Anda di halaman 1dari 14

PERADILAN AGAMA PADA MASA ORDE BARU

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Peradilan Agama di
Indonesia

Dosen Pengampu: Dr. SRI LUMATUS SA`ADAH, S. Ag, M.H.I.

Disusun Oleh: Kelompok 4

1. Agus Mutawaqqil Al Allah (212102030056)


2. Lailana Nur Yukha (212102030072)
3. Aprilla Nuriyatus Silmi (222102030090)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
KIAI HAJI ACHMAD SIDDIQ JEMBER
MARET 2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur senantiasa kita ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, taufik serta hidayahnya sehingga kita dapat menyelesaikan penyusunan makalah
Peradilan Agama di Indonesia yang berjudul ‘Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru’
dengan selesai.
Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas dari ibu Sri Lumatus Sa’adah
pada Peradilan Agama di Indonesia. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan
menambah wawasan kepada pembaca tentang Materi ‘Peradilan Agama di Indonesia’.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan dan berusaha untuk
semaksimal mungkin. Namun, kami menyadari dalam penyusunan dan penulisan
makalah masih banyak melakukan kesalahan. Oleh karena itu, kami memohon maaf
atas kesalahan dan ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini.
Kami juga berharap adanya kritik serta saran dari pembaca apabila menemukan
kesalahan dalam makalah ini.

Jember, 21 Maret 2023

Kelompok 4

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB I................................................................................................................................3
PENDAHULUAN............................................................................................................3
A. Latar Belakang.....................................................................................................4
B. Rumusan Masalah................................................................................................4
C. Tujuan Masalah....................................................................................................4
BAB II...............................................................................................................................5
PEMBAHASAN...............................................................................................................5
A. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru............................................6
B. Penataan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru.......................................6
C. Dasar Hukum Dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru...7
D. Kedudukan Pengadilan Agama Dalam UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan...................................................................................................................9
BAB III...........................................................................................................................10
PENUTUP......................................................................................................................10
A. Kesimpulan.........................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................13
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehadiran Peradilan Agama di Indonesia, telah ada jauh sebelum Indonesia
merdeka. Meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana dan penamaan atau
penyebutannya berbeda-beda, namun eksistensinya tetap dibutuhkan oleh masyarakat
muslim Indonesia. Hal ini mengingat, ia tidak hanya berfungsi sebagai “medan” akhir
dalam proses penyelesaian sengketa yang terjadi pada masyarakat muslim, namun
sekaligus juga sebagai penjaga eksistensi dan keberlangsungan pelaksanaan hukum
Islam di Indonesia. Itulah sebabnya, di tengah-tengah masyarakat muslim Indonesia,
keberadaannya merupakan conditio sine qua non (tindakan/kondisi) dan melekat serta
berbanding lurus dengan eksistensi masyarakat muslim itu sendiri.
Namun demikian, sejarah perkembangan lembaga Peradilan Agama di Indonesia
begitu panjang, penuh liku dan sarat akan muatan politis. Termasuk polemik dalam
sejarah hukum nasional, ada yang pro dan banyak pula yang kontra. Eksistensi dan
kewenangannya pun, dari waktu ke waktu berubah bergantung kepada siapa yang
berkuasa pada waktu tersebut. Jika penguasa menghendaki peradilan menjadi kerdil
atau bahkan hilang keberadaannya, walaupun umat Islam menghendaki sebaliknya,
tetap saja kehendak penguasa (political will) yang dominan, sebab ia pemegang
dominasi politik.1 Meskipun demikian, eksistensi Peradilan Agama di Indonesia sangat
kuat mengingat akar historis yang kuat pula dalam perjalanan sejarah masyarakat
muslim Indonesia.
Dinamika sejarah sebelum satu atap ini akan diurai dalam makalah berjudul
Pengadilan Agama pada Masa Orde Baru yang meliputi 3 pembahasan, yakni: Penataan,
Dasar Hukum dan Wewenang Pengadilan Agama pada Masa Orde Baru, Kedudukan
Pengadilan Agama dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 dan UU Nomor 1 Tahun 1974,
dan Eksistensi Pengadilan Agama Setelah Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang kelompok kami buat mengenai Pengadilan Agama
Pada Masa Orde Baru meliputi:
1. Bagaimana sejarah Peradilan Agama pada masa Orde Baru?
2. Bagaimana Penataan Pengadilan Agama pada masa Orde Baru?
3. Apa saja dasar hukum dan wewenang Pengadilan Agama pada masa Orde
Baru?
4. Bagaimana kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan?

