Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PROSPEK PENGADILAN AGAMA PASCA LAHIRNYA UU NOMOR 35 TAHUN


1999 (PENYATUATAPAN) & UU NOMOR 4 TAHUN 2004

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Peradilan Agama di Indonesia

Dosen Pengampu : Agus Wahyudi, SHI., MH

KELOMPOK 13

1. Isna Azizah (202121012)


2. Haniah Nur Azizah (202121013)

KELAS 5A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiratan Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah “Peradilan Agama di Indonesia” tepat pada waktunya. Tidak
lupa kami mengucapkan banyak terimakasih atas uluran tangan dan bantuan yang berasal dari pihak
yang telah bersedia berkontribusi sehingga makalah ini dapat diselesaikan yang insyaallah dengan baik.
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah guna memenuhi tugas yang diampu oleh Bapak Agus
Wahyudi, SHI., MH

Dan kami selaku penulis yang bertanggung jawab terhadap tulisan ini berharap semoga makalah
ini mampu menambah pengalaman serta ilmu yang bermanfaat bagi para pembaca. Sehingga untuk
kedepannya sanggup memperbaiki bentuk maupun tingkatan isi makalah sehingga menjadi makalah
yang memiliki wawasan yang luas dan lebih baik lagi.

Karena keterbatasan ilmu maupun pengalaman kami, kami percaya tetap banyak kekurangan
dalam makalah ini. Oleh karena itu kami sangat berharap saran dan kritik yang membangun berasal dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Sragen, 26 September 2022

Penulis
DAFTAR ISI

JUDUL .......................................................................................................................................

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................................................

A. Latar Belakang ..............................................................................................................


B. Rumusan Masalah ........................................................................................................
C. Tujuan Penelitian ..........................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ...........................................................................................................

A. Kedudukan dan Eksistensi PA dan Mahkamah Syariah Pada Era Reformasi .......
B. Peluang dan Tantangan PA dan Mahkamah Syariah ...............................................
C. Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan PA dan Mahkamah Syariah Sebagai
Institusi Terhormat .......................................................................................................

BAB III PENUTUP ...................................................................................................................

A. Kesimpulan ....................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peradilan agama adalah pranata sosial hukum. Pada era orde baru peradilan agama berada
pada dua atap yaitu di bawah kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Namun setelah adanya Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung, peradilan agama kini menjadi satu atap dengan Mahkamah Agung.
Paradigma baru peradilan agama berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999
tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, dan terakhir telah di gantikan menjadi Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman. Sebagai perubahan dari Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kehakiman sehingga dengan Undang-
Undang ini dapat menganut sistem satu atap (penyatuatapan). Artinya pembianaan terhadap
Lembaga Peradilan agama berada di bawah Mahkamah Agung. Peradilan agama sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kedudukan dan Eksistensi PA dan Mahkamah Syariah Pada Era Reformasi?
2. Bagaimana Peluang dan Tantangan PA dan Mahkamah Syariah?
3. Bagaimana Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan PA dan Mahkamah Syariah Sebagai Institusi
Terhormat?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana Kedudukan dan Eksistensi PA dan Mahkamah Syariah Pada
Era Reformasi
2. Untuk mengetahui bagaimana Peluang dan Tantangan PA dan Mahkamah Syariah
3. Untuk mengetahui bagaimana Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan PA dan Mahkamah Syariah
Sebagai Institusi Terhormat
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kedudukan dan Eksistensi PA dan Mahkamah Syariah Pada Era Reformasi


Eksistensi peradilan agama tidak dapat dilepaskan dari akar historis. Artinya munculnya
dinamika hukum tidak dapat melepaskan dinamika sosial di belakangnya. Keberadaan atau
eksistensi peradilan agama secara yuridis normatif merupakan amanat konstitusi Undang-Undang
Dasar Negara Pasal 24, 25 yang konkrit formalitasnya sama dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 dan dipayungi oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 mengenai kekuasaan kehakiman.
Pasal 52 Rancangan Undang-Undang perbankan Syariah dalam peradilan agama adalah untuk
mewujudkan kepastian hukum.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 atas perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989, membawa perubahan dalam penyelenggaraan peradilan agama. Dalam pasal 49 dijelaskan
bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan suatu
perkara tingkat pertama yaitu dalam bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, dan
sebagainya.1
Dalam hal ini kedudukan dan eksistensi PA pada era reformasi terdapat perkembangan yang
signifikan yaitu dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 peradilan agama hanya memeriksa
dan memutus perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang
didasarkan pada hukum islam. Setelah diundangkannya UU Nomor 3 Tahun 2006 perkaranya lebih
diperluas yaitu meliputi wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi Syariah. Dalam pasal 49
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 diatur mengenai penyelesaian sengketa ekonomi Syariah.
Penguatan peradilan agama pada era reformasi mendorong kelembagaan peradilan agama menjadi
satu atap di bawah naungan Mahkamah Agung dan sejajar dengan peradilan lainnya.2
Mahkamah Syariah adalah Lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun
dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama islam. Mahkamah Syariah adalah
Lembaga peradilan di Aceh dimana kedudukan nya adalah sebagai pengadilan yang menerima,
memeriksa, dan memutus suatu perkara Jinayat. UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang otonomi daerah
khusus bagi provinsi Aceh. Undang-Undang tersebut membawa perkembangan baru dalam sistem

