Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH SEJARAH HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA DI

INDONESIA

Dosen Pengampu: Khaeratun, S.Ag.,SH., MH.

OLEH:

Faras Ramadhan (D1A021137)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARAM
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................

A. LatarBelakang................................................................................................
B. RumusanMasalah...........................................................................................
C. Tujuan.............................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................

A. Sejarah Peradilan Agama di Indonesia..........................................................

BAB III PENUTUP..................................................................................................

A. Kesimpulan.....................................................................................................

Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebuah negara yang tunduk pada kedaulatan hukumnya. Oleh karena itu, supermasi
hukum menjadi dari tujuan segala elemen didalam pemerintahan dan rakyat itu sendiri. Oleh karena
melihat kenyataan Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan sebuah negara yang terbentuk
dari berbagai agama, ras, bahasa, dan budaya. Maka tuntutan hukum yang digunakan di dalam
Peradilan Agama di Indonesia juga ditentukan. Dalam hal ini, jenis-jenis perkara yang dikuasai oleh
sebuah badan peradilan juga ditentukan. Maka setiap pengadilan yang ada di indonesia, telah
ditentukan dalam hal apa saja dan di mana proses peradilan itu patut untuk dilaksanakan. Sudah
tentunya, Peradilan Agama yang berada di Indonesia memiliki ciri-ciri yang sama. Ini dikarenakan
kesemua peradilan yang ada di Indonesia ini berada di bawah naungan/kekuasaan Mahkamah
Agung1.

Peradilan Agama pada awalnya diatur dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang
tersebar di berbagai peraturan. Kemudian baru pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Dan telah di ubah sebanyak dua kali. Dengan adanya perubahan tersebut Peradilan Agama
mengalami pula perubahan tentang kekuasaan atau kewenangan mengadili di pengadilan pada
lingkungan Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam (lihat pasal 1 angka 1 UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama). Peradilan Agama melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat
yang beragama Islam mengenai perkara tertentu. Menurut pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (“UU 3/2006”), yang menjadi
kewenangan dari pengadilan agama adalah perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:

a) perkawinan;
b) waris;
c) wasiat;
d) hibah;
e) wakaf;
f) zakat;
g) infaq;

1
Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman pasal 10 ayat (2).
h) shadaqah;
i) ekonomi syari'ah.

Pada tahun 1989 melalui UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang disahkan pada
tanggal 27 Desember, Peradilan Agama sudah dapat berperan sebagaimana lembaga peradilan yang
sesungguhnya (Court of Law). Hal ini merupakan kulminasi perjuangan politik Islam dalam bidang
peradilan dan hukum. Dengan lahirnya undang undang tersebut maka kemudian lahir peraturan-
peraturan lainnya seperti Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI), UU No. 7 tahun 1992 jo UU No. 10 tahun, 1998 dan UU No. 23 tahun 1999 tentang
Perbankan Syari’ah, UU No. 35 tahun 1999 tentang “penyatuan” semua lingkungan peradilan
menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung, UU No. 17 tahun 1999 tentang Haji; UU No. 38
tahun 2001 tentang Zakat dan UU No. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus di Nangroe Aceh
Darussalam; UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat yang menyetarakan Sarjana Syari’ah dengan
Sarjana Hukum dalam peluangnya untuk menjadi advokat; hingga melahirkan UU No. 3 tahun 2006
tentang Peradilan Agama. Dengan UU No. 3 tahun 2006 ini terjadi penambahan kompetensi absolut
Peradilan Agama, yaitu dalam sengketa Ekonomi Syari’ah.
Lahirnya berbagai perundang-undangan dan peraturan di atas merupakan bentuk pengakuan
yang nyata terhadap hukum Islam dan sekaligus Peradilan Agama sebagai pelaksanya. Dengan
adanya pengakuan secara de jure dan de facto, baik dari masyarakat maupun oleh negara, maka
Peradilan Agama dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara mantap tanpa ada pengaruh dan
keterikatan dengan lembaga lain, sehingga menjadi sebuah lembaga yang dapat menciptakan
keadilan di tengah-tengah masyarakat.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana sejarah peradilan agama di Indonesia?

C. Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui sejarah peradilan agama di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A. SEJARAH PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Peradilan agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan mata rantai yang tidak
terputus dari sejarah masuknya agama Islam. Untuk memberi gambaran tentang posisi lembaga
Peradilan Agama di Indonesia haruslah memperhatikan Hukum Islam di Indonesia, sedikitnya pada
tiga masa penting: masa sebelum penjajahan yakni masa Kesultanan Islam, masa Penjajahan dan
masa Kemerdekaan. Setiap masa mempunyai ciriciri tersendiri yang merepresentasikan pasang surut
pemikiran hukum Islam di Indonesia.

a. Peradilan Agama pada masa Kesultanan Islam

Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, mampu merubah tata hukum yang ada. Hukum
Islam tidak hanya menggantikan hukum hindu, yang berwujud dalam hukum perdata, tetapi juga
memasukkan pengaruhnya ke dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Meskipun Hukum asli
masih menunjukkan keberadaannya, namun hukum Islam telah mampu merembes dikalangan
penganutnya, terutama dalam hukum keluarga.

Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan Islam bercorak
majemuk. Kemajemukan itu sangat bergantung kepada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat
agama dan ulama dari kalangan pesantren; dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah
lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan peradilan itu terletak pada otonomi
dan perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing. Selain itu, terlihat
dalam susunan pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan pengadilan dalam kaitannya dengan
kekuasaan pemerintahan secara umum, dan sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan
penyelesaian perkara yang diajukan kepadanya.2

Sebelum Islam datang ke Indonesia, di negeri ini telah dijumpai dua macam peradilan, yakni
Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.3 Peradilan Pradata mengurus masalah-masalah perkara yang
menjadi urusan raja sedangkan Peradilan Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang
raja. Pengadilan pradata apabila diperhatikan dari segi materi hukumnya bersumber hukum Hindu
yang terdapat dalam papakem atau kitab hukum sehingga menjadi hukum tertulis, sementara
Pengadilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli yang tidak tertulis.
2
Miftakhur Ridlo, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan Penjajahan Sampai Kemerdekaan.
Asy-Syari`ah: Jurnal Hukum Islam. Vol. 7, No. 2, 2021, Hal. 144.
3
Miftakhur Ridlo. Op.Cit. Hal 144.
Dengan masuknya agama Islam di Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami
perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum
pradata, tetapi juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada
umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah
merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga. Bersamaan perkembangan
masyarakat Islam, ketika Indonesia terdiri dari sejumlah kerajaan Islam, maka dengan penerimaan
Islam dalam kerajaan, otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau
imam.

b. Peradilan Agama di Masa Penjajahan

Kerajaan-kerajaan Islam yang memberlakukan hukum Islam dengan sistem peradilannya,


satu demi satu jatuh-runtuh ke tangan kolonialis-imperalis Belanda, yang dengan membawa sistem
peradilannya, berusaha mendesak peradilan yang sudah berjalan dan mapan tersebut.

Sampai akhir ahad ke 19, kalangan ahli hukum Belanda berpendapat bahwa hukum yang
berlaku bagi orang Indonesia adalah mendasarkan hukum Islam. 4 Pendapat demikian adalah tidak
aksklusif. Banyak para ahli hukum sependapat dengan Marsden, Crawfurt serta Rafles, tentang
banyaknya percampuran antara Ajaran Islam dengan adat yang berbeda-beda, yang keduanya tidak
banyak bertentangan.5 Berdasarkan kenyataan tersebut, maka Prof. Mr. Lodewijk Willicm Christian
Van Den Berg mengusulkan kepada pemerintah Belanda agar tidak menghapuskan berlakunya
hukum Islam beserta peradilannya. Penduduk yang beragama Islam agar diberlakukan hukum Islam
dan mendapat perlindungan secara baik. Semua itu mencegah agar tidak terjadi aksi-aksi anti
Belanda.