C. Tujuan Masalah
Tujuan masalah dari rumusan masalah di atas meliputi:
1. Mampu menjelaskan tentang sejarah Peradilan Agama pada masa Orde Baru.
2. Mampu menjelaskan tentang Penataan Pengadilan Agama pada masa Orde
Baru.
3. Mampu menjelaskan tentang dasar hukum dan wewenang Pengadilan
Agama pada masa Orde Baru.
4. Mampu menjelaskan tentang kedudukan Pengadilan Agama dalam
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan Perkawinan.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah Peradilan Agama Pada Masa Orde Baru


Orde Baru secara harfiyah adalah masa yang baru, yang menggantikan masa
kekuasaan Orde Lama. Namun secara politis Orde Baru diartikan suatu masa untuk
mengembangkan negara Republik Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang sesuai
dengan haluan negara sebagaimana yang terdalam dalam Undang-Undang Dasar 1945
serta falsafah negara Pancasila secara murni dan konsekuen.
Perpindahan kekuasaaan Orde Lama kepada Orde Baru dilakukan berdasar
analisis yang menyatakan banyaknya kebijakan pemerintahan yang telah melenceng
dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga apabila kekuasaan ini diteruskan maka tujuan
dan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan akan jauh dari keberhasilan. Perjuangan
menggolkan Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama hanya mengembalikan
posisi Peradilan Agama pada posisi semula, yang dulu oleh Belanda dihanguskan
menimbulkan kecemburuan di kalangan non muslim, sehingga menimbulkan hubungan
yang kurang harmonis antara kalangan muslim dan non muslim.
Pada masa Orde Baru kekuasaan dari lembaga peradilan (yudikatif) mengalami
perkembangan yang signifikan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1970 tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang mana dalam
undang-undang ini kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lingkungan peradilan
yang ada yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara yang semuanya berada di bawah Mahkamah Agung.
Sebelum lahirnya UU No 7 Tahun 1989 Pengadilan Agama tidak memiliki Juru
Sita, yang dimiliki hanyalah Panitera yang itupun belum memadai. Tetapi dengan
munculnya UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, kondisi tersebut telah
berakhir dan Pengadilan Agama telah memiliki baik Juru Sita maupun Panitera yang
semuanya harus beragama Islam. Di samping itu jika seandainya putusan Pengadilan
Agama tidak diterima oleh para pihak yang berperkara maka dapat langsung dimintakan
banding ke Pengadilan Tinggi Agama, yang selanjutnya bila belum menerima putusan
Pengadilan Tinggi Agama juga, maka para pihak bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah
Agung sebagai puncak pengadilan dan puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Begitu pula kalau dipelajari dalam UU No 14 Tahun 1985 tentang MA, akan terlihat
secara teoritis bahwa Hakim Agama mempunyai peluang untuk dipromosikan sebagai
Ketua Mahklamah Agung. Dengan demikian dengan hadirnya UU No 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, maka Peradilan Agama menjadi betul-betul sederajat dengan
peradilan lainnya. 1
B. Penataan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru
Pada tahun 1964 melalui UU No. 19 Tahun 1964 tentang ketentuan pokok-
pokok kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa Peradilan Negara Republik Indonesia
1
Malik Ibrahim, Peradilan Agama di Era Orde Baru dan Reformasi, No. 2, Desember 2015.
menjalankan dan melaksanakan hukum yang mempuyai fungsi pengayoman, yang
dilaksanakan dalam lingkungan: Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara. UU No. 19 Tahun 1964 ini kemudian diubah dengan
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan
mulai berlaku pada tanggal 17 Desember 1970.
Pada masa Orde Baru kekuasaan kehakiman mengalami perkembangan yang
cukup signifikan. Karena dalam UU No. 14 tahun 1970 ditegaskan bahwa kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari campur tangan kekuasaan
lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Kekuasaan kehakiman itu dijalankan oleh Mahkamah Agung dan empat lingkungan
peradilan di bawahnya, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha
Negara dan Peradilan Militer.
Akan tetapi, kekuasaan kehakiman yang merdeka di atas masih belum bisa
dilaksanakan secara sempurna. Hal ini dikarenakan adanya dualisme sistem dalam
pelaksanaan kekuasaan kehakiman dimana dalam hal teknis yustisial 4 (empat)
lingkungan peradilan di atas berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung, sedangkan
dalam hal non yustisial seperti administrasi, organisasi dan keuangan berada di bawah
kekuasaan eksekutif (departemen). Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
di bawah Departemen Kehakiman, Peradilan Agama di bawah Departemen Agama dan
Peradilan Militer di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan. Dengan kata lain,
sepanjang Pemerintahan Orde Baru, keberadaan Badan Peradian Agama sebagai salah
satu Pelaksana Kekuasaan Kehakiman pembinaan dan pengawasannya dilakukan oleh
dua lembaga, yakni Yudikatif dan Eksekutif. Di satu sisi, pembinaan teknis dilakukan
oleh Mahkamah Agung, dan di sisi lain organisasi, administrasi oleh Departemen
Agama. Keadaan seperti ini karena aturan dasarnya yakni Pasal 10 dan Pasal 11 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman. Pasal 5 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Walhasil kekuasaan kehakiman pada saat itu masih kental intervensi oleh kekuasaan
eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kehendak orang perorang yang berkuasa. Di sini
pengebiran terhadap kekuasaan kehakiman terulang kembali. Kenyataan buram masa
Orde Baru di atas menunjukkan bahwa kekuasaan kehakiman secara normatif sudah
independen, yakni ketentuan yang ada dalam peraturan perundangundangan seperti
UUD 1945 dan UU no 14 tahun 1970 sudah menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka. Akan tetapi secara empiris atau realitanya tidak
independen.2
C. Dasar Hukum Dan Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru
1. Dasar Hukum Pengelenggaraan Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru.
Sebelum UU Nomor 7 Tahun 1989 diundangkan, dasar hukum penyelenggaraan
Peradilan Agama bervariasi. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial Belanda,
dan sebagian produk pemerintah Republik Indonesia. Dasar Hukum itu meliputi
berbagai peraturan perundang-undangan, yaitu:

2
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta 2008, hal 178.
1) Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun
1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610).
2) Peraturan tentang Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian
Residensi Kalimantan Selatan-Timur (Staatsblad Tahun 1937 Nomor 638 dan
639), dan
3) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura (Lembaran Negara
Tahun 1957 Nomor 99).3

2. Wewenang Pengadilan Agama Pada Masa Orde Baru


Menurut ketentuan Pasal 49 UU No.7 tahun 1989 ayat (1), “Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan
shadaqah. Hal itu menunjukkan bahwa kewenangan pengadilan di Jawa-Madura
dikembalikan sebagaimana kewenangan yang berlaku sebelum tahun 1937. Dengan
perkataan lain, kewenangan pengadilan tersebut “lebih luas” dibandingkan pada masa
sebelumnya (1937-1989). Kewenangan lain Pengadilan Agama, zakat dan infaq.
Sedangkan kewenangan Pengadilan Agama yang lainnya tidak mengalami perubahan.
Namun demikian, menurut PP Nomor 45 Tahun 1957 kewenangan tersebut (selain
perselisihan antara suami dengan isteri) berhubungan dengan “hukum yang hidup”
diputus menurut hukum agama Islam. Kini, pengganti “hukum yang hidup” itu adalah
hukum Islam sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum undang-undang
tersebut.
Kewenangan Pengadilan Agama yang pertama adalah di bidang perkawinan.
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah antara lain:
a) Izin beristri lebih dari seorang
b) Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun
dalam hal orang tua, wali atau keluarga dalam garis lurus tanpa ada
perbedaan pendapat.
c) Dispensasi kawin
d) Pencegahan perkawinan
e) Penolakan perkawinan oleh PPN
f) Pembatalan perkawinan
g) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri
h) Perceraian karena talak
i) Gugatan perceraian
j) Penyelesaian harta bersama
k) Penguasaan anak-anak, dsb.
Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah dalam perkara warisan yang
meliputi: (a) penentuan siapa yang menjadi ahli waris, (b) penentuan mengenai harta
peninggalan, (c) penentuan mengenai bagian masing-masing ahli waris, (d) pelaksanaan