1
Abu Tolhah, Peluang dan Tantangan Kompetensi Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang
nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jurnal Asy-Syari’ah, Vol/17, No.2, Agustus 2015, hlm. 130-
131
2
Ari Wibowo, Perkembangan Eksistensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap, Jurnal
Al-Mawarid edisi XVII Tahun 2007, hlm.137.
peradilan. Pasal 25-26 UU PNAD mengatur mengenai mahkamah syari’ah yang merupakan
peradilan syari’at islam sebagai bagian dari peradilan nasional.3

Eksistensi kelembagaan Mahkamah Syari’ah diawali dengan adanya teori trias politika,
yaitu sebuah premis yang terdapat di dalam pemisahan kekuasaan. Pemisahan kekuasaan adalah
suatu metode memindahkan kekuasaan ke dalam kelompok-kelompok. Mahkamah Syari’ah di Aceh
harus konsisten mengacu pada peraturan perundang-undangan yang sah. Dimana peraturan
perundang-undangan yang rendah harus merujuk pada peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi dan tidak saling bertentangan. Dalam konsep trias politika kedudukan mahkamah syari’ah
adalah menjalankan fungsi yudikatif demi menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat Aceh.4

B. Peluang dan Tantangan PA dan Mahkamah Syariah


a. Peluang PA dan Mahkamah Syariah

Perkembangan peradilan agama di Indonesia terus mengalami perkembanga,


perkembangan hukum islam menjadi hukum nasional yang dipengaruhi oleh perkembangan
pemikiran hukum yang mendasari proses legislasi berlakunya hukum islam. Pada tahun 1970
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang ketentuan pokok-pokok
kehakiman dalam Pasal 10 disebutkan mengenai empat peradilan di Indonesia, yaitu peradilan
militer, peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha Negara. Peradilan tersebut
disejajarkan posisinya secara hukum dan seluruh proses peradilan bertumpu pada Mahkamah
Agung. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yakni diberikannya
kewenangan bagi pengadilan agama untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.5

Namun, dapat ditarik kesimpulan bahwa peluang Peradilan Agama dan Mahkamah
Syariah yaitu: Pertama, Untuk peluang Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah dapat berupa
penguatan Peradilan Agama pada masa reformasi yang tampaknya mampu semakin mendorong
kelembagaan Peradilan Agama menjadi satu atap di bawah naungan Mahkamah Agung dan
sejajar dengan peradilan lainnya. Kedua, untuk meningkatkan peran dan fungsi aparatur penegak
hukum pada Peradilan Agama, pembinaan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung bukan hanya
dari segi peningkatan kualitas sumber daya manusia, namun juga dari segi pengembangan
organisasi, kelembagaan, dan sarana prasarana. Jika sebelumnya Peradilan Agama dianggap
terbelakang, di era reformasi menjadi sejajar dengan Peradilan Negeri; dan Ketiga, memasuki

3
Ibid, hlm.135-135.
4
Erina Pane, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Sebagai Perwujudan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Al-Adalah,
Vol.XIII, No.1, Juni 2016, hlm.41-42.
5
Abu Tolhah, Peluang dan Tantangan Kompetensi Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-Undang
nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jurnal Asy-Syari’ah, Vol/17, No.2, Agustus 2015, hlm. 124
fase era reformasi, kewenangan Peradilan Agama diperluas untuk menyelesaikan sengketa
ekonomi syari’ah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.6

b. Tantangan PA dan Mahkamah Syariah

Terdapat beberapa implikasi yang timbul dari kebijakan (politik) satu atap, yaitu:

Pertama, ditinjau dari ajaran trias politica, dengan satu atap, pemisahan kekuasaan
kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan legislatifi dan eksekutif menjadi lebih murni.
Hubungan check and balances hanya pada pengangkatan. DPR dan presiden diikutsertakan dalam
pengangkatan hakim agung. Adapun pengangkatan ketua, wakil ketua, dan ketua-ketua muda
MA hanya mengikutsertakan presiden. Tidak ada hubungan check and balances dalam
memberhentikan ketua, wakil ketua, ketua muda, dan hakim agung. Pranata impeachment yang
diatur dalam UUD 1945 hanya berlaku untuk presiden dan wakil presiden, tidak berlaku pada
para pejabat negara yang lain.

Kedua, satu atap menimbulkan pula konsekuensi cakupan pertanggungjawaban


kekuasaan kehakiman. Kini, kekuasaan kehakiman tidak hanya bertanggung jawab dalam
menjalankan kekuasaan atau fungsi yudisial, tetapi juga kekuasaan atau fungsi adminsitrasi
negara seperti mengangkat dan memberhentikan pegawai, mengelola keuangan dan sebagainya.
Menurut penuturan Dirjen Perundang-undangan Depkeh dan HAM Abdul Gani Abdullah,
belasan ribu tunggakan perkara menumpuk di MA, belum lagi 45.000 pegawai dan 10.000 hakim
akan menjadi beban administratif sebagai akibat langsung dari konsep penyatuan atap kekuasaan
kehakiman (Gatra, 13 Maret 2004). Ketua MA Bagir Manan mengakui, pengalihan tersebut
mempunyai konsekuensi yang besar. Untuk menghindari keruwetan, dia mengemukakan,
fungsinya yang dipindahkan tapi lembaganya dibiarkan dulu. Lagi pula pengalihan itu dilakukan
bertahap dalam setahun (Tempo, 4 April 2004).

Ketiga, ada semacam kekhawatiran, sistem satu atap akan melahirkan kesewenang-
wenangan pengadilan atau hakim. Ada yang menilai, satu atap dapat menimbulkan tirani
pengadilan. Kekhawatiran ini timbul, karena dengan satu atap tidak ada lagi yang mengawasi
hakim atau pengadilan. Telah menjadi dalil, kekuasaan tanpa pengawasan mesti sewenang-
wenang. Menyadari hal itu, selain ajaran pemisahan kekuasaan, Montesqueu menghendaki
dikembangkan sistem check and balances. Kekhawatiran tersebut dalam anggapan Ketua MA
Bagir Manan berlebihan, bahkan tidak masuk akal (Bagir Manan, 2004: 10). Sebab, satu atap
tidak terkait dengan fungsi yudisial (fungsi peradilan). Satu atap hanya menyangkut urusan
keorganisasian, administrasi, dan keuangan. Segala bentuk keikutsertaan, apalagi campur tangan
atas kekuasaan yudisial pada galibnya dilarang. Bahkan, ketua MA sekalipun tidak boleh

6
Ibid, hlmn. 131-132
mencampuri wewenang hakim atau majelis hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu
perkara.

Keempat, dalam praktiknya selama ini pengawasan terhadap hakim nakal menjadi sulit
karena urusan gaji dan administrasi mereka berada di Depkeh. Hakim yang dianggap nakal oleh
MA sering tidak dapat dipindahkan karena urusan itu lebih menjadi kewenangan Depkeh.
Dengan adanya sistem peradilan satu atap, pengelolaan dan pengawasan hakim diharapkan akan
lebih mudah dan efisien. Meskipun hal itu juga tidak menjamin hakim-hakim nakal akan mudah
diberantas, paling tidak eksekutif teramputasi untuk mengintervensi hakim lagi. Pada saatnya
nanti, agar pengawasan terhadap hakim lebih maksimal, di samping pengawasan internal MA,
pengawasan dilakukan oleh komisi yudisial, lembaga di luar peradilan. Rancangan undang-
undang lembaga ini, kini sedang digodok di DPR. Dengan kata lain, sistem peradilan satu atap
akan berjalan baik jika dilengkapi komisi yudisial. 7

C. Upaya-Upaya Konkrit Menjadikan PA dan Mahkamah Syariah Sebagai Institusi


Terhormat

Ada beberapa teori yang sangat terkait dengan pemberlakuan hukum Islam di kalangan
masyarakat Indonesia, di mana teori yang satu dengan yang lain sering kali bertolak belakang.
Adapun teori teori tersebut antara lain; teori receptie incomplexu, teori receptie, dan teori receptie
balik (receptie a contrario).

