Anda di halaman 1dari 18

NORMATIVITAS DAN INTERPRETASI MAQASHID SYARIAH

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Syariah dan HAM

Dosen Pengampu : Faiz Nasrullah, M.H

Oleh :

Millatul Bariyah

18220021

HUKUM EKONOMI SYARIAH (MU’AMALAH)

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2020
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur kehadiratNya yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayahNya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
tugas makalah Syariah dan HAM yang berjudul Normativitas dan Interpretasi
Maqashid syariah. Makalah ini telah kami susun dengan semaksimal mungkin dengan
menggunakan berbagai referensi yang dapat membantu dan bantuan beberapa pihak yang
berkontribusi dalam penyusunan makalah ini baik berupa materi maupun waktunya.
Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan kontribusi dalam pembuatan makalah ini. Adapun harapan kami semoga
makalah ini dapat menambah pengetahuan serta wawasan bagi para pembaca. Para
pembaca pun diharapkan dapat memberikan masukan dan saran terhadap makalah ini agar
dapat diperbaiki ke depannya dan menjadi semakin baik.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin terdapat


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini terutama dalam susunan
kalimat, tata bahasa, penerjemahan dan lain sebagainya. Maka dari itu, kami menerima
secara terbuka segala masukan yang ada dari para pembaca.

Akhir kata, kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat serta
memberikan inspirasi terhadap para pembaca.

Malang, 5 Oktober 2020

Millatul Bariyah

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | i


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
BAB I ........................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 1
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................. 2
BAB II ......................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .......................................................................................................... 3
A. Normativitas dan Interpretasi ......................................................................... 3
B. Normativitas Maqashid syariah ........................................................................ 4
C. Interpretasi Maqashid syariah.......................................................................... 8
BAB III ...................................................................................................................... 14
PENUTUP ................................................................................................................. 14
A. Kesimpulan ..................................................................................................... 14
B. Kritik dan Saran ............................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | ii


BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari hukum Islam, tentu kita tidak akan pernah lepas dari
pembahasan dan kajian mengenai maqashid syariah. Maqashid syariah secara
Bahasa terdiri dari dua kata, yakni maqashid dan syariah. Maqashid merupakan
jama’ dari maqshud yang artinya adalah kesengajaan atau tujuan. Sedangkan
syariah memiliki arti aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai
syari’ untuk dijadikan pedoman manusia baik dalam hubungannya dengan Allah
SWT, dengan manusia baik muslim maupun non muslim, alam, dan seluruh aspek
kehidupan.
Pembahasan maqashid syariah ini merupakan pembahasan yang sangat
menarik untuk terus dikaji. Para cendekiawan muslim pun memiliki metodenya
masing-masing dalam menentukan maqashid syariah baik ulama salaf /klasik
sampai dengan ulama kontemporer masa kini. Ulama salaf banyak yang
menggunakan nash –Al Qur’an dan Hadis- sebagai rujukan utama dalam
menentukan maqashid syariah. Namun, tak pelak kita sadari bahwa zaman terus
maju dan mengalami perkembangan. Masayarakat pun juga berubah. Sehingga
diperlukan adanya kajian-kajian baru serta pemahaman maqashid syariah yang
dapat diterapkan di berbagai tempat dan masa. Karena, sebagaimana kita ketahui
bahwa ajaran Islam itu shalih li kulli zaman wa makan (red: up to date).
Maka dari itu, penulis akan mengkaji pemahaman mengenai maqashid
syariah ini baik dari segi normatif (berpatokan pada teks nash) dan juga
interpretasi dari maqashid syariah yang belum dijelaskan dalam nash. Sehingga
nantinya dapat menjadi acuan dalam memahami maqashid syariah dan dapat
digunakan sesuai dengan zaman.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang disebut dengan normativitas dan interpretasi ?
2. Bagaimana maqashid syariah jika ditinjau dari sisi normatif ?
3. Bagaimana interpretasi dari nash mengenai maqashid syariah?