3
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi, Jakarta 2004, Hal 10-11.
pembagian harta peninggalan, dan (e) penetapan pengadilan atas permohonan seseorang
tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian masing-masing
ahli waris.
Kewenangan Pengadilan Agama selanjutnya adalah dalam perkara wasiat dan
hibah. Wasiat, sesuai penjelasan pasal 49 huruf (c) adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,
yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia. Sedangkan hibah
(penjelasan pasal 49 huruf [d]) adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa
imbalan dari seorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki. Kewenangan lain Pengadilan Agama adalah wakaf, zakat dan infaq. Hukum
materiil Pengadilan Agama adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI
yang didalamnya ada 3 bab yaitu perkawinan, kewarisan dan wakaf.4
D. Kedudukan Pengadilan Agama Dalam UU No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan

1. Kedudukan Pengadilan Agama dalam UU No.14 Tahun 1970 tentang


Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Susunan Pengadilan di Indonesia diatur dalam UU No. 14 tahun 1970, tentang
ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Susunan Pengadilan di Indonesia
diatur dalam UU No 14 Tahun 1970, tentang ketentuan-ketentuan Pokok kekuasaan
kehakiman. Pasal 10 ayat 1 menetapkan: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan:
a) Peradilan Umum
b) Peradilan Agama
c) Peradilan Militer
d) Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 10 ayat 1 ini menunjukkan bahwa kedudukan Pengadilan Agama sederajat
dengan peradilan lainnya. Baik secara kelembagaan maupun secara putusan. Dengan
adanya UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman maka,
kedudukan Peradilan Agama secara legal formal semakin kuat dan kokoh. Meskipun
dalam hal yutisial Peradilan Agama berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung,
sedangkan dalam hal non yustisial seperti administrasi, organisasi dan keuangan berada
di bawah kekuasaan eksekutif (departemen) dalam hal ini adalah Departemen Agama.
Walhasil kekuasaan kehakiman pada Peradilan Agama pada saat itu masih kental
intervensi oleh kekuasaan eksekutif, bahkan dikendalikan oleh kehendak orang perorang
yang berkuasa.
Selanjutnya, ketika UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman diundangkan Peradilan Agama memiliki kedudukan yang
kuat dan sejajar dengan peradilan lain, yakni Peradilan Umum, Peradilan Militer, dan
4
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU No. 7 tahun 1989, Jakarta
2007, hal 8-9.
Peradilan Tata Usaha Negara, sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman. Yang
membedakan keempat penyelenggara kekuasaan kehakiman itu ditentukan oleh bidang
yirisdiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya. Namun demikian, pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama, dalam hal ini Pengadilan Agama, tidak memiliki
kemandirian untuk melaksanakan putusannya sebelum dikukuhkan oleh Pengadilan
Negeri (dalam lingkungan Peradilan Umum), sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal
63 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berbunyi “Setiap
keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum”. Institusi
pengukuhan itu baru dihapus ketika disahkan dan diundangkan UU Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama.
2. Kedudukan Pengadilan Agama Dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Dengan kelahiran UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka Peradilan
Agama semakin luas wewenangnya dan fungsinya semakin mengakar dalam mengatur
urusan-urusan umat Islam. Dibanding dengan wewenang Peradilan Agama yang lain
seperti waris, wasiat hibah wakaf infaq, shadaqah, seperti yang tertera didalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) maka Hukum Perkawinan lebih memiliki kekuatan
hukum. Karena bentuknya berbentuk undang-undang. Sebagaimana yang ada dalam
tertib perundang-undangan menurut TAP MPRS No. XX/MPRS/1996. Sedangkan KHI
tidak termasuk didalamnya. Oleh karenanya, UU No.1 tahun 1974 justru memiliki
kedudukan lebih tinggi dari hanya sekedar kompilasi. Karena Undang-undang memiliki
daya ikat dan daya paksa pada subyek dan obyek hukumnya, sedangkan kompilasi
sesuai dengan karakaternya, hanya menjadi pedoman saja, yang relatif tidak mengikat.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menampak-jelaskan
kedudukan Peradilan Agama dalam sistem peradilan di Indonesia. Hanya saja putusan
dan penetapan Pengadilan Agama tidak dapat dilaksanakan sebelum ada pengukuhan
dari Peradilan Umum. Hal itu menunjukkan politik hukum penjajah Belanda masih
memberikan pengaruh terhadap para pembuat undang-undang di negeri ini. Busthanul
Arifin mengatakan pula bahwa para ahli hukum Indonesia merupakan korban dari
rekayasa ilmiah hukum zaman kolonial, dan memerlukan waktu yang panjang untuk
benar-benar membebaskan alam pikiran kita dari akibat-akibat yang ditimbulkan oleh
perekayasaan itu, walaupun proklamasi kemerdekaan Indonesia dan UUD 1945 telah
memupus secara prinsipal rekayasa-rekayasa tersebut. Perekayasaan hukum secara
ilmiah itu dilaksanakan dengan baik oleh rezim kolonial sehingga sampai sekarang pun
manusia-manusia Indonesia masih bergulat untuk melepaskan diri dari kungkungan
rekayasa itu.5

