Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Agama di
Indonesia
Kelompok 4
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan Masalah....................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru............................................6
B. Penataan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru.......................................6
C. Dasar Hukum Dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru...7
D. Kedudukan Pengadilan Agama Dalam UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan...................................................................................................................9
BAB III...........................................................................................................................10
PENUTUP......................................................................................................................10
A. Kesimpulan.........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehadiran Peradilan Agama di Indonesia, telah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka. Meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dan penamaan atau
penyebutannya berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat
muslim Indonesia. Hal ini mengingat, ia tidak hanya berfungsi sebagai “medan” akhir
dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat muslim, namun
sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum
Islam di Indonesia. Itulah sebabnya, di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia,
keberadaannya merupakan conditio sine qua non (tindakan/kondisi) dan melekat serta
berbanding lurus dengan eksistensi masyarakat muslim itu sendiri.
Namun demikian, sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia
begitu panjang, penuh liku dan sarat akan muatan politis. Termasuk polemik dalam
sejarah hukum nasional, ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Eksistensi dan
kewenangannya pun, dari waktu ke waktu berubah bergantung kepada siapa yang
berkuasa pada waktu tersebut. Jika penguasa menghendaki peradilan menjadi kerdil
atau bahkan hilang keberadaannya, walaupun umat Islam menghendaki sebaliknya,
tetap saja kehendak penguasa (political will) yang dominan, sebab ia pemegang
dominasi politik.1 Meskipun demikian, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia sangat
kuat mengingat akar historis yang kuat pula dalam perjalanan sejarah masyarakat
muslim Indonesia.
Dinamika sejarah sebelum satu atap ini akan diurai dalam makalah berjudul
Pengadilan Agama pada Masa Orde Baru yang meliputi 3 pembahasan, yakni: Penataan,
Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama pada Masa Orde Baru, Kedudukan
Pengadilan Agama dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 dan UU Nomor 1 Tahun 1974,
dan Eksistensi Pengadilan Agama Setelah Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kelompok kami buat mengenai Pengadilan Agama
Pada Masa Orde Baru meliputi:
1. Bagaimana sejarah Peradilan Agama pada masa Orde Baru?
2. Bagaimana Penataan Pengadilan Agama pada masa Orde Baru?
3. Apa saja dasar hukum dan wewenang Pengadilan Agama pada masa Orde
Baru?
4. Bagaimana kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan?
C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah dari rumusan masalah di atas meliputi:
1. Mampu menjelaskan tentang sejarah Peradilan Agama pada masa Orde Baru.
2. Mampu menjelaskan tentang Penataan Pengadilan Agama pada masa Orde
Baru.
3. Mampu menjelaskan tentang dasar hukum dan wewenang Pengadilan
Agama pada masa Orde Baru.
4. Mampu menjelaskan tentang kedudukan Pengadilan Agama dalam
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Perkawinan.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta 2008, hal 178.
1) Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun
1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
2) Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian
Residensi Kalimantan Selatan-Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan
639), dan
3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara
Tahun 1957 Nomor 99).3
3
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta 2004, Hal 10-11.
pembagian harta peninggalan, dan (e) penetapan pengadilan atas permohonan seseorang
tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian masing-masing
ahli waris.
Kewenangan Pengadilan Agama selanjutnya adalah dalam perkara wasiat dan
hibah. Wasiat, sesuai penjelasan pasal 49 huruf (c) adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Sedangkan hibah
(penjelasan pasal 49 huruf [d]) adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa
imbalan dari seorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki. Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah wakaf, zakat dan infaq. Hukum
materiil Pengadilan Agama adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI
yang didalamnya ada 3 bab yaitu perkawinan, kewarisan dan wakaf.4
D. Kedudukan Pengadilan Agama Dalam UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan
BAB III
PENUTUP
5
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, hal 10-11.
