MAHKAMAH SYARIAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah agama islam
Oleh :
Siti Sopiah, S.Pd
Dengan mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, atas segala
Rahmat-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Dan sholawat serta salam akan selau tercurahkan kepada junjungan kaum
muslimin yakni Nabi Muhammad SAW. Walau jauh dari kata sempurna tetapi
kami sangat berharap makalah dengan judul “Mahkamah Syar’iyah” ini dapat
dibaca dan bermanfaat untuk khalayak umum. Makalah ini kami susun guna
memenuhi tugas mata kuliah Lembaga Peradilan Indonesia.
Makalah ini memuat tentang memahami Mahkamah Syar’iyah.
Peradilan Indonesia yang telah banyak membantu dalam penyusunan
makalah ini, sehingga dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Hukum Islam di Aceh............................................................... 4
B. Perubahan dari Pengadilan Agama ke Mahkamah Syar’iyah............... 5
C. Mahkamah Syar’iyah ............................................................................ 7
D. Tugas dan Fungsi................................................................................... 9
E. Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang Menyangkut
Seluruh Wewenang Peradilan Agama.........................................................11
F. Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang Menyangkut
Sebagian Wewenang Peradilan Umum.......................................................14
DAFTARPUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan syari’at Islam di Aceh yang dilakukan oleh Mahkamah
Syar’iyah merupakan Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.
Mahkamah Syar’iyah merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan
peradilan agama sepanjang menyangkut wewenang peradilan agama, dan
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang
menyangkut wewenang peradilan umum. Dalam badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung dimungkinkan dibentuknya pengadilan
khusus seperti *engadilan Anak, Pengadilan Niaga, Pengadilan Hak Asasi
Manusia, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Hubungan Industrial
yang berada di lingkungan peradilan umum. Pengadilan khusus dalam
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Pajak.
Mahkamah Syar’iyah memiliki kekuasaan untuk melaksanakan
wewenang Peradilan Agama dan juga memiliki kekuasaan untuk
1
ibadah), menyediakan fasilitas atau peluang kepada orang muslim tanpa uzur
syar’i untuk tidak berpuasa (bidang ibdadah), dan tidak berbusanaIslam
(bidang syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili
perkara- perkara tindak pidana dalam pengelolaan zakat, sebagaimana diatur
dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Tindak pidana
dimaksud meliputi tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat
palsu, atau memalsukan surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan
zakat.
Adapun hukum materiil dalam bidang mu’amalah (perdata pada
umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi wewenang Mahkamah
Syar’iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu wewenang
di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata
yang sejak dulu telah menjadi wewenang Pengadilan Agama, seperti masalah
wakaf, hibah, wasiat, dan sodaqoh.
Mahkamah Syar’iyah sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman termasuk
dalam peradilan negara yang eksistensi dan perannya harus ditetapkan
dengan undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (3) UU
Kekuasaan Kehakiman. Sebagai peradilan negara, maka tugas dan fungsinya
harus menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Mahkamah Syar’iyah sebagai
peradilan negara yang memiliki kekuasaan kehakiman dan sebagai pengadilan
khusus sebagaimana disebutkan dalam Undang- Undanng Nomor 3 Tahun 2006
tidak dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak dijelaskan
dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
B. Rumusan Masalah
1) Sejarah Mahkamah Syariah
2) Perubahan dari Pengadilan Agama ke Mahkamah Syar’iyah
3) Mahkamah Syar’iyah
4) Tugas dan Fungsi
5) Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang Menyangkut Seluruh
Wewenang Peradilan Agama
2
6) Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar’iyah yang Menyangkut
Sebagian Wewenang Peradilan Umum
C. Tujuan
1) Untuk mengetahui sejarah hukum Islam di Aceh.
2) Untuk mengetahui perubahan dari Peradilan Agama ke Mahkamah
Syar’iyah.
3) Untuk mengetahui tentang Mahkamah Syar’iyah.
4) Untuk mengetahui tugas dan fungsi Mahkamah Syar’iyah.
5) Untuk mengetahui pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah yang
menyangkut seluruh wewenang Peradilan Agama.
6) Untuk mengetahui pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah yang
menyangkut sebagian wewenang Peradilan Umum.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
Syar’iyah mempunyai ciri khusus dalam kewenangan sebagaimana tersebut
dalam pasal 128 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh disebutkan Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-
syakhsyiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum
pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam. Selanjutnya dalam ayat (4)
disebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai bidang ahwal al-syakhsyiyah
(hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana)
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Qanun Aceh.
