Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

ASAS, SUMBER, SEJARAH PERKEMBANGAN


DAN METODE PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kuliah


Mata Kuliah : Hukum Acara Peradilan Agama

Dosen Pembimbing :
SITI RAHMA, SH.,MH

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 2

RAHMAT DIAN NIM : 2135069


MARIAS MUHAMMAD NIM : 2135081
HANDY AFRIANTO NIM : 2135032
REZKI TAMBUSAI NIM : 2135034
RUDI HARTONO NIM : 2135027

SEMESTER V
NON REGULER
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS PASIR PENGARAIAN
ROKAN HULU
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang
berjudul : “Asas, Sumber, Sejarah Perkembangan dan Metode Peradilan
Agama di Indonesia” untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama.
Kami telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal
mungkin. Namun tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Harapan kami, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar
lebih baik lagi dari sebelumnya.

Kami juga mengucapkan mohon maaf atas segala kekurangan dalam


penulisan makalah ini. Baik dalam penyajian data, bahasa maupun sistematika
pembahasannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan guna kesempurnaan yang akan datang. Kami berharap, semoga makalah
ini berkontribusi nyata dan bermanfaat dalam meningkatkan pendidikan di
indonesia serta menjadi ilmu pengetahuan dengan mempelajarinya.

Pasir Pengaraian, 6 November 2023

Penulis

[i]
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN SAMPUL
LEMBAR PENGESAHAN

Kata Pengantar ............................................................................................. i


Daftar Isi ...................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................ 3
1.3 Tujuan ................................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Asas-Asas Peradilan Agama .................................................................. 4
2.2 Sumber Peradilan Agama ...................................................................... 11
2.3 Sejarah Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia ........................ 12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 23
DAFTAR PUSTAKA

[ii]
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di
Indonesia. Dalam klasifikasinya, Peradilan Agama merupakan satu dari tiga
peradilan khusus yang ada di Indonesia, dua lainnya adalah Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara.1
Peradilan Agama adalah salah satu lembaga pelaksana kekuasaan
kehakiman yang harus menempatkan dirinya sebagai lembaga Peradilan yang
sesungguhnya yang disegani dan dihormati serta memiliki otoritas dan
kewenangan yang tinggi. Keberadaan Peradilan Agama sendiri telah diakui jauh
sebelum Negara Republik Indonesia ini memproklamirkan diri sebagai bangsa
yang mardeka, meskipun sempat mengalami masa-masa surut baik itu dari segi
penamaan, status, kedudukan maupun kewenangannya.
Sebagai salah satu pelaksana kehakiman di Indonesia, Peradilan Agama
memiliki kewenangan absolut yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 perubahan pertama yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama. Adanya kewenangan absolut itu menjadikan Peradilan Agama, baik
dalam pengadilan tingkat pertama dan banding, tidak salah dalam menerima suatu
perkara yang diajukan kepadanya karena menjadi kewenangan lingkungan
peradilan lain.
Membicarakan sejarah Peradilan Agama di Indonesia erat hubungannya
dengan hukum Islam dan umat Islam di Indonesia. Peradilan Agama didasarkan
pada hukum Islam, sedangkan dalam perkembangannya hukum Islam merupakan
hukum yang berdiri sendiri dan telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam di
Indonesia. Di kerajaan-kerajaan Islam masa lampau, hukum Islam telah berlaku.
Snouck Hurgronje misalnya, di dalam bukunya De Islam Nederlansch-Indie
1
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita, (Malang: UIN
Malang Press,2009),hlm.15

[1]
mengakui bahwa pada abad ke-16 sudah muncul kerajaan-kerajaan Islam seperti
Mataram, Banten, dan Cirebon, yang berangsur-angsur mengislamkan
penduduknya. Sedangkan untuk kelengkapan pelaksanaan hukum Islam, didirikan
Peradilan Serambi dan Majelis Syara’.
Hukum Islam telah ada di kepulauan Indonesia sejak orang Islam datang
dan bermukim di nusantara ini. Menurut pendapat yang disimpulkan oleh Seminar
Masuknya Islam ke Indonesia pada abad pertama Hijriah atau pada abad VII /
VIII M. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam baru sampai ke nusantara pada
abad XIII M. Daerah pertama yang didatangi adalah pesisir utara pulau Sumatra
dengan pembentukan masyarakat Islam pertama di Samudera Pasai, Aceh Utara
(Daud Ali, 1993 : 2009).
Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan Peradilan
Agama telah ada di berbagai nusantara jauh sejak zaman masa penjajahan
Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, peradilan agama sudah ada
sejak Islam masuk ke Indonesia, yaitu melalui hakim, dan akhirnya pasang surut
perkembangannya hingga sekarang. Peradilan Agama sebagai wujud peradilan
Islam di Indonesia dapat dilihat dari berbagai sudut pandang. Pertama, secara
filosofis peradilan dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan
keadilan, kedua, secara yuridis hukum Islam (dibidang perkawinan, kewarisan,
wasiat, hibah, wakaf dan sodaqoh) berlaku dalam pengadilan dalam lingkungan
peradilan agama, ketiga, secara historis peradilan agama merupakan salah satu
mata rantai peradilan agama yang berkesinambungan sejak zaman rasulullah,
keempat, secara sosiologis peradilan agama didukung dan dikembangkan oleh
masyarakat Islam.
Meskipun praktik diskriminasi terhadap pribumi tetap berlangsung dan
pendangkalan terhadap Peradilan Agama melalui berbagai ketentuan hukum yang
diciptakan terus dilakukan, eksistensi peradilan agama tetap kokoh. Tapi walau
bagaimanapun juga kalau dibiarkan terus menerus seperti itu, peradilan agama di
Indonesia akan tersisihkan dan akhirnya hilang.

[2]
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama ?
2. Apa Saja Sumber Hukum Acara Peradilan Agama ?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan dan Metode Peradilan Agama di
Indonesia ?

