Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KEKUATAN HUKUM PRODUK PENGADILAN AGAMA

Disusun Oleh :

1. Ariska Mulia
2. Muklis Adi
3. Avista

Dosen Pengampu :

Prof. Dr. Asasriwarni, MA, MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERITAS EKA SAKTI

PADANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peranan pengadilan tidak dapat diragukan lagi, karena dengan adanya Lembaga
Pengadilan, berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hak dan tanggung jawab yang
terabaikan dapat diselesaikan. Lembaga pengadilan memberikan ruang untuk membantu
kepada mereka yang merasa tidak mendapatkan hak-haknya dan memaksa kepada pihak-
pihak agar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan yang merugikan pihak
lainnya. Aktivitas Lembaga Pengadilan pada dasarnya adalah berupaya menghubungkan
rumusan-rumusan hukum yang sifatnya masih abstrak, karena dengan melalui bekerjanya
Lembaga Pengadilan, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaimana dikatakan oleh
Satjipto Raharjo, bahwa kehadiran lembaga hukum itu merupakan operasionalisasi dari
ide rumusan konsep-konsep hukum bersifat abstrak. Melalui lembaga dan bekerjanya
lembaga-lembaga itulah, hal-hal yang bersifat abstrak tersebut dapat diwujudkan ke
dalam kenyataan.1
Lingkungan peradilan yang merupakan kekuasaan kehakiman di Indonesia
dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang dibawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan Agama, Lingkungan peradilan Militer,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan sebuah mahkmah konstitusi. Peradilan
Agama merupakan salah satu instansi kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang mencari
keadilan serta beragama Islam dengan berfokus pada perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undang-undang. Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili,
memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.2 Undang-undang No 7 Tahun 1989 Pasal 1
menyebutkan bahwa yang dimaksut dengan Peradilan Agama adalah Peradilan bagi
orang-orang yang beragama Islam.3 Peradilan agama memiliki kewenangan yang
dikhususkan terhadap perkara antara orang yang beragama Islam, sehingga yang bukan
beragama Islam menjadi kewenangan peradilan umum. Pengadilan agama merupakan
pengadilan yang berada di setiap kota dan/atau kabupaten di seluruh wilayah Indonesia

1
Rusli Muhammad, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2006), h. 4.
2
Abdullah Tri Wahyudi, Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat Dalam Praktik Hukum
Acara di Peradilan Agama, (Bandung: Mandar Maju, 2016), hlm. 8.
3
Zainal Abidin Abu Bakar. Kumpulan perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, (Cet III,
Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 246.
untuk mengurusi perkara orang yang beragama Islam di wilayah tempat pengadilan itu
berada.
Peraturan mengenai Peradilan Agama tersebar di berbagai peraturan perundang-
undangan. Pada tahun 1957 Pemerintah Republik Indonesia mengatur pembentukan
Peradilan Agam di luar Jawa dan Kalimantan Selatan melalui Peraturan Pemerintah No.
45 Tahun 1957 yang berwenang mengenai masalah perkawinan dan kewarisan. Lain
halnya Pengadilan Agama di Jawa dan Madura yang diperkecil dan dibatasi melalui Pasal
2 (a) Ordonansi. Peradilan di Jawa dan Madura Stbl. 1937 No. 16, yaitu hanya mengenai
perkawinan saja. Baru kemudian pada tahun 1989 Peradilan Agama diatur dalam satu
peraturan perundang-undangan, yaitu Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.4
Pengaturan terkait peradilan agama menjadikan kedudukan pengadilan agama di
Indonesia jelas adanya dan Pengadilan agama menjadi suatu lembaga yang mandiri.
Perubahan-perubahan terhadap peraturan peradilan agama bertujuan untuk menjadikan
pengadilan agama di Indonesia menjadi lembaga yang lebih baik dan terarah dalam
menjalankan tugas serta fungsinya untuk mengadili perka-perkara yang menjadi
kewenangannya. Peraturan mengenai Peradilan Agama mengalami perubahan sebanyak
dua kali. Perubahan yang pertama adalah Undang-Undang No. 3 tahun 2006 tentang
Peradilan Agama yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 50 tahun 2009
tentang Peradilan Agama. Perubahan undang-undang tersebut menjadikan Peradilan
Agama mengalami perubahan mengenai produk hukum di pengadilan pada lingkungan
Peradilan Agama.
Setelah pengadilan memeriksa perkara maka langkah selanjutnya adalah
mengadilinya atau memberikan putusan dan mengeluarkan produk hukumnya. Sebelum
berlakunya UU No. 7 tahun 1989 produk hukum Peradilan Agama ada tiga yaitu:
putusan, penetapan dan Surat Keterangan Tentang Terjadinya Talak (SKT3). Kemudian
setelah berlaku UU No. 7 tahun 1989 tersebut Surat Keterangan Tentang Terjadinya
Talak (SKT3) sudah tidak ada lagi.5 Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka
penulis tertarik menulis Makalah dengan judul “KEKUATAN HUKUM PRODUK
PENGADILAN AGAMA”

