Anda di halaman 1dari 18

RUANG LINGKUP PERADILAN AGAMA DI INDONESIA

Dosen Pembimbing:

Witia Oktaviani, SH., M.H.

Disusun Oleh:

Nisaul Qoimah (2021.03.1808)

Diannika Wahyu Hidayah (2021.03.1839)

Arini Nur Akhsani (2021.03.1913)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

STDI IMAM SYAFI’I JEMBER

2022/2023

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur atas rahmat Allah Ta’ala, berkat rahmat serta karunia-Nya
sehingga makalah dengan judul ‘Ruang Lingkup Peradilan Agama di Indonesia’ dapat selesai.

Makalah ini dibuat dengan tujuan memenuhi tugas pada mata kuliah Hukum Acara
Peradilan Agama di Indonesia. Selain itu, penyusunan makalah ini bertujuan menambah
wawasan kepada pembaca tentang Peradilan Agama di Indonesia.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ustadzah Witia Oktaviani, S.H.,
M.H, selaku dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama. Berkat tugas yang diberikan
ini, dapat menambah wawasan penulis berkaitan dengan topik yang diberikan. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesarnya kepada semua pihak yang membantu dalam proses
penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan dan penulisan masih melakukan banyak
kesalahan. Oleh karena itu, penulis memohon maaf atas kesalahan dan ketidaksempurnaan
yang pembaca temukan dalam makalah ini. Penulis juga mengharap adanya kritik serta saran
dari pembaca apabila menemukan kesalahan dalam makalah ini.

Jember, 17 September 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... 2

DAFTAR ISI.............................................................................................................................. 3

BAB Ⅰ ......................................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 4

BAB Ⅱ ........................................................................................................................................ 5

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 5

2.1. Pengertian Peradilan Agama ....................................................................................... 5

2.2. Ruang Lingkup Peradilan Agama ............................................................................... 6

2.3. Tujuan dan fungsi Pengadilan Agama ...................................................................... 11

2.4. Unsur Peradilan Agama ............................................................................................ 13

BAB Ⅲ .................................................................................................................................... 17

PENUTUP................................................................................................................................ 17

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 18

3
BAB Ⅰ

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peradilan Agama, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia.


Dalam klasifikasinya, Peradilan Agama merupakan satu dari tiga peradilan khusus yang ada di
Indonesia, dua lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan
Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkaraperkara tertentu atau mengenai
golongan rakyat tertentu. Dalam hal ini Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata
tertentu saja, tindak semuanya dan hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dan hanya
dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam.

Peradilan Agama diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989, tentang Peradilan Agama
sebagaimana telah dirubah dengan UU No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No.7
Tahun 1989, tentang Peradilan Agama UU No. 50 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
tertentu sebagaimana dimaksud undang-undang.

Segala permasalahan yang dihadapi oleh umat islam, itulah yang menjadi kompetensi
Peradilan Agama. Namun, karena Indonesia bukan negara Islam, maka kewenangan Peradilan
Agama tidak menyangkut seluruh persoalan umat islam, melainkan hanya terkait dengan
persoalan hukum keluarga (ahwal syakhsiyyah) ditambah sedikit persoalan muamalah (hukum
perdata), dan belum menyentuh persoalan pidana.

4
BAB Ⅱ

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Peradilan Agama

Dalam berbagai kajian peradilan, ada dua istilah yang sering dianggap sama
yaitu peradilan dan pengadilan. Kedua kata tersebut pada dasarnya berasal dari kata
‘adil’ yang memiliki pengertian proses mengadili, upaya untuk mencari keadilan dan
penyelsaian sengketa hukum dihadapan badan peradilan berdasarkan hukum yang
berlaku.1 Akan tetapi secara konseptual memiliki arti yang berbeda.

Secara bahasa “peradilan” dalam istilah bahasa Inggris dipadankan dengan


“judiciary” sedangkan dalam bahasa Belanda dengan “rechpraak” yang maksudnya
adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas negara dalam menengakkan
hukum dan keadilan. Sementara kata “pengadilan” dalam bahasa Inggris dipadankan
dengan “court” dan dalam bahasa Belanda dengan istilah “rechtbank” yang memiliki
arti badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, memutus dan
menyelesaikan perkara.2

