Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam adalah agama yang sempurna yang tentunya sudah memiliki aturan
dan hukum yang harus dipatuhi dan dijalankan oleh seluruh umatnya. Setiap
aturan dan hukum memiliki sumbernya sendiri sebagai pedoman dalam
pelaksanaannya.
Islam sebagai agama yang sempurna memiliki hukum yang datang dari
Yang Maha Sempurna, yang disampaikan melalui Rasul-Nya Nabi
Muhammad SAW, yakni Al Quran Al Kariim. Kemudian sumber hukum
agama islam selanjutnya adalah Sunnah atau yang kita kenal dengan Hadits.
Al Qur’an dan Hadits merupakan dua hal yang menjadi pedoman utama bagi
umat Islam dalam menjalankan hidup demi mencapai kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Namun, seiring dengan berkembangnya zaman ada saja hal-hal yang tidak
terdapat solusinya dalam Al Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, ada sumber
hukum agama islam yang lain, diantaranya Ijma dan Qiyas. Namun, Ijma dan
Qiyas tetap merujuk pada Al Qur’an dan Hadits karena Ijma dan Qiyas
merupakan penjelasan dari keduanya.
Sumber hukum islam terdiri dari alquran,al-hadist dan al-ijtihad. Alquran
yang merupakan sumber hukum islam yang mendasar dan yang paling utama.
dimana dalam al quran berisi Petunjuk untuk kehidupan, Penjelas sesuatu hal,
pembeda atau pemisah antara haq dan bathil, Penawar/obat penyakit rohani
dan jasmani, Pengingat terhadap sesuatu, misalnya akhirat, Pendorong untuk
kasih sayang,suatu Pelajaran yang baik, Pembenar kitabullaah sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana peran Alquran,sunah, ijma’, dan Qiyas sebagai sumber
hukum islam?
1.2.2 Bagaimana pengaruh sumber hukum islam untuk kemaslahatan dan
pedoman dalam kehidupan?
1.2.3 Bagaimana sikap yang harus kita tunjukkan untuk menerapkan isi
Alquran?

1.3 Tujuan Penulisan

1
1. Mengetahui peran Alquran,sunah, ijma’, dan Qiyas sebagai sumber hukum
islam
2. Mengetahui pengaruh sumber hukum islam untuk kemaslahatan dan
pedoman dalam kehidupan
3. Mengetahui sikap yang harus kita tunjukkan untuk menerapkan isi Alquran
1.3 Manfaat Penulisan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Sumber Hukum Islam

Sumber Pokok hukum Islam adalah Alquran, Sunah, ‘ijma, dan Qiyas.
Alquran adalah sumber dari segala sumber hukum. Alquran menurut bahasa

2
berarti “bacaan, sedangkan menurut istilah adalah firman Allah yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW. Dalam bahasa Arab yang diriwayatkan secara
mutawatir dan yang membacanya adalah ibadah. Defenisi di atas mengisaratkan
kepada kita, bahwa : Pertama Apa-apa yang diwahyukan oleh Allah dalam
maknanya, kemudian dipahami dalam bahasa Rasulullah, tidaklah dinamakan
Alquran. Kedua Alih bahasa Alquran ke dalam bahasa lain bukanlah disebut
Alquran. Ketiga Wahyu yang diturunkan kepada selaian nabi Muhammad
bukanlah seperti taurat kepada nabi Musa. Keempat Syarat mutawatir. Adapun isi
kandungan pokok Alquran diantaranya Tauhid, Ibadah, Janji dan ancaman dan
Kisah umat terdahulu. Perlu diketahui Alquran menempati kedudukan pertama
atau tertinggi dari sumber-sumber hukum lain. Oleh karena itu, sumber hukum
dan norma yang ada tidak boleh bertentangan dengan Alquran. Alquran yang
diturunkan kepada nabi Muhammad SAW melalui malakikat Jibril untuk
disampaikan kepada umat manusia agar diamalkan segala perintah-Nya dan segala
yang dilarang-Nya.

Pedoman dalam menetapkan hukum, Pertama tidak memberatkan atau


menyulitkan, Allah tidak akan membebani umat manusia atas sesuatu yang diluar
batas kemampuan manusia. Jika manusia sulit mengerjakan , kemungkinan karena
kondisi manusia itu sendiri. Kedua, menyedikitkan beban, Alquran memberikan
keringanan kepada umat manusia dalam masalah ibadah, yang disebut juga
rukhsah, diantara keringanan (rukhsah) seperti : Menjamak dan mengqasar shalat,
tidak berpuasa dalam perjalanan, Bertayamum sebagai ganti wudhu, Memakan
makanan haram bila dalam keadaan darurat.

2.1.1 Alquran

Alquran adalah kalam Allah yang diturunkan melalui perantaraan malaikat


Jibril kepada Rasulullah saw dengan menggunakan bahasa Arab disertai
kebenaran agar dijadikan hujjah (argumentasi) dalam hal pengakuannya sebagai