1.3. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama
2. Untuk Mengetahui Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
3. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan dan Metode Peradilan Agama
di Indonesia

[3]
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Asas-Asas Hukum Acara di Peradilan Agama


Untuk menerapkan hukum acara dengan baik maka perlu diketahui asas-
asasnya. Asas-asas hukum Peradilan Agama ialah sebagai berikut.2
1. Asas Personalitas Keislaman
Asas pertama yakni asas Personalitas Keislaman yang tunduk dan yang
dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama, hanya mereka
yang mengaku dirinya pemeluk agama Islam.
Penganut agama lain diluar Islam atau yang non Islam, tidak tunduk
dan dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan peradilan agama.
Asas personalitas ke islaman diatur dalam pasal 2, penjelasan umum
angka 2 alinea ketiga dan pasal 49 ayat 1. Dari penggarisan yang dirumuskan
dalam ketiga ketentuan tersebut, dapat dilihat asas personalitas ke Islaman
sekaligus dikaitkan berbarengan dengan perkara perdata “bidang tertentu”
sepanjang mengenai sengketa perkara yang menjadi yuridiksi lingkungan
peradilan agama. Kalau begitu ketundukan personalitas muslim kepada
lingkungan Peradilan Agama, bukan ketundukan yang bersifat umum meliputi
semua bidang hukum perdata. Ketundukan bidang personalitas muslim
kepadanya, hanya bersifat khusus sepanjang bidang hukum perdata tertentu.
Begitu pula landasan hubungan hukumnya, harus berdasarkan hukum
Islam. Jika hubungan hukum tidak berdasarkan hukum Islam, maka sengketa
mengadili wewenang Peradilan Umum, misalnya hubungan hukum ikatan
perkawinan antar suami isteri adalah hukum barat. Sekalipun suami isteri
beragama Islam, asas personalitas ke Islaman mereka ditiadakan oleh landasan
hukum yang mendasari terjadinya perkawinan.
Oleh karena sengketa perkawinan yang terjadi antara mereka tindak
tunduk menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan surat dari

2
Suryadi, Hukum Acara Peradilan Agama, Makalah Dalam Pelatihan Calon Advokat di Peradilan
Agama, Departemen Kehakiman, 4-10 Oktober 1999, h.1

[4]
Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus 1983 yang diajukan kepada ketua
Pengadilan Tinggi Ujung Pandang. Isi pokoknya menegaskan bahwa yang
dipergunakan sebagai ukuran menentukan berwenang tidaknya Pengadilan Agama
adalah hukum yang berlaku waktu pernikahan dilangsungkan.
Berarti orang yang melangsungkan pernikahan secara Islam, perkaranya
tetap wewenang Pengadilan Agama sekalipun salah satu pihak tidak beragama
Islam lagi.
Jadi penerapan asas personalitas ke Islaman merupakan kesatuan
hubungan yang tidak terpisahkan dengan dasar hubungan hukum. Kesempurnaan
dan kemutlakan asas personalitas keislaman harus didukung oleh hubungan
hukum berdasarkan hukum Islam, barulah sengketanya “mutlak” atau “absolut”
tunduk menjadi kewenangan Peradilan Agama, serta hukum yang mesti
diterapkan menyelesaikan perkara, harus berdasarkan hukum Islam.
2. Peradilan Bebas Dari Campuran Tangan Pihak-Pihak Diluar
Kekuasaan Kehakiman
Keabsahan dalam melaksanakan wewenang judiciel menurut UU No. 4
Tahun 2004 tidak mutlak sifatnya, karena tugas dari pada hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan jalan menafsirkan
hukum dan mencari dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasannya,
melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya
mencerminkan perasaan keadilan bangsa dan rakyat Indonesia.
3. Hakim Bersifat Menunggu
Asas dari pada hukum acara pada umumnya, termasuk hukum acara
perdata, ialah bahwa pelaksanaannya yaitu bersifat inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang yang berkepentingan. Jadi
apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu
akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka ada hakim.3
Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan,
sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak diajukan kepadanya.

3
Ibid,h.10

[5]
Hanya yang menyelenggarakan prosesnya adalah negara. Namun demikian,
apabila sudah datang perkara kepadanya, maka hakim tidak boleh menolak untuk
memeriksa dan mengadilinya sekalipun dengan dalil bahwa hukum tidak ada atau
hukum belum jelas.
Larangan bahwa seorang hakim tidak boleh menolaknya karena hakim
dianggap tahu akan hukumnya (Ius Curia Novit). Dan kalau sekiranya seorang
hakim tidak menemukan hukum secara tertulis ia wajib menggali, memahami dan
menghayati hukum yang sudah hidup dalam masyarakat.4
4. Hakim Bersifat Pasif
Ruang Lingkup pokok sengketa ditentukan oleh para pihak bukan oleh
hakim. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR, Pasal 142 ayat (1)
R.Bg. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi
segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.
Sebaliknya hakim harus aktif dalam memimpin jalannya persidangan,
membantu kedua pihak dalam menemukan kebenaran, tetapi dalam memeriksa
perkara perdata hakim harus bersifat tut wuri. Hakim terikat pada peristiwa yang
diajukan oleh para pihak.
Para pihak dapat secara bebas mengakhiri sendiri sengketa yang telah
diajukannya ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat menghalang-
halanginya. Hal ini dapat berupa perdamaian atau pencabutan gugatan. Sesuai
dengan Pasal 130 HIR, 154 R.Bg.
Jadi pengertian pasif disinilah adalah hakim tidak memperluas pokok
sengketa. Akan tetapi itu semuanya tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak
aktif. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara
dan tidak merupakan pegawai atau sekedar alat dari pada para pihak, dan harus
berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan. Hakim berhak untuk memberi nasehat kepada kedua belah
pihak serta menunjukkan upaya hukum dan memberi keterangan kepada mereka.
Karenanya dikatakan bahwa sistem HIR adalah aktif, berbeda dengan sistem Rv
yang pada pokoknya mengandung prinsip “hakim pasif”.

