Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PIDANA KERJA SOSIAL

DISUSUN OLEH :
Eko Nugroho
NPM : 5113500159

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PANCASAKTI TEGAL
2016

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur atas limpahan berkat dan


Rahmat-Nya dari Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya penyusunan makalah
mengenai Pidana Kerja Sosial.
Makalah ini disusun berdasarkan sumber dari buku-buku dan sumber
lainnya yang berhubungan dengan sistem pemidanaan.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memberikan
pemahaman dan menambah wawasan bagi orang yang membacanya.
Kami menyadari akibat keterbatasan waktu dan pengalaman penulis,
maka makalah

ini masih banyak kekurangan. Untuk itu dengan segala

kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat


membangun dari semua pihak terkhusus dosen mata kuliah ini demi
kesempurnaan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah yang penuh kesederhanaan ini dapat
bermanfaat bagi teman-teman mahasiswa atau semua pihak yang membaca
makalah ini.

Tegal, November 2016

Penyusun

DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL ..............................................................................................

...............................
KATA
PENGANTAR .....................................................................................

ii

....................................
DAFTAR
ISI ....................................................................................................
.....................................
BAB

iii

PENDAHULUAN ................................................................................

...................................
Latar Belakang
A. Masalah .....................................................................................

B
.

..................
Rumusan
Masalah .....................................................................................

.............................
BAB II
PEMBAHASAN ..................................................................................

...................................
Sanksi Pidana Sebagai Perampas Kemerdekaan
A.
Manusia ....................................
B Pidana Kerja Sosial Sebagai Suatu

.
C

Gagasan ................................................................
Pidana Kerja Sosial Dilihat dari Kebijakan

.
Kriminal .............................................
BAB III

13
14

PENUTUP .........................................................................................

19

....................................
A. Kesimpulan ................................................................................

19

................................................
Saran .........................................................................................

.
....................................................
DAFTAR
PUSTAKA ..........................................................................................

20

21

................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Hukum hadir dan dibuat sebagai salah satu jalan yang
diharapkan dapat memberi penyelesaian yang tepat dan seadil-adilnya
dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif dari
segala bentuk tindak pidana yang dirasa merugikan, melanggar, dan
merampas hak asasi manusia yang lain. Hukum adalah suatu tatanan
norma yang mengatur pergaulan manusia dalam bermasyarakat.
Perkembangan hukum tidaklah terlepas dari perkembangan pola pikir
manusia yang menciptakan hukum tersebut untuk mengatur dirinya
sendiri. Hukum ada pada setiap masyarakat di manapun di muka bumi.
Primitif dan modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum.
Oleh karena itu, keberadaan (eksistensi) hukum sifatnya universal.
Hukum tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, keduanya mempunyai
hubungan timbal balik.
Pidana mati bukanlah suatu masalah baru pada sejarah panjang
proses penegakan hukum (law enforcement), melainkan sudah banyak
dipertentangkan sejak berabad-abad yang lalu. Penerapan pidana mati
dalam proses penegakan hukum banyak yang bersikap pro maupun
kontra, dari kalangan yang pro terhadap sistem ini beralasan bahwa
pidana mati adalah tindakan pembalasan terhadap akibat perbuatan
yang dilakukan oleh pelaku dan ini sudah diatur dalam undang-undang,
dan mereka berdalih bahwa pidana mati telah sesuai dengan ajaran
agama, dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Dilain pihak, bagi mereka yang kontra, umumnya dari kalangan
pegiat Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan bahwa setiap orang
berhak atas kelangsungan atas kehidupannya, hal ini sebagaimana juga

diatur dalam Pasal 28 A UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya,

namun

pada

hakikatnya

konstitusi

tidak

pernah

meletakkan hukuman mati di dalam HAM itu sendiri, artinya hak untuk
hidup itu merupakan bagi masyarakat Indonesia secara umum.

Apa yang telah dijelaskan diatas merupakan suatu contoh yang


ada dari sistem sanksi pemidaan di negara kita yang masih eksis
keberadaannya, dikarenakan dalam stelsel pidana kita, di pasal 10 Kitab
Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan demikian. Marilah
kita lihat kesisi yang lainnya, yaitu mengenai hukum pidana itu sendiri,
banyak negara di dunia merasa tidakpuas dan frustasi terhadap hukum
pidana formal telah memicu sejumlah pemikiran untuk melakukan
upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang berkaitan
dengan penanganan tindak pidana yang terjadi di negara tersebut.
Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana yang ada
sekarang menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi dapat
memberikan

perlindungan

terhadap

hak

asasi

manusia

serta

transparansi terhadap kepentingan umum yang dijaga pun semakin


tidak dirasakan.
Perkembangan mutakhir dalam hukum pidana khususnya yang
berkaitan

dengan

hukum

pidana

yang

menjadi

trend

atau

kecenderungan Internasional adalah berkembangnya konsep untuk


mencari alternatif dari pidana perampasan kemerdekaan (alternative to
imprisonment) dalam bentuknya sebagai sanksi alternatif (alternative
sanctio)[1].
Sehubungan dengan hal ini pula dan dengan perkembangan
instrumen-instrumen

hak

asasi

manusia

intemasional

terutama

mengenai pencegahan kejahatan dan pembinaan terhadap pelaku


kejahatan

serta

kongres

intemasional

mengenai

hukum

pidana,

berkembang pemikiran mengenai alternatif sanksi terhadap sanksi


pidana yang selama ini lazim dijatuhkan yaitu altematif terhadap pidana
penjara. Berkembangmya pemikiran ini terutama disebabkan karena
banyaknya sisi negatif yang ditemukan sebagai akibat pidana penjara
tersebut serta diarahkannya sanksi pidana pada sanksi yang sifatnya
lebih manusiawi.