3
rasul dan agar dijadikan sebagai pedoman hukum bagi seluruh ummat manusia, di
samping merupakan amal ibadah bagi yang membacanya.
Alquran diriwayatkan dengan cara tawatur (mutawatir) yang artinya
diriwayatkan oleh orang sangat banyak semenjak dari generasi shahabat ke
generasinya selanjutnya secara berjamaah. Jadi apa yang diriwayatkan oleh orang
per orang tidak dapat dikatakan sebagai Alquran. Orang-orang yang memusuhi
Alquran dan membenci Islam telah berkali-kali mencoba menggugat nilai
keasliannya. Akan tetapi realitas sejarah dan pembuktian ilmiah telah menolak
segala bentuk tuduhan yang mereka lontarkan. Alquran adalah kalamullah, bukan
ciptaan manusia, bukan karangan Muhammad saw ataupun saduran dari kitab-
kitab sebelumnya. Alquran tetap menjadi mu’jizat sekaligus sebagai bukti
keabadian dan keabsahan risalah Islam sepanjang masa dan sebagai sumber segala
sumber hukum bagi setiap bentuk kehidupan manusia di dunia.
Alquran merupakan hujjah bagi manusia, serta hukum-hukum yang
terkandung di dalamnya merupakan dasar hukum yang wajib dipatuhi, karena
Alquran merupakan kalam Al-Khaliq, yang diturunkannya dengan jalan qath’i dan
tidak dapat diragukan lagi sedikit pun kepastiannya. Berbagai argumentasi telah
menunjukkan bahwa Alquran itu datang dari Allah dan ia merupakan mukjizat
yang mampu menundukkan manusia dan tidak mungkin mampu ditiru. Salah satu
yang yang menjadi kemusykilan manusia untuk menandingi Alquran adalah
bahasanya, yaitu bahasa Arab, yang tidak bisa ditandingi oleh para ahli syi’ir
orang Arab atau siapa pun. Allah SWT berfirman:
‫ض ي‬
‫ظجهيِررا‬ ‫س يواالججنن يعيلىَ يأنَ ييأاتتوُاا بججماثجلُ يهـَيذا االقتارآْجنَ لي ييأاتتوُينَ بججماثلججه يولياوُ يكاَينَ بياع ت‬
‫ضهتام لجبياع ض‬ ‫تقلُ للئججن ااجتييميع ج‬
‫ت اجلنِإ ت‬
“Katakanlah: Sesungguhnya apabila jin dan manusia apabila berkumpul untuk
membuat yang serupa dengan Alquran ini. Pasti mereka tidak akan dapat
membuat yang serupa dengannya, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu
bagi sekalian yang lain.” (QS. Al-Israa: 88)

‫س يواالجحيجاَيرةت أتجعلد ا‬
‫ت لجاليكاَفججريين‬ ‫فيجإنَ للام تيافيعتلوُاا يويلن تيافيعتلوُاا يفاَتلتقوُاا اللناَير اللجتيِ يوتقوُتديهاَ اللناَ ت‬
“(Dan) apabila kamu tetap dalam keraguan tentang Alquran yang kami
wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), maka buatlah satu surat (saja)

4
yang semisal Alquran, dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang benar.” (QS. Al-Baqarah: 23)
Cukup kiranya pernyataan Walid bin Mughirah, salah seorang Quraisy di
masa Rasulullah saw, seorang ahli syair yang tak tertandingi, yang menjadi musuh
nabi pada awalnya berkata:

“Sesungguhnya di dalam Alquran itu terdapat sesuatu yang lezat, dan pula
keindahannya, apabila di bawah menyuburkan dan apabila di atas menghasilkan
buah. Dan manusia tidak akan mungkin mampu berucap seperti Alquran.”
Selain dari bahasanya, isi Alquran sekaligus menjadi hujjah atas
kebenarannya. Misalnya perihal akan menangnya kaum Muslimin memasuki
Makkah dengan aman (QS. Al-Fath), juga tentang akan menangnya pasukan
Romawi atas Parsi (QS. Ar-Ruum) dan sebagainya. Selain isi Alquran
menunjukkan tentang kejadian sejarah terdahulu yang sesuai dengan fakta, atau
kisah tentang sebagian Iptek, misalnya penyerbukan oleh lebah, terkawinkannya
bunga-bunga oleh bantuan angin dan sebagainya. Yang pada akhirnya terbukti
kebenarannya. Semua itu menunjukkan bahwa Alquran memang bukan datang
dari manusia melainkan dari Allah SWT; Sang Pencipta dan Pengatur Alam
Semesta. Karenanya memang sudah menjadi kelayakan bahkan keharusan untuk
menjadikan Alquran sebagai landasan kehidupan dan hukum manusia. (Lihat juga
pembuktian kesahihan Alquran pada materi “Proses Keimanan”)
Dalam Alquran terdapat ayat-ayat yang dalam kategori muhkamat dan
mutasyabihat sebagaimana firman Allah SWT:

‫ب يوأتيختر تمتييشاَبجيهاَ ت‬
‫ت‬ ‫ت هتلن أتنم االجكيتاَ ج‬ ‫ك االجكيتاَ ي‬
‫ب جمانهت آْيياَ ت‬
‫ت نماحيكيماَ ت‬ ‫ي أينِإيزيل يعليايِ ي‬
‫هتيوُ اللجذ ي‬
“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Alquran) kepadamu, di antaranya (isinya)
ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Alquran dan lainnya (ayat-ayat)
Mutasyabihat.” (QS. Ali Imran: 7)

Ayat muhkamat adalah ayat-ayat yang maksudnya dapat diketahui secara


nyata dan tidak dapat ditafsirkan lagi. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat

5
yang mempunyai arti terselubung (tersembunyi) yang dapat ditafsirkan karena
mengandung beberapa pengertian.
Keberadaan dan sifat Allah, terdapatnya surga dan neraka, kejadian hari
kiamat, diutusnya para rasul dan nabi, para malaikat dan tugas-tugasnya,
kesemuanya dijelaskan melalui ayat-ayat yang muhkamat. Termasuk dalam ayat-
ayat muhkamat adalah haramnya riba dan zina dalam segala bentuknya, wajibnya
hukum potong tangan bagi pencuri (dengan syarat tertentu), wajibnya terikat
dengan hukum-hukum Allah dan sebagainya.
Sedangkan ayat-ayat yang mutasyabihat banyak terdapat pada ayat yang
berbicara tentang mu’amalah seperti QS. Al Baqarah 228 (lafadz quru’
mempunyai dua arti, yaitu arti haid dan suci), dan QS. Al Baqarah 237 (lafadz
yang memegang ikatan nikah ada dua pengertian, bisa suami atau wali dari pihak
istri).

Selain itu, sesuai dengan kedudukan Alquran sebagai sumber utama atau
pokok hukum Islam, berarti Alquran itu menjadi sumber dari segala sumber
hukum. Karena itu jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar Alquran,
maka harus sesuai dengan petujuk Alquran dan tidak boleh melakukan sesuatu
yang bertentangan dengan Alquran. Hal ini berarti bahwa sumber hukum selain
Alquran tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan Alquran. Kekuatan
hujjah Alquran sebagai sumber dan dalil hukum fiqh terkandung dalam ayat
Alquran yang menyuruh umat manusia mematuhi Allah. Hal ini disebutkan lebih
dari 30 kali dalam Alquran. Perintah mematuhi Allah itu berarti mengikuti apa-apa
yang difirmankanNya dalam Alquran.