4
Munawir Sjadzali, “Jawaban Pemerintah terhadap Pandangan Umum Fraksifraksi di Dewan Perwakilan
Rakyat atas ancangan Undang-undang tentang Peradilan Agama,” dalam Buku Undang-undang Perdilan Agama
Beserta Gambaran Ringkas Kronologis Pembahasan di DPR R, Cet. Pertama, (Jakarta: PB. Dharma Bhakti,
1989), hlm.25.
5
Roihan A. Rosyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 203
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam latar belakang, terdapat beberapa
permasalahan yang selanjutnya dibahas oleh penulis. Adapun permasalahan yang akan
diangkat adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana kekuatan hukum putusan dalam Pengadilan Agama ?
b. Bagaimana kekuatan hukum penetapan dalam Pengadilan Agama ?
c. Bagaimana kekuatan hukum akta perdamaian dalam Pengadilan Agama ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kekuatan Hukum Putusan Dalam Pengadilan Agama


Putusan disebut vonis (Belanda) atau al-qada’u (Arab), yaitu Produk Pengadilan
Agama karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara, yaitu “Penggugat” dan
“Tergugat”. Putusan merupakan keputusan pengadilan yang diucapkan dalam
persidangan oleh hakim serta mengikat kepada kedua belah pihak yang berperkara.
Putusan mempunyai kekuatan pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan eksekusi. Produk Pengadilan semacam ini biasa
diistilahkan dengan “produk peradilan yang sesungguhnya” atau Jurisdictio cententiosa.6
Putusan harus diucapkan di dalam persidangan yang terbuka untuk umum.
Pada dasarnya produk hukum peradilan agama sama dengan produk hukum peradilan
umum. Setiap putusan pengadilan agama harus dibuat oleh hakim dalam bentuk tertulis
dan ditandatangani oleh hakim ketua dan hakim-hakim anggota yang ikut memeriksa
perkara sesuai dengan penetapan majelis hakim yang dibuat oleh ketua pengadilan agama
serta ditandatangani oleh panitera pengganti yang ikut sidang sesuai penetapan panitera.
Hal-hal yang diucapkan oleh hakim dalam sidang harus benar-benar sama dengan apa
yang ditulis dan harus benar-benar sama dengan apa yang diucapkan dalam sidang
pengadilan.7
Putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama wajib memuat hal- hal sebagai berikut8:
 Kepala putusan
Putusan harus memuat kepala putusan yang berisi “Putusan”, kemudian
dibawahnya dicantumkan nomor putusan yang diambil dari nomor perkara, lalu
dilanjutkan dengan kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” sesuai dengan pasal 57 ayat
2 Undang-Undang No. 7 tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan kalimat “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”.
 Nama pengadilan dan jenis perkara Pengadilan Agama mana yang memeriksa perkara
misalnya Pengadilan Agama Surakarta yang memeriksa perkara gugat cerai pada
pengadilan tingkat pertama.