BAB III

PENUTUP

5
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka, hal 10-11.
A. Kesimpulan
Secara historis, pada awal kemerdekaan Peradilan Agama masih belum ada. Ini
terbukti dengan adanya UU Nomor 7 tahun 1947 tentang susunan dan kekuasaan
Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung. Bahkan dalam UU No19 Tahun 1948 tentang
Susunan Dan Kekuasaan Badan-badan Kehakiman Dan Kejaksaan sebagai Koreksi UU
No 7 tahun 1947. Dalam Pasal 6 undang-undang tersebut, ada 3 lembaga peradilan di
Indonesia, yakni Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Pemerintah dan Peradilan
Ketentaraan. Undang-undang ini tidak menyebutkan adanya Peradilan Agama. Namun
Pasal 10 ayat (2) UU tersebut, diakui keberadaan Hakim Perdamian Desa sebagai
pemegang kekuasaan yang bertugas untuk memeriksa dan memutus perkara
berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat desa. Begitu juga Pasal 5 ayat (2) dalam
UU tersebut, menyebutkan perkara perdata antara orang Islam diperiksa dan diputus
menurut agamanya oleh Pengadilan Negeri. Hal ini sangat diskriminatif terhadap
syariat, Umat Islam dan Peradilan Agama. Padahal, faktanya Peradilan Agama sudah
ada sebelum Indonesia merdeka mekipun dalam bentuk yang berbeda-beda.
UU No. 19 Tahun 1964, menyebutkan Peradilan Negara RI menjalankan dan
melaksanakan hukum yang mempuyai fungsi pengayoman, yang dilaksanakan dalam
lingkungan: Peradilan Umum, Peradial Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Uasaha Negara. Undang-undang ini sudah menyebutkan adanya peradilan Agama dan
diperjelas lagi dengan adanya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan kekuasaan kehakiman dijalankan oleh
Mahkamah Agung dan empat peradilan di bawahnya. Pada masa ini, kekuasaan
kehakiman mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sebab, UU No. 14 tahun
1970 menegaskan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan bebas dari
campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia. Pasal 10 ayat (1) UU No.14 Th 70 menyebutkan Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan; Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Ini menunjukkan
kedudukan Badan PA setara dan sejajar dengan peradilan lainnya. Adapun Hukum
Acara pada Peradilan Agama menurut UU. No 14 Th 1970 masih belum ada. Untuk
mengatasi hal tersebut, akhirnya Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tanggal 26
November 1977 mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 1977 tentang Jalan
Pengadilan Dalam Pemeriksaan Kasasi dalam Perkara Perdata dan Perkara Pidana oleh
Peradilan Agaman dan Peradilan Militer, disertai Surat Edarannya Nomor:
MA/Pemb. /0921/1977. Badan Peradilan Agama semakin kuat dengan adanya UU.
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan khususnya dalam kopetensi dan
bertambahnya wewenang serta tanggung jawab Peradilan Agama. Nama Peradialan
Agama sebelum adanya UU Nomor 14 Th 1970 berbeda-beda. Menteri Agama
mengeluarkan SKMA No 6 Th 1980 yang menghapus nama Mahkamah Islam Tinggi,
Kerapatan Kadi dan Kerapatan Kadi Besar maupun Mahkamah Syari’ah dari Mahkmah
Syari’ah Provinsi, menjadi Peradilan Agama. Sedangkan Pengadilan Tingkat
Bandingnya bernama Pengadilan Tinggi Agama. Pada tahun 1970-an kekuasaan
kehakiman yang merdeka masih belum bisa dilaksanakan dengan sempurna karena
adanya dualisme sistem pelaksanaan. Dalam tehnis yustisial, empat peradilan tersebut
dibawah pembinaan dan pengawasan Mahkamah Agung selaku Yudikatif. Dalam19
non-tehnis yustisial seperti administrasi dibawah departemen yang menaungi selaku