Pada zaman era globalisasi seperti sekarang ini, banyak orang-orang


muslim yang mengacuhkan tentang pentingnya pemahaman Alquran, padahal
dalam Alquran itu sendiri berfungsi sebagai petunjuk dan pedoman seseorang
untuk memenuhi suatu dasar tercapainya sumber-sumber dasar dari Islam.

Alquran bersifat global (mujmal) yang memerlukan perincian. Misalnya


perintah shalat, shaum maupun haji hanyalah dengan kalimat singkat : aqimis
shalat, kutiba ‘alaikum as-shiam, wa atimmu alhajj, sedangkan tentang tatacara

6
mengerjakannya tidak dijelaskan di dalam Alquran. Untuk menjelaskannya,
datanglah Rasulullah SAW memberikan penjelaskan, dari mulai tatacara shalat,
berrumah tangga, berekonomi sampai urusan bernegara. Penjelasan rasul itu
disebut Sunnah Rasul. Setelah Rasul wafat, permasalahan umat tetap
bermunculan misalnya persoalan bayi tabung, inseminasi, euthanasia, dll.
Persoalan demikian belum terakomodir di dalam Alquran maupun hadits, oleh
karena itu memerlukan sumber hukum yang ketiga, yakni ijtihad.
Alquran sebai seumber hukum islma memiliki fungsi, yaitu

1.Petunjuk bagi Manusia.

Allah swt menurunkan Alquransebagai petujuk umar manusia,seperti yang


dijelaskan dalam surat (Q.S AL-Baqarah 2:185 (QS AL-Baqarah 2:2) dan (Q.S
AL-Fusilat 41:44)

2. Sumber pokok ajaran islam.

Fungsi Alquran sebagai sumber ajaran islam sudah diyakini dan diakui
kebenarannya oleh segenap hukum islam.Adapun ajarannya meliputi persoalan
kemanusiaan secara umum seperti hukum, ibadah, ekonomi, politik, social,
budaya, pendidikan, ilmu pengethuan dan seni.

3. Peringatan dan pelajaran bagi manusia.

Dalam Alquran banyak diterangkan tentang kisah para nabi dan umat
terdahulu,baik umat yang taat melaksanakan perintah Allah maupun yang mereka
yang menentang dan mengingkari ajaran Nya.Bagi kita,umat uyang akan datang
kemudian rentu harus pandai mengambil hikmah dan pelajaran dari kisah-kisah
yang diterangkan dalam Alquran.

4. Sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw.

7
Turunnya Alquran merupakan salah satu mukjizat yang dimilki oleh nabi
Muhammad saw.

Sedangkan tujuan pokok dari Alquran adalah

1. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang
tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan kepastian
adanya hari pembalasan.

2. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan norma-


norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia dalam
kehidupannya secara individual atau kolektif.

3. Petunjuk mengenal syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-dasar


hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan dan
sesamanya. Atau dengan kata lain yang lebih singkat, “Alquran adalah petunjuk
bagi selunih manusia ke jalan yang harus ditempuh demi kebahagiaan hidup di
dunia dan di akhirat.”

2.1.2 Sunah
Sunnah adalah perkataan, perbuatan dan taqrir
(ketetapan/persetujuan/diamnya) Rasulullah SAW terhadap sesuatu hal/perbuatan
seorang shahabat yang diketahuinya. Sunnah merupakan sumber syariat Islam
yang nilai kebenarannya sama dengan Alquran karena sebenarnya Sunnah juga
berasal dari wahyu. Firman Allah SWT:

‫(إجانَ هتيوُ إجلل يواح ت‬3)َ‫ق يعجن االهييوُى‬


(4)َ‫يِ تيوُيحى‬ ‫يويماَ يينجط ت‬
“(Dan) Tiadalah yang diucapkannya (oleh Muhammad) itu menurut kemauan
hawa nafsunya. Ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya).” (QS. An-Najm: 3-4)

Makna ayat di atas bahwanya apa yang disampaikan Rasulullah saw


(Alquran dan As-Sunnah) hanyalah bersumber dari wahyu Allah SWT, bukan dari
dirinya maupun kemauan hawa nafsunya. Sebagaimana firman Allah SWT:

8
‫إجانَ أيتلبجتع إجلل يماَ تيوُيحىَ إجلي ل‬... ُ‫تقل‬
ِ‫ي‬
“(Katakanlah Muhammad) ...aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku.”
(QS. Al-An’am 50)
Ayat ini bermakna bahwa Rasulullah saw tidak melakukan suatu tindakan
kecuali berdasarkan wahyu dari Allah SWT dan agar manusia mengikuti apa yang
disampaikannya.
Alquran telah menegaskan bahwa selain dari Alquran, Rasulullah saw juga
menerima wahyu yang lain, yaitu Al Hikmah yang pengertiannya sama dengan
As-Sunnah, baik perkataan, perbuatan atau pun ketetapan (diamnya). Pengertian
Al Hikmah yang bermakna As-Sunnah dapat ditemukan dalam QS. Ali Imran:
164, QS. Al-Jumu’ah: 3, dan QS. Al-Ahzab: 34.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami dan diyakini bahwa kehujjahan
As-Sunnah sebagai sumber hukum/syariat Islam bersifat pasti (qath’i)
kebenarannya; sebagaimana Alquran itu sendiri.
Adapun mengenai fungsi As-Sunnah terhadap Alqur’an dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Menguraikan Kemujmalan (keumuman) Alquran.
Mujmal adalah suatu lafadz yang belum jelas indikasinya
(dalalah/penunjukannya) yaitu dalil yang belum jelas maksud dan
perinciannya. Misalnya perintah shalat, membayar zakat dan menunaikan haji.
Alquran hanya menjelaskannya secara global, tidak dijelaskan tata cara
pelaksanaannya. Kemudian Sunnah secara terperinci menerangkan tata cara
pelaksanaan shalat, jumlah raka’at, aturan waktunya, serta hal-hal lain yang
berkaitan dengan shalat; begitu pula dengan ibadah-ibadah yang lain.
Imam Ibnu Hazm, salah seorang ulama besar dari Andalusia pada masa
Abbasiyah menjelaskan:
“Sesungguhnya di dalam Alquran terdapat ungkapan yang seandainya tidak
ada penjelasan lain, maka kita tidak mungkin melaksanakannya. Dalam hal
ini rujukan kita hanya kepada Sunnah Nabi saw. Adapun ijma’ hanya terdapat

9
dalam kasus-kasus tertentu saja yang relatif sedikit. Oleh sebab itu secara
pasti wajib kembali kepada Sunnah.”