Melalui ahli hukum Van den Berg lahir teori receptie in complexu yang menyatakan bahwa
syari’at Islam secara keseluruhan berlaku bagi pemeluk pemeluknya. Atas pengaruh teori ini, maka
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1882 mendirikan Peradilan Agama yang ditujukan kepada
warga masyarakat yang memeluk Agama Islam. Namun kemudian teori receptie in complexu ini
ditentang oleh van Vollenhoven dan Snouck Hurgronje sebagai pencipta teori baru yaitu teori
receptie yang menyatakan bahwa hukum Islam dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan
dengan hukum adat. Jadi dengan demikian menurut pandangan teori ini, untuk berlakunya hukum
Islam harus diresepsi (diterima) terlebih dahulu oleh hukum Adat. Menurut teori ini, hukum
kewarisan Islam tidak dapat diberlakukan karena belum diterima atau bertentangan dengan hukum
adat. Teori receptie ini kemudian dibantah dengan teori baru yang dikemukakan oleh Sajuti Thalib,
yaitu teori receptie a contrario. Teori ini merupakan pengembangan dari teori Hazairin yang intinya
menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi rakyat adalah hukum agamanya. Dengan demikian
hukum adat hanya berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam. Hal ini sejalan dengan
konsep ‘Urf yang dikenal dalam Islam.

7
Kamaruddin, “DISKURSUS PENYATUATAPAN PERADILAN AGAMA DI BAWAH MAHKAMAH
AGUNG (STUDI RESPONSIF)”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 8 No. 1, (Januari 2015), hlm. 67-68.
Karena pengaruh teori teori tersebut di atas, maka Peradilan Agama di Indonesia sering kali
mengalami pasang surut. Jauh sebebelum Indonesia merdeka, Peradilan Agama sebenarnya telah
banyak berperan dalam penyelesaian sengketa pada masyarakat muslim. Namun hingga tahun 1989,
keberadaan Peradilan Agama ini hanya sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama
tidak diberi wewenang untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan
Agama hanya dapat mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin
dari Peradilan Negeri dalam bentuk executoir verklaring. Fenomena ini amat unik sekaligus
diskriminatif, sebab suatu lembaga peradilan tidak dapat menjalankan keputusannya sebelum
diizinkan oleh lembaga peradilan lain yang levelnya setingkat. Dikatakan diskriminatif karena
lembaga peradilan selain Peradilan Agama yang diakui oleh UU No. 14 tahun 1970 diberi wewenang
untuk menjalankan keputusannya sendiri.

Dengan kekecewaannya terhadap politik sistem hukum nasional yang diskriminatif tersebut,
maka Munawir Sadzali pernah mengatakan bahwa Peradilan Agama sebagai Peradilan Pupuk
Bawang. Kenyataan itu diperkuat lagi dengan penampilan fisik gedung Peradilan Agama yang tidak
menampakkan layaknya gedung Peradilan. Belum lagi hingga tahun 1990-an masih banyak hakim
hakimnya yang hanya berstatus sebagai pegawai honorer, tidak seperti hakim hakim di lingkungan
peradilan lain yang merupakan pegawai Negara.

Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang disahkan pada tanggal 27 Desember 1989. Peradilan Agama tidak lagi menjadi Peradilan
Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang
sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang
peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-
peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI), UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun, 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 tentang
Perbankan Syari’ah, UU No. 35 tahun 1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan
menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17 tahun 1999 tentang Haji; UU No. 38
tahun 2001 tentang Zakat dan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di Nangroe Aceh
Darussalam; UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana Syari’ah dengan
Sarjana Hukum dalam peluangnya untuk menjadi advokat; hingga melahirkan UU No. 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama. Dengan UU No. 3 tahun 2004 ini terjadi penambahan kompetensi absolut
Peradilan Agama, yaitu dalam sengketa Ekonomi Syari’ah.

Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas merupakan bentuk pengakuan


yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksanya. Dengan
adanya pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka
Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan
keterikatan dengan lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan
keadilan di tengah-tengah masyarakat.8

8
Ari Wibowo, “Perkembangan Eksitensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap”, Al-
Mawardi, (Edisi XVII Tahun 2007), hal. 125-127.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Eksitensi Peradilan Agama tidak dapat dilepaskan dari akar historis. Dalam artian
munculnya dinamika hukum yang tidak dapat melepaskan dinamika social dibelakangnya.
Keberadaan atau eksitensi Peradilan Agama secara yuridis dan normatif merupakan amanat
konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pada era reformasi kedudukan PA
mengalami perubahan yang signifikan dalam UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang hanya memeriksa dan memutus perkara di tingkat pertama di bidang perkawinan dan kewarisan
setelah diundangkan nya UU Nomor 3 Tahun 2006 yang mana perkaranya lebih luas lagi yaitu
meliputi wakaf, zakat, shadaqah, dan ekonomi syariah. Eksitensi kelembagaan Mahkamah Syariah
diawali dengan adanya teori Trias Politika yang terdapat dalam pemisahan kekuasaan. Dalam konsep
trias politika ini kedudukan Mahkamah Syariah adalah menjalankan fungsi yudikatif demi
menegakkan hukum dan keadilan bagi masyarakat Aceh.

Untuk peluang Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah dapat berupa penguatan Peradilan
Agama pada masa reformasi yang tampaknya mampu semakin mendorong kelembagaan Peradilan
Agama menjadi satu atap di bawah naungan Mahkamah Agung dan sejajar dengan peradilan lainnya.
Lalu, untuk meningkatkan peran dan fungsi aparatur penegak hukum pada Peradilan Agama. Dan
dalam memasuki fase era reformasi, kewenangan Peradilan Agama diperluas untuk menyelesaikan
sengketa ekonomi syari’ah sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006. Sedangkan tantangan PA dan Mahkamah Syariah seperti ditinjau dari ajaran trias politica,
dengan satu atap, pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-cabang kekuasaan legislatifi dan
eksekutif menjadi lebih murni. Lalu satu atap menimbulkan pula konsekuensi cakupan
pertanggungjawaban kekuasaan kehakiman. Dan ada semacam kekhawatiran, sistem satu atap akan
melahirkan kesewenang-wenangan pengadilan atau hakim.

Dan upaya-upaya konkrit yang dapat menjadikan PA dan Mahkamah Syariah sebagai
institusi terhormat dapat dilihat dari sejarahnya yang mengalami pasang surut dan menerima
penolakan-penolakan terhadap legislasi Peradilan Agama. Tahun 1989, keberadaan Peradilan
Agama ini hanya sebagai pelengkap saja. Pada waktu itu Peradilan Agama tidak diberi wewenang
untuk menjalankan keputusan yang dibuatnya sendiri, melainkan Peradilan Agama hanya dapat
mengimplementasikan keputusannya apabila sudah mendapat restu atau izin dari Peradilan Negeri
dalam bentuk executoir verklaring. Barulah kemudian pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun
1989 tentang Peradilan Agama yang disahkan pada tanggal 27 Desember 1989. Peradilan Agama
tidak lagi menjadi Peradilan Pupuk Bawang melainkan ia sudah dapat berperan sebagaimana
lembaga peradilan yang sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan
politik Islam dalam bidang peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang tersebut maka
kemudian lahir peraturan-peraturan lainnya. Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan
di atas merupakan bentuk pengakuan yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan
Agama sebagai pelaksanya. Dengan adanya pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari
masyarakat maupun oleh negara, maka Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya
secara mantap tanpa ada pengaruh dan keterikatan dengan lembaga lain, sehingga menjadi sebuah
lembaga yang dapat menciptakan keadilan di tengah-tengah masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA

Ari Wibowo, “Perkembangan Eksitensi Peradilan Agama di Indonesia Menuju ke Peradilan Satu Atap”,
Al-Mawardi, (Edisi XVII Tahun 2007)

Abu Tolhah, Peluang dan Tantangan Kompetensi Peradilan Agama Pasca Amandemen Undang-
Undang nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Jurnal Asy-Syari’ah, Vol/17, No.2,
Agustus 2015

Erina Pane, Eksistensi Mahkamah Syar’iyah Sebagai Perwujudan Kekuasaan Kehakiman, Jurnal Al-
Adalah, Vol.XIII, No.1, Juni 2016

Kamaruddin, “DISKURSUS PENYATUATAPAN PERADILAN AGAMA DI BAWAH


MAHKAMAH AGUNG (STUDI RESPONSIF)”, Jurnal Al-‘Adl, Vol. 8 No. 1, (Januari 2015)

Anda mungkin juga menyukai