Berkaitan dengan kewenangan tersebut dikuatkan dengan Keputusan
Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/070/SK/X/2004 Tentang Pelimpahan
Sebagian Kewenangan Dari Peradilan Umum Kepada Mahkamah Syar’iyah Di
Provinsi Aceh, yang kemudian dikuatkan dengan berita acara serah terima
kewenangan mengadili sebagian perkara-perkara yang berdasarkan syariat Islam
antara Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh dengan Ketua Mahkamah Syar’iyah
Provinsi Aceh dengan disaksikan Ketua Mahkamah Agung RI tanggal 11
Oktober 2004.
Dari peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut diatas jelaslah
kewenangannya (kompetensi absolut) Mahkamah Syar’iyah. Dalam praktek
untuk melaksanakan kewenangan (kompetensi absolut) tersebut setiap
Mahkamah Syar’iyah juga mempunyai kompetensi relatif (wilayah
hukum/yurisdiksi) masing-masing.
Dengan perubahan perundang-undang tersebut, maka badan Peradilan Agama
setelah bergabung dengan Mahkamah Agung ditangani oleh Direktorat Jenderal,
perubahan ini tentu akan membawa konsekwensi yang luar biasa terhadap
pengembangan dan pengelolaan Peradilan Agama kedepan, baik dari segi
organisasi, administrasi dan finansial, maupun sarana serta prasarananya.
5
referendum yang juga disuarakan oleh sebahagian generasi muda pada
waktu itu.
Para Ulama dan Cendikiawan muslim semakin insentif menuntut kepada
Pemerintah Pusat, agar dalam rangka mengisi keistimewaan Aceh dan
mengangkat kembali martabat rakyat Aceh supaya dapat diizinkan dapat
menjalankan Syari’at Islam dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan
tersebut akhirnya membuahkan hasil dengan lahirnya 2 (dua) Undang-
undang yang sangat penting dan fundanmental, yaitu :
6
lahirnya Undang-undang tersebut terkaitk erat dengan Undang-undang
Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistemewaan Aceh,
yaitu dalam upaya membuka jalan bagi pelaksanaan Syari’at Islam dalam
kehidupan bermasyarakat dibumi Serambi Mekah.
Salah satu amanat dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut
adalah diberikan peluang dan hak bagi Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam untuk membentuk Peradilan Syari’at Islam, yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Syar’iyah sebagai bagian dari sistem Peradilan Nasional
(Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001).
C. Mahkamah Syar’iyah
Penegakan Hukum yang dilaksanakan oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh
tidak dapat terlepas dari birokrasi yang merupakan salah satu wahana dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Birokrasi bertugas mengelola
pelayanan dan melaksanakan berbagai keputusan politik kedalam berbagai
kebijakan politik baik secara teknis maupun dalam kegiatan
operasional. Birokrasi merupakan factor penentu keberhasilan keseluruhan
agenda program termasuk dalam rangka mewujudkan aparatur peradilan
yang bersih dan bebas dari KKN sehingga para birokrat yang ada di
Mahkamah Syar’iyah Aceh dapat mewujudkan pemerintahan yang baik (good
governance).
Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam melaksanakan seluruh kegiatan yang
berkaitan dengan kepentingan Peradilan Tingkat Banding, baik yang bersifat
administratif, keuangan dan organisasi berkewajiban untuk mempertanggung
jawabkan pelaksanaan tugas, fungsi dan peranannya dalam pengelolaan
sumberdaya, dan sumber dana serta kewenangan yang dipercayakan kepada
publik mengacu pada Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung RI Nomor
: MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat
Mahkamah Agung RI, Lembaga Mahkamah Agung RI sebagai salah satu
institusi negara / pemerintahan sesuai dengan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor : XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Instruksi
7
Presiden Nomor : 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.
Ayat (2) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 disebutkan bahwa ketentuan
mengenai organisasi, administrasi dan financial Badan peradilan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing masing lingkungan
diatur dalam Undang Undang sesuai dengan kekhususan masing masing.
Sebagai realisasi dari pasal tersebut lahirlah Undang undang Nomor : 50
Tahun
2009 tentang perubahan kedua atas Undang Undang Nomor : 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama. Mahkamah Syar’iyah Aceh selaku Pengadilan
Tingkat Banding secara organisasi, administrasi dan financial membina serta
8
15) Mahkamah Syar’iyah Meulaboh
16) Mahkamah Syar’iyah Sinabang
17) Mahkamah Syar’iyah Singkil
18) Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan
19) Mahkamah Syar’iyah Jantho
tercipta18 :
1) Transparasi pengadilan dan akuntabelnya Pejabat Peradilan
2) Peningkatan pemahaman masyarakat terhadap sistem peradilan dan akses
publik,
3) Perbaikan tata kerja dan pengembangan sumber daya manusia.