Untuk itu pemerintah Belanda mengeluarkan peraturan yang pertama tentang peradilan
agama di Jawa, yaitu pada tanggal 7 Desember 1835 No.6 (stb 1835 no. 58). Peraturan ini pada
prisipnya menyatakan bahwa kalau diantara orang jawa timbul perkara tentang perkawinan, warisan
dan sebagainya, yang harus diputuskan menurut hukum Islam, maka kiai, penghulu atau ulama harus
memutuskan menurut hukum islam. Inilah yang kemudian disebut teori Receptio In Complexu.
Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, berarti pemerintahan penjajah untuk pertama kalinya
secara formal mengakui berlakunya hukum Islam dan peradilan islam. Mulai saat itu, jika di dalam
masyarakat timbul masalah-masalah yang menyangkut peradilan agama, Belanda mulai ikut
mengatur dan mengawasi secara aktif. Beberapa saat kemudian teori Receptio In Complexu yang

4
Muhyidin, Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Volume 7 Edisi I, Juni 2020. Hal 5.
5
Muhyidin, Op.Cit. Hal 6.
menyatakan bahwa bagi orang Islam sepenuhnya berlaku hukum Islam, untuk pertama kalinya
ditentang oleh Prof. Mr. Snock Hurgonye. Snock Hurgronye mengajukan argumen bahwa yang
berlaku didalam masyarakat bukanlah hukum Islam, tetapi hukum Adat. Hukum islam baru berlaku
jika telah diterima oleh hukum adat. Teori Snock Hurgronye ini terkenal dengan Teori Reseptie.

Dengan gigihnya Snock Hurgronye yang didukung oleh Van Vollen Hoven secara terus
menerus menentang teori reseptio in Complexu dan Van Den Berg yang telah menjadi kebijaksanaan
penjajah. Akhirnya Snock Hurgronye menyarankan kepada pemerintah penjajah untuk merubah
kebijaksanaan tersebut. Atas saran Snock Hurgronye, dibentuklah Commisie Voor priestcraad, suatu
komisi yang bertugas membicarakan pernyataan Snock Hurgronye tersebut.

Sesuai dengan politik penjajah untuk mementingkan dirinya sendiri tanpa


mempertimbangkan kepentingan masyarakat Indonesia, komisi tersebut menghasilkan rancangan
ordonansi yang membatasi kewenangan peradilan agama dalam mengadili suatu perkara. Sebagai
pelaksanaan dari hasil komisi, maka pada tanggal 31 Januari 1931 keluarlah secara resmi ordonansi
yang membatasi peradilan agama tersebut, yaitu termuat dalam stb. 1931 No. 153.

Menurut Bushtanul Arifin, terjadinya konflik hukum tersebut diawali dengan rencana
pemerintah Belanda untuk memberlakukan hukum sipil secara sepenuhnya bagi masyarakat
Indonesia. sebagaimana dibidang hukum pidana yang telah berhasil mereka lakukan. Adanya hal
tersebut mengundang perlawanan terhadap kebijakan pemerintah yang dipelopori oleh C. Van
Vollenhoven dan Snouck Hurgronje. (keduanya pakar hukum adat yang berpandangan bahwa,
apabila hukum belanda dipaksakan untuk dilakukan bagi penduduk pribumi, maka yang akan
mengambil keuntungan adalah hukum Islam). Dengan alasan bahwa hukum barat hidup dan
berkembang dengan hukum kristen. dengan demikian, justru mereka lebih menghendaki bahwa
hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi yang tepat adalah hukum adat. Hukum adat dinilai
sesuai dengan kebijakan hukum kolonial Belanda serta dianggap tidak membahayakan eksistensi
pemerintahan Belanda.