2.1.3 ‘Ijma

Lafadz ijma’ menurut bahasa bisa berarti tekad yang konsisten tehadap
sesuatu atau kesepakatan suatu kelompok terhadap suatu perkara. Sedangkan
menurut para ulama ushul fiqh, ijma’ adalah kesepakatan terhadap suatu hukum
bahwa hal itu merupakan hukum syara’.
Dalam hal ini terdapat perbedaan dalam hal menentukan ‘siapa’ yang
ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum atau dalil syar’i. Ada yang
mengatakan ijma’ ulama pada setiap masa, atau ijma’ ahlul bait, atau ijma’ ahlu
Madinah, atau ijma’ ahlul halli wal aqdi, ijma’ shahabat atau sebagainya.
Untuk menetapkan sumber pengambilan hukum bagi dalil-dalil syar’i
dibutuhkan suatu sumber yang bersifat qath’i. Diantara berbagai pendapat tentang
‘siapa’ yang ijma’nya dapat diterima sebagai sumber hukum, maka yang paling
memenuhi persyaratan untuk hal ini adalah “Ijma’ para Shahabat” Rasulullah saw.
Dari segi mungkin tidaknya ‘seluruh orang yang berijma’ berkumpul,
saling mengetahui ijma’ dan dapat mengkoreksi bila diketahui kesalahannya,
maka hal ini hanya mungkin terjadi pada masa shahabat, tidak pada masa selain
mereka. Sebagai contoh, ijma’ ulama. Maka untuk terwujudnya ijma’ ulama,
haruslah diperjelas ‘siapa saja ulama’ itu; apakah ulama yang sudah sering
digunakan untuk ‘membuat hukum pesanan’ juga termasuk di dalamnya? Akan
pasti benarkah ijma’ mereka tersebut? Benarkah semua ‘ulama’ tadi mengetahui
dan menyetujui ijma’ tersebut? Tidak adakah yang selanjutnya menarik atau
membatalkan ijma’nya tadi sampai ia meninggal? Dan mungkinkah para ulama
(seluruh kaum Muslimin di seluruh dunia) mampu berkumpul bersama membahas
suatu masalah baru? Masih banyak yang tidak bisa terjawab selain oleh para
shahabat, padahal semua hal tadi merupakan syarat sahnya sebuah ijma’ oleh
suatu kelompok. Karena ketidakmungkinan itulah, Imam Ahmad bin Hambal
pernah menyatakan bahwa suatu kebohongan besar bila ada yang mengatakan
mampu terwujud ijma’ setelah masa shahabat. Dan karena ketidakmungkinan itu
pula yang pada akhirnya muncul istilah ‘jumhur ulama’; artinya kebanyakan

10
ulama berijtihad dengan hasil serupa terhadap suatu masalah. Jumhur berbeda
dengan ijma’.
Banyaknya pujian kepada para Shahabat secara jama’ah, baik tercantum
dalam Alquran maupun hadits (keduanya dalil yang qath’i kebenarannya). Seperti
tercantum dalam QS. Al-Fath: 29, QS. At-Taubah: 100, QS. Al Hasyr: 8. Begitu
pula sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya aku telah memilih para shahabat-ku atas segenap makhluk,


selain para nabi.”
(HR Thabari, Al Baihaqi dan lain-lain)

“Para shahabatku itu ibarat bintang pada siapapun (di antara mereka) kalian
turuti, maka akan mendapatkan petunjuk.” (HR Ibnu Abdil Barr)

Petunjuk Allah dan Rasul-Nya terhadap para shahabat menunjukkan suatu


kepastian tentang kebenaran dan kejujuran mereka (sebagai suatu jama’ah, bukan
secara pribadi-pribadi) sehingga apabila mereka bersepakat atas suatu masalah,
maka hal itu atas dasar kejujuran dan kebenaran mereka. Dalil-dalil yang memuji
para shahabat tersebut bersifat qath’i sehingga kita bisa menentukan bahwa ijma’
shahabat dapat digunakan sebagai dalil syara’.
Sesungguhnya para shahabat merupakan generasi yang mengumpulkan,
menghafalkan dan menyampaikan Alquran beserta Sunnah pada generasi
berikutnya. Di samping itu para shahabat merupakan orang-orang yang hidup
semasa Rasulullah saw, hidup bersama, mengalami kesulitan dan kesenangan
secara bersama-sama. Merekalah yang mengetahui kapan, dimana, dan berkaitan
dengan peristiwa apa suatu ayat Alquran diturunkan. Merekalah yang mengetahui
Sunnah Rasulnya, mengalami dan melihat sendiri kehidupan kaum Muslimin
generasi pertama tatkala Rasulullah masih hidup. Lalu adakah generasi yang lebih
baik yang pernah dilahirkan manusia di muka bumi ini selain mereka (para
shahabat)? Ijma’ siapa lagi selain ijma’ mereka yang lebih baik dan lebih kuat?
Memang tidak mustahil para shahabat pun melakukan kesalahan, sebab
mereka pun tetap manusia yang tidak ma’shum. Akan tetapi secara syar’i mereka