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 1


C. Tujuan Penulisan
1. Memahami definisi normativitas dan interpretasi.
2. Menggali maqashid syariah dari sisi normatif.
3. Mengkaji interpretasi dari nash mengenai maqashid syariah.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 2


BAB II

PEMBAHASAN

Dalam metodologi studi hukum Islam, dikenal adanya dua macam pendekatan.
Pendekatan tersebut adalah pendekatan normatifitas dan historisitas. Normatifitas sendiri
berarti mengandalkan makna tekstual sebuah hukum (law in the text). Sedangkan
historisitas ialah sebuah pendekatan berdasarkan keadaan yang terjadi pada masyarakat
baik sosiologis, psikologis, dan antropologis. Di sisi lain, untuk memahami sebuah teks
keagamaan –dalam bahasan ini adalah Al Qur’an- diperlukan adanya pemikiran lebih
lanjut agar ajaran di dalamnya dapat diimplementasikan sesuai dengan perkembangan
zaman. Dengan demikian, diperlukan adanya interpretasi dalam teks tersebut, yang mana
dalam Islam dikenal dengan “tafsir” dan juga “takwil” utamanya dalam memahami
maksud atau tujuan dari pensyariatan sebuah hukum di dalamnya.

Berikut penjelasan mengenai tujuan syariat (maqashid syariah) ditinjau dari


pendekatan normatifitas dan juga interpretasi darinya:

A. Normativitas dan Interpretasi


Normativitas secara etimologi berasal dari Bahasa Inggris norm yang
berarti norma, ajaran, acuan dan ketentuan mengenai masalah baik dan buruknya
sesuatu, dan boleh atau tidaknya melakukan sesuatu. Sedangkan secara
terminologi, normativitas merupakan salah satu bentuk pendekatan yang mana
dapat diartikan sebagai sebuah upaya untuk memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak pada suatu keyakinan
bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar
dibandingkan dengan yang lainnya. Di sisi lain, pendekatan normativitas juga
merupakan pendekatan yang berpijak pada teks tertulis yang ada dalam kitab suci.
Sehingga dalam batasan tertentu pendekatan ini cenderung bercorak tekstualis dan
skriptualis. 1
Sedangkan istilah interpretasi dalam Islam kadang disebut “tafsir” dan
juga “takwil”. Namun, perlu digarisbawahi bahwa interpretasi ini lebih umum

1
Achmad Slamet, Buku Ajar Metodologi Studi Islam (Kajian Metode dalam Ilmu Keislaman) ,
(Yogyakarta: Deepublish, 2016), 21.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 3


daripada “tafsir” maupun “takwil”. Interpretasi merujuk pada konsep pemahaman
yang lebih umum, baik yang bertujuan menemukan makna lahiriah teks yang
umum disebut tafsir, maupun bathiniyah teks yang disebut dengan takwil. 2
Menurut J.E.Gracia, istilah interpretasi mengacu pada tiga bentuk, yaitu
interpretasi dianggap sama dengan pemahaman, mengembangkan pemahaman,
dan pemahaman atas teks itu sendiri. Kemudian, Tafsir sendiri secara Bahasa
memiliki arti menyingkap, menjelaskan dan menampakkkan, sedangkan dari segi
istilah berarti suatu ilmu yang dapat menjeaskan makna-makna dan hukum-
hukumnya. Sedangkan, Takwil secara Bahasa bermakna mengembalikan, menuju
ke titik akhir, dan menjelaskan implikasinya, sementara dari segi istilah, ia berarti
mengembalikan sesuatu pada tujuannya semula baik secara ilmiah maupun
praksis.3
Menurut Ibnu Asyur, ada tiga metode untuk memahami maqashid syariah,
diantaranya ialah istiqra’ yaitu penelusuran terhadap hukum-hukum syariat yang
telah diketahui illatnya secara tekstual maupun penggalian illat dengan nalar,
dalil-dalil Al Qur’an yang menunjukkan illat secara tekstual dan juga dari Sunnah
mutawatirah. Sehingga jika kita liat konsep tersebut dikomparasikan dengan
pembahasan ini, maka keduanya memiliki kesamaan.

B. Normativitas Maqashid syariah


Sebagaimana yang telah dibahas pada pembahasan-pembahasan
sebelumnya mengenai maqashid syariah, tentu sudah dikenal mengenai konsep
maqashid syariah yang disebut dengan dharuriyah al-khomsah. Adapun tujuan
syariat sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Ghazali ialah hifdz al-din
(melindungi agama), hifdz al-nafs (melindungi jiwa), hifdz al-aql (melindungi
akal pikiran), hifdz al-nasl (melindungi keturunan), dan hifdz al-mal (melindungi
harta).4 Kemudian, jika dilihat dari tingkatannya, maqashid tiga, yaitu dharuriyat
(primer), hajiyat (sekunder), tahsiniyat (tersier).