Banyak kritik tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan


kemerdekaan ini, baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat
dari akibat-akibat negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan
dengan dirampasnya kemerdekaan seseorang. Pidana kerja sosial
(community service order) merupakan salah satu jenis pidana yang
berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang dilakukan oleh
negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari pidana perampasan
kemerdekaan.
Dewasa ini baik di Indonesia maupun di dunia internasional
muncul kecenderungan untuk mencari alternatif pidana perampasan
kemerdekaan
pendek.

terutama

Upaya

pidana

untuk

perampasan

mencari

alternatif

kemerdekaan
pidana

jangka

perampasan

kemerdekaan bertolak dari kenyataan, bahwa pidana perampasan


kemerdekaan semakin tidak disukai baik pertimbangan kemanusiaan,
pertimbangan filosofis maupun pertimbangan ekonomis.[2]
Di

Indonesia

sekarang

ini

sedang

berlangsung

proses

pembaharuan hukum pidana. Pembaharuan hukum pidana itu sendiri


meliputi pembaharuan terhadap hukum pidana formal, hukum pidana
materiil dan hukum pelaksanaan pidana. Ketiga bidang hukum tersebut
bersama-sama atau secara integral diperbaiki agar tidak terdapat
kendala dalam pelaksanaannya[3]. Salah satu bagian dari pembaharuan
hukum pidana materiil adalah pembaharuan terhadap KUHP, ada tiga
materi yang disusun dalam konsep[4] yaitu:
1. masalah tindak pidana
2. masalah kesalahan atau pertanggungjawaban pidana
3. masalah pidana dan pemidanaan
Menurut Barda Nawawi Arief, makna dan hakikat pembaharuan hukum
pidana dapat dilihat dari[5]:

1. Sudut pendekatan kebijakan


1. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan)
dalam rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional
(kesejahteraan masyarakat dan sebagainya).
2. Sebagai
hukum

bagian
pidana

perlindungan

dari
pada

kebijakan kriminal,
hakikatnya

masyarakat

bagian

pembaharuan
dari

(khususnya

upaya
upaya

penanggulangan kejahatan).
3. Sebagai

bagian

dari

kebijakan

penegakan

hukum,

pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya bagian dari


upaya pembaharuan substansi hukum (legal substance)
dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali nilai-nilai sosiopolitik,
sosio-filosofis dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi
dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum
pidana yang dicita-citakan.
Karena

adanya

ketidakpuasan

masyarakat

terhadap

pidana

perampasan kemerdekaan, yang telah terbukti sangat merugikan baik


terhadap

individu

yang

dikenai

pidana,

maupun

terhadap

masyarakat[6]. Selama ini pidana penjara dianggap sebagai pidana


yang kurang efektif untuk mencapai tujuan pemidanaan, meskipun
pada kenyataannya mempunyai kekuatan pencegahan yang cukup
efektif.
B. RUMUSAN MASALAH
4

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis akan


merumuskan permasalahan yang akan dibahas di bab selanjutnya yaitu:
1. Bagaimanakah

ke-efektifan

sanksi

pidana

yang

dijatuhkan

terhadap para pelaku tindak pidana saat ini terhadap tingkat


penurunan tindak pidana yang dilakukan?
2. Bagaimana urgensi dan prospek pengaturan sistem pidan kerja
sosial dilihat dari segi hukum pidana di Indonesia?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sanksi Pidana Sebagai Perampas Kemerdekaan Manusia


Menurut Sudarto :
Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada seseorang
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Undang-Undang
(hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa[7].
Dapat disimpulkan pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa
yang diberikan oleh Negara kepada orang yang telah melanggar
undang-undang dan merugikan masyarakat. Sanksi pidana bertujuan
memberikan penderitaan istimewa (bijzonder leed) kepada pelanggar
agar

ia

merasakan

akibat

perbuatannya.

Selain

ditujukan

pada

pengenaan penderitaan terhadap pelaku, sanksi pidana juga merupakan


bentuk pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku.[8] Menurut
Alf

Ross,

untuk

dapat

dikategorikan

sebagai

sanksi

pidana

(punishment), suatu sanksi harus memenuhi dua syarat atau tujuan.


Pertama, pidana ditujukan kepada pengenaan penderitaan terhadap
orang

yang

bersangkutan.

Kedua,

pidana

itu

merupakan

suatu

pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku.[9]


Fungsi

sanksi

dalam

hukum

pidana,

tidaklah

semata-mata

menakut-nakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari


itu, keberadaan sanksi tersebut juga harus dapat mendidik dan
memperbaiki si pelaku.[10] Pidana itu pada hakikatnya merupakan
nestapa, namun pemidanaan tidak dimaksud untuk menderitakan dan
tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.[11] Landasan
pemikiran pembaharuan terhadap pidana dan pemidanaan bukan hanya
5

menitikberatkan

terhadap

kepentingan

masyarakat

perlindungan individu dari pelaku tindak pidana.

tetapi

juga

Pidana penjara saat ini sedang mengalami masa krisis, karena


termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai. Banyak kritik
tajam ditujukan terhadap jenis pidana perampasan kemerdekaan ini,
baik dilihat dari sudut efektivitasnya maupun dilihat dari akibat-akibat
negatif lainnya yang menyertai atau berhubungan dengan dirampasnya
kemerdekaan seseorang.
Sorotan dan kritik-kritik terhadap pidana penjara itu tidak hanya
dikemukakan oleh para ahli secara perseorangan, tetapi juga oleh
masyarakat-masyarakat bangsa-bangsa di dunia melalui beberapa
kongres internasional. Dalam salah satu laporan Kongres PBB kelima
tahun 1975 di Geneva mengenai preventing of Crime and the
Treatment of Offenders antara lain dikemukakan, bahwa di banyak
negara terdapat krisis kepercayaan terhadap efektivitas pidana penjara,
dan ada kecendrungan untuk mengabaikan kemampuan lembagalembaga kepenjaraan dalam menunjang usaha pengendalian kejahatan.
Malahan dalam perkembangan terakhir kritik-kritik itu memuncak
sampai ada gerakan untuk menghapuskan pidana penjara. Telah ada
dua

kali

penjara,

konferensi

international

yaitu International

mengenai

Conference

penghapusan
on

Prison

pidana

Abolition

(ICOPA). Pertama di Toronto, Kanada pada bulan Mei 1983 dan kedua di
Amsterdam Nederland bulan Juni 1985.[12]
Usaha-usaha penanggulangan kejahatan telah banyak dilakukan
dengan berbagai cara, namun hasilnya masih belum memuaskan. Salah
satu penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana
dengan sanksinya yang berupa pidana. Namun usaha ini masih sering
dipersoalkan, penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana untuk
mengatasi masalah sosial, bukan hanya merupakan problem sosial
tetapi

merupakan

masalah

kebijakan.