Sedangkan secara istilah peradilan dapat diartikan sebagai proses mengadili


atau suatu upaya untuk mencari keadilan atau penyelesaian sengketa hukum di hadapan
badan peradilan menurut peraturan yang berlaku. 3atau peradilan adalah salah satu
pranata/institusi dalam memenuhi hajat hidup orang banyak atau masyarakat dalam
rangka menegakkan hukum dan keadilan. Adapun pengadilan merupakan suatu
organisasi yang menyelenggarakan penegakkan hukum dan keadilan tersebut.4
Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengadilan dapat diartikan sebagai proses
pemberian keadilan disuatu lembaga yang disebut pengadilan. Sedangkan pengadilan

1
Dahwadin, M.H. hasanudin, MA, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. 1; Wonosobo, Jawa Tengah:
Cv Mangku Bumi Media, 2020), h.1-3.
2
Prof. Dr. H. Pagar, M. Ag, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. 1; Medan: Perdana Publishing, 2015),
h. 2.
3
Dahwadin, M.H. hasanudin, MA, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. 1, h.1.
4
Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.hum, Pengadilan Agama Cagar Budaya Nusantara
Memperkuat NKRI, (Cet. 1; Jakarta: Kencana (Divisi dari Prenadamedia group), 2019), h.36.

5
adalah badan atau lembaga yang bertugas menerima, mengadili, dan menyelsaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya.5

Kata “peradilan” apabila dihubungkan dengan “agama” akan menjadi Peradilan


Agama. Zaini Ahmad Noeh mengatakan bahwa “Peradilan Agama” adalah terjemahan
dari kata “Godsdientige rechtspraak”. Dalam bahasa Belanda “Godsdienst” artinya
ibadah atau agama, sedangkan “rechtspraak” berarti peradilan yaitu daya upaya untuk
mencari keadilan atau menyelesaikan perselisihan hukum yang dilakukan menurut
peraturan-peraturan, dan dalam lembaga-lembaga tertentu dalam pengadilan.
Maka yang dimaksud dengan Peradilan Agama di Indonesia adalah kekuasaan
negara dalam menerima, memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara tertentu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakkan hukum
dan keadilan di negara Republik Indonesia.6
Sedangkan pengertian Peradilan Agama yang tertuang dalam Pasal 1 butir 1 UU
No. 7 tahun 1989 Jo Pasal 1 Angka 1 UU No. 3 Tahun 2006. Pada pasal tersebut
terdapat perubahan bunyi Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1989 yang menyebutkan bahwa:
“Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagimana dimaksud dalam
undang-undang ini”. Yang dimaksud dengan ‘para pencari keadilan’ adalah setiap
orang baik warga Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan pada
pengadilan di Indonesia.
Adapun menurut Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 menyatakan bahwa Peradilan
Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.7

2.2. Ruang Lingkup Peradilan Agama

Sebagaimana diatur dalam pasal 49 undang-undang nomer 3 tahun 2006 tentang


perubahan atas undang-undang nomer 7 tahun 1989 bahwa pengadilan agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama

5
Dahwadin, M.H. hasanudin, MA, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. 1, h.6
6
Prof. Dr. H. Pagar, M. Ag, Peradilan Agama di Indonesia, Cet. 1, h.2/5.
7
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 1.

6
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi isyari’ah.8

a. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau
berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang
dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
1) Ijin beristeri lebih dari seorang;
2) Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 20 tahun
dalam hal orang tua, wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan
pendapat;
3) Dispensasi kawin;
4) Pencegahan perkawinan;
5) Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6) Pembatalan perkawinan;
7) Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8) Perceraian karena talak;
9) Gugatan perceraian;
10) Penyelsaian harta bersama;
11) Ibu dapat memikil biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana
bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
12) Penguasaan anak-anak;
13) Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16) Pencabutan kekuasaan wali;
17) Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;

8
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama Pasal 49.

7
18) Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada
penunjukan wali oleh orang tuanya;
19) Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada
dibawah kekuasaannya;
20) Penetapan asal usul seorang anak dan penentapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
21) Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campur;
22) Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-
Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut
peraturan yang lain.

b. Waris
Tugas dan wewenang Pengadila Agama disebutkan berdasarkan
penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 7 1989 tentang Peradilan Agama adalah
sebagai berikut:
1) Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
2) Penentuan mengenail harta peninggalan;
3) Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
4) Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
5) Penetapan pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan
siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.

c. Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Peradilan Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku
setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang
tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur
dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
8
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang
membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di
mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan,
bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut
dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal,
wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat
menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat
wasiat disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat
meninggal dunia, wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada
siapa tidak diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah
bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta
besarnya.

d. Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi
tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan
dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk
dimiliki.”
Secara garis besar perincian tentang hibah diatur dalam KHI, dengan
menempati bab 6, dan hanya diatur dalam lima pasal. Pasal-pasal ini berisi: subjek
hukum hibah, besarnya hibah, dimana hibah dilakukan, harta benda yang
dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat pesetujuan
ahli waris, dan hibah yang dilakukan diluar wilayah Republik Indonesia.

e. Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai
sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan
selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna
keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang
wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V,
yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu
definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar
9
Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya;
syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan
hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian dan
pengawasan benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak
mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan
Pemerintah No. 28 tahun 1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik.9

f. Zakat
Harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan hukum yang
dimiliki oleh seorang Muslim sesuai dengan ketentuan syariah untuk diberikan
kepada yang berhak menerimanya. Sedangkan KHI tidak menyinggung
pengaturan zakat.
Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor
38 Tahun 1999 Lembaga Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat. Secara garis besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang
perlu untuk campur tangan dalam bidang zakat; pengumpulan zakat;
pendayagunaan zakat; pengawasan pengelola zakat; sanksi terhadap pelanggaran
regulasi pengelolaan zakat.

g. Infaq
Dalam undang undang nomor 3 tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan
seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi, atau menafkahkan
sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan karena Allah Subhanahu
Wata’ala.”
Kewenangan Peradilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam
bentuk peraturan perundang-undanangan. Dan dalam Undang-Undang ini juga
tak diatur lebih lanjut.

h. Shodaqoh

9
https://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-agama-1/kewenangan-
pengadilan-agama, diakses pada tanggal 16 September 2023.

10
Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan
jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata. Sama dengan
infaq, shodaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum
ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.

i. Ekonomi syariah
Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.
Kewenangan ekonomi syari’ah meliputi: Bank Syari’ah, Lembaga Keuangan
Mikro Syari’ah, Asuransi Syari’ah, Reasuransi Syari’ah Reksadana Syari’ah,
Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menegah Syari’ah; Sekuritas
Syari’ah, Pembiayaan Syari’ah, Pegadaian Syari’ah, Dana Pensiun Lembaga
Keuangan Syari’ah, dan Bisnis Syari’ah.10

2.3. Tujuan dan fungsi Pengadilan Agama

Pengadilan Agama yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama yang bertugas


memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang orang yang beragama Islam memiliki fungsi antara lain sebgai berikut:

1. Fungsi mengadili (judicial power), yakni menerima, memeriksa, mengadili


dan menyelesaikan perkara-perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dalam tingkat pertama (vide: Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006).
2. Fungsi pembinaan, yakni memberikan pengarahan, bimbingan, dan petunjuk
kepada pejabat struktural dan fungsional di bawah jajarannya, baik
menyangkut teknis yudisial, administrasi peradilan, maupun administrasi
umum/perlengkapan, keuangan, kepegawaian, dan pembangunan (vide: Pasal
53 ayat (3) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
3. Fungsi pengawasan, yakni mengadakan pengawasan melekat atas
pelaksanaan tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, Panitera

10
https://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-perdailan-agama-1/kewenangan-
pengadilan-agama. Diakses pada tanggal 15 Septemeber 2023.

11
Pengganti, dan Jurusita/Jurusita Pengganti di bawah jajarannya agar peradilan
diselenggarakan dengan seksama dansewajarnya (vide: Pasal 53 ayat (1) dan
(2) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006) dan terhadap pelaksanaan
administrasi umum kesekretariatan serta pembangunan. (vide: KMA Nomor
KMA/080/VIII/2006).
4. Fungsi nasehat, yakni memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum
Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta. (vide:
Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 2006).
5. Fungsi administratif, yakni menyelenggarakan administrasi peradilan (teknis
dan persidangan), dan administrasi umum (kepegawaian, keuangan, dan
umum/perlengkapan) (vide: KMA Nomor KMA/080/ VIII/2006).

Diantara fungsi pengadilan agama lainnya:

Melakukan koordinasi dalam pelaksanaan tugas hisab dan rukyat dengan instansi
lain yang terkait, seperti DEPAG, MUI, Ormas Islam dan lain-lain (vide: Pasal 52 A
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006). Pelayanan penyuluhan hukum, pelayanan
riset/penelitian dan sebagainya serta memberi akses yang seluas-luasnya bagi
masyarakat dalam era keterbukaan dan Transparansi Informasi Peradilan, sepanjang
diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor KMA/144/SK/VIII/2007
tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.

Lalu sebagaimana yang telah dijabarkan mengenai ruang lingkup Pengadilan


Agama sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tujuan dari dibentuknya Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut:

1) Menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan masalah agama, seperti


masalah perceraian, warisan, hukum keluarga atau isu isu keagamaan
lainnya.
2) Menerapkan hukum agama, bahwa Pengadilaan Agama yang bertugas untuk
menerapkan hukum agama yang berlaku dalam masyarakat atau komunitas
tertentu.
3) Melindungi kebebasan beragama.