c. Peradilan Agama pada Masa Kemerdekaan

Teori Receptie ternyata masih ada di zaman kemerdekaan, termasuk di dalamnya


mempengaruhi para pembuat peraturan perundang-undangan ( legislator) pada saat tersebut.
Meskipun teori tersebut telah mendapatkan bantahan dari teori Huzairin yang menyatakan bahwa
berlakunya hukum Islam tidak berdasarkan pada hukum Adat, akan tetapi sesuai dengan perundang-
undangan atau yang disebut positifisasi hukum Islam. Namun pada kenyataannya seakan- akan
hukum Islam yang berlaku di masyarakat baru berlaku jika hukum adat telah menerimananya. Hal ini
yang masih menguasai alam pikiran para sarjana hukum di Indonesia, khususnya yang berada
dalam Legislatif maupun pada Yudikatif.
Pada tahun 1946, dibentuklah sebuah kementerian Agama. Departemen Agama
dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah badan
yang bersifat nasional. Berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 menunjukkan secara jelas
maksud untuk mempersatukan administrasi nikah, talak, dan rujuk di seluruh Indonesia dibawah
pengawasan Departemen Agama. Undang-Undang No.22 Tahun 1946, awalnya hanya berlaku bagi
Jawa dan Madura. Namun kemudian pada tahun 1954, pihak Departemen Agama berhasil
mendapatkan persetujuan dari pihak parlemen untuk memberlakukan UU No. 22 Tahun 1946 di
seluruh daerah luar Jawa dan Madura.
Pada masa kemerdekaan, Pengadilan Agama atau Mahkamah Islam Tinggi yang telah ada
tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan. Selain tiga bulan berdirinya Departemen Agama yang
dibentuk melalui keputusan pemerintah nomor 1/SD, pemerintah mengeluarkan penetapan No.5/SD
tanggal 25 Maret 1946 yang memindahkan semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dari
Departemen Kehakiman kepada Departemen Agama. Sejak itulah Peradilan Agama menjadi bagian
terpenting bagi Departemen Agama.
Sementara pada sisi lain, para ahli hukum nasional selalu menggunakan setiap kesempatan
untuk menghapuskan pengadilan agama Islam. Setelah Peradilan Agama diserahkan kepada
Departemen Agama, maka para pejabat nasionalis yang berada dalam departemen kehakiman
masih membuat undang-undang sebagai usaha untuk menghapuskan Peradilan Agama Islam dari
eksistensinya, namun gagal pula.
Pada tahun 1957, berlaku Peraturan Pemerintah No.45 Lembaran Negara 1957 No.99 tentang
Peradilan Agama/Mahkamah Syari’ah di luar Jawa dan Madura. Kewenangan Peradilan Agama
diluar Jawa dan Madura meliputi perkara-perkara Nikah, Thalak, Rujuk, Fasakh, Nafaqah,
Maskawin, tempat kediaman, Mut’ah, Hadhanah, perkara Waris, Wakaf, Hibah, Shadaqah, dan
Baitul Mal.