2
Aksin Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutris (Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2009), 150.
3
Wijaya, Teori Interpretasi Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutris, 149.
4
Jasser ‘Auda, Maqashid al-Syari’ah: Dalil li al-Mubtadi’in (tt: Al-Ma’had al-‘Alamy li al-Fikr
al-Islamy, tt), 45.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 4


Sudut normativitas di sini adalah bahwa seluruh isi al Qur’ân dan al-
Sunnah, semuanya mengandung maksud baik yang bersifat umum maupun yang
khusus. Karena itu, dapat dikatakan bahwa seluruh rangkaian nash-nash, baik al-
Qur’ân maupun al-Sunnah dapat ditemukan maqâshid-nya, terutama ayat-ayat
maupun hadis-hadis hukum (al-Nushush al-Syar’iyah). Dengan kata lain,
sesungguhnya maqâshid syari’ah sebenarnya sudah ada sejak nash al-Qur’ân
diturunkan dan al-Hadis disabdakan oleh Nabi. 5
Jasser ‘Auda juga menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Maqashid
syariah as Philosophy of Islamic Law, klasifikasi maqashid syariah menurut
pemikiran klasik yang mana lebih condong pada teks adalah sebagai berikut:6

Adapun contoh normatifitas maqashid syariah yang tertera dalam nash


ialah sebagai berikut:
1. Al-diin (agama)
Pewujudan dan pemeliharaan agama atau juga bisa
diartikan sebagai perlindungan agama dan segala ketentuan syariat
yang berkaitan dengan keimanan dan ibadah kepada Sang Khaliq
dapat kita temukan diantaranya ialah dalam Surat Al Baqarah ayat
101 sampai 103 yang memberikan penjelasan tentang bahaya dari
sebuah sihir terhadap aqidah seorang muslim. Bahwasanya
hanyalah Allah yang menjadi tempat bergantung dan tidak
menggunakan sihir karena sihir merupakan ajaran setan serta

5
Mutawali, “Maqashid syariah: Logika Hukum Transformatif”, Schemata, VI (Desember, 2017),
120.
6
Maulidi, “Maqashis Syariah sebagai Filsafat Hukum Islam: Sebuah Pendekatan Menurut Sistem
Jasser ‘Auda”, Al Madzahib, III (Juni, 2015), 12.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 5


membahayakan manusia dan tidak memberikan manfaat sama
sekali7, Surat Al Baqarah ayat 156 tentang pensyariatan sa’i
sebagai bentuk syiar Allah, Surat Al Baqarah ayat 183-187 tentang
pensyariatan puasa, 8 Surat Al Baqarah ayat 196-203 tentang tata
cara haji, 9dan larangan untuk murtad pada surat Al Baqarah ayat
217.10
2. Al-nafs (jiwa)
Pemeliharaan jiwa merupakan suatu hal yang tak bisa
ditawar. Karena kehidupan merupakan suatu hal yang niscaya dan
tidak dapat dilanggar oleh siapapun. Maka, siapapun yang
melanggar kehidupan seseorang, maka diaharus dihukum setimpal
dengan perbuatannya tersebut. 11Di sisi lain, pemeliharaan jiwa ini
juga berarti upaya untuk menjaga agar tubuh dan jiwa tetap sehat,
seperti makan, minum, dan menjaga kesehatan. Diantaranya
terdapat dalam Surat Al Baqarah ayat 179 tentang qishas bagi
pembunuhan, ayat tersebut menjelaskan bahwa qishas bertujuan
untuk menjaga hak hidup seseorang 12, Surat al Baqarah ayat 172
dan 173 mengenai pembolehan memakan segala sesuatu yang baik
dan mengharamkan memakan bangkai, darah yang mengalir,
daging babi dan juga hewan yang disembelih atas nama selain
Allah. Tujuan dari pengharaman hal tersebut ialah untuk menjaga
kesehatan jasmani manusia dan mencegahnya baik dari penyakit
fisik maupun batin.13
3. Al-aql (akal pikiran)
Akal pikiran merupakan sesuatu yang harus dijaga. Dalam
hal ini tentu yang banyak dipahami ialah mengenai haramnya