Penanggulangan

kejahatan

dengan menggunakan sanksi pidana merupakan cara yang paling tua,


setua peradaban manusia. Sehingga ada suatu pandangan bahwa

pelaku

kejahatan

merupakan

tidak

perlu

peninggalan

dikenakan

kebiadaban

masa

pidana,
lalu

karena

yang

pidana

seharusnya

dihindari. Pandangan ini didasarkan pada pidana adalah tindakan


perlakuan yang kejam dan menderitakan. Hal ini dikemukakan oleh
suatu gerakan pambaharuan hukum pidana di eropa kontinental dan
Inggris terutama reaksi humanistis terhadap kekejaman pidana. Atas
dasar pandangan itulah, kiranya terdapat pendapat bahwa teori
retributive atau teori pembalasan dalam hal pemidanaan merupakan a
relic of barbarism.[13]
Herman

Mannheim,

dalam

bukunya Criminal

Justice

and

Social tahun 1946, menyatakan bahwa hukum pidana merupakan salah


satu cermin yang sangat dipercaya yang diberikan ke dalam suatu
peradaban yang merefleksikan nilai-nilai fundamental. Demikian dikutip
oleh Andi Hamzah, bahwa dalam sejarah hukum pidana, terutama
tentang sanksinya, akan sulit untuk percaya bahwa manusia benarbenar merupakan makhluk yang sangat kejam. Betapa tidak, jenis-jenis
pidana yang dikenal dari ujung timur sampai ke ujung barat dan dari
ujung

utara

ke

selatan

plenet

ini

semuanya

bertumpu

kepada

pembalasan dan cara pelaksanaannya pun sangat tidak manusiawi.[14]


Beberapa

dampak

negatif

pidana

perampasan

terhadap

kemerdekaan narapidana antara lain:


1. Seseorang

narapidana

dapat

kehilangan

kepribadian

atau

identitas diri, akibat peraturan dan tata cara hidup di Lembaga


Pemasyarakatan (Loss of Personality).
2. Selama menjalani pidana, narapidana selalu dalam pengawasan
petugas sehingga ia merasa kurang aman, merasa selalu dicurigai
atas tindakannya (Loss of Security).
3. Dengan

dikenai

pidana

jelas

kemerdekaan

individualnya

terampas, ini dapat menyebabkan perasaan tertekan, pemurung


7

mudah marah sehingga dapat menghambat proses pembinaan


(Loss of Libern).
4. Dengan menjalani pidana di dalam Lembaga Pemasyarakatan,
maka kebebasan untuk berkomunikasi dengan siapa pun juga
dibatasi (Loss Communication).
5. Selama di dalam Lembaga Pemasyarakatan, narapidana dapat
merasa kehilangan pelayanan yang baik karena semua harus
dikejakan sendiri (Loss of Good And Service)
6. Dengan pembatasan bergerak dan penempatan narapidana
menurut jenis kelamin, narapida merasakan terampasnya naluri
seks, kasih sayang dan kerinduan pada keluarga (Loss of
Heterosexual)
7. Selama dalam Lembaga Pemasyarakatan dan muculnya perlakuan
yang bermacam-macam baik dari petugas maupun sesama
narapidana lainya, dapat menghilangkan harga dirinya (Loss of
prestige)
8. Akibat dari berbagai perampasan kemerdekaan di dalam lembaga
permasyarakatan, narapidana dapat menjadi kehilangan percaya
diri (Loss of Believe)
9. Narapidana selama

menjalani

pidananya

didalam

lembaga

permasyarakatan, karena perasaan tertekan dapat kehilangan


daya kreatifitasnya, gagasan-gagasannya dan imajinasinya (Loss
of Creatifity)[15]
Narapidana juga akan kehilangan hak-hak tertentu, seperti di
bawah ini:
1. Hak untuk memilih dan dipilih

Alasannya ialah agar kemurnian pemilihan terjamin, bebas dari


unsur-unsur immoral dan perbuatan-perbuatan yang tidak jujur.
2. Hak untuk memangku jabatan publik.
Alasannya ialah agar publik bebas dari perlakuan manusia yang
tidak baik.
3. Sering

pula

disyaratkan

untuk

bekerja

pada

perusahaan-

perusahaan. Dalam hal ini, telah dipraktikkan pengenduran dalam


batas-batas tertentu.
4. Hak untuk mendapat perizinan-perizinan tertentu.
Misalnya izin usaha, izin praktik (seperti dokter, advokat, notaris,
dan lain-lain).
5. Hak untuk mengadakan asuransi hidup.
6. Hak untuk tetap dalam ikatan perkawinan.
Pemenjaraan

merupakan

salah

satu

alasan

untuk

minta

perceraian menurut hukum perdata.


7. Hak untuk kawin
Meski adakalanya seseorang itu kawin pada saat menjalani pidana
penjara, itu merupakan keadaan luar biasa dan merupakan formalitas
saja.[16]
Di banyak negara di dunia juga, ketidakpuasan dan rasa frustasi
terhadap hukum pidana formal telah memicu sejumlah pemikiran untuk
melakukan upaya alternatif dalam menjawab persoalan-persoalan yang
berkaitan dengan penanganan tindak pidana yang terjadi di negara
tersebut. Permasalahan seputar perkembangan sistem peradilan pidana
yang ada sekarang menunjukkan bahwa sistem ini dianggap tidak lagi
9

dapat memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta


transparansi terhadap kepentingan umum yang dijaga pun semakin
tidak dirasakan.
Sehubungan dengan hal ini pula dan dengan perkembangan
instrumen-instrumen

