Anda di halaman 1dari 17

MAHKAMAH SYAR’IYAH

MAKALAH

“Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Hukum Acara Peradilan
Agama II”
Dosen Pengampu :
Dr. H. Acep Saefuddin, S.H., M.Ag.

Disusun oleh :

Azzuwari Imani 1193010032


Frederica Yovian Denandra 1193010057
Muhammad Fitrian Noor 1193010095

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. Atas segala rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat tersusun. Tak lupa sholawat serta salam semoga tercurah kepada baginda Nabi
besar Muhammad SAW. Kami ucapkan terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah
berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk, maupun
menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi. Karena keterbatasan pengetahuan
maupun pengalaman, kami yakin masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh
karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................. 2


BAB I ............................................................................................................................ 4
A. Latar belakang masalah................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................... 4
C. Tujuan Masalah ............................................................................................... 4
BAB II ........................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN ........................................................................................................... 5
A. Pengertian Mahkamah Syar’iyah .................................................................... 5
B. Dasar Hukum Mahkamah Syar’iya ................................................................. 6
C. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah................................................................... 8
D. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah .............................................................. 10
E. Hukum Acara Mahkamah Syar’iyah ............................................................ 14
BAB III ....................................................................................................................... 15
KESIMPULAN ........................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 17

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut


UUD 1945 mengatur tentang otonomi khusus suatu daerah atau bersifat
istimewa. Daerah yang telah mendapat otonomi khusus tersebut salah satunya
adalah Aceh. Salah satu bentuk formal otonomi khusus Aceh adalah
implementasi syariat Islam yang kemudian dibentuklah Mahkamah Syar'iyah
yang menjadi salah satu bagian dari otonomi khusus Aceh.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang di maksud dengan Mahkamah Syar’iyah?


2. Apa saja dasar hukum Mahkamah Syar’iyah & bagaimana
kedudukannya?
3. Apa saja kewenangan Mahkamah Syar’iyah?
4. Seperti apa hukum acara Mahkamah Syar’iyah?

C. Tujuan Masalah

1. Memahami dan mengerti apa itu Mahkamah Syar’iyah.


2. Mengetahui dasar-dasar hukum mahkamah syariyah serta kedudukannya.
3. Mengetahui apa saja kewenangan-kewenangan Mahkamah Syar’iyah.
4. Memahami dan mengerti tentang hukum acara mahkamah Syar’iyah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mahkamah Syar’iyah

Mahkamah Syar'iyah adalah Lembaga Peradilan Syari'at Islam di Aceh


sebagai pengembangan dari Peradilan Agama yang diresmikan pada tanggal 1
Muharram 1424 H / 4 Maret 2003 M sesuai dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 2001, Kepres Nomor 11 Tahun 2003 dan Qanun Provinsi Nanggore
Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2002.

Mahkamah Syar’iyah adalah peradilan syariat Islam yang merupakan


bagian dari sistem peradilan nasional. Dalam melaksanakan kewenangannya
Mahkamah Syar’iyah bebas dari pengaruh pihak manapun, karena itu
merupakan salah satu ciri kekuasaan kehakiman di Indonesia, serta Mahkamah
Syar’iyah merupakan pengembangan dari Peradilan Agama yang telah ada.
Mahkamah Syar’iyah sebagai lembaga peradilan syariat Islam yang merupakan
pengembangan dari Peradilan Agama, maka asas umum yang paling krusial
pada Peradilan Agama juga terdapat pada lembaga peradilan ini, yakni asas
personalitas keislaman.

Semula berdasarkan PP No. 29 Tahun 1957 tentang Pembentukkan


Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di Provinsi Aceh yang kemudian
diubah oleh PP No. 45 Tahun 1957 tentang Pembentukkan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura, nama Pengadilan
Agama adalah Mahkamah Syar’iyah/Pengadilan Agama, sedangkan nama
untuk Pengadilan Tinggi Agama adalah Mahkamah Syar’iyah Provinsi.