4
M. Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2004,h.6

[6]
Hakim sebagai tempat pelarian terakhir bagi para pencari keadilan
dianggap bijaksana dan tahu akan hukum, bahkan menjadi tempat bertanya segala
macam soal bagi masyarakat. Dari diri hakim diharapkan tegaknya keadilan
karena ia orang yang tinggi pengetahuan dan martabatnya serta berwibawa.
5. Sifatnya Terbukanya Persidangan
Sidang pemeriksaan di pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk
umum, yang berarti bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan
pemeriksaan persidangan. Tujuan dari pada asas ini tidak lain untuk memberi
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih
menjamin obyektifitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan
yang fair, memihak serta putusan yang adil kepada masyarakat, seperti tercantum
dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970 diubah dalam Pasal 19 UU No. 4
Tahun 2004.5
Apabila putusan dinyatakan dalam sidang yang tidak dinyatakan
terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan
hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Di dalam
praktek meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum,
tetapi kalau didalam berita acara dicatat bahwa persidangan dinayatakan terbuka
untuk umum, maka putusan yang dijatuhkan tetap sah. Secara formil asas ini
tujuan asas ini sebagai sosial kontrol. Asas terbukanya persidangan tidak
mempunyai arti bagi acara yang berlangsung secara tertulis.
Kecuali apabila ditentukan lain oleh undang-undang atau apbila
berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat didalam berita acara yang
diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup,
dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perizinan sering dinyatakan terbuka
untuk umum terlebih dahulu sebelum dinyatakan tertutup.

5
M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1989, h.57

[7]
6. Mendengar Kedua Belah Pihak
Didalam hukum acara perdata kedua belah pihak harus diperlakukan
sama, hakim tidak boleh memihak dan harus mendengar kedua belah pihak.
Bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang,
seperti yang dimuat dalam pasal 5 ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004, mengandung arti
bahwa didalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama-sama
diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing
harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya, bahwa kedua belah pihak
harus didengar lebih dikenal dengan asas “audi et elteran partem”. Hal ini berarti
hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila
pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan
pendapatnya. Hal itu berarti juga pengajuan alat bukti harus dilakukan dimuka
sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak sesuai dengan pasal 132a, 121 ayat 2
HIR, Pasal 145 ayat 2, 157 Rbg, 47 Rv. 6
7. Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
Semua putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan putusan yang
dijadikan dasar untuk mengadili. Hal ini sesuai dengan pasal 25 UU No. 4 Tahun
2004, 184 ayat 1, 319 HIR, 618 Rbg. Alasan-alasan atau argumentasi itu
dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim terhadap masyarakat, sehingga
mempunyai nilai obyektif. Karena adanya alasan-alasan itu putusan mempunyai
wibawa bukan karena hakim tertentu menjatuhkannya.
Betapa penting alasan-alasan sebagai dasar putusan dapat kita lihat dari
beberapa putusan MA, yang menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau
kurang cukup pertimbangan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
Untuk lebih mempertanggungjawabkan putusan sering dicari dukungan
dari yurisprudensi dan ilmu pengetahuan. Mencari dukungan pada yurisprudensi
tidak berarti bahwa hakim terikat pada atau harus mengikuti putusan yang
mengenai perkara yang sejenis yang pernah dijatuhkan oleh MA, PT atau yang
telah pernah diputuskan sendiri saja.

6
M. Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, h.12

[8]
8. Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (pasal 4 ayat 4,2,5 ayat
4 UU No. 4 Tahun 2004, Pasal 21 ayat 4, 182, 183 HIR, 145 ayat 4, 192-94 Rbg).7
Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan biaya untuk
panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Disamping itu apabila
diminta bantuan seorang pengacara maka harus pula dikeluarkan biaya.
Bagi mereka yang tidak mampu membayar biaya perkara, dapat
mengajukan perkara secara cuma-Cuma dengan mendapatkan izin untuk
dibebaskan dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan
tidak mampu yang dibuat oleh kepala polisi. Dalam praktek surat keterangan itu
cukup dibuat oleh camat yang membawahi daerah tempat yang berkepentingan
tinggal.
Permohonan perkara secara prodeo akan ditolak oleh pengadilan
apabila penggugat ternyata bukan orang yang tidak mampu.
9. Tidak Harus Mewakili
HIR tidak mewajibkan para pihak mewakili kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak
yang langsung berkepentingan, akan tetapi para pihak dapat dibantu dan diwakili
oleh kuasanya kalau dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajib
memeriksa sengketa yang diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak
mewakilkan kepada seorang kuasa. Wewenang untuk mengajukan gugatan
dengan lisan tidak berlaku bagi kuasa.
Dengan memeriksa para pihak yang berkepentingan secara langsung
hakim dapat mengetahui lebih jelas persoalannya. Karena para pihak yang
berkepentinganlah yang mengetahui seluk beluk peristiwanya. Kalau para pihak
menguasakan kepada seorang kuasa tidak jarang pemegang kuasa kurang
mendalami peristiwa yang menjadi sengketa secara terperinci, sehingga ia sering
hanya siap dengan surat jawaban saja, tetapi kalau ada pertanyaan dari hakim
yang memeriksanya, ia masih harus berkonsultasi lagi dengan pihak yang
diwakilinya. Lagi pula berperkara dipengadilan secara langsung tanpa perantara