hak

asasi

manusia

intemasional

terutama

mengenai pencegahan kejahatan dan pembinaan terhadap pelaku


kejahatan serta konggres intemasional mengenai hukuna pidana,
berkembang pemikiran mengenai alternatif sanksi terhadap sanksi
pidana yang selama ini lazim dijatuhkan yaitu altematif terhadap pidana
penjara. Berkembangmya pemikiran ini terutama disebabkan karena
banyaknya sisi negatif yang ditemukan sebagai akibat pidana penjara
tersebut serta diarahkannya sanksi pidana pada sanksi yang sifatnya
lebih manusiawi.
Masalah

mendayagunakan

dan

pencarian

alternatif

pidana

penjara atau pidana pencabutan kemerdekaan telah menjadi masalah


yang bersifat universal. Gerakan yang universal ini dimulai oleh gerakan
abolisionis yang menghendaki dihapuskannya secara keseluruhan
hukum pidana. Gerakan ini pada hakekatnya berisi kritik yang sangat
tajam terhadap hukum pidana juga pada sistem peradilan pidana.
Keduanya tidak dapat melepaskan diri dari sifatnya yang represif,
sebagai karakteristik aslinya. Reaksi sosial dari akibat samping adanya
pidana (penjara) kadang tidak bersifat preventif dan rehabilitatif, bahwa
kadangkala justru meningkatkan desosialisasi serta adanya stigma dan
masyarakat yang tidak dapat ditinggalkan oleh terpidana. Menurut
Hoethagels stigma terjadi bilamana identitas seseorang terganggu atau
rusak, yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu
dengan pandangan masyarakat terhadap dia terganggu atau rusak.
Secara psikologis stigmatisasi ini menimbulkan kerugian yang
terbesar bagi pelaku tindak pidana, karena dengan demikian publik
mengetahui

bahwa

ia

adalah

seorang

penjahat,

dengan

segala

10

akibatnya. Stigma seringkali dinyatakan sebagai salah satu aspek yang


sangat menyedihkan di dalam kaitannya dengan pandangan kita
terhadap kejabatan dan pemidanaan. Ini menimbulkan akibat samping
maupun langsung dari adanya pidana ini, gerakan abolisionis berusaha
untuk menghilangkan atau menghapuskan sarana penal dengan sarana
yang non penal ataupun penggabungan antara sarana penal dan non
penal sekaligus. Gerakan abolisionis ini berkembang cukup pesat di
belahan Eropa maupun Amerika dengan karakteristiknya masingmasing.
Bilamana gerakan di Amerika menekankan penghapusan pidana
penjara (prison
keberatannya

abolitionist), maka
terhadap

gerakan

sistem

di

Eropa

peradilan

menekankan

pidana

secara

keseluruhan (The criminal justice system as a whole) dalam hal mana


sistem kepenjaraan merupakan jantungnya yang bersifat represif.
Kaum abolisionis mengajukan beberapa konsep pemikiran tentang
kejahatan, pidana dan pengendalian sosial, konsep itu adalah:
1. Decarceration atau Deinstitutionalization, yakni

penghapusan

penjara dan menggantikannya dengan pengendalian, pembinaan


dan pelayanan di masyarakat terbuka;
2. Divertion, yakni menghindarkan pelaku tindak pidana dari proses
peradilan pidana yang formal dan menggantikannya dengan
sistem kelembagaan yang berorientasi pada masyarakat;
3. Decategorization, (juga delabelling, stigmatization), merupakan
usaha untuk mematahkan pelbagai sistem pengetahuan dan
diskusi

yang

menciptakan

kategori-kategori

perbuatan

menyimpang. Dalam hal ini apabila dekriminalisasi merupakan


usaha

untuk

mengurangi

ruang

lingkup

perbuatan

yang

merupakan tindak pidana, maka abolisionisme berkeinginan untuk


menghapus sama sekali seluruh konsep tentang kejahatan;
11

4. Delegalization (and deformalization, informal justice), dalam arti


menemukan sesuatu yang baru dan memperkuat cara-cara
penyelesaian perselisihan dan management konflik tradisional
dan bentuk-bentuk keadilan di luar sistem;
5. Deprofessionalization yang mengandung makna bahwa, untuk
mengganti struktur monopoli profesional dan kekuasaan (dalam
peradilan pidana, pekerja sosial dan psikiatri), perlu dibentuk
jaringan (network) kontrol masyarakat, partisipasi masyarakat dan
pelayanan informa1.[17]
Kecenderungan internasional yang kemudian timbul sebagai
reaksi gerakan abolisionis; adalah gerakan reformis yang berusaha
untuk mencari alternatif pidana penjara (alternatives imprisonment).
Gaung reformis ini mendapatkan perhatian dari Perserikatan Bangsa
Bangsa, yang pada tahun 1980 di Caracas oleh Sub-Committee
II pada The Sixth United Nations Congress on the Prevention of Crime
and the Treatment of Offenders pada tahun 1980 di Caracas, yang
khusus membicarakan topik De-institutionalization of corrections antara
lain

memberikan

memeriksa

dan

rekomendasi
membuat

agar

negara-negara

undang-undang

Anggota

dengan

tujuan

PBB
untuk

menghilangkan hambatan pelaksanaan alternatif pidana penjara dan


mendorong partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan alternatif pidana
penjara dengan tujuan untuk rehabilitasi bagi pelanggar.
Dengan

demikian,

mengenai The

Prevention

Offender dikemukakan

dalam
of

resolusi

Crime

mengenai

and

perlunya

kongres
the

PBB

Treatment

digunakan

ke-6
of

beberapa

alternatif sanksi dari pidana penjara. Salah satu pertimbangan yang


dikemukakan dalam kongres tersebut adalah bahwa sanksi-sanksi
alternatif tersebut dalam banyak kasus kemungkinan akan lebih efektif
dari pada pidana penjara. Disebutkan pula dalam resolusi kongres PBB
tersebut

bahwa

pemikiran

untuk

menggunakan

sanksi

alternatif

12

tersebut harus dilandasi pertimbangan keamanan masyarakat (public


safety). Untuk itulah resolusi memandang perlunya sejauh mungkin
mengembangkan suatu pemikiran untuk menggunakan jenis sanksi
alternatif tersebut dalam sistem hukum suatu negara.
Kenyataan bahwa di beberapa negara menunjukkan bahwa pidana
penjara memiliki sisi negatif dijelaskan pula dalam Kongres PBB ke-7
mengenai The