7
Ali al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, Cet.III (Damaskus:
Maktabah al Ghazali, 1980), 87-88.
8
al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 187.
9
al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 238.
10
al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 258.
11
Mujaid Kumkelo dkk, Fiqh HAM: Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam,
(Malang: Setara Press, 2015), 48.
12
al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 185.
13
Al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 166.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 6


makanan dan minuman yang dapat merusak akal pikiran serta juga
wajibnya untuk mempelajari suatu ilmu. Sebagaimana sering kita
temukan dalam redaksi Al Qur’an yang yang berbunyi afalaa
ta’qilun, afalaa tatadzakkaruun dan sebagainya. Di antara nash-
nash yang menyerukan untuk ijad dan hifdz al-‘aql ialah dalam
Surat Al Baqarah 220 mengenai pengharaman khamr karena dapat
merusak akal dan kesadaran manusia. Dijelaskan juga dalam ayat
tersebut bahwa khamr memiliki manfaat dan juga keburukan bagi
manusia, namun keburukannya jauh lebih besar 14 sehingga hal ini
juga sesuai dengan kaidah dar’u al mafasid muqaddamun ala jalbi
al mashalih, larangan meminum khamr, sebagaimana hadis Nabi
SAW, Syaaribul khamri mal’uunun15 dan kullu muskirin khamrun
wa kullu muskirin haramun16 yang mana bertujuan untuk menjaga
akal.
4. Al-nasl wa al-‘irdh (keturunan dan nama baik)
Nasl berarti anak dan keturunan17 yang mana dapat kita pahami
bahwa hifdz al-nasl ialah menjaga keluarga, keturunan serta nama
baik dari keluarga tersebut. Hal ini dapat kita lihat dengan
disyariatkannya pernikahan yang disebutkan baik dalam Al Qur’an
maupun Hadis Nabi SAW, di antaranya ialah Hadis dari Ibn
Mas’ud “Yaa ma’syar al-syabaab man istatha’a minkum al-
baa’ah falyatazawwaj” 18
serta adanya larangan mendekati zina
yang terdapat dalam Surat Al Isra’ ayat 32.
5. Al-mal (harta)
Perlindungan hak milik pasti erat kaitannya dengan larangan
mencuri ataupun mengambil harta milik orang lain dengan cara
yang tidak benar. Sedangkan dalam kontek mewujudkan

14
Al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 281.
15
Muhammad bin Umar al-Nawawi, Tanqih al-Qaul al-Hatsits fii Syarh Lubab al-Hadits, Juz 1,
Maktabah Syamilah, 125.
16
Abdul Muhsin al-Ibad, Syarh Sunan Abi Daud, Juz 1, Maktabah Syamilah (tt: Syabakah
Islamiyah, tt), 2.
17
Aplikasi kamus al Ma’ani (arab-arab).
18
Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, terj: H.M.Ali (Surabaya: Mutiara Ilmu,
2011), 442.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 7


kelestarian sebuah harta, maka hal ini erat kaitannya dengan
mendapatkan harta dengan baik melalui muamalah dan
sebagainya. Contoh di antaranya ialah diperbolehkannya jual beli
atau bermuamalah dalam surat Al Baqarah ayat 275, pelarangan
untuk mencuri dalam Al Maidah ayat 3819, serta larangan
memakan harta anak yatim dalam surat Al Ma’un ayat 2.