12
4) Membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan kedailan
dalam konteks beragama.11

2.4. Unsur Peradilan Agama

Unsur-unsur Peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’ secara bahasa,
rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah, rukun
berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu itu mesti
dengan adanya bagian itu Jadi rukun qadha (unsur-unsur peradilan) yaitu apa yang
menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Di
antar unsur-unsur peradilan yaitu:

1. Hakim (qadhi)
Orang yang diangkat oleh kepala negara sebagai hakim yang bertanggung jawab
menyelesaikan gugatan dan perselisihan, karena penguasa tidak bisa menjalankan
sendiri tugas-tugas peradilan. Seperti yang terjadi pada masa Nabi Muhammad SAW
dengan mengangkat qadhi-qadhi yang bertugas menyelesaikan permasalahan dan
sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.

Fungsi Hakim:

1) Meneliti dan menyelidiki perkara yang dipersidangkan di pengadilan dengan


berupaya mengungkapkan bukti-bukti yang otentik.
2) Menetapkan dan memutuskan hukum secara adil berdasarkan bukti-bukti
yang benar. Sebab pada prinsipnya bahwa hakim itu adalah orang yang harus
menegakkan keadilan di dalam masyarkat. Allah SWT berfirman:

‫اس ا َ ْن تَ ْح ُك ُم ْوا ِب ْال َعدْ ِل‬


ِ َّ‫َواِذَا َح َك ْمت ُ ْم َبيْنَ الن‬

Artinya: “Dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia


supaya kamu menetapkan dengan adil.”12

Syarat-syarat menjadi hakim:

11
https://web.pa-sumber.go.id/tugas-pokok-fungsi/. Diakses pada tanggal 16 september 2023.
12
https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-jakarta/peradilan-
islam/peradilan-iii/36805438. Diakses pada tanggal 15 september 2023.

13
Untuk dapat diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Agama, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1) warga negara Indonesia;


2) beragama Islam;
3) bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
4) setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
5) bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia,
termasuk organisasi massanya atau bukan seseorang yang terlibat langsung
ataupun tak langsung dalam "Gerakan Kontra Revolusi G-30-S/PKI", atau
organisasi terlarang yang lain;
6) pegawai negeri;
7) sarjana syariah atau sarjana hukum yang menguasai hukum Islam;
8) berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
9) berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela."13

2. Hukum (qodho’)

Hukum yaitu putusan hakim yang di tetapkan untuk menyelesaikan suatu


perkara. Hukum (qodho’) dibagi menjadi dua bagian yaitu:

• Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah


salah satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau
menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
• Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada
penggugat: “kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu
tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah tergugat.”

3. Mahkum Bih (Hak)

Mahkum Bihi yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas
suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak
penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan
atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri.

13
Drs. H. A. Basiq Djalil S.H., MA., Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 6.

14
Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang
dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.

4. Mahkum ‘alaih (si terhukum)

Orang yang dijatuhi hukuman atasnya. Mahkum alaih dalam hak-hak syara’
adalah yang diminta untuk memenuhi suatu tuntutan yang dihadapkan
kepadanya. Baik tergugat ataupun bukan, seorang ataupun banyak.

5. Mahkum Lahu

Orang yang menggugat suatu hak. Baik hak itu yang murni baginya atau
terdapat dua hak tetapi haknya lebih kuat.

Syarat-syarat gugatan:

1) Gugatan disampaikan secara tertulis ke pengadilan dan di tanda


tangani, apabila penggugat tidak bisa menulis bisa melaporkan dengan
lisan kepada ketua pengadilan, yang nantinya akan dicatat oleh petugas
pencatat.
2) Gugatan harus diuraikan secara terperinci dan jelas.
3) Tuntutan harus sesuai dengan kejadian perkara.
4) Memenuhi persyaratan khusus yang dibuat oleh pengadilan.
5) Pihak tergugat tertentu orangnya.
6) Penggugat dan tergugat sama-sama mukalaf, balig dan berakal.
7) Penggugat dan tergugat tidak dalam keadaan berperang membela
agama.

6. Alat Bukti

Di pandang dari segi pihak-pihak yang berpekara (pencari keadilan), alat


bukti artinya adalah alat atau upaya yang bisa di pergunakan oleh
pihak-pihak yang berperkara untuk menyakinkan hakim di muka
pengadilan. Di pandang dari segi pengadilan yang memeriksa perkara, alat
bukti adalah alat atau upaya yang bisa di pergunakan oleh hakim untuk
memutuskan perkara.