9
berupaya melakukan Pembinaan dan Pengawasan terhadap jalanya Mahkamah
Syar’iyah Tingkat Pertama. Adapun tugas pokok dan fungsi sesuai dengan
10
e. Sekretaris bertugas menyelenggarakan administarsi umum, mengatur
tugas Wakil Sekretaris, para Kepala Sub Bagian, Pejabat
Administrasi Umum, serta seluruh pelaksana di bagian
Kesekretariatan MAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH .
f. Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab
atas penggunaan anggaran.
g. Sekretaris selaku Kuasa Pengguna Barang bertanggung jawab atas
keberadaan dan pemanfaatan barang milik negara ( BMN ).
11
derogat legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan
yang umum.
b. Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang
badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak
tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak
ini untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya
sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri
ataukah Pengadilan Agama. Dalam bahasa Belanda kewenangan mutlak
disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.
Setelah reformasi bergulir dan dilakukan amandemen
UndangUndang Dasar 1945 khususnya Pasal 24 yang mengukuhkan
Badan Peradilan Agama masuk dalam sistem hukum nasional, maka
politik hukum Indonesia mulai merespon kepentingan dan kebutuhan
hukum umat Islam dalam menjalankan syariatnya., kemudian
lahirlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Peradilan Agama sebagaimana yang terdapat dalam Undang-Undang No.
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang dulu hanya berwenang
memeriksa dan memutus perkara-perkara di tingkat pertama antara
orangorang yang beragama Islam di bidang Perkawinan, Kewarisan,
Wasiat, dan Hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, serta
Wakaf dan Shadaqah, tetapi sekarang wewenangnya diperluas lagi
setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Atas undangundang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, sehingga wewenangnya diperluas meliputi: perkawinan, waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah; dan ekonomi syari’ah.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menegaskan,
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu.” Memperhatikan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa
dengan kewenangan tersebut dimungkinkan untuk menyelesaikan
12
perkara pidana. Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan
perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya
masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “…
hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
13
hukum yang hidup (living law) dan diamalkan oleh masyarakat muslim
di Indonesia. Bahkan semestinya, kewenangan peradilan agama tidak
hanya terbatas pada persoalan-persoalan tersebut, tetapi juga
menyangkut persoalan hukum Islam lainnya yang selama ini telah
dipraktikkan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Perluasan wewenang pengadilan agama setelah diundangkannya
syariah lainnya.23
Sampai saat ini baru ada 5 (lima) qanun hukum materil yang
berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang pidana
(jinayah), yaitu:
1. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam
bidang’ Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini ada lima
macam perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak pidana) yakni:
a) Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang ‘aqidah).
b) Tidak shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ”uzur syar’i”
(bidang ibadah).
c) Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa
’uzur untuk tidak berpuasa (bidang ibadah).
d) Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari
Ramadhan (bidang ibadah).
e) Tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam).
14
2. Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya.
3. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi).
4. Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum).
15
hukum cambuk sebanyak empat puluh kali, tetapi berupa
ketentuan Tuhan yang harus diikuti, karena penentuan
hukuman seperti ini telah tegas tercantum di dalam nas
syari`at. Dengan demikian Pemerintah Aceh tinggal
16
terdapat di dalam syariah Islam. Pengharmonisasiannya
17
Menurut Nagaty Sanad, profesor hukum pidana dari Mesir, asas
legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta’zir adalah yang
paling fleksibel, dibandingkan dengan dua kategori sebelumnya.
Untuk menerapkan asas legalitas ini, dalam hukum pidana Islam
terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas legalitas,
tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia
menyeimbangkan hak-hak individu, keluarga, dan masyarakat melalui
diterapkan.28
Pengecualian ini dalam hukum pidana Islam terjadi misalnya
18
pengecualian dari asas tidak beerlaku surut, yaitu (1) Bagi kejahatan-
kejahatan berbahaya yang membahayakan keamanan dan ketertiban
umum; (2) Dalam keadaan sangat diperlukan, untuk suatu kasus yang
penerapan berlaku surutnya adalah bagi kepentingan masyarakat.