7
Ibid,h.7

[9]
seorang kuasa akan jauh lebih ringan biayanya dari pada kalau menggunakan
seorang kuasa. Karena masih harus mengeluarkan hononarium untuknya.
Sebaliknya adanya seorang wakil mempunyai manfaat juga bagi orang
yang belum pernah berhubungan dengan pengadilan dan harus berperkara
biasanya gugup menghadapi hakim, maka seorang pembantu atau wakil sangat
bermanfaat. Terutama seorang wakil yang tahu akan hukumnya dan mempunyai
itiqad baik merupakan bantuan yang tidak kecil bagi hakim dalam memeriksa
suatu perkara karena memberi sumbangan pikiran dalam memecahkan persoalan-
persoalan hukum.
Karena tahu akan hukumnya maka wakil ini hanya akan
mengemukakan peristiwa-peristiwa yang relevan saja bagi hukum, hal ini akan
memperlancar jalannya peradilan. Bagi para pihak yang buta hukum sama sekali,
sehingga menjadi sasaran penipuan atau perlakuan yang sewenang-wenang atau
tidak layak, seorang wakil yang tahu hukum dapat mencegah perlakuan yang tidak
fair tersebut.
Walaupun HIR menentukan bahwa para pihak dapat dibantu atau
diwakili akan tetapi tidak ada ketentuan bahwa seorang pembantu atau wakil
harus seorang ahli atau sarjana hukum. Dapatlah digambarkan bahwa jalannya
peradilan tidak akan selancar bila di wakili oleh seorang kuasa yang sarjana
hukum. Didalam praktek sebagian besar dari pada kuasa yang mewakili para
pihak adalah sarjana hukum.8
10. Asas Sederhana, Cepat Dan Biaya Ringan
Yang dimaksud sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami dan
tidak berbelit-belit. Makin sedikit dan sederhana formalitas-formalitas yang
diwajibkan atau diperlukan dalam beracara dimuka pengadilan makin baik.
Terlalu banyak formalitas yang sukar dipahami atau peraturan-peraturan tidak
jelas sehingga menimbulkan timbulnya berbagai penafsiran. Kurang menjamin
adanya kepastian hukum dan menyebabkan ketegangan atau ketakutan untuk
beracara dimuka pengadilan kata cepat menunjuk pada jalannya pengadilan.

8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, h.18

[10]
2.2 Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Sistem hukum yang belaku dan dikenal di Indonesia hingga saat ini terfokus
kepada empat sistem, yaitu hukum nasional, hukum adat, hukum barat, dan
hukum Islam. Sebagaimana telah disinggung diatas, asas utama dari Peradilan
Agama adalah asas personalitas keislaman yang salah satu cirinya adalah
hubungan hukum yang melandasi keperdataan yang menjadi kewenangan
Peradilan Agama harus berdasarkan hukum islam dan di selesaikan menurut
ketentuan hukum islam.
Dari rumusan tersebut dapat dipahami bahwa sistem hukum yang harus
diterapkan dalam menyelesaikan suatu perkara pada pengadilan agama dalam
lingkungan Peradilan Agama adalah hukum islam dan atau tata aturan hukum
yang berlaku tidak bertentangan dengan hukum islam, baik yang berkaitan dengan
hukum materiil maupun yang berkaitan dengan hukum formil. Dengan demikian,
jika dalam penyelesaian perkara ternyata tidak ditemukan pasal-pasal dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan secara tekstual yang berkaitan dengan
pemecahan perkara yang sedang diselesaikan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Agama, maka sebagai rujukannya adalah hukum tidak tertulis yang
berkaitan dengan ketentuan hukum islam.
Adapun yang menjadi pedoman ataupun dasar hukum acara Peradilan
Agama baik ketentuan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis berada pada
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran dan Hadist Nabi SAW
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
4. HIR (Het Herzeine Indonesich Reglement)
5. R.Bg (Reglement Buitengwesten)
6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
7. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
8. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Pewakafan Tanah
Milik
9. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim

[11]
10. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
11. Yurisprudensi
12. Surat Edaran Mahkamah Agung.

Pada Tanggal 20 Maret 2006 Undang-Undang Peradilan Agama mengalami


Perubahan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama. Kemudian kembali terjadi perubahan pada Tanggal 29 Oktober
2009, menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009
Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Tentang
Peradilan Agama.

2.3 Sejarah Perkembangan dan Metode Peradilan Agama di Indonesia


1. Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama Di Indonesia
Peradilan agama dalam bentuk yang dikenal sekarang ini merupakan
mata rantai yang tidak terputus dari sejarah masuknya agama Islam. Untuk
memberi gambaran tentang posisi lembaga Peradilan Agama di Indonesia
haruslah memperhatikan Hukum Islam di Indonesia, sedikitnya pada tiga masa
penting: masa sebelum penjajahan yakni masa Kesultanan Islam, masa Penjajahan
dan masa Kemerdekaan. Setiap masa mempunyai ciri-ciri tersendiri yang
merepresentasikan pasang surut pemikiran hukum Islam di Indonesia.
Pada bagian ini akan ditunjukkan peradilan masa kesultanan Islam,
diusul uraian masa kolonial serta masa kemerdekaan.9
a. Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan Islam
Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan
Islam bercorak majemuk. Kemajemukan itu sangan bergantung kepada proses
Islamisasi yang dillakukan oleh pejabat agama dan ulama dari kalangan pesantren,
dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan
berkembang sebelumnya. Kemajemukan Peradilan itu terletak otonomi dan