d. Masa Orde baru


Pada masa Orde Baru, Peradilan Agama belum menjadi peradilan yang mandiri. Selain masih
berada di bawah bayangbayang kekuatan eksekutif, yakni Departemen Agama, ia juga belum bisa
secara langsung memutuskan perkara (incrach) melainkan harus mendapatkan putusan Peradilan
Umum (executoir for claring) untuk kasus-kasus tertentu, terutama menyangkut persoalan harta
benda, termasuk juga adanya hak opsi untuk persoalan kewarisan.
Sampai pada masa awal Orde Baru, kewenangan yang dimilikinya baru menyangkut
sebagian kecil dari persoalan kehidupan umat Islam, yakni dalam bidang hukum keluarga;
nikah, cerai/talak, waris, wasiat, dan wakaf. Sedangkan persoalan-persoalan yang
menyangkut hukum perdata Islam secara lebih luas termasuk bidang ekonomi belum menjadi
kewenangan Peradilan Agama apalagi menyangkut hukum pidana. Terhadap kewenangan
yang dimilikinya pun, masih menyisakan persoalan, yakni belum tersusunnya hukum materiil
Peradilan Agama dalam bentuk UU. Perubahan yurisdiksi atau kompetensi mulai tampak
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang meliputi perceraian, penentuan
keabsahan anak, perwalian, penetapan asal-usul anak, dan izin menikah. UU ini, walaupun
berlaku untuk seluruh warga Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dinilai sangat islami. UU dan PP ini
sekaligus memberikan peran yang sangat besar terhadap Peradilan Agama. Oleh karena itu,
pantaslah pihak-pihak yang tidak senang terhadap pemberlakuan hukum Islam di Indonesia
akan merasa terganggu dengan UU ini bahkan sampai melakukan protes keras (dalam bentuk
demonstrasi) sebagaimana disaksikan ketika proses pembahasan UU ini berlangsung dan
ketika hendak disahkan. Tidak sebatas itu, kewenangan Peradilan Agama juga bertambah
ketika keluar Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik,
terutama Pasal 12.6
Titik awal pembaharuan Peradilan Agama yaitu dengan diundangkannya Undang-
Undang No.14 Tahun 1970 yang sekarang dtelah digantikan dengan UU no.4 tahun 2004
tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Yang mana Kekuasaan Kehakiman
dilaksanakan oleh empat lembaga Peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang semuanya berada di bawah
naungan Mahkamah Agung. Peradilan Agama sebagai salah satu lingkungan peradilan yang
berada di Mahkamah Agung, secara yuridis juga diatur dengan Undang-Undang tersendiri,
yaitu Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (sekarang diamandemen
dengan UU No.3 Tahun 2006).

e. Masa Reformasi (1998 – sekarang)


Pada Masa Orde Baru, awalnya menunjukkan progres yang luar biasa, dimana dengan
melihat UU No. 19 Tahun 1946 yang dirasa tidak sesuai dengan prinsip Kekuasaan
Kehakiman yang merdeka perlu segera diganti, sehingga lahirlah UU No.14 Tahun 1970
6
Bunyi pasal 12 PP No. 28 Tahun1977 adalah “penyelesaian perselisihan sepanjang yang menyangkut persoalan
perwakafan tanah disalurkan melalui Pengadilan Agama setempat dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”
tentang pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Di lihat secara hukum, khususnya berkaitan
dengan peraturan perundang-undangan tampak bahwa kekuasaan Kehakiman telah diakui
sebagai kekuasaan yang merdeka, dalam rangka penegakan hukum di negara kesatuan
Republik Indonesia. sehingga secara yuridis tidak boleh ada intervensi dari kekuasaan lain.
Bahkan perkembangan yang luar biasa dialami oleh Peradilan Agama, yaitu berkaitan dengan
tidak diperlukannya lagi fiet eksekusi (exekutoir verklering) dari Peradilan Umum untuk
melaksanakan putusan yang dihasilkan. Sejarah juga yang membuktikan, bahwa ternyata
dalam prakteknya muncul kesenjangan antara das sollen, dengan das sein (law in book and
law in action gap), sehingga yudikatif masih banyak mendapatkan intervensi dari kekuasaan
lain dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal tersebut diperparah dengan
merebaknya praktek mafia hukum, yang juga dilakukan oleh aparat penegak hukum itu
tersendiri.
Praktek-praktek yang demikian tersebut, yang menyebabkan terjadinya kehancuran
sendi-sendi hukum di negara ini. Dalam rangka menyikapi hal tersebut, maka pada tahun
1999 diundangkanlah Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman yang kemudian diganti dan disesuaikan dengan UU No.4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Poin penting pada era Reformasi Kekuasaan Kehakiman adalah
diintrodusir Peradilan satu atap, sehingga pembinaan secara teknis Yudisial, administratif,
organisatoris, dan finansial berada di bawah Mahkamah Agung. Dengan demikian, secara
tegas dapat disimpulkan bahwa, terjadi peningkatan independensi Kekuasaan Kehakiman
sejalan dengan tuntutan reformasi di bidang Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki
Kekuasaan Kehakiman benar-benar merdeka bebas dari campur tangan kekuasaan lain.
Berdasarkan pada fakta-fakta diatas, nampak bahwa sejarah lembaga Peradilan di
Indonesia sudah berlangsung sejak zaman Belanda. Terkait dengan Peradilan Agama
mengalami pasang surut, terutama menyangkut kewenangannya untuk menerima, memeriksa,
mengadili, dan memutuskan sengketa-sengketa yang dialami umat Islam. Hal tersebut
disebabkan oleh munculnya berbagai kebijakan yang didasarkan pada teori-teori yang
berkaitan dengan berlakunya hukum Islam terhadap kehidupan masyarakat muslim. Saat ini
mengenai berlakunya hukum Islam bagi umat Islam tidak mengalami perdebatan lagi. Secara
tegas dapat dikatakan bahwa dasar berlakunya hukum islam terhadap umat islam adalah
melalui peraturan perundang-undangan dari tingkat tertinggi berupa undang-undang dasar
1945, undang-undang, sampai dengan peraturan tingkat teknis, seperti peraturan daerah,
peraturan Bank Indonesia, dan sebagainya.
BAB III
PENUTUP
A. kesimpulan

Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, terjadi perubahan dalam


pemerintahan secara umum, tetapi tidak serta merta terjadi perubahan yang menonjol dalam
tata peradilan, khususnya peradilan agama. Pada masa berikutnya, atas dasar ketentuan pasal
98 UUD Sementara tahun 1950 dan pasal 1 ayat (4) UU Darurat No. 1 Tahun 1951,
Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama
/ Mahkamah Syari'ah di luar Jawa dan Madura. Menurut ketentuan pasal 1 peraturan tersebut,
di tempat-tempat yang ada Pengadilan Negeri ada Pengadilan Agama / Mahkamah Syari'ah
yang memiliki wilayah hukum yang sama, sedangkan menurut pasal 11, apabila tidak ada
ketentuan lain di ibu kota provinsi dibentuk Pengadilan Agama / Mahkamah Syari'ah Provinsi
yang wilayahnya mencakup satu atau lebih wilayah provinsi yang ditetapkan oleh Menteri
Agama. Dasar hukum pembentukan peradilan agama di Indonesia beragam sampai lahirnya
UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman yang memberi tempat
terhadap peradilan agama sebagai salah satu dari empat peradilan di Indonesia yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman. Tetapi walaupun demikian aturan yang mengatur secara
khusus tentang keberadaan peradilan agama di Indonesia masih belum terwujud pada tahap
awal masa kemerdekaan Indonesia. Setidaknya dengan lahirnya UU Nomor 14 Tahun 1970
dan UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, keberadaan peradilan agama di Indonesia
telah mulai diperhatikan.
DAFTAR PUSTAKA

P Endah, Sejarah Peradilan Agama. Di akses dari


(https://badilag.mahkamahagung.go.id/sejarah/profil-ditjen-badilag-1/sejarah-ditjen-
badilag#:~:text=Pada%20masa%20kekuasaan%20kerajaan%20Islam,Islam
%20dalam%20semua%20aspek%20kehidupan.) Pada tanggal 4 September 2023.
Pukul 21:00 WITA.

Muhyidin, Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Diakses dari


(https://www.neliti.com/id/publications/395371/perkembangan-peradilan-agama-di-
indonesia) Pada tanggal 4 September 2023. Pada pukul 21:34 WITA.

Tim Humas, Sejerah Perkembangan peradilan Agama. Diakses dari (https://an-nur.ac.id/sejarah-


perkembangan-peradilan-agama/#:~:text=Peradilan%20agama%20pasca
%20kemerdekaan,SD%20tanggal%2025%20Maret%201946.) di akses pada tanggal
4 September 2023. Pada pukul 22:23 WITA

Miftakhur Ridlo, Sejarah Perkembangan Peradilan Agama pada Masa Kesultanan dan Penjajahan
Sampai Kemerdekaan. Asy-Syari`ah: Jurnal Hukum Islam. Vol. 7, No. 2, 2021, Hal.
144.

Muhyidin, Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia. Volume 7 Edisi I, Juni 2020. Hal 5.

Anda mungkin juga menyukai