11
mustahil bersepakat atau berijma’ atas suatu kekeliruan/kesesatan. Apabila terjadi
kesalahan dalam ijma’ mereka tentang suatu persoalan maka tentu akan terdapat
kesalahan dalam Islam, dalam Alquran dan Hadits sebab merekalah yang
menyampaikan Alquran dan menuturkan hadits Rasulullah saw pada generasi
berikutnya. Bahkan sebenarnya mereka pulalah yang memberitahukan Islam
kepada generasi selanjutnya. Karenanya kesalahan dalam ijma’ shahabat adalah
mustahil terjadi secara syar’i.
Salah satu ijma’ shahabat terpenting adalah pengumpulan Alquran menjadi
mushaf. Alquran dalam bentuk sekarang ini merupakan hasil kesepakatan (ijma’)
para shahabat. Bersamaan dengan ini Allah SWT berfirman:

‫إجلنِإاَ نِإياحتن نِإيلزاليناَ الذذاكير يوإجلنِإاَ ليهت لييحاَفج ت‬


َ‫ظوُين‬
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Alquran dan sesungguhnya Kami
benar-benar akan menjaganya.” (QS. Al Hijr: 9)

‫يل ييأاجتيِجه االيباَجطتلُ جمن بيايِجن يييدايجه يويل جمان يخالفججه‬


“Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebathilan, baik dari depan maupun
dari belakangnya.”
(QS. Fushilat: 42)

Dari kedua ayat tersebut, Allah memastikan bahwa mushaf Alquran yang
ada kini --yang merupakan ijma’ para shahabat-- dijamin kebenarannya. Dengan
kata lain melalui tangan-tangan para shahabatlah, Allah menjaga kebenaran
Alquran. Jika ada kemungkinan salah dalam ijma’ shahabat, berarti ada
kemungkinan salah dalam Alquran sekarang. Padahal hal ini adalah mustahil
terjadi.
Dengan demikian secara syar’i mustahil terjadi kesalahan dalam ijma’
shahabat. Inilah dalil yang pasti bahwa ijma’ shahabat merupakan dalil syar’i.
Contoh lain yang masyhur tentang ijma’ shahabat adalah keharusan adanya
seorang khalifah yang akan memimpin dan mengurus seluruh kebutuhan kaum
muslimin, melindungi, dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia,
sebagaimana yang dilakukan para shahabat tatkala Rasulullah saw wafat.

12
2.1.4 Qiyas
Menurut para ulama ushul, qiyas berarti menyamakan suatu kejadian yang
tidak ada nashnya dengan suatu kejadian yang sudah ada nash/hukumnya, karena
disebabkan adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat (sebab) hukumnya.
Qiyas digunakan sebagai sumber dalil syar’i karena dalam qiyas yang
menjadi dasar pengambilan hukum adalah nash-nash syar’i yang memiliki
kesamaan illat. Sebagaimana diketahui bahwa yang menjadi dasar keberadaan
hukum adalah illatnya, maka apabila ada kesamaan illat antara suatu masalah baru
dengan masalah yang sudah ada hukumnya, maka hukum masalah yang baru
tersebut menjadi sama.
Maka bila illat yang sama terkandung dalam Alquran berarti dalil qiyas
dalam hal tersebut adalah Alquran. Demikian pula apabila illat yang sama
terkandung dalam Sunnah dan Ijma’ Shahabat maka yang menjadi dalil qiyas
adalah kedua hal tersebut.
Disamping itu ada beberapa hadits Rasulullah yang mengisyaratkan
penggunaan qiyas sebagai dalil syara’. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas:
“Seorang wanita kepada Rasulullah dan berkata: ‘Ya Rasulullah, Ibuku telah
meninggal, sedang ia belum menunaikan puasa nadzar, apakah aku harus
menggantinya?’ Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Bagaimana jika ibumu
mempunyai hutang, sedang ia belum membayarnya, apakah kamu akan
membayar hutangnya?’ Jawabnya: ‘Benar’. Maka bersabda Rasulullah saw:
‘Maka puasalah untuk (memenuhi) nadzar ibumu’.”

Dan Imam Daruquthny meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:

“Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan mengatakan bahwa bapaknya


meninggal, sedangkan ia berkewajiban menunaikan ibadah haji. Dia bertanya:
‘Apakah aku harus menghajikan bapakku?’ Maka Rasulullah berkata:
‘Bagaimana jika bapakmu punya hutang, apakah kamu harus membayarnya?’
Jawabnya: ‘Benar’. Maka Rasulullah berkata ‘Berhajilah untuknya’.”

13
Dalam dua hadits tersebut Rasulullah mengumpamakan atau
mensejajarkan persoalan nadzar, haji, dengan hutang, yang sama-sama harus
dipenuhi
Sebagai contoh, mengadakan transaksi jual beli tatkala adzan shalat Jum’at
merupakan peristiwa yang telah ditetapkan dalam nash, yaitu haram, berdasarkan
ayat:

‫اج يويذتروا االبيايِيع‬


‫صيلجة جمن يياوُجم االتجتميعجة يفاَاسيعاوُا إجيلىَ جذاكجر ل‬
‫يياَ أينييهاَ اللجذيين آْيمتنوُا إجيذا تنِإوُجدي جلل ل‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada
hari Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah (shalat) dan
tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al-Jumuah: 9)

Illat pada ayat di atas adalah karena hal tersebut melalaikan shalat. Oleh
karena itu sewa menyewa, transaksi perdagangan maupun perbuatan lainnya yang
mempunyai kesamaan illat, yaitu melalaikan shalat, maka perbuatan tersebut
hukumnya diqiyaskan dengan perbuatan jual beli di atas, yaitu haram.
Berdasarkan kaidah syara: ”Sesungguhnya hukum-hukum tentang ibadah,
makanan, pakaian, minuman, dan akhlaq tidak dapat direka-reka, semua
ketentuannya wajib sesuai dengan nash/ketentuan syara’ semata”. Jadi ruang
lingkup daripada qiyas hanya pada hal-hal (masalah) yang memiliki kesamaaan
illat di dalamnya. Sedangkan di dalam masalah pakaian, makanan, minuman,
ibadah dan akhlak di dalamnya tidak mempunyai illat, karena masalah ini sudah
jelas nash syara’nya sehingga tidak bisa diqiyaskan.
Setiap qiyas mempunyai empat rukun:
a. Asal (pokok).
Yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat
mengqiyaskan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat
mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau
“musyabbah bih” (tempat menyerupakannya)
b. Far’u (cabang).