Mahkamah Syar’iyah dan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh sekarang


merupakan lembaga peradilan yang menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dibentuk untuk menjalankan Peradilan

5
Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai bagian dari
sistem peradilan nasional. Undang-undang ini menyatakan bahwa kewenangan
lembaga baru ini didasarkan atas syariat Islam dalam sistem hukum nasional
yang akan diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Oleh
karena itu, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama yang telah ada
diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 agar tidak terjadi
dualisme dalam melaksanakan Peradilan Syariat Islam yang dapat
menimbulkan kerawanan sosial dan ketidakpastian hukum, maka lembaga
Peradilan Agama beserta perangkatnya (sarana dan prasarana) yang telah ada
di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dialihkan menjadi lembaga Peradilan
Syariat Islam.

Setelah Mahkamah Syar’iyah diresmikan pada tahun 2003, pada tahun


berikutnya disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Di dalam undang-undang ini, Pasal 15 ayat (2) menyebutkan
bahwa :

Peradilan Syariat Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam


merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama dan merupakan
pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Umum.

B. Dasar Hukum Mahkamah Syar’iya

Berdasarkan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen dikatakan bahwa “Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan peradilan
Agama, Lingkungan peradilan Militer dan Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Dengan amandemen Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut khusus Bab IX

6
tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 24 telah membawa perubahan penting
terhadap penyelenggaraan kekuasaan Kehakiman, sebagai respon terhadap
penyesuaian tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkmah Agung.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan


Kehakiman disebutkan bahwa Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.

Pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, disebutkan


penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud pada pasal 1
tersebut di atas, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan
Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

Menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang


Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006. Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) adalah suatu lembaga
yang resmi, sejajar dan setara dengan badan peradilan lainnya yang ada di
Negara Republik Indonesia.

Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dinyatakan


bahwa organisasi, administrasi dan finansial Mahkmah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya berada dibawah kekuasaan Mahkamah
Agung. Dengan demikian berdasarkan pasal tersebut lahirlah apa yang disebut
dengan peradilan satu atap.

7
Sementara itu dalam Pasal 13 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 disebutkan bahwa ketentuan mengenai organisasi, administrasi dan
financial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-
masing lingkungan peradilan diatur dalam Undang-Undang sesuai dengan
kekhususan Lingkungan peradilan masing-masing” sebagai realisasi dari pasal
tersebut lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Peradilan
Umum sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986,
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2005 tentang peradilan Tata Usaha Negara
sebagai penyempurnaan dari dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

C. Kedudukan Mahkamah Syar’iyah

Kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan nasional diatur


dengan tegas dalam Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Rumusan kedudukan Mahkamah Syar’iyah
didasarkan atas Syari’at Islam, mengandung arti bahwa semua aspek dari
Syari’at Islam merupakan kewenangan dari Mahkamah Syar’iyah termasuk
salah satunya bidang hukum pidana (jinayah). Hal ini menunjukkan bahwa
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Aceh,
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan
Undang-Undang 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah mendeklarasikan
berlakunya Syari’at Islam sebagai hukum positif di Republik Indonesia.
Dengan demikian ketentuan Syari’at Islam secara kaffah dilakukan melalui
Qanun, dan terbukti merupakan sistem hukum nasional yang selaras dengan
perundang-undangan di atasnya.

Kedudukan Mahkamah Syariah di Provinsi Aceh bertentangan dengan


Sistem Peradilan di Indonesia. Hal ini dikarenakan kewenangan Mahkamah
Syariah sebagai pengadilan khusus dari peradilan agama yang mengadili 2

8
(dua) peradilan secara bersamaan yakni peradilan umum dan peradilan agama
sebagaimana dimaksud pada Pasal 128 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang mana
pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan
yang berada di bawah Mahkamah Agung, sedangkan Mahkamah Syariah
dengan dua lingkungan peradilan walaupun peradilannya berada di bawah
Mahkamah Agung.