Prevention

of

Crime

and

the

Treatment

of

Offender dinyatakan bahwa pertambahan jumlah dan lamanya pidana


penjara ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap
penurunan jumlah kejahatan. Pertambahan populasi penjara dan
penuhnya

lembaga

penjara

menyebabkan

kesulitan

untuk

mengembangkan aturan standar minimum bagi perlakukan terhadap


pelaku tindak pidana. Untuk itu pencarian alternatif pidana penjara
telah menjadi masalah yang bersifat universal.
Kongres PBB ke-7 ini kemudian merekomendasikan setiap negara
untuk menggunakan sanksi pidana sanksi pidana yang berupa tindakantindakan non-custodial untuk perkara pidana yang dianggap tidak
terlalu serius atau membahayakan dan merekomendasikan pula agar
setiap negara mempertimbangkan pidana penjara hanya sebagai sanksi
yang terakhir (ultimum remedium).
Untuk itu dalam draf resolusi yang merupakan hasil kongres PBB
ke-8

mengenai The

Prevention

of

Crime

and

the

Treatment

Offender yang diadakan di Havana, Cuba, pada tanggal 27 Agustus-7


September 1990, diterima Aturan Standar Minimum untuk Tindakantindakan Non-custodial oleh Majelis Umum. Resolusi ini dikeluarkan
dengan pertimbangan bahwa pembatasan kemerdekaan hanya dapat
dibenarkan

dilihat

dari

segi

keamanan

masyarakat,

pencegahan

kejahatan, pembalasan yang adil dan penangkalan dan reintegrasi


pelaku tindak pidana ke dalam masyarakat sebagai tujuan utama dalam
sistem peradilan pidana. Sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 14

13

Desember 1990, diterima oleh Majelis Umum PBB dengan resolusi


45/110 United Nation Standard Minimum Rules for Non-custodial
Measures (The Tokyo Rules) ..
United

Nation

Standard

Minimum

Rules

for

Non-custodial

Measures (The Tokyo Rules) ini membedakan tindakan-tindakan noncustodial menjadi tindakan-tindakan yang dapat diterapkan pada tahap
sebelum proses peradilan (pre-trial stage), pada tahap peradilan (trialstage) dan pada tahap pemidanaan (sentencing stage), serta pada
tahap setelah pemidanaan (post sentencing stage).
Kecenderungan untuk mencari alternatif pidana penjara ini hampir
melanda semua negara. Walaupun sebenarnya sejak tahun 1965
Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam Kongresnya yang ke-3 di Stockholm
telah memfokuskan diri pada diskusi-diskusi tentang probation untuk
orang

dewasa

dan

tindakan-tindakan

lain

yang

bersifat

non

institusional.[18]
B. Pidana Kerja Sosial Sebagai Suatu Gagasan
Pidana kerja sosial adalah suatu hal yang cukup menarik, karena
ini merupakan jenis pidana yang baru apabila nantinya diterapkan pada
KUHP Indonesia. Pidana kerja sosial merupakan salah satu jenis pidana
pokok yang diatur pada Pasal 65 dan Pasal 86 RUU KUHP tahun 2012.
Pada penjelasan kedua pasal tersebut dijelaskan bahwa munculnya jenis
pidana kerja sosial adalah sebagai alternatif pidana perampasan
kemerdekaan jangka pendek dan denda yang dijatuhkan hakim kepada
terdakwa dan perampasan kemerdekaan jangka pendek dalam hal ini
adalah pidana penjara dan kurungan.
Terdapat pendapat atau kritik terhadap pidana penjara jangka
pendek,salah

satunya

menurut

Rekomendasi

Kongres

Kedua

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai The Prevention of Crime

14

and the Treatment of Offenders tahun 1960 di London yang


menyatakan antara lain:[19]
1. Kongres mengakui bahwa pidana penjara jangka pendek mungkin
berbahaya karena pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit
atau tidak memberi kesempatan untuk menjalani pelatihan yang
konstruktif,

tetapi

kongres

mengakui

bahwa

dalam

hal-hal

tertentu penjatuhan pidana penjara jangka pendek mungkin


diperlukan untuk tujuan keadilan.
2. Dalam praktek, penghapusan menyeluruh pidana penjara jangka
pendek tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat
dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya.
3. Pengurangan yang berangsur-angsur itu dengan meningkatkan
bentuk-bentuk pengganti atau alternatif seperti pidana bersyarat,
pengawasan atau probation, denda, pekerjaan di luar lembaga
atau pidana kerja sosial dan tindakan-tindakan lain yang tidak
mengandung perampasan kemerdekaan.
4. Dalam hal pidana penjara jangka pendek tidak dapat dihindarkan,
pelaksanaannya harus terpisah atau tersendiri dari narapidana
penjara

jangka

panjang,

dan

pembinaannya

harus

bersifat

konstruktif, pribadi dan dalam lembaga terbuka (open institution).


Sedangkan, pidana kerja sosial atau dalam istilah asing sering
disebut sebagai community service orders (CSO) merupakan salah satu
jenis pidana yang berdasarkan kajian baik teoritis maupun praktis yang
dilakukan oleh negara-negara Eropa dapat menjadi alternatif dari
pidana perampasan kemerdekaan[20]. Sehingga pidana kerja sosial ini
adalah pidana alternative dari perampasan kemerdekaan jangka pendek
yang dilakukan dengan berdasarkan hitungan jam tertentu dan
dilakukan tanpa bayaran.

15

Pidana kerja sosial memang baru sebatas rencana dan belum sah
ditetapkan sebagai salah satu sanksi pidana di Indonesia, dasar
hukumnya pun hanya diatur pada RUU KUHP tahun 2012. Pidana kerja
sosial penting dijadikan salah satu jenis sanksi pidana di Indonesia
dengan beberapa alasan yakni lebih bisa memperbaiki terpidana, lebih
berguna bagi terpidana dan masyarakat serta lebih memperhatikan hak
asasi manusia (penjelasan RUU KUHP 2012).