14
Yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak
disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang
diqiyaskan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan).
c. Hukum asal.
Yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk
menetapkan hukum itu kepada cabangnya.
d. ‘Illat.
Yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Yang karena
sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum dan oleh karena
sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabaang itu
dengan hukum peristiwa asal. Rukun qiyas yang keempat adalah yang
terpenting untuk dibahas, karena illat qiyas merupakan asasnya.
2.2 Pembagian Hukum Islam
2.2.1 Hukum Taklifi
Secara garis besar para ulama’ ushul fiqh membagi hukum syara’ pada dua
macam, yaitu Hukum Taklifi , Hukum Takhyiri dan Hukum Wadh’i. Hukum
Taklifi menurut para ahli Ushul Fiqh adalah, ketentuan-ketentuan Allah yang
berhubungan langsung dengan perbuatan orang mukallaf, baik perintah, anjuran
untuk melakukan, larangan, anjuran untuk tidak melakukan, atau dalam bentuk
member kebebasan memilih untuk berbuat atau tidak berbuat .

Hukum Taklifi adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk


melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan . Hal senada juga diungkapkan oleh Chaerul Uman dkk, bahwa
hukum Taklifi adalah khitab/ firman Allah yang berhubungan dengan segala
perbuatan para mukallaf, baik atas dasar iqtidha’ atau atas dasar takhyir .

Untuk memperjelas pembahasan, kami akan menyajikan definisi hukum


wadh’i secara sekilas. Hal ini perlu disampaikan karena antara hukum Taklifi dan
Hukum Wadh’i mempunyai hubungan yang sangat erat. Hukum Wadh’i adalah
hukum ketentuan-ketentuan yang mengatur tetang sebab, syarat dan mani’
(sesuatu yang menjadi penghalang kecakapan untuk melakukan hukum Taklifi) .

15
Jadi, jika hukum Taklifi adalah ketentuan Allah yang bersifat perintah,
larangan atau pilihan antara perintah dan larangan. Sedangkan hukum Wadh’i
adalah hukum yang menjelaskan hukum taklifi. Maksudnya, jika hukum taklifi
menjelaskan bahwa shalat wajib dilaksanakan umat islam, hukum Wadh’i
menjelaskan bahwa waktu tenggelamnya matahari pada waktu sore hari menjadi
sebab tanda bagi wajibnya seseorang menunaikan shalat maghrib.

Sehingga bisa dijelaskan bahwa pembagian hukum Taklifi ada lima, yang juga
disebut dengan maqashid As-Sari’ah al-Khamsah yaitu:
1. Ijab (mewajibkan), yaitu ayat atau hadits dalam bentuk perintah yang
mengharuskan untuk melakukan suatu perbuatan. Misalnya, ayat yang
mengharuskan untuk shalat. Atau dengan perkataan lain, Ijab adalah
sesuatu yang berahala jika dilaksanakan dan berdosa jika ditinggalkan.
2. Nadb (Sunnah), yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang
tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang
tidak dilarang untuk meninggalkannya. Artinya: “ Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untik waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”. (Al-Baqarah: 282).
3. Tahrim (melarang), yaitu ayat atau hadits yang melarang secara pasti untuk
tidak melakukan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Tahrim adalah
antonim dari wajib. Dikerjakan mendapat siksa/ berdosa sedangkan
ditinggalkan mendapat pahala.
4. Karahah, yaitu ayat atau hadits yang menganjurkan untuk meningalkan
suatu perbuatan. Atau dengan kata lain, Karahah adalah antonim dari
Nadb.
5. Ibahah, yaitu ayat atau hadits yang memberi pilihan seseorang untuk
melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan. Atau dengan kata lain,
dikerjakan tidak mendapat apa-apa sedangkan ditinggalkan juga tidak
mendapat apa-apa --disisi Allah.

16
2.2.2 Hukum Takhyiri

Takhyir berasal dari bahasa Arab (‫ )تخيِيِرا‬yang secara etimologi berarti


menyuruh pilih atau memberi kebebasan memilih. Sedangkan secara epistimologi
takhyir adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Allah(As-Syari’) untuk memilih
antara melakukan atau tidak. Para ulama’ menamakan khitab ini ibahah (mubah)
dan demikian pula sifat perbuatan itu. Adapun menurut Prof. Dr. Rahmat Syafe’i,
takhyir (fakultatif) adalah kebolehan memilih antara melakukan atau
meninggalkannya dengan posisi yang sama. Sedangkan di dalam kamus Istilah
Fiqh dijelaskan bahwa Hukum Takhyiri ialah suatu hukum yang sifatnya boleh
memilih, yakni : boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan. Hukum Takhyiri
mencakup: Sunat, Makruh dan Mubah.
Dari beberapa definisi di atas, penulis lebih sependapat dengan definisi
pertama dan kedua bahwa takhyir sama dengan mubah. Karena pembahasan
tentang takhyir di dalam kitab-kitab ushul fiqh sangat terbatas, maka penulis akan
menjelaskan tentang mubah dan tidak lagi memakai kata takhyir. Hal ini diperkuat
dengan adanya definisi takhyir: bahwa Allah SWT memberikan kebebasan kepada
orang mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkannya, seperti, makan, tidur
dan pekerjaan-pekerjaan lainnya yang biasa dikerjakan manusia pada waktu-
waktu tertentu, dimana Allah memang memerintahkan perbuatan-perbuatan
tersebut, hanya saja tidak memberikan ketentuan waktunya.
2.2.3 Hukum Wadh’i
Hukum Wadh’i ialah hokum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah
sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau syarat baginya atau penghalang
terhadap sesuatu. Hukum wadh’i merupakan hokum yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf yang mengandung persyaratan, sebab atau mani’. Hukum
wadh’i adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab
(sabab) dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut),
antara penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang
sah dan hukum yang tidak sah.
Hukum ini dinamakan hukum wadh’i karena dalam hukum tersebut
terdapat dua hal yang saling berhubungan dan berkaitan. Seperti hubungan sebab
akibat, syarat, dan lain-lain. Tapi pendapat lain mengatakan bahwa definisi hukum