C. Interpretasi Maqashid syariah


Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya mengenai definisi interpretasi,
maka dapat kita simpulkan bahwa interpretasi merupakan pemahaman teks baik
secara dhahir maupun bathin dan penjelasannya belum tertera pada nash.
Sebagaimana sabda Nabi SAW “Sesungguhnya Allah mengutusku untuk memberi
kemudahan bukan untuk mempersulit”, dengan adanya visi tersebut para Shahabat
apabila tidak menemukan sebuah nash atas sebuah masalah baru, maka mereka
ber-ijtihad mencari hikmah dan alasan atas suatu ayat atau hadis yang
menerangkan suatu hukum. Salah satu bukti yang dijadikan acuan ialah ijtihad
Umar bin Khattab, di antaranya ialah menolak untuk membayar zakat pada
muallaf, tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, dan tidak
membagikan harta rampasan perang. 20
Kemudian, sebagaimana telah dijelaskan mengenai dharuriyat al khamsah
yang dikemukakan oleh Imam Al Ghazali, tujuan akhir dari kesemuanya ialah
maslahah.21 Yang dimaksud dengan maslahah disini ialah terjaganya tujuan
syariat yang berupa ushul al khamsah yang mencakup terjaganya agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Oleh karena itu, setiap hal yang bertujuan unutk
memelihara kelima hal tersebut ialah maslahah dan menghindari hal yang dapat
merusak dan membahayakannya juga disebut dengan maslahah. 22
Dengan begitu, maka diperlukan sebuah metode untuk memahami
maqashid selain dari teks-teks nash saja, namun juga harus melihat realitas yang

19
Mutawali, “Maqashid syariah: Logika Hukum Transformatif”, Schemata, 129.
20
Mutawali, “Maqashid syariah: Logika Hukum Transformatif”, Schemata, 121.
21
Jasser ‘Auda, Maqashid al-Syari’ah: Dalil li al-Mubtadi’in, 45.
22
Azmi Sirajuddin, “Model Penemuan Hukum dengan Metode Maqashid syariah sebagai Jiwa
Fleksibi(e)litas Hukum Islam”, Istinbath, XIII (Mei, 2016), 117.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 8


ada pada masyarakat masa kini. Di sini, penulis menganggap bahwa metode
interpretasi ini sama dengan metode historisitas.
Berdasarkan pendapat Satria Efendi M.Zen yang membagi metode ijtihad
terbagi menjadi dua, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi. Ijtihad istinbathi
ialah upaya menyimpulkan hukum islam melalui teks-teks nash, sedang ijtihad
tathbiqi ialah upaya menerapka teks-teks nash tersebut pada objek hukum.23
Dalam kaitannya dengan interpretasi maqashid syariah, ijtihad tathbiqi ialah
metode yang paling mendekati dan yang kemudian dapat disandingkan dengan
jtihad maqashidy.
Ijtihad maqashidy ialah ijtihad atau upaya seorang mujtahid dalam
menggali sebuah hukum atau permasalahan kontemporer melalui kacamata
maqashid syariah.24 Setidaknya ada tiga perangkat yang dibutuhkan agar hasil
hukum sesuai dengan maqashid syariah dan tepat sesuai kondisi dan realitas
tempat tersebut (tanzil al-fatwa ’ala al-waqi’). Perangkat-perangkat tersebut ialah
perangkat pemahaman teks/nash (multazamah al-nash), perangkat pemahaman
realitas (multazamah al-waqi’), dan perangkat pemahaman objek beban hukum
(multazamah al-mukallaf).25
Pemahaman teks/nash berarti seseorang yang akan mencari tujuan dari
syariat harus telebih dahulu memahami Bahasa Arab, dalam artian ialah
memahami dilalah alfadz. Seperti kajian seputar ‘am, khas, nahi, amr, muthlaq,
muqayyad, mantuq, mafhum, dan sebagainya harus dipahami terlebih dahulu.
Sebagaimana menurut Asy Syatibi dalam Muwafaqat yaitu al-lafdzu al-maqashid
yang artinya “makna yang dikandung lisan (bahasa), ituah maksud
sesungguhnya”. Namun, pemahaman terhadap teks/nash tidak cukup dengan
menggunakan kamus Bahasa saja, namun harus ditelusuri asal katanya. Begitupun
dengan memahami maqashid syariah, tidak cukup menggunakan pemahaman