1.

C. Pidana Kerja Sosial Dilihat dari Kebijakan Kriminal


Pengertian Kebijakan Kriminal
Dalam rangka yang lebih luas, pembaharuan hukum pidana
(penal reform) pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan/politik
kriminal. Karenanya sangat urgen kiranya untuk dipertanyakan, sejauh
mana pidana kerja sosial sebagai hasil reorientasi dan reformasi
dalam hukum pidana mempunyai relevansi dengan kebijakan kriminal.
Dalam

kaitan

ini

patut

kiranya

dikemukakan,

kembali

bahwa

pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya untuk


melakukan reorientasi dan Reformasi hukum pidana yang sesuai
dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.
Sebelum dibicarakan lebih lanjut tentang keterkaitan antara
pidana

kerja

sosial

dengan

kebijakan

kriminal,

patut

kiranya

dikemukakan terlebih dahulu pengertian kebijakan kriminal itu sendiri.


Berkaitan

dengan

pengertian

kebijakan

kriminal

Sudarto

mengemukakan tiga arti kebijakan kriminal, yaitu:


1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang
menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa
pidana;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak
hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan
polisi;

16

3. Dalam

arti

paling

luas,

ialah

keseluruhan kebijakan,

yang

dilakukan melalui undang- undangan dan badan-badan resmi,


yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari
masyarakat.[21]
Bertolak dari pendapat di atas cukup jelas kiranya bahwa
kebijakan kriminal merupakan kebijakan atau upaya untuk melakukan
penanggulangan terhadap kejahatan. Upaya penanggulangan kejahatan
dapat di lakukan dengan menggunakan hukum pidana (upaya penal)
dan tanpa menggunakan hukum pidana (upaya non penal).[22]
2. Pidana Kerja Sosial dan Kaitannya dengan Kebijakan
Kriminal
Untuk

melihat sejauhmana

pidana

kerja

sosial

mempunyai

relevansi dengan kebijakan kriminal pada umumnya akan dilihat apakah


pidana

kerja

sosial

dapat

menunjang

kebijakan

penanggulangan

kejahatan di Indonesia. Penegasan ini perlu dikemukakan oleh karena


kebijakan kriminal pada hakikatnya merupakan suatu usaha rasional
dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan.[23]
Keterkaitan antara pidana kerja sosial dengan kebijakan kriminal
perlu dipahami oleh karena sebagai salah satu alternatif sanksi
pidana, jenis pidana ini telah banyak diterapkan dalam berbagai
kebijakan kriminal negara-negara di

dunia. Pidana terhadap pidana

kerja sosial sedang menjadi trend/kecenderungan internasional.


Selain itu, pembaharuan hukum pidana Indonesia seperti nampak
dalam Rancangan KUHP Baru Tahun 2012 telah memasukkan jenis
pidana pokok dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Dimasukkannya
jenis pidana kerja sosial dalam Rancangan KUHP Baru mengindikasikan,
bahwa pidana kerja sosial perlu dipahami dalam konteks kebijakan
kriminal di Indonesia. Pada tataran yang paling mendasar keterkaitan
antara pidana kerja sosial dengan kebijakan kriminal itu perlu dipahami
17

oleh karena pembaharuan hukum pidana yang di dalamnya memuat


upaya untuk melakukan oreintasi dan reformasi terhadap sanksi
pidana haruslah merupakan upaya penanggulangan kejahatan yang
bersifat terpadu. Artinya pidana kerja sosial ini tidak hanya dilihat
dalam perspektif pembaharuan hukum pidana saja, tetapi harus dilihat
dalam persfektif yang lebih luas, termasuk harus dilihat dalam persfektif
kebijakan kriminal.
Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya terlihat, bahwa
alasan pentingnya pembaharuan hukum pidana di Indonesia adalah
agar hukum pidana dapat memenuhi tuntutan keberlakukan baik
yuridis, sosiologis maupun filosofis sebagai suatu norma hukum yang
efektif. Tuntutan keberlakukan itu dimaksudkan agar hukum pidana
dapat memerankan fungsinya sebagai salah satu alat kontrol sosial
terutama dalam menanggulangi kejahatan. Penanggulangan kejahatan
dengan menggunakan sarana hukum pidana pada akhirnya akan
bermuara pada masalah pilihan terhadap sanksi apa yang dapat
didayagunakan secara efektif untuk menanggulangi kejahatan. Disinilah
nampak keterkaitan antara pidana kerja sosial dengan kebijakan hukum
pidana dan sekaligus dengan kebijakan kriminal. Oleh karena pilihan
terhadap sanksi pidana pada dasarnya merupakan kebijakan hukum
pidana,

yaitu

kebijakan

untuk

menanggulangi

kejahatan

dengan

menggunakan sarana hukum pidana.


3. Pidana Kerja Sosial Dilihat dari Filsafat Pemidanaan
Dalam filsafat pemidanaan terdapat ide-ide dasar pemidanaan
yang menjernihkan pemahaman tentang hakikat pemidanaan sebagai
tanggung jawab subjek hukum terhadap perbuatan pidana dan otoritas
publik kepada negara berdasarkan atas hukum untuk melakukan
pemidanaan.
Pada satu sisi, para ahli filsafat memusatkan diri pada persoalan
mengapa kita memidana. Sedangkan pada sisi lain, para ahli hukum
18