6
Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan Agama di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004). Hlm. 203
7
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media
Group, 2015), hlm. 292.
8
Ibid., 163.
 Identitas para pihak, Identitas para pihak minimal harus mencantumkan nama, alamat,
umur, agama, dan dipertegas dengan status para pihak sebagai penggugat dan
tergugat.
 Duduk perkara memuat tentang:
1) Uraian lengkap isi gugatan,
2) Pernyataan sidang dihadiri para pihak,
3) Pernyataan upaya perdamaian,
4) Uraian jawaban tergugat,
5) Uraian replik,
6) Uraian duplik,
7) Uraian kesimpulan para pihak, dan
8) Pembuktian para pihak.
 Pertimbangan hukum. Putusan hakim juga harus memberikan pertimbangan hukum
terhadap perkara yang disidangkannya. Pertimbangan hukum biasanya dimulai
dengan kata-kata “Menimbang ... dan seterusnya”. Dalam pertimbangan hukum
hakim mempertimbangkan peristiwa, dalil gugatan, bantahan, eksepsi tergugat, pasal-
pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan maupun hukum yang tidak tertulis,
serta menghubungkannya dengan alat-alat bukti yang ada. Setelah itu hakim
menyimpulkan terbukti atau tidaknya gugatan itu.
 Amar putusan. Amar putusan merupakan isi dari putusan itu sendiri dan jawaban
petitum dalam surat gugatan yang diajukan oleh penggugat. Amar putusan dimulai
dengan kata “Mengadili” kemudian diikuti petitum berdasarkan pertimbangan hukum.
Di dalamnya diuraikan halhal yang dikabulkan dan hal-hal yang ditolak atau tidak
diterima. Para hakim dalam menyusun amar putusan haruslah memperhatikan hal-hal
berikut:
1) Harus bersifat tegas dan lugas.
2) Terperinci dan jelas maksudnya (tidak samar-samar).
3) Memperhatikan sifat dari putusan yang akan dijatuhkan apakah konstitutif,
deklaratoir atau condemnatoir.
4) Ditulis secara ringkas, padat, dan terang.9
 Penutup Memuat kapan putusan dijatuhkan dan dibacakan dalam persidangan yang
terbuka untuk umum, majelis hakim yang memeriksa, panitera yang membantu,

9
Ibid., 296.
kehadiran para pihak dalam pembacaan putusan. Putusan ditandatangani oleh majelis
hakim dan panitera yang ikut sidang dan pada akhir putusan dimuat perincian biaya
perkara.
Dalam suatu putusan dikenal adanya tigas jenis kekuatan hukum, yaitu sebagai berikut:
 Kekuatan Mengingkat (bindende kracht)
Para pihak yang berkepentingan diikat oleh kewajiban untuk tunduk dan patuh
terhadap putusan yang telah ditetapkan hakim di pengadilan jika para pihak tersebut
menyerahkan dan mempercayakan perkara atau sengketa yang mereka hadapi kepada
pihak pengadilan untuk diperiksa dan diadili oleh hakim. Putusan hakim mempunyai
kekuatan mengingkat sejalan dengan Pasal 1917 KUH Perdata.
 Kekuatan pembuktian (bewijzende kracht)
Akta otentik ialah salah satu alat bukti tertulis yang digunakan dalam
persidangan untuk memperjelas dan membuat terang suatu sengketa atau perkara baik
pada tingkat pertama, banding, kasasi, atau peninjauan kembali karena memiliki
kekuatan pembuktian.
 Kekuatan eksekutorial (executoriale kracht)
Suatu putusan memiliki kekuatan untuk dilaksanakan sesuai yang telah
ditetapkan dalam putusan secara paksa oleh alat-alat negara.
Suatu putusan dapat dikatakan telah memiliki kekuatan mengikat dan memiliki
kekuatan bukti adalah setelah putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum yang tetap
(in kracht). Suatu putusan sudah berstatus in kracht apabila upaya hukum seperti verzet,
banding, kasasi tidak dipergunakan dan tenggang waktunya sudah habis atau telah
mempergunakan upaya hukum dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang
telah in kracht tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan yang sangat khusus. Putusan yang sudah in
kracht dapat dimohonkan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tidak terhalang untuk
dieksekusi sehingga dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi. Suatu putusan dikatakan
mempunyai kekuatan bukti misalnya putusan cerai karena mempunyai bukti otentik
terjadinya cerai.10