15
Jadi, alat bukti tersebut di pergunakan oleh hakim untuk memutus perkara.
Jadi alat bukti tersebut di perlukan oleh pencari keadilan maupun pengadilan.

Suatu persengketaan atau perkara tidak bisa di selesaikan tanpa adanya alat
bukti. Artinya, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara
tersebut akan di putus jugaoleh hakim tetapi dengan menolak gugatan karena
tidak terbukti.

Macam-macam bukti:

1) Saksi
Saksi ini bisa dari pihak pendakwa maupun terdakwa. Pendakwa bisa
menguatkan dakwannya dengan dihadirkannya saksi, dan terdakwa bisa
menolak dakwaannya dengan menghadirkan saksi pula. Saksi ini lebih
kuat dari pada sumpah, karena lebih konkrit (dilihat) dan dipertanggung
jawabkan.
2) Barang bukti
3) Pengakuan Terdakwa
4) Sumpah
Sumpah ada 2 macam:
1. Sumpah untuk berjanji melakukan sesuatu atau tidak melakukan
sesuatu.
2. Sumpah untuk memberikan keterangan guna menguatkan bahwa
sesuatu itu benar-benar demikian atau tidak.
5) Pengetahuan atau keyakinan hakim

Pengetahuan hakim yang ada relevansinya dengan pemeriksaan perkara


merupakan satu bukti dalam penyelesaian perkara tersebut. Tapi
pengetahuan dan keyakinan dari hakim ini hanya terbatas untuk
menguatkan bukti yang lain. Juga tidak belaku dalam perkara pidana.

7. Perkataan atau perbuatan yang menunjuk kepada hukum (Putusan)

Berdasarkan pernyataan tersebut nyatalah bahwa memutuskan perkara


hanya dalam suatu kejadian yang di perkarakan oleh seorang terhadap
lawannya, dengan mengemukakan gugatan-gugatan yang dapat diterima.

16
BAB Ⅲ

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ruang lingkup Pengadilan Agama mencakup berbagai aspek yang terkait dengan
penyelesaian sengketa dan penerapan hukum agama dalam konteks agama Islam, yang
mencakup antara lain masalah perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, wasiat, infaq,
shodaqoh, dan ekonomi syari’ah. Dalam makalah ini, telah dibahas tentang tujuan, fungsi, dan
peranan pengadilan agama, tujuan pembentukan pengadilan agama adalah untuk
menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan masalah agama. Pengadilan agama
memberikan forum khusus bagi individu atau kelompok yang ingin menyelesaikan sengketa
mereka dengan mengacu pada hukum agama yang relevan. Selain itu, pengadilan agama
bertujuan untuk menerapkan hukum agama yang berlaku dalam masyarakat atau komunitas
tertentu. Kedua, Pengadilan Agama juga memiliki peran penting dalam melindungi kebebasan
beragama dan kepercayaan individu atau kelompok. Pengadilan Agama bertugas untuk
memastikan bahwa keputusan pengadilan tidak melanggar hak-hak konstitusional atau hak
asasi manusia yang berkaitan dengan kebebasan beragama.

17
DAFTAR PUSTAKA

Dahwadin, M.H. Hasanudin, MA, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. 1; Wonosobo, Jawa
Tengah: Cv Mangku Bumi Media, 2020).

Prof. Dr. H. Abdul Manan, S.H., S.IP., M.hum, Pengadilan Agama Cagar Budaya Nusantara
Memperkuat NKRI, (Cet. 1; Jakarta: Kencana (Divisi dari Prenadamedia group, 2019).

Prof. Dr. H. Pagar, M. Ag, Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. 1; Medan: Perdana Publishing,
2015)

Drs. H. A. Basiq Djalil S.H., MA., Peradilan Agama di Indonesia, (Cet. 3; Jakarta, Kencana,
2017)

Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang


Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 1.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7


Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.

https://badilag.mahkamahagung.go.id/pengadilan-agama/profil-peradilan-agama-
1/kewenangan-pengadilan-agama, diakses pada tanggal 16 September 2023.

https://web.pa-sumber.go.id/tugas-pokok-fungsi/. Diakses pada tanggal 16 september 2023.

https://www.studocu.com/id/document/universitas-islam-negeri-syarif-hidayatullah-
jakarta/peradilan-islam/peradilan-iii/36805438. Diakses pada tanggal 15 september
2023.

18

Anda mungkin juga menyukai