9
Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2000), hal.33-34

[12]
perkembangannya, yang berada dalam lingkungan kesultanan masing-masing.
Selain itu, terlihat dalam susunan Pengadilan dan hierarkinya, kekuasaan
Pengadilan dalam kaitannya dengan kekuasaan pemerintahan secara umum, dan
sumber pengambilan hukum dalam penerimaan dan penyelesaian perkara yang
diajukan kepadanya.10
Sebenarnya sebelum Islam datang ke Indonesia, di negeri ini telah
dijumpai dua macam peradilan, yakni Peradilan Pradata dan Peradilan Padu.11
Peradilan Prdata mengurus masalah-masalah perkara yang menjadi urusan raja
sedangkan Peradilan Padu mengurus masalah yang tidak menjadi wewenang raja.
Pengadilan pradata apabila diperhaikan dari segi materi hukumnya bersumber
hukum Hindu yang terdapat dalam Papakem atau Kitab Hukum sehingga menjadi
hukum tertulis, sementara Pengadilan Padu berdasarkan pada Hukum Indonesia
asli yang tidak tertulis.
Menurut R. Tresna (1977:17), dengan masuknya agama Islam di
Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam
tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum pradata,
tetapi juga memasukkan pengaruhnya dalam berbagai aspek kehidupan
masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukan
keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya
terutama hukum keluarga.12
Bersamaan perkembangan masyarakat Islam, ketika Indonesia terdiri dari
sejumlah kerajaan Islam, maka dengan penerimaan Islam dalam kerajaan,
otomatis para hakim yang melaksanakan keadilan diangkat oleh sultan atau imam.
Berikut akan dijelaskan sejarah peradilan pada masing-masing kerajaan di
Indonesia.13

10
Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2003), Cet:4, hal.113
11
Abdul Halim, Op. Cit.,hal :34
12
Cik Hasan Bisri, MS., Op. Cit., Hal: 113.
13
Abdul Halim, Op. Cit., Hal: 38.

[13]
b. Peradilan Agama Islam di Kerajaan Mataram
Kerajaan Islam yang paling penting dijawa adalah Demak (yang
kemudian diganti oleh Mataram), Cirebon dan Banten. Di Indonesia timur yang
paling penting adalah Goa di Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya
luas hingga kepulauan Filipina, di Sumatra yang paling penting adalah Aceh yang
wilayahnya meliputi wilayah Melayu. Keadaan terpencar kerajaan-kerajaan
Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara tetangga, Malaysia dan
Filipina.14
Dengan munculnya Mataram menjadi kerajaan Islam, dibawah
pemerintahan Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem peradilan
dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran agama Islam dengan cara
memasukkan orang-orang Islam kedalam Peradilan Peradaban. Namun, setelah
kondisi masyarakat dipandang siap dan paham dengan kebijakan yang diambil
sultan agung, maka kemudian peradilan pradata yang ada diubah menjadi
Peradilan Serambi dan lembaga ini tidak secara langsung berada dibawah raja,
tetapi dipimpin oleh ulama. Ketua pengadilan meskipun pada prinsipnya ditangan
sultan, tetapi dalam pelaksanaannya berada ditangan penghulu yang didampingi
beberapa orang ulama dari lingkungan pesantren sebagai anggota majelis. Sultan
tidak pernah mengambil keputusan yang bertentangan dengan nasihat Peradilan
Serambi. Meski terjadi perubahan nama dari Pengadilan Pradata menjadi
Pengadilan Serambi, namun wewenang kekuasaannya masih tetap seperti
peradilan pradata.
Ketika Amangkurat I menggantikan Sultan Agung pada tahun 1645,
peradilan perdata dihidupkan kembali untuk mengurangi pengaruh ulama dalam
pengadilan dan raja sendiri yang menjadi tampuk kepimpinannya. Namun dalam
perkembangan berikutnya pengadilan serambi masih menunjukkan keberadaannya
sampai pada masa penjajahan Belanda, meskipun dengan kewenangan yang
terbatas menurut Snouck (1973:21) pengadilan tersebut berwenang menyelesaikan
perselisihan dan persengketaan yang berhubungan dengan hukum kekeluargaan,
yaitu perkawinan dan kewarisan.

14
Ibid., Hal: 38-39.

[14]
c. Peradilan Islam di Kerajaan Aceh
Di Aceh, sistem peradilan yang berdasarkan hukum Islam menyatu
dengan pengadilan negeri, yang mempunyai tingkatan-tingkatan;
1) Dilaksanakan ditingkat kampung yang dipimpin Keucik. Peradilan ini
hanya menangani perkara-perkara yang tergolong ringan. Sedangkan perkara-
perkara berat diselesaikan oleh Balai Hukum Mukim.
2) Apabila yang berperkara tidak puas dengan keputusan tingkat pertama,
dapat mengajukan banding ke tingkat yang ke dua yakni Oeloebalang.
3) Bila pada tingkat Oeloebalang juga dianggap tidak dapat memenuhi
keinginan pencari keadilan, dapat mengajukan banding ke pengadilan tingkat
ke tiga yang disebut Panglima Sagi.
4) Seandainya keputusan Panglima Sagi tidak memuaskan masih dapat
mengajukan banding kepada Sultan yang pelaksanaannya oleh Mahkamah
agung yang terdiri anggotanya Malikul Adil, orang kaya sri paduka tuan,
orang kaya raja bandara, dan fakih (ulama). Sistem peradilan di Aceh sangat
jelas menunjukkan hirarki dan kekuasaan absolutnya.
d. Peradilan Agama Islam di Periangan
Di Cirebon atau Periangan terdapat tiga bentuk peradilan; Peradilan
Agama, Peradilan Drigama, dan Peradilan Cilaga. Kompetensi Peradilan Agama
adalah perkaraperkara yang dapat dijatuhi hukuman badan atau hukum mati, yaitu
yang menjadi absolut kompetensi peradilan pradata di Mataram. Perkara-perkara
tidak lagi dikirim ke Mataram, karena belakangan kekuasaan pemerintah Mataram
telah merosot. Kewenangan absolut Peradilan Drigama adalah perkara-perkara
perkawinan dan waris. Sedangkan Peradilan Cilaga khusus menangani sengketa
perniagaan. Pengadilan ini dikenal dengan pengadilan wasit.
e. Peradilan Agama Islam di Banten
Sementara itu di Banten pengadilan disusun menurut pengertian Islam.
Pada masa sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu
sudah tidak berbekas lagi. Karena di Banten hanya ada satu pengadilan yang
dipimpin oleh Qodli sebagai hakim tunggal. lain halnya dengan Cirebon yang
pengadilannya dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan

[15]
yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom dan Panembahan Cirebon. Kitab hukum yang
digunakan adalah pepakem Cirebon yang merupakan kumpulan macam-macam
Hukum Jawa Kuno memuat Kitab Hukum Raja Niscaya, Undang-Undang
Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adidullah. Namun satu hal yang
tidak dipungkiri bahwa pepakem Cirebon tanpa adanya pengaruh hukum Islam.
2. Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda
Masyarakat pada masa itu dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti
ajaranajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu
kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang
membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai misi
kristenisasi.
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda
mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan agama yang
sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian masalah kemasyarakatan
senantiasa merujuk kepada ajaran agama Islam, baik itu soal ibadah, politik,
ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas fenomena ini, maka para pakar hukum
Belanda berkeyakinan bahwa ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum
Islam, termasuk dalam mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang
agama Islam.
Bukti Hindia Belanda secara tegas mengakui bahwa UU Islam (hukum
Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam. Pengakuan ini tertuang
dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder
regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regeerings reglement (RR)
staatsblad tahun 1854 No. 129 dan staatsblad tahun 1855 No. 2. Peraturan ini
mengakui bahwa telah diberlakukan undang-undang agama (godsdienstige
wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.
Pasal 78 RR berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama
orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka
mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka
menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka”.

[16]
Pada mulanya pemerintah Belanda tidak mau mencampuri organisasi
pengadilan agama, tetapi pada tahun 1882 dikeluarkan penetapan raja Belanda
yang dimuat dalam staatsblad 1882 no.152. dengan adanya ketetapan tersebut
terdapat perubahan yang cukup penting, yaitu :
a. Reorganisasi ini pada dasarnya membentuk Pengadilan Agama yang baru
disamping Landraad dengan wilayah hukum yang sama, yaitu rata-rata seluas
daerah kabupaten.
b. Pengadilan itu menetapkan perkara-perkara yang dipandang masuk dalam
lingkungan kekuasaan. Menurut Noto Susanto (1963:7) perkara-perkara itu
umumnya meliputi: pernikahan, segala jenis perceraian, mahar, nafkah, keabsahan
anak, perwalian, kewarisan, hibah, waqaf, shadaqah, dan baitul mal, yang
semuanya erat dengan agama Islam.
Pemerintah Belanda dengan tegas membentuk peradilan agama
berdasarkan Staatsblad tahun 1882 no. 152 tentang pembentukan Peradilan
Agama di Jawa-Madura. Pengakuan hukum Islam yang berlaku bagi orang
Indonesia pada waktu itu menurut penulis Belanda Van De Berg mengemukakan
sebuah teori yang disebut teori receptio in complexu yang artinya bagi orang
Islam berlaku hukum Islam walaupun terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Teori receptio in complexu yang dikemukakan Van De Berg mendapat
kritikan tajam oleh Snouck Hurgronje karena teori receptio in complexu
bertentangan dengan kepentinggan-kepentingan pemerintah Hindia Belanda dan
akhirnya mengemukakan teori receptio yang menurut teori ini hukum yang
berlaku di Indonesia adalah hukum adat asli. Hukum Islam baru mempunyai
kekuatan kalau dikehendaki dan diterima oleh hukum adat.
Pemberlakuan peraturan pemerintah tersebut pada kenyataannya tidak
memberikan jalan keluar bagi peradilan agama di daerah lainnya. Karena itu
pemerintah pada tahun yang sama mencabutnya kembali dan menerbitkan
peraturan yang lain yaitu peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang
pendirian mahkamah syari’ah di luar Jawa dan Madura. Dalam peraturan ini
disebutkan tentang wewenang absolut Peradilan Agama. Menurut peraturan itu,
wewenang mahkamah syari’ah adalah :

[17]
a. Nikah
b. Talak
c. Rujuk
d. Fasakh
e. Nafaqah
f. Mahar
g. Tempat kediaman
h. Mut’ah
i. Hadlanah
j. Perkara Waris-mewaris
k. Wakaf
l. Hibah
m. Shadaqah
n. Baitul mal
Pada periode tahun 1882 sampai dengan 1937 secara yuridis formal,
peradilan agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem
kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal
11 agustus 1882 kelahiran ini berdasarakan suatu keputusan raja Belanda (konnink
besluit) yakni raja Willem III tanggal 19 januari 1882 no. 24 yang dimuat dalam
staatsblad 1882 no. 152. Badan peradilan ini bernama Priesterraden yang
kemudian lazim disebut dengan rapat agama atau Raad Agama dan terakhir
dengan pengadilan agama.
3. Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang
Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan
pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan
pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang berasal dari
pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan.
Peradilan Agama tetap dipertahankan dan tidak mengalami perubahan, peradilan
agama dan Kaikiooo Kottoo Hooin untuk Mahkamah Islam Tertinggi,