dan ahli penologi mengkonsentrasikan diri pada persoalan apakah


pemidanaan itu berhasil, efisien, mencegah atau merehabilitasi.[24]
Filsafat pemidanaan mempunyai dua fungsi. Pertama, fungsi
fundamental yaitu sebagai landasan dan asas normatif atau kaidah
yang memberikan pedoman, kriteria atau paradigma terhadap masalah
pidana dan pemidanaan. Fungsi ini secara formal dan intrinsik bersifat
primer dan terkandung di dalam setiap ajaran sistem filsafat. Setiap
asas yang diterapkan sebagai prinsip maupun kaidah itulah yang diakui
sebagai kebenaran atau norma yang wajib ditegakkan, dikembangkan
dan diaplikasikan. Kedua, dalam hal ini sebagai meta teori. Maksudnya
filsafat pemidanaan berfungsi sebagai teori yang mendasari dan
melatarbelakangi setiap teori-teori pemidanaan.[25] Melalui filsafat
pemidanaan, dapat ditemukan konsepsi filsafati tentang siapa manusia
itu, sehingga terhadapnya diizinkan atau tidak diizinkan pengenaan
suatu sanksi baik berupa pidana atau tindakan.[26]
Menurut

teori

absolut,

pembalasan

adalah

legitimasi

pemidanaan.[27] Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat


telah melakukan penyerangan dan pemerkosaan pada
kepentingan

hukum yang

telah dilindungi.[28]

hak

dan

Tujuan dijatuhkan

pemidanaan pada masa ancient regime berlandaskan pada tujuan


retributif, yaitu menjadikan pemidanaan sebagai sarana pembalasan
atas kejahatan yang telah dilakukan seseorang. Tujuan pemidanaan
dilepaskan tujuan apapun, sehingga pemidanaan hanya mempunyai
satu tujuan yaitu pembalasan. Pembalasan ini dirasakan adil sebagai
tujuan pemidanaan karena kejahatan dipandang sebagai perbuatan
yang amoral dan asusila di dalam masyarakat sehingga pelaku
kejahatan sangat pantas mendapat pembalasan yang setimpal.[29]
Pada masa lalu, bentuk hukuman bagi siapa saja yang dinilai melanggar
hukum adalah hukuman badan. Artinya, hukuman bagi pelanggar
hukum adalah penyiksaan badan. Tiap orang yang dinilai bersalah,
kedua kaki dan tangan diikat tali, lalu ditarik dua kuda yang berlawanan
19

arah. Hasilnya, kaki-kaki dan tangan-tangan terpisah dari badan.


Hukuman ini dijalankan karena saat itu filosofi hukuman adalah balas
dendam dan fisik yang harus dihukum. Hukuman penyiksaan fisik
dititikberatkan pada kemarahan negara yang berlebihan dan tidak
rasional, sehingga pelaku kejahatan tidak pernah diharapkan kembali ke
masyarakat menjadi orang baik.[30]
4. Pidana Kerja Sosial Merupakan Sanksi Pidana Bukan
Sanksi Tindakan
Tindakan

sering

dikatakan

berbeda

dengan

pidana,

maka

tindakan bertujuan untuk melindungi masyarakat, sedangkan pidana


menitikberatkan pada pengenaan sanksi kepada pelaku. Tetapi secara
teori sukar dibedakan dengan cara demikian, karena pidana pun sering
bertujuan

untuk

mengamankan

masyarakat

dan

memperbaiki

terpidana.
Tindakan merupakan suatu sanksi juga tetapi tidak ada sifat
pembalasan padanya, sehingga maksud mengadakan tindakan itu
untuk menjaga keamanan pada masyarakat terhadap orang-orang atau
anak-anak yang sedikit banyaknya berbahaya dan akan melakukan
perbuatan-perbuatan pidana. Namun dalam keadaan tertentu, tindakan
ini pada umumnya dirasakan berat juga oleh orang yang dikenainya,
dan kerap sekali dirasakan sebagai pidana, karena berhubungan erat
dengan

pencabutan

atau

pembatasan

terhadap

kemerdekaan

seseorang.[31]
Pidana tercantum secara limitatif dalam Pasal 10 KUHP. Semua
sanksi

yang

berada

di

luar

KUHP

bukanlah

pidana.

Hukuman

administratif misalnya bukanlah pidana dalam arti hukum pidana,


begitu pula tindakan bukanlah pidana walaupun berada di dalam hukum
pidana.[32] Perbedaan tindakan dengan pidana agak samar, karena
tindakan pun bersifat merampas kemerdekaan, misalnya memasukkan
anak di bawah umur ke pendidikan paksa, memasukkan orang tidak
20

waras ke rumah sakit jiwa dengan perintah atau penetapan hakim,


karena orang tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.

21

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pidana adalah nestapa yang diberikan oleh Negara kepada
seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan UndangUndang (hukum pidana), sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.
Fungsi sanksi dalam hukum pidana, tidaklah semata-mata menakutnakuti atau mengancam para pelanggar, akan tetapi lebih dari itu,
keberadaan sanksi tersebut harus dapat mendidik dan memperbaiki si
pelaku. Pidana itu pada hakikatnya merupakan nestapa, namun
pemidanaan

tidak

dimaksud

untuk

menderitakan

dan

tidak

diperkenankan merendahkan martabat manusia.


Dewasa ini, Indonesia yang sebenarnya tergolong negara yang
sangat lamban dalam memperbaharui undang-undangnya, terutama
KUHP-nya tidak mempunyai sanksi pidana kerja sosial dalam KUHP-nya,
namun hanya sebatas didalam Rancangan KUHP yang tak kunjung usai.
Hal ini dikarenakan silih bergantinya anggota DPR yang dirasa tidak
konsisten dan bisa dibilang tidak konsen dalam pembuatannya. Padahal
sesungguhnya, Indonesia memerlukan hal ini dengan segera dan juga
tepat, terutama untuk memperbaiki moral dan etika para terpidana di
Indonesia
Pidana kerja sosial menurut urgensinya dibutuhkan dengan
segera, dikarenakan sanksi pidana yang ada sekarang sangat tidak
memanusiakan manusia, dan tidak mendidik, hanya menyengsarakan
dan menimbulkan kerugian, baik dari negara maupun terpidana itu
sendiri. Pidana kerja sosial yang akan dijatuhkan harus memenuhi unsur
pembinaan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Unsur
pembinaan yang berorientasi pada individu pelaku tindak pidana.