10
Ibid., 213
B. Kekuatan Hukum Penetapan Dalam Pengadilan Agama
Penetapan disebut dengan al-Isbat dalam bahasa Arab dan beschihing dalam bahasa
Belanda, yaitu produk Pengadilan Agama dalam arti bukan peradilan sesungguhnya atau
yang di istilahkan sebagai jurisdieti Volumtaria. Dapat dikatakan bukan peradilan yang
sesungguhnya karena disana hanya ada pemohon yang memohon untuk ditetapkan
tentang sesuatu, dan tidak berperkara dengan lawan.11
Bentuk dan isi penetapan hampir sama dengan bentuk dan isi putusan namun terdapat
sedikit perbedaan yaitu14:
 Identitas pihak-pihak pada permohonan dan pada penetapan hanya memuat identitas
termohon. Kalaupun dimuat identitas termohon akan tetapi termohon bukanlah pihak.
 Tidak akan ditemui kata-kata “Berlawanan Dengan” seperti pada putusan.
 Tidak akan ditemui kata-kata “Tentang Duduknya Perkara” seperti pada putusan
melainkan langsung diuraikan apa permohonan pemohon.
 Amar penetapan bersifat declaratoire atau constitutoire.
 Kalau ada putusan didahului kata-kata “Memutuskan” maka pada penetapan dengan
kata “Menetapkan”.
 Biaya perkara selalu ditanggung oleh pemohon sedangkan pada putusan dibebankan
kepada salah satu pihak yang kalah atau ditanggung bersama-sama oleh pihak
penggugat dan tergugat tetapi dalam perkara perkawinan tetap selalu kepada
penggugat atau pemohon.
 Dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau interventie atau vrijwaring
Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak maupun untuk dunia
luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk pemohon sendiri, untuk ahli
warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya. Contoh penetapan seperti
pengesahan nikah bagi keperluan pension Pegawai Negeri Sipil dari suami-istri yang
tidak ada sengketa antara keduanya, tetapi dulu-dulunya mereka kawin belum begitu
tertib pencatatan nikah sehingga tidak mempunyai akta nikah.
C. Kekuatan Hukum Akta Perdamaian Dalam Pengadilan Agama
Penyelesaian sengketa yang sering digunakan di Pengadilan Agama adalah melalui
mediasi. Setelah dilaksanakannya proses mediasi yang berujung pada perdamaian maka
dibuatlah akta perdamaian apabila para pihak yang bersengketa mengehendaki untuk
dibuat. Pengertian Akta Perdamaian menurut Pasal 1 angka 10 Peraturan Mahkamah
11
Roihan A Rasyid, S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. III: Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1994), hlm. 210.
Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan,
yang dimaksud dengan akta perdamaian adalah: “Akta yang memuat isi naskah
perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian. Apabila
kedua pihak yang bersengketa berdamai kemudian meminta kepada pengadilan agar
perdamaian itu dijadikan sebagai putusan pengadilan, maka bentuk persetujuan
perdamaian ini disebut akta perdamaian.”
Akta perdamaian (acta van vergelijk) merupakan sebuah perjanjian diantara kedua
belah pihak yang bersengketa untuk berdamai yang dilakukan di muka sidang.12 Akta
perdamaian dibuat dengan sepengetahuan hakim dalam perkara yang berhasil damai di
pengadilan sehingga disamakan dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap, sehingga tidak dapat diajukan banding maupun kasasi, karena hal tersebut
melekatlah kekuatan eksekusi.13
Kekuatan Akta Perdamaian
Akta perdamaian tidak memiliki kekuatan hukum yang memberikan kepastian hukum
bagi para pihak yang bersengketa. Kesepakatan perdamaian akan memiliki kekuatan