[18]
berdasarkan aturan peralihan pasal 3 bala Jepang (Osanu Seizu) tanggal 07 maret
1942 No.1.15
Pada zaman Jepang, posisi pengadilan agama tetap tidak akan berubah
kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru
itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 maret 1942
No. 1. Pada tanggal 29 April 1942, pemerintah balatentara Dai Nippon
mengeluarkan UU No. 14 tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin
(pengadilan pemerintah balatentara). Dalam pasal 3 UU ini disebutkan bahwa
Gunsei Hooin terdiri dari : 16
a. Tiho hooin (pengadilan negeri)
b. Keizai hooin (hakim poloso)
c. Ken hooin (pengadilan kabupaten)
d. Kaikioo kootoo hoin (mahkamah Islam tinggi)
e. Sooryoo hoon (raad agama)
Kebijaksanaan kedua yang dilakukan oleh pemerintahan Jepang adalah,
pada tanggal 29 april 1942 pemerintahan bala tentara Dai Nippon mengeluarkan
UU No. 14 tahun 1942 tentang pengadilan bala tentara Dai Nippon. Dalam pasal 1
disebutkan bahwa di tanah Jawa dan Madura telah diadakan “gunsei hooin”
(pengadilan pemerintahan balatentara).17
Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah
terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara Jepang
(guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan Agung (Sanyo-
Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan memberikan kemerdekaan
pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap dewan ini terhadap susunan
penghulu dan cara mengurus kas masjid, dalam hubungannya dengan kedudukan
agama dalam negara Indonesia merdeka kelak.
Akan tetapi dengan menyerahnya Jepang dan Indonesia
memproklamirkan kemerdekaan pada tanggal 17 agustus 1945, maka dewan

15
Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hal: 60
16
Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal:
96.
17
Basic Jalil, Op. Cit., Hal: 60.

[19]
pertimbangan agung buatan Jepang itu mati sebelum lahir dan peradilan agama
tetap eksis di samping peradilanperadilan yang lain.
4. Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan
a. Pada Masa Awal Kemerdekaan
Pada awal kemerdekaan republik Indonesia pengadilan agama masih
berpedoman kepada peraturan perundangan-undangan pemerintah kolonial
Belanda berdasarkan pasal II aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “segala
badan selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini”
Peranan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
mandiri dihapuskan. Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan Umum.
Untuk menangani perkara yang menjadi kewenangan dan kekuasaan peradilan
agama ditangani oleh peradilan umum secara istimewa dengan seorang hakim
yang beragama Islam sebagai ketua dan didampingi dua orang hakim ahli agama
Islam.
Pada masa berikutnya, berdasarakan ketentuan pasal 98 UUD sementara
dan pasal 1 ayat (4) UU darurat no. 1 tahun 1951, pemerintah mengeluarkan PP
No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah di luar Jawa-Madura. Menurut ketentuan pasal 1, “di tempat-tempat
yang ada pengadilan negeri ada sebuah Pengadilan Agama atau Mahkamah
Syar’iyah, yang daerah hukum sama dengan daerah hukum pengadilan negeri”.
Sedangkan menurut ketentuan pasal 11, “apabila tidak ada ketentuan lain, di ibu
kota propinsi diadakan Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah propinsi
yang wilayahnya meliputi satu, atau lebih, daerah, propinsi yang ditetapkan oleh
menteri agama.
b. Masa Orde Baru
Uraian di atas menunjukkan bahwa sekitar 25 tahun sejak kemerdekaan
terdapat keanekaragaman dasar penyelenggraan, kedudukan, susunan, dan
kekuasaan pengadilan dalam lingkungan PADI. Selanjutnya, pada tahun 1970 Jo.
UU no. 35 tahun 1999, dan UU no. 1 tahun 1974 serta peraturan pelaksanaannya.
Dengan berlakunya UU No. 14 tahun 1970 Jo. UU No. 35 tahun 1999 memberi
tempat kepada PADI sebagai salah satu peradilan dalam tata peradilan di

[20]
Indonesia yang melaksanakan kekuasaan kehakiman dalam negara kesatuan
republik Indonesia. Dengan berlakunya UU No. 1 tahun 1974, maka kekuasaan
pengadilan dalam lingkungan PADI bertambah. Oleh karena itu, maka tugas-tugas
badan peradilan agama menjadi meningkat,. “dari rata-rata 35.000 perkara
sebelum berlakunya UU perkawinan menjadi hampir 300.000-an perkara” dalam
satu tahun di seluruh Indonesia. Dengan sendirinya hal itu mendorong usaha
meningkatkan jumlah dan tugas aparatur pengadilan, khususnya hakim, untuk
menyelesaikan tugas-tugas peradilan tersebut.
Selanjutnya, dengan berlakunya UU No. 7 tahun 1989 posisi PADI
semakin kuat, dan dasar penyelenggaraannya mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang unikatif. Berkenaan dengan hal itu, maka dalam uraian
berikutnya dikemukakan tentang UU no.7 tahun 1989 serta instruksi presiden No.
1 tahun 1991 tentang penyebar luasan kompilasi hukum Islam.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan Peradilan
Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia. Undang-undang
ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama, Peradilan dilakukan
“Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”; Kedua, Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara; Ketiga,
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan
yang melaksanakan peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada
di bawah masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan
kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam
undang-undang tersendiri. Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang
kokoh bagi kemandirian peradilan agama, dan memberikan status yang sama
dengan peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini tidak
ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pasa1 2 ayat (1) undang-
undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum Islam).

[21]
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan peradilan agama di Indonesia
dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang
mandiri, sederajat dan memantapkan serta mensejajarkan kedudukan peradilan
agama dengan lingkungan peradilan lainnya.
Dalam sejarah perkembangannya, personil peradilan agama sejak dulu
selalu dipegang oleh para ulama yang disegani yang menjadi panutan masyarakat
sekelilingnya. Pada masa kerajaan-kerajaan Islam, penghulu Keraton sebagai
pemimpin keagamaan Islam di lingkungan Keraton yang membantu tugas raja di
bidang keagamaan yang bersumber dari ajaran Islam, berasal dari ulama seperti
Kanjeng Penghulu Tafsir Anom IV pada Kesunanan Surakarta. Ia pernah
mendapat tugas untuk membuka Madrasah Mambaul Ulum pada tahun 1905.
Demikian pula para personil yang telah banyak berkecimpung dalam
penyelenggaraan peradilan agama adalah ulama-ulama yang disegani, seperti:
KH. Abdullah Sirad Penghulu Pakualaman, KH. Abu Amar Penghulu
Purbalingga, K.H. Moh. Saubari Penghulu Tegal, K.H. Mahfudl Penghulu
Kutoarjo, KH. Ichsan Penghulu Temanggung, KH. Moh. Isa Penghulu Serang,
KH. Musta’in Penghulu Tuban, dan KH. Moh. Adnan Ketua Mahkamah Islam
Tinggi tiga zaman (Belanda, Jepang dan RI) (Daniel S. Lev: 5-7). Namun sejak
tahun 1970-an, perekrutan tenaga personil di lingkungan peradilan agama
khususnya untuk tenaga hakim dan kepaniteraan mulai diambil dari alumni lAIN
dan perguruan tinggi agama.