17
wad’i adalah hukum yang menghendaki dan menjadikan sesuatu sebagai sebab
(al-sabab), syarat (al-syarthu), pencegah (al-mani’), atau menganggapnya sebagai
sesuatu yang sah (shahîh), rusak atau batal (fasid), ‘azimah atau rukhshah. Jadi,
Hukum wadh’i adalah Hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
yang berkaitan dengan sebab akibat, syarat, mani’, shah dan batal, sekaligus
azimah dan rukhsah.
Hukum Wadh’i terbagi menjadi lima macam yaitu sebab, syarat, mani,
rukhsah dan azimah, sah dan batal.
a) Sebab (As-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab”, secara etimologis,
artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai pada suatu
tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab, karena “jalan” bisa
menyampaikan seseorang kepada tujuan.
Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda
dan ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang cocok dijadikan sebab
lahirnya hukum yang dinamakan ”illat”. Tetapi apabila hubungan antara tanda dan
ketentuan hukum kurang jelas dan kurang cocok yang seperti ini dinamakan
sebab.
Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwasanya sebab adalah
sesuatu yang keberadaannya dijadikan Syari’ sebagai pertanda keberadaan suatu
hokum dan ketiadaan sebab sebagai pertanda tidak adanya hukum.Sebab yang
diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam, sebab yang tidak termasuk
perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.
Sebab yang berasal dari bukan perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu
shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib
mengeluarkan zakat,timbul bulan awal Ramadhan yang menyebabkan wajib
puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin, sakit yang menyebabkan buka
puasa pada bulan Ramadhan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris,
perkawinan yang menjadi sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab
sahnya tindakan.
Sebab dari perbuatan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang
menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.Ditetapkan sebab

18
tentunya akan melahirkan musabab, karena itu tidak diterima akal kalau
ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan hukum syara’
bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan
manusia dari kerusakan, inilah yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai
ketentuan hukum.
Dilihat dari segi pengaruh yang ditimbulkan, maka al-sabab dapat dibagi
menjadi dua macam, yaitu:
1. Al-Sabab al waqti. Sebagai contoh, masuknya waktu salat yang dijadikan Syari’
sebagai al-sabab adanya kewajiban salat. Allah SWT berfirman:
Artinya:
“Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir”. (QS. Al-Isra`: 78)
2. Sabab al- ma’nawi, seperti mabuk sebagai penyebab keharaman khamr,
sebagaimana sabda Rasul:
Artinya:
“Setiap yang memabukkan itu adalah haram” (H.R Muslim, Ahmad Ibnu Hambal
dan Ashhab Al-Sunan)
b) Syarat
Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum
dengan adanya syarat dan dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada.
Syarat letaknya di luar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrut
pun tidak ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut.
Syarat yang ditetapkan mungkin sebagai pelengkap sebab hukum seperti
pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat
halalnya pergaulan suami istri, namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri
oleh dua orang saksi. Demikianlah dalam semua perjanjian dan tindakan baru
dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.
Syarat-syarat dalam kegiatan hukum kadang-kadang ditetapkan syara’
yang seperti ini dinamakan syarat syar’i dan kadang-kadang ditetapkan oleh
mukallaf sendiri yang dinamakan syarat ja’li. Contoh syarat syar’i seperti syarat
yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh
syarat ja’li seperti jatuhnya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan
perkawinan.

19
Syarat syar’i dapat dibagi menjadi 2 macam:
1) Syarat yang terkandung dalam khitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk
tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu dalam shalat. Dan kadang-kadang
dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuatnya seperti akad nikah tahlil, ialah
nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama
menikahi kembali istrinya yang ditalak tiga.
2) Syarat yang terkandung dalam kitab wadh’i. Contohnya haul bagi yang memiliki
harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.
Syarat ja’li dapat dibagi menjadi 3 macam:
1) Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum
dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
2) Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang
dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu.
3) Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan
hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku
karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah.
Namun, kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.
3) Mani’
Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:
“ Mani’ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal
sebab hukum sekalipun menurut syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya
tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya”.
Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab
hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.
Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang
membunuh itu adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat
dilaksanakan hukuman qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan hukum seperti
pembunuhan telah tercapai.
Para ulama dalam kalangan mazab Hanafi membagi mani’ menjadi 5
macam:
a) Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang
merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang yang

20
merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli
menjadi sebab berpindahnya hak mi,ik dan membeli menjadi sebab kebolehan
menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.
b) Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi
orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab
bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjual barang bukan miliknya,
penjual yang seperti ini tidak sah karena terdapat mani’ ialah barang yang dijuala
adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui
penjualan itu, maka perjanjian itu menjadi sah.
c) Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak
penjualan yang menghalangi pembelian mempergunakan haknya terhadap barang
yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak boleh
dan si B bahwa barang yang dijualnya kepada si B tidak boleh dipergunakan
selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu
dan kalau pendiriannya berubah dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum
syarat berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.
d) Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah. Khiyar
ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak milik, namun hak milik itu dianggap
belum sempurna sebelum pembeli melihat barang itu sudah berada ditangan
pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan
pembelian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang
ditetapkan tetapi dalam hal barang yang dijual belikan tidak cocok dengan
persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu
persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan.
e) Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A sebagai pembeli
sesuatu barang yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya
kemudian ternyata cacat, pembeli berhak memilih antara meneruskan perjanjian
atau mengembalikan barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan
barang itu sesudah mendapat persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan
lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.
4) Azimah dan Rukhsah
Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:

21
“ Hukum yang disyriatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang
bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku
hanya kepada mukallaf tertentu”.
Jadi azimah merupakan hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak
berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuk
tempat dan waktu tertentu. Umpamanya shalat lima waktu diwajibkan setiap
orang, diwajibkan pada semua keadaan asal saja mukallaf dipandang cakap
melakukannya.
Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:
“ hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi
mukhalaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan”.
Rukhsah seperti yang telah diuraikan diatas mempunyai empat macam:
a) Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat
kesulitan dalam melaksanakan ketentuan umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini
seperti kebolehan utang piutang perjanjian silm, diat yang dibebankan kepada
seluruh anggota keluarga yang membunuh.
b) Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah
dalam firman-Nya:
“. . . Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat
sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. . .” (Q.S. Al
Baqarah: 286)
c) Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah sehingga
terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanakan ibadah lebih banyak.
d) Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul ialah hukum
pengecualian dari ketentuan hukum umum.
5) Sah dan Batal
Lafal ‘sah’ dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban
didunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah
karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan syara’ dan perbuatan
itu akan mendatangkan pahala diakhirat. Sebaliknya, lafal ‘batal’ yang dapat
diartikan tidak melepas tanggung jawab, tidak menggugurkan kewajiban didunia
dan di akhirat tidak memperoleh pahala.

22
Secara umum bahwasanya sah adalah perbuatan yang dilakukan mukalaf
dengan memenuhi rukun dan syaratnya, dengan tata cara yang yang di tetapkan
syara’, tanpa ada halangan, dan tujuan dari perbuatan yang ditentukan syara’
tercapai. Apabila perbuatan tersebut tidak tercapai maka dianggap bathil.

2.3 Studi Kasus


Dalam hukum Islam disyariatkan Allah SWT demi kemaslahatan manusia
dan diantara kemaslahatan yang ingin diwujudkan dalam syariat hukum tersebut
adalah harta yang terpelihara dari pemindahan hak milik yang tidak menurut
dengan prosedur hukum dan juga dari pemanfaatannya yang tidak sejalan dengan
kehendak Allah SWT. Karena itulah, larangan merampas, mencuri, mencopet dan
lainnya menjadi pemeliharaan keamanan harta dari kepemilikan yang tidak sah.
Larangan memakainya sebagai taruhan judi dan juga memberikan pada orang lain
yang diyakini akan dipakai untuk perbuatan yang maksiat, sebab penggunaan
yang tidak sesuai dengan jalan Allah SWT jadikan kemaslahatan yang dituju
menjadi tidak tercapai. Ulama fikih juga sepaham dan berkata jika perbuatan
korupsi merupakan haram dan juga terlarang sebab menjadi hal yang bertentangan
dengan maqasid asy-syariah.
Hukum Menggunakan Hasil Korupsi
Istilah dari penggunaan mempunyai pengartian yang luas seperti
menyantap, mengeluarkan untuk keperluan ibadah, keperluan sosial dan lain
sebagainya. Menggunakan harta kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi sama
saja dengan hasil rampasan, hasil judi, hasil curian dan hasil haram lainnya.
Dengan cara meraihnya yang sama, maka hukum menggunakan hasilnya juga
tentunya sama. Ulama fikih dalam urusan ini juga sepakat jika menggunakan harta
yang didapat dengan cara terlarang maka hukumnya adalah haram karena prinsip
harta tersebut bukan menjadi milik yang sah namun milik orang lain yang didapat
dengan cara terlarang.
Dasar yang menjadi penguat pendapat ulama fikih ini diantaranya adalah firman
dari Allah SWT sendiri, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa
(urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari

23
pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu
mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Dalam ayat tersebut juga tertulis larangan mengambil harta orang lain yang
didapat dengan cara batil seperti menipu, mencuri dan juga korupsi. Harta yang
didapat dari hasil korupsi juga bisa diartikan menjadi harta kekayaan yang didapat
dengan cara riba, sebab kedua cara ini sama – sama berbentuk ilegal. Jika
memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130).

BAB III

24
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sumber sumber hukum dalam islam ada empat yaitu Alquran,


Sunah,’Ijma, dan Qiyas.

Alquran ialah wahyu berupa kalamullah yang diamanatkan kepada


malaikat jibril, disampaikannya kepada Nabi Muhammad Saw, isinya tak dapat
ditandingi oleh siapapun dan diturunkan secara bertahap, lalu disampaikan kepada
umatnya dengan jalan mutawatir dan dimushafkan serta membacanya
dihukumkan sebagai suatu ibadah

As-Sunnah atau al-hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada


Nabi Saw, baik berupa qaul (ucapan), fi’il (perbuatan) maupun taqrir (sikap diam
tanda setuju) Nabi Saw.

ijma adalah kesepakatan para imam mujtahid di antara umat Islam pada
suatu masa setelah Rasulullah saw wafat, terhadap hukum syara tentang suatu
masalah. Karena itu, jika terdapat suatu kejadian yang dihadapkan kepada seluruh
mujtahid di kalangan umat Islam pada suatu waktu, mereka kemudian bersepakat
terhadap suatu hukum mengenai kejadian tersebut.

Al-Qiyas menurut bahasa adalah mengukur sesuatu dengan sesuatu yang


lain yang bisa menyamainya atau menyamakan satu kejadian yang tidak ada
nashnya kepada kejadian lain yang ada nashnya pada hukum yang telah
menetapkan lantaran adanya kesamaan di antara dua kejadian itu dalam illat
hukumnya.

Pembagian hukum islam ada tiga yaitu, Hukum taklifi, Hukum takhyiri,
dan hukum Wadh’i. Hukum taklifi dibagi menjadi wajib, mandub, haram dan
makhruh. Sedangkan hukum Wadh’I dibagi menjadi sabab, mani, dan syarath.

3.2 Saran

25
Kita sebagai umat Islam seharusnnya lebih giat untuk membaca dan
mengamalkan isi ajaran yang terkandung didalam Alquran. Sebagaimana para
sahabat nabi yang telah berupaya mengumpulkan, menuliskan, serta merapihkan
susunan isi Alquran namun tidak merubah satu kata pun isi ketika awal turun
kepada Nabi Muhammad SAW.

26

Anda mungkin juga menyukai