Ada tiga hal penting dalam membahas persoalan eksistensi dan


kedudukan Mahkamah Syar’iyah di Aceh, yaitu kultur hukum, pranata hukum,
dan aparat hukum. Lawrence M. Friedman dalam hubungannya dengan sistem
hukum, menyebutkan adanya beberapa komponen unsur hukum sebagai
berikut :

1. Sistem hukum mempunyai struktur. Sistem hukum terus berubah,


namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda,
dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya.
2. Sistem hukum mempunyai substansi, yaitu berupa aturan, norma, dan
pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
3. Sistem hukum mempunyai komponen budaya hukum, yaitu sikap
manusia terhadap hukum dan sistem hukum itu sendiri, seperti
kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapannya.

Semua komponen tersebut merupakan pengikat sistem hukum itu di


tengah kultur bangsa secara keseluruhan. Seseorang menggunakan hukum, dan
patuh atau tidak terhadap hukum sangat tergantung kepada kultur hukumnya.
Oleh karena itu, saat ini hukum bukan hanya dipakai untuk mempertahankan
pola-pola hubungan serta kaidah-kaidah yang telah ada. Hukum yang diterima
sebagai konsep modern memiliki fungsi untuk melakukan suatu perubahan
sosial.

9
Sejalan dengan hal tersebut apabila dianalisis secara yuridis, kedudukan
perkara jinayat maysir (judi) di Mahkamah Syar’iyah di Aceh adalah
merupakan bagian dari suatu sistem hukum yang dimaksudkan untuk
memperoleh kebenaran materil, sehingga dalam penegakan hukum (law
enforcement) yang berkenaan dengan identitas hukum bagi masyarakat pencari
keadilan melalui lembaga peradilan (Mahkamah Syar’iyah) tidak semata-mata
didasarkan pada tujuan kepastian hukum (rechtzakerheid), melainkan juga
ditujukan kepada kemanfaatan (utility).

D. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah

Salah satu kekuasaan yang diberikan Negara Kepada Provinsi Aceh


adalah hak dan peluang Membentuk Mahkamah Syar’iyah sebagai Peradilan
Syari’at Islam. Hal ini dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA), khususnya dalam pasal 128 ayat (2)
yang menyebutkan bahwa: “Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan bagi
setiap orang beragama islam di Aceh”. Mahkamah Syar’iyah sendiri
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama sepanjang
menyangkut wewenang Peradilan Agama, dan juga merupakan pengadilan
khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang menyangkut wewenang
peradilan umum. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 3A Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa Mahkamah


Syar’iyah memiliki dua kompetensi atau wewenang dasar, yaitu wewenang
peradilan agama dan juga Sebagian wewenang peradilan umum.

1. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam lingkungan peradilan agama

Secara umum kewenangan Mahkamah Syar’iyah adalah kewenangan


peradilan agama ditambah kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan

10
masyarakat dalam ibadah dan syi’ar islam yang ditetapkan dalam qonun. Maka
dari itu, yang mencakup kewenangan peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2
kewenangan yaitu:

A. Kewenangan Relatif
Kewenangan Relatif adalah kewenangan untuk menerima, memeriksa,
dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya
berdasarkan wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal.
Mengenai kewenangan relative Mahkamah Syar’iyah ini diatur dalam pasal 4
ayat (1) Qonun Nomor 10 Tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam di Aceh,
yang menyatakan bahwa:
“Mahkamah Syar’iyah yang berkedudukan di ibukota kabupaten/kota
yang daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota.”
Selain dalam pasal diatas, diatur juga dalam pasal 50 Qonun Nomor 10
tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam di Aceh, yang menyatakan bahwa:

• Mahkamah syar’iyah Provinsi bertugas dan berwenang memeriksa dan


memutuskan perkara yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah
dalam tingkat banding.
• Mahkamah Syar’iyah provinsi juga bertugas dan berwenang mengadili
dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa dalam kewenangan antar
mahkamah syar’iyah di Nangroe Aceh Darussalam.

Maka, kewenangan relative mahkamah syar’iyah pada dasarnya sama


seperti pengadilan pada umumnya, yakni dalam menyelesaikan suatu perkara
harus diajukan kepada pengadilan mahkamah syar’iyah yang berada di wilayah
tergugat tinggal atau tempat disengketakan berada.