19
1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi.
2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Keraguan tersebut dapat muncul karena kekurangan bukti-bukti. Hal
ini dapat terjadi jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang diancam
hukuman hadd dan bukti satu-satunya adalah pengakuannya sendiri. Akan
muncul keraguan apabila ia menarik pengakuannya itu. Dari hadits Nabi
SAW yang disebutkan di atas, hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman
hadd jika ada keraguan.
Pendapat terakhir ini didukung oleh Nagaty Sanad dengan alasan
bahwa beberapa kejahatan ta’zir mengkin dapat dijatuhi sanksi yang sama
beratnya dengan dua jnis kejahatan sebelumnya. Hukuman mati, yang
merupakan sanksi paling serius, dapat diterapkan juga untuk kejahatan
ta’zir ini. Atas dasar kedua alasan tersebut, kejahatan-kejahatan jinayat
dan qishash dalam aplikasi prinsip batalnya hukuman karena keraguan ini.
20
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana, cepat, dan biaya ringan.
Melihat apa yang disebutkan di atas, maka sudah terdapat
keharmonisan atau keselarasan antara asas-asas umum, terutama di
dalam bidang jinayat yang merupakan salah satu kewenangan dari
Mahkamah Syar’iyah. Dengan demikian Qanun hukum acara jinayat
yang sedang dalam proses pembuatannya itu diharapkan akan harmonis
dengan hukum acara pidana umum. Seharusnya keharmonisan tersebut
dapat menjadi suatu pijakan awal untuk mengatasi kendala-kendala
dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah,
terutama di bidang jinayat.
Pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar’iyah saat ini masih
terkendala dengan minimnya aturan yang mengatur tentang hukum
jinayah dan hukum acara jinayah. Saat ini Pemerintah Aceh sedang
menyusun Qanun Jinayah dan Hukum Acara Jinayah.
Bab II Pasal 2 draf Qanun Jinayah mengatur tentang jarimah dan
‘uqubat khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (berdua-
duaan pada tempat yang sepi yang bukan mahramnya), ikhtilath
(perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram baik tempat tertutup maupun terbuka), zina, pelecehan seksual,
pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat
membuktikannya dengan menghadirkan 4 orang saksi), liwath
(homoseksual), dan musahaqah (lesbian).
Qanun tersebut berlaku untuk setiap orang yang beragama Islam
yang berdomisili di Aceh dan bagi nonmuslim yang melakukan
jarimah di Aceh bersama-sama orang Islam serta memilih dan
menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah, dan nonmuslim
yang melakukan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau
ketentuan pidana di luar KUHP tetapi diatur dalam qanun ini (Pasal 4).
Adapun jenis-jenis ‘uqubat dalam Qanun Jinayah itu meliputi
hudud dan ta’zir.
21
‘Uqubat ta’zir tersebut berbentuk cambuk, denda, penjara, perampasan
barang-barang tertentu, pencabutan izin dan pencabutan hak, dan
kompensasi. Qanun ini juga mengurai secara rinci jarimah dan ‘uqubat
bagi pelaku khamar, maisir, khalwat, ikhtilath, zina, pelecehan seksual,
pemerkosaan, qadzaf, liwath, dan musahaqah seperti tersebut di atas.
Qanun Jinayah mengenai hukuman yang akan diterapkan
terhadap pelaku jarimah di Aceh, sehingga ada beberapa pihak yang
mengkhawatirkan orang Aceh belum siap dan kekhawatiran lainnya
yang bersifat politis dan ekonomis. Sepintas, kekhawatiran ini tidak
beralasan mengingat beberapa fakta sebagaimana kita singgung di atas,
22
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Daftar Pustaka
23
Buku
Abdul Aziz Amir, Al-Ta`zir fi al-Syari`at al-Islamiyah, (Kairo: Dar al-Fikri al-
`Arabi, 1976). Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri` al-Jinai al-Islami, Juz. 1,
(Kairo : Maktabah Daru al-Turas, t.t.,). Abdul Qadir Audah, Criminal Law of
Islam, (Karachi: International Islamic Publishers, 1987).
Amal, Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam: Dari Indonesia hingga
Nigeria, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2004).
Anthony Reid, Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera
Hingga Akhir
Kerajaan Aceh Abad Ke-19, Terj. Masri Maris, (Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 2005).
Greg Fealy, Sally White, Expressing Islam: Religious Life and Politics in
Indonesia, (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2008).
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan
Jepang, Terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985).
24
Jurnal
Konstitusi
25