23
Azmi Sirajuddin, “Model Penemuan Hukum dengan Metode Maqashid syariah sebagai Jiwa
Fleksibi(e)litas Hukum Islam”, Istinbath, 117.
24
Andriyaldi, “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”, Al
Hurriyyah, XIV (Januari, 2013), 24.
25
Andriyaldi, “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”, Al
Hurriyyah, 26.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 9


teks/nash saja, namun setidaknya harus ‘singgah’ terlebih dahulu sebelum lanjut
pada tahap pemahaman yang bersifat rasional (ra’yi).26
Kemudian pemahaman realitas, hal ini sejalan dengan kaidah fikih yang
berbunyi “al-ahkam tataghayyar bitaghayyur al-amkinah wa al-azminah wa al-
ahwal” yang berarti bahwa hukum itu berubah seiring berubahnya tempat,
zaman/waktu, dan keadaan.27 Contohnya ialah taksonomi mubah yang
dikemukakan oleh Asy Syathibi yang terbagi menjadi dua sub, yang pertama
adalah perbuatan yang di dalam skala sempit berstatus mubah, namun ketika
perbuatan itu menjadi sesuatu yang dibutuhkan dalam skala yang lebih luas, maka
akan mejadi mandub atau wajib. Kedua adalah perbuatan yang di dalam skala
sempit berstatus mubah, namun ketika perbuatan itu merugikan di dalam skala
yang lebih luas, maka perbuatan tersebut menjadi makruh atau haram. 28 Sebagai
contoh ialah akad Sharf yang awalnya ialah mubah (diperbolehkan) menjadi wajib
ketika kita berada di luar negeri dan harus menggunakan mata uang asing.
Yang terakhir ialah pemahaman objek yang menjadi beban hukum dengan
baik. Yang menjadi titik tekan dalam persoalan mukallaf disini adalah persoalan
“akal” dimana seseorang pantas diberi beban syar’iy (beban taklif). Akal adalah
pondasi pokok kebolehan dan diwajibkannya seseorang menjalankan hukum-
hukum syar’iy. Lebih dari itu, teks-teks Alquran dan Sunnah Nabi tidak lain
kecuali hanya ditujukan kepada orang yang memiliki akal yang baik dan
sempurna. Sehingga dengan demikian diharapkan sejalannya antara wahyu dan
akal manusia. Terkait dengan ijtihad maqashidiy, peran akal sangat dibutuhkan
untuk men-sejalan-kan antara “kehendak wahyu” (madlul al-nash) dan “kehendak
tuntutan zaman” (al-waqai’ al-mustajaddah). Orang-orang yang Allah SWT beri
anugerah berupa kejelian membaca persoalan zamannya terkait dengan prilaku
manusia dan mensinkronkannya dengan teks-teks suci untuk dicarikan solusi

26
Andriyaldi, “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”, Al
Hurriyyah, 27.
27
Andriyaldi, “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”, Al
Hurriyyah, 27.
28
Azmi Sirajuddin, “Model Penemuan Hukum dengan Metode Maqashid syariah sebagai Jiwa
Fleksibi(e)litas Hukum Islam”, Istinbath, 122.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 10


hukumnya merupakan nikmat yang tidak Allah berikan kepada semua
hambanya. 29
Dengan adanya perangkat-perangkat tersebut, berikut merupakan contoh-
contoh interpretasi dari maqashid syariah saat ini:
Hifdz al-diin (memelihara agama) ialah melindungi agama dalam konteks
kebebasan untuk berkeyakinan. Hal tersebut sebenarnya telah disebutkan dalam
surat Al Baqarah ayat Surat Al Baqarah ayat 165 laa ikraaha fid diin (tidak ada
paksaan dalam beragama, yang berarti setiap orang bebas memeluk atau tidak
memeluk agama Islam. Begitu juga dalam surat Al Kafirun ayat 6 yang
menyatakan lakun diinukum wa liya diin (untukmu agamamu dan untukku
agamaku). 30 Contoh lain ialah mengenai miqat haji dari Jeddah. Bagi Jemaah
Indonesia miqatnya ialah di Yalamlam. Sementara, pesawat tidak melewati persis
lokasi daerah tersebut, jaraknya ialah radius 100 km. Sedangkan untuk berpakaian
ihram dari Indonesia bisa saja dilakukan, tetapi jaraknya masih terlalu jauh. Maka,
Departemen Agama mencari pendapat yang memperbolehkan untuk miqat dari
Bandara Jeddah walaupun sebenarnya hal tersebut dipertentangkan oleh para
ulama’ karena hadis mengenai ketentuan miqat sangatlah jelas sebagaimana hadis
yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas tentang Miqat31. Namun ternyata ada pendapat
yang memperbolehkan hal tersebut, salah satunya ialah pendapat Ibnu Hajar
dalam kitab Tuhfah dengan alasan jarak yang sama antara Makkah-Jeddah sama
dengan Mekkah-Yalamlam, dan MUI juga telah tercatat tiga kali mengeluarkan
fatwa tentang bolehnya berihram dari bandara Jeddah, yaitu tahun 1980, 1981 dan
2006.32
Hifdz al-nafs (memelihara jiwa), yakni penguatan atas Hak Asasi Manusia
seperti hak untuk hidup (Surat al-An’am ayat 151 dan al-Maidah ayat 32), hak
atas penghormatan (al-Isra’ ayat 70, al-Ahzab 72, dan al-Baqarah ayat 30-34),
serta hak atas kemerdekaan, karena Al Qur’an sangat peduli pada pembebasan
budak, jaminan kebebasan personal bagi orang Islam didasarkan pada pernyataan