B. Kewenangan Absolut
Kewenangan Absolut adalah kewenagan badan peradilan dalam
memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan

11
peradilan lain. Kewenangan absolut mahkamah syar’iyah tercantum dalam
pasal 128 ayat (3) Undang-Undang nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan
Aceh yang berbunyi:
“Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal as-syakhsiyyah (hukum
keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) yang
didasarkan atas syari’at islam.

Selain pada pasal tersebut, kewenangan Mahkamah Syar’iyah ini juga


diatur dalam pasal 49 Qonun nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syari’at
islam di Aceh yang menyatakan bahwa: “ Mahkamah Syar’iyah bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara pada
tingkat pertama,dalam bidang: Akhwal al syakhsiyyah, muamalah, jinayah
yang kemudian dalam penjelasan pasal 49 tersebut dinyatakan:

- dengan kewenangan dalam bidang muamalah meliputi hukum


kebendaan dan perikatan seperti Yang dimaksud kewenangan dalam penjelasan
dalam bidang ahwal al syakhsiyyah meliputi hal yang diatur dalam pasal 49
Undang-Undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama beserta
penjelasan dari pasal tersebut, kecuali wakaf, hibah, dan shodaqoh.
- Yang dimaksud:
a. Jual beli,utang-piutang;
b. Qiradh (permodalan);
c. Musaqah muzara’ah,mukhabarah (bagi hasil pertanian);
d. Wakilah (kuasa),syirkah (perkongsian);
e. Ariyah (pinjam-meminjam), hajru (penyitaan), syufah (hak langgeng),
rahnu (gadai);
f. Ihya’u al-mawat (pembukaan tanah), ma’adin (tambang), luqhathah
(barang temuan);
g. Perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful (asuransi syari’ah);

12
h. Perburuhan;
i. Harta rampasan, wakaf, hibah, shodaqoh, dan hadiah;

Sedangkan jinayah masuk kedalam kewenangan Mahkamah Syar’iyah


dalam lingkungan peradilan Umum, karena berhubungan dengan tindak pidana
yang mana hal tersebut masuk kedalam kewenangan peradilan umum.

2. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam lingkungan peradilan umum

Secara umum kewenagan Mahkamah Syar’iyah dalam lingkungan


peradilan umum dijelaskan dalam pasal 49 Qonun nomor 10 tahun 2002 tentang
peradilan syari’at islam di Aceh yang menyatakan bahwa: “Mahkamah
Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
perkara-perkara pada tingkat pertama, dlama bidang Akhwal al syakhsiyyah,
muamalah, jinayah.” Yang mana ahwal syakhsiyyah dan muamalah masuk
dalam kewenangan Mahkamah syar’iyah dalam lingkungan peradilan agama,
sedangkan yang masuk dalam kewenangan Mahkamah Syar’iyah dalam
lingkungan peradilan umum adalah Jinayah, yang dimaksud dengan jinayah
dalam pasal 49 qonun nomor 10 tahun 2002 tentang tentang peradilan syari’at
islam di Aceh adalah sebagai berikut:

• Hudud meliputi: zina, menuduh berzina, mencuri, merampok,


meminum minuman keras dan napza (narkoba), murtad, dan
pemberontakan (bughat).
• Qishash/diyat yang meliputi: pembunuhan dan penganiayaan
• Ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan
pelanggaran syari’at selain hudud dan qishash/diyat seperti; judi,
khalwat penipuan, pemalsuan, menggalkan shalat fardhu, dan shaum
rhomadhon.

Pada awalnya aceh sudah memiliki tiga qonun mengenai jinayah.


Pertama qonun nomor 12 tahun 2003 tentang khamr dan sejenisnya. Kedua,

13
qonun nomor 13 tahun 2003 tentang maisir (judi). Ketiga, qonun nomor 14
tahun 2003ntentang larangan berkhalwat (mesum). Namun, dengan
diterbitkannya qonun nomor 6 tahun 2014 tentang jinayah, maka ketiga qonun
tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

E. Hukum Acara Mahkamah Syar’iyah

Pada pasal 3A Undang-Undang nomor 50 tahun 2009 tentang perubahan


kedua atas undang undang nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama sendiri
menjelaskan bahwa Mahkmah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan agama sepanjang menyangkut wewenang peradilan
agama, dan juga merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum sepanjang menyangkut wewenang peradilan umum, maka dapat
diketahui bahwa Mahkamah Syar’iyah menggunakan dua hukum acara.