19

Dengan pidana kerja sosial, maka terpidana terhindar dari dampak


negatif

pidana

perampasan

kemerdekaan

seperti

stigmatisasi,

kehilangan rasa percaya diri sehingga terpidana tetap mempunyai


kepercayaan diri yang sangat diperlukan dalam pembinaan narapidana.
Terpidana

dapat

menjalankan

kehidupannya

secara

normal

sebagaimana orang yang tidak menjalani pidana. Adanya kebebasan ini


memberi

20

kesempatan kepada terpidana untuk memperbaiki sikap, moral dan


dirinya, hal ini juga dianggap penting agar apabila ia telah kembali
kepada masyarakat, stigmatisasi yang menempel pada diri terpidana.
B. SARAN
Pembuat undang-undang harus bisa konsisten, tepat waktu,
bekerja dengan cepat dan tepat dalam merumuskan dan mengesahkan
Konsep KUHP. Namun dalam pengerjaannya tetap mempertimbangkan
dan memperhatikan setiap aspek, sistem pemidaan itu sendiri, serta
pengawas dari sanksi pidana kerja sosial.

20

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Yesmil dan Adang. 2008. Pembaruan Hukum Pidana. Jakarta:
Grasindo.
Arief, Barda Nawawi. 2008. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Jakarta: Kencana Prenada
. 2010. Bunga Rampai: Kebijakan Hukum
Pidana;perkembangan penyusunan Konsep KUHP Baru. Jakarta; Prenada
Media Group
. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung:
Citra Aditya Bakti,
. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Citra Aditya Bakti
Awaludin. Hamid. Menyoal Hukum Rajam, Kompas,Senin 28 September
2009
Bakhri, Syaiful. 2009.
Yogyakarta: Total Media

Perkembangan

Stelsel

Pidana

Indonesia.

____________. 2009. Pidana Denda dan Korupsi. Yogyakarta: Total Media.


Chazawi, Adam. 2007. Pelajaran Hukum Pidana Bagian I. Jakarta:
Grafindo Persada.
Farid, A.Z. Abidin, A. Hamzah. 2008. Bentuk-bentuk Khusus Perwujudan
Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum
Penitensier. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Hamzah, Andi. 1993. Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia
Jakarta:Pradnya Paramita
Harsono. C.I. 1995. Sistem Baru Pembinaan Narapidana. Jakarta:
Djambatan
Hiariej, Eddy.O.S. 2009, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam
Hukum Pidana Jakarta: Erlangga
Hart. H.L.A. 2009. Law, Liberty and Morality. Jakarta:Genta Publishing.

21

J.Gerber, Rudolph dan Patrick D.McAnany. 1962. The Philosophy of


Punishment dalam The Sociology of Punishment and Correction,
Norman Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang New York: John
Wiley & Sons
Mulyadi, Lilik. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan
Viktimologi, Jakarta: Djambatan
Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang:
Universitas Diponegoro
_____. 1992 Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni
_____. Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato
Pengukuhan sebagai Guru Besar FH Undip Semarang, 24 Pebruari 1990,
bal. 20-21.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
Bandung: Alumni.
Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah. 2005. Politik Hukum
Pidana, Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Sakidjo, Aruan, Bambang Poernomo. 1990. Hukum Pidana, Jakarta:
Ghalia Indonesia
Sholehhudddin, M. 2007. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
Suparni, Niniek. 1996. Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana
Dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika
Sudarto. 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni
Tongat. 2001. Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia. Jakarta:Djambatan
[1] Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang:
Universitas Diponegoro, 1995), hlm.132
[2]Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2001), hlm.4
[3] Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan
Viktimologi, (Jakarta: Djambatan, 2007), hlm. 38

22

[4] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana, (Jakarta:


Grasindo, 2008), hlm.31-32
[5] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Jakarta: Kencana Prenada, 2008), hal. 26.
[6] Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), hlm.5
[7] Niniek Suparni, 2007, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana
dan Pemidanaan, (Jakarta: Cet. II, Sinar Grafika) . hal. 11.
[8] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 5.
[9] Ibid
[10] M. Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007) hlm.162
[11] Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana Dan
Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996),hlm.3
[12] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai: Kebijakan Hukum
Pidana;perkembangan penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta;
Prenada Media Group 2010). Hlm. 193
[13]
Syaiful
Bakhri, Perkembangan
Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009) hlm. 87

Stelsel

Pidana

[14] ____________, Pidana Denda dan Korupsi, (Yogyakarta: Total Media,


2009) hlm. 147
[15] C.I Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta:
Djambatan, 1995) hlm. 60
[16] A.Z. Abidin Farid dan A. Hamzah, Bentuk-bentuk Khusus
Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan
Hukum Penitensier, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 287288
[17] Muladi , Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa
Datang, Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar FH Undip Semarang, 24
Pebruari 1990, bal. 20-21.
[18] Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
pidana, Alumni, Bandung, 1998, hlm. 84.

dan

kebijakan

23

[19] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2003),
hlm. 34-35
[20] Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Indonesia, (Jakarta:Djambatan, 2001), hlm. 1
[21] Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986,
hal. 133
[22] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra
Aditya Bakti, 1996, hal. 4.
[23] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, op. cit., hal. 38.
[24] Rudolph J.Gerber dan Patrick D.McAnany, The Philosophy of
Punishment dalam The Sociology of Punishment and Correction, Norman
Johnston, Leonard Savitz dan Marvin E.Wolfgang (New York: John Wiley &
Sons. 1962), hlm.360
[25] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana,
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005), hlm.109
[26] M. Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar
Double Track System dan Implementasinya, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 243
[27] Eddy.O.S Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam
Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009), hlm. 10
[28] Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Grafindo
Persada, 2007),
hlm.157
[29] H.L.A Hart, Law, Liberty and Morality, (Jakarta:Genta Publishing,
2009), hlm. 81
[30] Hamid Awaludin, Menyoal Hukum Rajam, Kompas,Senin 28
September 2009
[31] Aruan Sakidjo dan Bambang Poernomo, Hukum Pidana, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1990),
hlm.70

24

[32] Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia,


(Jakarta:Pradnya Paramita, 1993), hlm. 67

25

Anda mungkin juga menyukai