Eksekutif. Peradidan Umum dan peradilan Tata Usaha Negara dibawah Departemen
Kehakiman, Peradilan Agama dibawah Departen Agama, dan Peradilan Militer dibawah
Departemen Pertahanan dan Keamanan.Walhasil, kekuasana kehakiman kental
intervensi kekuasaan eksekutif. Meskipun secara normatif dan legal formal sudah
independen.
Adapun dasar hukum Peradilan Agama pada masa Orde Baru adalah UU No.7
Th 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun sebelum 1989 dasar hukum penyelenggaran
Peradilan Agama berbeda-beda. Sebagian merupakan produk pemerintah kolonial
Belanda, dan sebagian produk pemerintah Republik Indonesia diantaranya adalah (1)
Peraturan tentang Pengadilan Agama di Jawa dan Madura (Staatsblad Tahun 1882
Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan 610), (2) Peraturan tentang
Kerapatan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk sebagian Residensi Kalimantan
Selatan-Timur (Staatsblad Tahun 1937 No 638 dan 639); (3) PP. No 45 Th 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar`iyah di luar Jawa dan Madura
(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99). Wewenang Peradilan Agama dalam UU
No.7 Th 1989 sesuia dengan Pasal 49 ayat (1) adalah Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. Perkawinan, b. Kewarisan, wasiat
dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, c. Wakaf dan shadaqah”.
Kedudukan Peradilan Agama semakin kuat dan kokoh dengan diundangkannya
UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, karena Peradilan Agama semakin luas
wewenangnya dan fungsinya semakin mengakar dalam mengatur urusan-urusan umat
Islam. Meskipun undang-undang perkawinan ini berbentuk undang-undang yang
memiliki kekuatan hukum dibanding wewenang Peradilan Agama yang lainnya seperti
warisan, wasiat, hibah, zakat dan shadaqah yang acuannya hanya Kompilasi Hukum
Islam, tetapi kenyatannya Peradilan Agama tidak mandiri sepenuhnya. Hal ini terbukti
dengan adanya Pasal 63 ayat (2) UU tersebut menyatakan setiap keputusan Pengadilan
Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Dengan adanya UU No.14 Tahun 1970
tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, kedudukan Pengadilan Agama
semakin kuat dan kokoh dan sejajar dengan peradilan lainnya. Karena pasal Pasal 10
ayat 1 menetapkan: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan:
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Ini menunjukkan secara kelembagaan Peradilan Agama sejajar dengan empat peradilan
lainnya, namun secara putusan tidak independen atas dasar Pasal 63 ayat (2) UU Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan: Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan
oleh Pengadilan Umum. Disamping itu, dalam hal non-tehnis Yustisial Peradilan
Agama berada dibawah pembinaan dan pengawasan Depatemen Agama sehingga masih
berpeluang diintervensi oleh Ekekutif. Diberlakukannya UU Nomor 7 Tahun 1989
tersebut menandai lahirnya paradigma baru Peradilan Agama. Paradigma baru itu
menyangkut yurisdiksinya, sebagaimana ditegaskan bahwa: “Peradilan Agama adalah
salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam mengenai perkara perdata tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-undang
ini”.
DAFTAR PUSTAKA
Malik Ibrahim, Peradilan Agama di Era Orde Baru dan Reformasi,
Desember 2015.
Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di
Indonesia, Jakarta 2008.
Muchsin, Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka dan Kebijakan Asasi,
Jakarta 2004.
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama UU
No. 7 tahun 1989, Jakarta 2007.

Anda mungkin juga menyukai