Hukum acara yang berlaku di Mahkamah Syar’iyah sepanjang


mengenai perkara dalam bidang ahwal al syakhsiyyah dan muamalah adalah
hukum acara yang berlaku sebagaimana pada pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama. Sedangkan hukum hukum acara yang berlaku pada
mahkamah syar’iyah mengenai perkara dalam bidang jinayah, maka
hukumacara yang berlaku hukum acara jinayah yang diatur dalam qonun Aceh
nomor 7 tahun 2013 tentang hukum acara jinayah. Hukum acara Mahkamah
syar’iyah yang terkait dengan ahwal asyakhsiyyah dan muamalah tetap
berpedoman kepada hukum acara yang diatur didalam pasal 54 Undang Undang
nomor 7 tahun 1989 tentang peradilan agama pasal 132 ayat 1 dan 2 qonun
nomor 11 tahun 2006.

14
BAB III
KESIMPULAN

Mahkamah Syar’iyah adalah Lembaga Peradilan Syari’at Islam di Aceh yang


dikembangkan dari Peradilan Agama dan diresmikan pada tanggal 1 muharram 1424
H/ 4 Maret 2004 M. Sesuai dengan UU Nomor 18 tahun 2001, Kepres Nomor 11 Tahun
2003 dan Qanun Prov. Naggore Aceh Darussalam No. 10 tahun 2002.

Dasar hukum Mahkamah Syar’iyah menurut Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang


Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006. Pengadilan Agama (Mahkamah Syar’iyah) adalah suatu
lembaga yang resmi, sejajar dan setara dengan badan peradilan lainnya yang ada di
Negara Republik Indonesia.

Adapun kedudukan Mahkamah Syar’iyah dalam Sistem Peradilan nasional


diatur dengan tegas dalam Pasal 128 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh. Rumusan kedudukan Mahkamah Syar’iyah didasarkan
atas Syari’at Islam, mengandung arti bahwa semua aspek dari Syari’at Islam
merupakan kewenangan dari Mahkamah Syar’iyah termasuk salah satunya bidang
hukum pidana (jinayah).

Mengenai kewenangan dalam lingkup peradilan agama, Mahkamah Syar’iyah


secara umum adalah kewenangan peradilan agama ditambah kewenangan lain yang
berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syi’at islam yang ditetapkan
dalam qonun.

Adapun dalam lingkup peradilan umum dijelaskan dalam pasal 49 Qonun


nomor 10 tahun 2002 tentang peradilan syari’at islam di Aceh yang menyatakan bahwa:
“Mahkamah Syar’iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang Akhwal al
syakhsiyyah, muamalah dan jinayah.”

15
Hukum acara yang berlaku di Mahkamah Syar’iyah sepanjang mengenai
perkara dalam bidang ahwal al syakhsiyyah dan muamalah adalah hukum acara yang
berlaku sebagaimana pada pengadilan dalam lingkungan peradilan agama. Sedangkan
hukum hukum acara yang berlaku pada mahkamah syar’iyah mengenai perkara dalam
bidang jinayah, maka hukum acara yang berlaku hukum acara jinayah yang diatur
dalam qonun Aceh nomor 7 tahun 2013 tentang hukum acara jinayah.

16
DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. D. (1997). Hukum Islam Dan Peradilan Agama. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Djalil, B. (2006). Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Efa Laela Fakhriah, dkk. “Kewenangan Mahkamah Syar’iyah di Aceh Dihubungkan
dengan Sistem Peradilan di Indonesia”. Jurnal Ilmu Hukum, vol 3 no. 2
halaman 114.
https://badilag.mahkamahagung.go.id/

17

Anda mungkin juga menyukai