A. Kesimpulan
Secara historis, pada awal kemerdekaan Peradilan Agama masih belum ada. Ini
terbukti dengan adanya UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Bahkan dalam UU No19 Tahun 1948 tentang
Susunan Dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman Dan Kejaksaan sebagai Koreksi UU
No 7 tahun 1947. Dalam Pasal 6 undang-undang tersebut, ada 3 lembaga peradilan di
Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan Peradilan
Ketentaraan. Undang-undang ini tidak menyebutkan adanya Peradilan Agama. Namun
Pasal 10 ayat (2) UU tersebut, diakui keberadaan Hakim Perdamian Desa sebagai
pemegang kekuasaan yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara
berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa. Begitu juga Pasal 5 ayat (2) dalam
UU tersebut, menyebutkan perkara perdata antara orang Islam diperiksa dan diputus
menurut agamanya oleh Pengadilan Negeri. Hal ini sangat diskriminatif terhadap
syariat, Umat Islam dan Peradilan Agama. Padahal, faktanya Peradilan Agama sudah
ada sebelum Indonesia merdeka mekipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
UU No. 19 Tahun 1964, menyebutkan Peradilan Negara RI menjalankan dan
melaksanakan hukum yang mempuyai fungsi pengayoman, yang dilaksanakan dalam
lingkungan: Peradilan Umum, Peradial Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Uasaha Negara. Undang-undang ini sudah menyebutkan adanya peradilan Agama dan
diperjelas lagi dengan adanya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan kekuasaan kehakiman dijalankan oleh
Mahkamah Agung dan empat peradilan di bawahnya. Pada masa ini, kekuasaan
kehakiman mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebab, UU No. 14 tahun
1970 menegaskan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari
campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia. Pasal 10 ayat (1) UU No.14 Th 70 menyebutkan Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan; Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Ini menunjukkan
kedudukan Badan PA setara dan sejajar dengan peradilan lainnya. Adapun Hukum
Acara pada Peradilan Agama menurut UU. No 14 Th 1970 masih belum ada. Untuk
mengatasi hal tersebut, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 26
November 1977 mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1977 tentang Jalan
Pengadilan Dalam Pemeriksaan Kasasi dalam Perkara Perdata dan Perkara Pidana oleh
Peradilan Agaman dan Peradilan Militer, disertai Surat Edarannya Nomor:
MA/Pemb. /0921/1977. Badan Peradilan Agama semakin kuat dengan adanya UU.
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya dalam kopetensi dan
bertambahnya wewenang serta tanggung jawab Peradilan Agama. Nama Peradialan
Agama sebelum adanya UU Nomor 14 Th 1970 berbeda-beda. Menteri Agama
mengeluarkan SKMA No 6 Th 1980 yang menghapus nama Mahkamah Islam Tinggi,
Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar maupun Mahkamah Syari’ah dari Mahkmah
Syari’ah Provinsi, menjadi Peradilan Agama. Sedangkan Pengadilan Tingkat
Bandingnya bernama Pengadilan Tinggi Agama. Pada tahun 1970-an kekuasaan
kehakiman yang merdeka masih belum bisa dilaksanakan dengan sempurna karena
adanya dualisme sistem pelaksanaan. Dalam tehnis yustisial, empat peradilan tersebut
dibawah pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung selaku Yudikatif. Dalam19
non-tehnis yustisial seperti administrasi dibawah departemen yang menaungi selaku
Eksekutif. Peradidan Umum dan peradilan Tata Usaha Negara dibawah Departemen
Kehakiman, Peradilan Agama dibawah Departen Agama, dan Peradilan Militer dibawah
Departemen Pertahanan dan Keamanan.Walhasil, kekuasana kehakiman kental
intervensi kekuasaan eksekutif. Meskipun secara normatif dan legal formal sudah
independen.
Adapun dasar hukum Peradilan Agama pada masa Orde Baru adalah UU No.7
Th 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun sebelum 1989 dasar hukum penyelenggaran
Peradilan Agama berbeda-beda. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial
Belanda, dan sebagian produk pemerintah Republik Indonesia diantaranya adalah (1)
Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882
Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610), (2) Peraturan tentang
Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan
Selatan-Timur (Staatsblad Tahun 1937 No 638 dan 639); (3) PP. No 45 Th 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99). Wewenang Peradilan Agama dalam UU
No.7 Th 1989 sesuia dengan Pasal 49 ayat (1) adalah Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat
dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. Wakaf dan shadaqah”.
Kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan kokoh dengan diundangkannya
UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, karena Peradilan Agama semakin luas
wewenangnya dan fungsinya semakin mengakar dalam mengatur urusan-urusan umat
Islam. Meskipun undang-undang perkawinan ini berbentuk undang-undang yang
memiliki kekuatan hukum dibanding wewenang Peradilan Agama yang lainnya seperti
warisan, wasiat, hibah, zakat dan shadaqah yang acuannya hanya Kompilasi Hukum
Islam, tetapi kenyatannya Peradilan Agama tidak mandiri sepenuhnya. Hal ini terbukti
dengan adanya Pasal 63 ayat (2) UU tersebut menyatakan setiap keputusan Pengadilan
Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Dengan adanya UU No.14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kedudukan Pengadilan Agama
semakin kuat dan kokoh dan sejajar dengan peradilan lainnya. Karena pasal Pasal 10
ayat 1 menetapkan: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Ini menunjukkan secara kelembagaan Peradilan Agama sejajar dengan empat peradilan
lainnya, namun secara putusan tidak independen atas dasar Pasal 63 ayat (2) UU Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan
oleh Pengadilan Umum. Disamping itu, dalam hal non-tehnis Yustisial Peradilan
Agama berada dibawah pembinaan dan pengawasan Depatemen Agama sehingga masih
berpeluang diintervensi oleh Ekekutif. Diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1989
tersebut menandai lahirnya paradigma baru Peradilan Agama. Paradigma baru itu
menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini”.
DAFTAR PUSTAKA
Malik Ibrahim, Peradilan Agama di Era Orde Baru dan Reformasi,
Desember 2015.
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Jakarta 2008.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi,
Jakarta 2004.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU
No. 7 tahun 1989, Jakarta 2007.