[22]
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas maka kesimpulan sebagai berikut :
1. Asas-Asas Hukum Acara Peradilan Agama :
- Asas Personalitas Keislaman
- Peradilan Bebas Dari Campur Tangan Pihak-Pihak Diluar Kekuasaan
Kehakiman
- Hakim Bersifat Menunggu
- Hakim Bersifat Pasif
- Sifatnya Terbukanya Persidangan
- Mendengar Kedua Belah Pihak
- Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan
- Beracara Dikenakan Biaya
- Tidak Harus Mewakili
- Asas Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
2. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Adapun yang menjadi pedoman ataupun dasar hukum acara Peradilan Agama
baik ketentuan hukum tertulis maupun yang tidak tertulis berada pada
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
- Hukum Islam yang Bersumber pada Al-Quran dan Hadist Nabi SAW
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
- HIR (Het Herzeine Indonesich Regelement)
- R.Bg (Reglement Bultengwesten)
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah
Milik
- Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tentang Wali Hakim

[23]
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
- Yurisprudensi
- Surat Edaran Mahkamah Agung.
3. Sejarah Perkembangan dan Metode Peradilan Agama di Indonesia
- Sejarah Perkembangan Pengadilan Agama di Indonesia
a. Peradilan Agama Pada Masa Kesultanan Islam
b. Peradilan Agama Islam di Kerajaan Mataram
c. Peradilan Islam di Kerajaan Aceh
d. Peradilan Agama Islam di Peringan
e. Peradilan Agama Islam di Banten
- Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Belanda
Masyarakat pada masa itu dengan rela dan patuh serta tunduk mengikuti
ajaranajaran Islam dalam berbagai dimensi kehidupan. Namun, keadaan itu
kemudian menjadi terganggu dengan munculnya kolonialisme barat yang
membawa misi tertentu, mulai dari misi dagang, politik bahkan sampai
misi kristenisasi.
Sejak tahun 1800, para ahli hukum dan ahli kebudayaan Belanda
mengakui bahwa dikalangan masyarakat Indonesia Islam merupakan
agama yang sangat dijunjung tinggi oleh pemeluknya. Penyelesaian
masalah kemasyarakatan senantiasa merujuk kepada ajaran agama Islam,
baik itu soal ibadah, politik, ekonomi dan kemasyarakatan lainnya. Atas
fenomena ini, maka para pakar hukum Belanda berkeyakinan bahwa
ditengah-tengah komunitas itu berlaku hukum Islam, termasuk dalam
mengurus peradilan pun diberlakukan undang-undang agama Islam.
- Peradilan Agama Pada Masa Kolonial Jepang
Tahun 1942 adalah tahun Indonesia diduduki oleh Jepang. Kebijaksanaan
pertama yang dilakukan oleh Jepang terhadap perundang-undangan dan
pengadilan ialah bahwa semua peraturan perundang-undangan yang
berasal dari pemerintahan Belanda dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan.

[24]
Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pengadilan agama pernah
terancam yaitu tatkala pada akhir Januari 1945 pemerintah bala tentara
Jepang (guiseikanbu) mengajukan pertanyaan pada Dewan Pertimbangan
Agung (Sanyo-Aanyo Kaigi Jimushitsu) dalam rangka Jepang akan
memberikan kemerdekaan pada bangsa Indonesia yaitu bagaimana sikap
dewan ini terhadap susunan penghulu dan cara mengurus kas masjid,
dalam hubungannya dengan kedudukan agama dalam negara Indonesia
merdeka kelak.
- Peradilan Agama Pada Masa Kemerdekaan
a. Pada Masa Awal Kemerdekaan
Peranan peradilan agama sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang
mandiri dihapuskan. Peradilan agama menjadi bagian dari Peradilan
Umum. Untuk menangani perkara yang menjadi kewenangan dan
kekuasaan peradilan agama ditangani oleh peradilan umum secara
istimewa dengan seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua dan
didampingi dua orang hakim ahli agama Islam.
b. Masa Orde Baru
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan
Peradilan Agama mulai nampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia.
Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut : Pertama,
Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa”; Kedua, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara; Ketiga, Mahkamah Agung adalah
Pengadilan Negara Tertinggi. Keempat, Badan-badan yang melaksanakan
peradilan secara organisatoris, administratif, dan finansial ada di bawah
masing-masing departemen yang bersangkutan. Kelima, susunan
kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing diatur dalam
undang-undang tersendiri.

[25]
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim, Peradilan Agama Dalam Politik Hukum Islam (Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2000).

Achmad Gunaryo, Pergumulan Politik Dan Hukum Islam (Yogyakarta: Pustaka


Pelajar).

Basiq Jalil, Peradilan Agama Di Indonesia (Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2003).

Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah Pemikiran dan Realita,


(Malang: UIN Malang Press,2009).

M. Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta, PT. Rineka


Cipta, 2004.

M. Taufik Makaro, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata.

M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama,


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, Jakarta, Pustaka Kartini, 1989.

Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata.

Suryadi, Hukum Acara Peradilan Agama, Makalah Dalam Pelatihan Calon


Advokat di Peradilan Agama, Departemen Kehakiman, 4-10 Oktober 1999.

Anda mungkin juga menyukai