad setelah
Rasulullah Muhammad SAW wafat. Kedudukan ijma ini adalah sebagai sumber hukum Islam
yang ketiga setelah Al-Quran dan hadits. Jadi, Ijma adalah salah satu cara menetapkan hukum
yang tidak didapatkan di Al Qur’an dan hadits.
Pada awalnya, ijma ini dijalankan oleh para khalifah serta para petinggi negara. Dari
musyawarah yang sudah mereka lakukan, lalu hasilnya akan dianggap sebagai perwakilan
dari pendapat umat Muslim.

Setelah berjalannya waktu, musyawarah yang dilakukan pun semakin banyak diikuti.
Terutama diikuti oleh ahli ijtihad dan dilanjutkan hingga saat ini. Ijma sendiri dibagi menjadi
dua yaitu ijma sharih dan ijma sukuti.

Ijma sharih atau lafzhi adalah suatu kesepakatan dari para mujtahid yang dilakukan melalui
pendapat atau pun dari perbuatan terhadap suatu hukum perkara tertentu. Untuk ijma sharih
ini tergolong jarang terjadi.
Sedangkan ijma sukuti adalah kesepakatan dari para ulama melalui seorang mujtahid yang
sudah mengutarakan pendapatnya mengenai hukum suatu perkara. Setelah itu pendapat dari
mujtahid tersebut pun menyebar dan banyak orang yang mengetahuinya. Dalam hal ini,
mujtahid lainnya tidak menyatakan ketidaksetujuan pada pendapat tersebut setelah
melakukan riset atau penelitian tentang pendapat itu.

Penetapan Ijma tetap berdasarkan Al-Qur’an dan hadits. Berdasarkan pengertian Ijma, maka
dapat dikatakan bahwa Ijma berasal dari Ijtihad para ulama. Selain itu, Ijma menjadi alat
penafsiran hukum sesuai syariat Islam dan sebagai wujud toleransi terhadap tradisi yang
berbeda dalam Islam.

Menurut istilah para ahli ushul fiqh, pengertian Ijma adalah kesepakatan terhadap
permasalahan hukum syara pada suatu peristiwa. Kesepakatan ini dilakukan para mujtahid
Muslim pada suatu masa tertentu setelah Rasulullah wafat.
Pengertian Ijma Menurut Para Ahli
Berikut pengertian Ijma menurut para ulama:

Imam Al-Ghazali
Ijma adalah kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama.
Imam al-Amidi
Ijma adalah kesepakatan sejumlah ahlul hall wa al ‘aqd (para ahli yang berkompeten
mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus.
Abd al Wahhab Khallaf
Ijma adalah konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas
suatu hukum syara‘ mengenai suatu kasus.

4. Qiyas

Tafsir Al-Qur’an
Sumber hukum Islam yang terakhir adalah qiyas. Qiyas sendiri secara bahasa adalah tindakan
mengukur sesuatu yang kemudian dinamakan. Sedangkan secara istilah, qiyas adalah
penetapan hukum pada suatu perbuatan yang saat itu belum ada ketentuannya dan kemudian
didasarkan dengan yang sudah ada ketentuannya.
Secara umum, qiyas ini terbagi menjadi tiga. Ada qiyas illat yang terbagi lagi menjadi jenis
lainnya berupa qiyas jali dan qiyas khafi. Lalu yang kedua adalah qiyas dalalah, dan yang
ketiga adalah qiyas shabah.
Rukun Qiyas
Dikutip dari buku Ushul Fiqih oleh Amrullah Hayatudin, qiyas terdiri dari empat rukun dan
beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Antara lain sebagai berikut:
1. Ashl
Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik dalam nash maupun ijma.
Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai dan maqis ‘alaih atau tempat
meng-qiyas-kan. Dalam arti sederhana, ashl adalah kasus yang akan digunakan sebagai
ukuran atau pembanding.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus
memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar pada
jalur sam’isyar’i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui illat pada ashal.
Selain itu, ketetapan hukum pada ashal harus bukan berdasarkan qiyas, melainkan karena
nash atau ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar dari aturan-aturan qiyas.
2. Far’u
Far’u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus yang sudah ada
hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far’u dapat ditetapkan dalam qiyas antara
lain far’u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma, harus
ditemukan illat ashl pada far’u dengan kadar sempurna dan tidak boleh kurang dari kadar illat
yang terdapat pada ashl.
3. Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum terhadap far’u.
4. Illat
Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan dalam
hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan yang diperhatikan
syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.
Pembagian Hukum Islam

1. Wajib

Wajib ialah tuntutan yang mengandung perintah yang mesti harus dikerjakan, sehingga orang
yang mengerjakan patut mendapatkan pahala. Sementara orang yang meninggalkannya atau
tidak mengerjakannya, maka orang tersebut akan mendapatkan ancaman atau dosa.

2. Sunnah

Sunah yakni tuntutan yang mengandung suruhan akan tetapi tidak wajib untuk dilakukan.
Sunah hanya berupa anjuran untuk mengerjakannya. Bagi orang yang mengerjakannya
berhak untuk mendapatkan ganjaran (pahala), sementara bagi yang tidak mengerjakannya itu
tidak akan mendapatkan dosa maupun pahala.

3. Haram

Haram adalah tuntutan yang mengandung larangan yang mesti untuk dijauhi. Karena jika
seseorang melakukan suatu hal yang hukumnya haram maka akan mendapatkan dosa atau
ancaman. Namun jika seseorang berusaha menghindari dan tidak melakukannya, maka orang
tersebut akan mendapatkan suatu ganjaran atau pahala.

4. Makruh

Makruh ialah tuntutan yang mengandung larangan akan tetapi mesti dijauhi. Jika seseorang
telah meninggalkan larangan tersebut berarti ia telah mematuhi yang melarangnya, sehingga
dia berhak mendapatkan pahala.

Tetapi karena tidak ada larangan yang bersifat mesti, maka jika seseorang melakukan
larangan tersebut tidak dapat menyalahi yang melarang, dan orang tersebut tidak berhak
mendapatkan dosa .

5. Mubah

Secara bahasa, mubah diartikan sebagai segala sesuatu yang diperbolehkan. Mubah itu berarti
sesuatu yang diberikan kepada orang mukalaf untuk memilih antara melakukan atau
meninggalkannya.

Tujuan Hukum Islam 


Secara umum:
Tujuan hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat kelak dengan
jalan mengambil segala yang bermanfaat dan mencegah atau menolak yang mudarat yaitu
yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemashalatan hidup manusia baik rohani,
maupun jasmani individual dan sosial.
Kemashalatan (kebahagiaan hidup) itu tidak hanya untuk kehidupan didunia ini saja tetapi
juga untuk kehidupan yang kekal diakhirat kelak.
 

Anda mungkin juga menyukai