29
Andriyaldi, “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”, Al
Hurriyyah, 28.
30
Kumkelo dkk, Fiqh HAM: Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam, 48
31
Al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, 315.
32
Andriyaldi, “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”, Al
Hurriyyah, 31.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 11


bahwa tak seorang pun dapat membatasi kebebasan manusia kecuali Tuhan (Surat
Asy-Syura ayat 21)33, hal tersebut juga dapat kita lihat dari berbagai Kafarah yang
mewajibkan untuk membebaskan budak sebagai pilihan pertama.
Sehingga,walaupun di Al Quran tidak disebutkan adanya larangan perbudakan,
namun pada saat ini, perbudakan sudah tidak diperbolehkan apapun alasannya.
Hifdz al-aql (memelihara akal pikiran), hal ini jika telusuri tidak hanya
sebatas menghindari makanan dan minuman yang dapat merusak akal pikiran,
namun juga bagaimana seorang manusia mampu mengembangkan akal
pikirannya. Sebagaimana telah disebutkan dalam Al Qur’an bahwa manusia
diperintahkan untuk memikirkan ayat-ayat kauniyah (alam semesta).
Sebagaimana redaksi dalam surat al-Ghasyiyah yang berupa kalimat tanya yang
ditujukan pada manusia untuk memikirkan penciptaan alam semesta ini. Sehingga
berkembanglah ilmu pengetahuan seperti biologi, geografi dan sebagainya.
Hifdz al-nasl (memelindungi keturunan), Al Baqarah ayat 222-223
mengenai larangan seorang suami untuk mendekati istrinya ktika sedang datang
bulan. Hal ini bertujuan untuk menghindari penyakit yang kemungkinan akan
dialami oleh anaknya ketika lahir (jika melakukan hubungan dengan istri ketika
istri sedang haid) dan menjaga keturunan.34
Dalam hifdz al-mal (memelihara harta), berdasarkan Al Qur’an Surat Al-
Maidah ayat 38 mengenai hukum potong tangan bagi pencuri. Dengan melihat
sosio-geografis masyarakat Arab pada saat itu yang mayoritas berdagang bahkan
sampai lingkup internasional, hal tersebut tentu membangkitkan gairah para
pembegal dan perampok yang menjadi kebanggaan penjahat Arab saat itu. Oleh
karena itu, adalah sangat rasional jika al-Qur’ân memberi hukuman kepada para
perusuh dan pengacau keamanan yang kadangkala disertai dengan merampas
harta dengan hukuman berat sebagaimana yang ditentukan oleh al-Qur’an, dan
pada saat itu memang tepat karena kejahatan yang merajalela hanya dapat
ditanggulangi dengan hukuman yang keras sehingga menyebabkan orang
merinding dan takut mendengarnya. Dengan mencermati kondisi sosial
masyarakat Arab seperti di atas, wajar bila al-Qur’ân menetapkan hukuman yang

33
Kumkelo dkk, Fiqh HAM: Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam, 55.
34
al-Shobuni, Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, 333.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 12


berat sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mâ'idah ayat 38. Jika dikaitkan
dengan konteks Indonesia sekarang serta memperhatikan kondisi sosial-geografis
saat diturunkannya ayat tersebut, penekanan terhadap makna substantif atau
kemungkinan membuka makna atau bentuk arti lain, tanpa harus dipahami secara
tekstual-literal, menjadi terbuka. 35

35
Mutawali, “Maqashid syariah: Logika Hukum Transformatif”, Schemata, 130.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 13


BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Normativitas adalah sebuah pendekatan atau metode untuk memahami
maqashid syariah melalui sumber-sumber hukum berupa nash (Al Qur’an dan
Hadis), sedangkan interpretasi adalah sebuah metode yang sifatnya lebih
umun daripada “tafsir” dan juga “takwil” yang mana metode ini mengkaji
maqashid syariah tidak hanya berdasarkan nash, namun juga melihat aspek-
aspek lain seperti sosiologis, geografis, dan antropologis. Hemat penulis,
metode interpretasi ini sama dengan metode historisitas.
2. Normativitas maqashid syariah, utamanya dalam dharuriyah al-khamsah
dapat kita temukan dalam teks-teks nash seperti pelarangan sihir untuk
menjaga akidah umat Islam, pensyariatan qishas, pelarangan khamr,
pelarangan zina, diperbolehkannya mu’amalah, dan pelarangan mencuri.
3. Interpretasi maqashid syariah dalam ranah ijtihad disebut ijtihad tathbiqy
yang mana kemudian konsep tersebut dibuat khusus dengan nama ijtihad
maqashidy dengan menggunakan tiga perangkat utama, yaitu pemahaman
nash, pemahaman realita, dan pemahaman objek yang dikenai beban hukum.
Contoh bentuk interpretasi maqashid syariah ialah kebebasan berkeyakinan,
pembebasan perbudakan, pengembangan ilmu pengetahuan, larangan
menyetubuhi istri saat haid, dan penghilangan hukuman potong tangan bagi
pencuri.

B. Kritik dan Saran


Penulis menyadari bahwa masih banyak sekali kekurangan dalam penulisan
makalah ini. Baik dari segi penulisan, tata Bahasa, serta isi dari makalah ini
sendiri. Tentu penulis akan menerima segala kritik dan saran dari para pembaca
agar ke depannya dapat menyajikan makalah lebih baik dari yang sekarang.
Sekian. Terima kasih.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 14


DAFTAR PUSTAKA

‘Auda, Jasser. Maqashid al-Syari’ah: Dalil li al-Mubtadi’in. tt: Al-Ma’had al-‘Alamy li


al-Fikr al-Islamy. Tt.

Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Terjemah Bulughul Maram. terj: H.M.Ali. Surabaya: Mutiara
Ilmu. 2011.

Al-Ibad, Abdul Muhsin. Syarh Sunan Abi Daud. Juz 1. Maktabah Syamilah. tt: Syabakah
Islamiyah. Tt.

Al-Nawawi, Muhammad bin Umar. Tanqih al-Qaul al-Hatsits fii Syarh Lubab al-Hadits.
Juz 1. Maktabah Syamilah.

Al-Shobuni, Ali. Rowai’ul Bayan min Tafsiri Ayat al-Ahkam min al-Qur’an. Cet.III.
Damaskus: Maktabah al Ghazali. 1980.

Andriyaldi. “Ijtihad Maqashidy: Kontekstualisai Maqashid syariah di Era Modern”. Al


Hurriyyah. XIV. Januari. 2013.

Kumkelo, Mujaid dkk. Fiqh HAM: Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam
Islam. Malang: Setara Press. 2015.

Maulidi. “Maqashis Syariah sebagai Filsafat Hukum Islam: Sebuah Pendekatan Menurut
Sistem Jasser ‘Auda”. Al Madzahib. III. Juni. 2015.

Mutawali. “Maqashid syariah: Logika Hukum Transformatif”. Schemata. VI. Desember.


2017.

Sirajuddin, Azmi. “Model Penemuan Hukum dengan Metode Maqashid syariah sebagai
Jiwa Fleksibi(e)litas Hukum Islam”. Istinbath. XIII. Mei. 2016.

Slamet, Achmad. Buku Ajar Metodologi Studi Islam (Kajian Metode dalam Ilmu
Keislaman). Yogyakarta: Deepublish. 2016.

Wijaya, Aksin. Teori Interpretasi Ibnu Rusyd: Kritik Ideologis-Hermeneutris.


Yogyakarta: LKiS Yogyakarta. 2009.

Normativitas dan Interpretasi Maqashid syariah | 15

Anda mungkin juga menyukai