hukum yang mengikat saat telah menjadi akta perdamaian melalui putusan hakim dalam
pengadilan agama. Untuk menjadi sebuah akta perdamaian, perjanjian atau kesepakatan
perdamaian tersebut haruslah dimintakan kekuatan kepada majelis hakim seperti yang
telah disebutkan sebelumnya. Jika kesepakatan ini masih belum berbentuk akta
perdamaian, maka kekuatannya sangat lemah, karena kesepakatan tersebut hanya sebatas
perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak, tanpa ada pengawasan oleh lembaga
yang berwenang dalam hal itu. Apabila timbul permasalahan di kemudian hari mengenai
isi akta perdamaian, pengadilan agama melalui panitera atau juru sita yang dipimpin oleh
hakim14 dapat langsung melakukan eksekusi terhadap isi akta perdamaian yang tidak
dilaksanakan. Hal tersebut dilakukan untuk memerhatikan nilai-nilai kemanusiaan dan
keadilan.
Mengenai eksekusi terhadap akta perdamaian, lain halnya jika berbicara mengenai
perceraian. perjanjian atau kesepakatan damai yang dapat dimintakan kekuatan kepada
pengadilan hanya untuk perkara non perceraian. sedangkan untuk perkara perceraian
hanya berbentuk persetujuan damai dengan dicabutnya gugatan cerai yang telah masuk
12
Riko Kurnia Putra, dkk, Gugatan Wanprestasi Atas Putusan Akta Perdamaian Di Pengadilan Negeri
Semarang Putusan Nomor 436/Pdt.G/2014/PN Smg (Diponegoro Law Journal, Volume 5 Nomer 3 Tahun
2016), hlm. 9.
13
Ibid.
14
M. Fauzan, pokok-pokok hukum acara peradilan agama dan mahkamah syar’iyah di indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2007), hlm. 9
dalam pengadilan. Hal tersebut adalah untuk lebih melindungi keluarga yang
bersangkutan. Maksudnya adalah, jika suatu saat salah satu pihak ingin mengajukan
gugatan kembali di pengadilan agama, maka diperbolehkan jika perceraian merupakan
alternatif terakhir yang harus ditempuh oleh para pihak. jika tidak, maka akan muncul
berbagai madharat bagi pihak-pihak tersebut. Seperti kita mengenal suatu kaidah yakni
“jalbul mashaalih wa dar’ul mafaasid”15 yang artinya mewujudkan kemaslahatan dan
menolak kemafsadatan. Jika pernikahan terus dipertahankan sedangkan pernikahan
tersebut akan menimbulkan banyak dampak negatif, maka perceraian adalah cara yang
dianggap lebih baik untuk dilakukan.

15
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 272
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Putusan adalah keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya
sengketa. Putusan mengikat kepada kedua belah pihak. Putusan mempunyai kekuatan
pembuktian sehingga putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat
dilaksanakan eksekusi. Bentuk dan isi putusan yaitu: kepala putusan, nama pengadilan dan
jenis perkara, identitas para pihak, duduk perkara, pertimbangan hukum, amar putusan,
penutup. Putusan pengadilan mempunyai 3 kekuatan yaitu: kekuatan mengikat (bindende
kracht), kekuatan bukti (bewijzende kracht), dan kekuatan eksekusi (executoriale kracht).
Penetapan adalah salah satu produk Pengadilan Agama dalam memeriksa, mengadili,
dan menyelesaikan perkara. Penetapan merupakan keputusan atas perkara permohonan.
Bentuk dan isi penetapan yaitu: Identitas pihak-pihak, tidak ditemui kata-kata “Berlawanan
Dengan”, tidak ditemui kata-kata “Tentang Duduknya Perkara”, amar penetapan bersifat
declaratoire atau constitutoire, pada penetapan dengan kata “Menetapkan”, biaya perkara
selalu ditanggung oleh pemohon, dalam penetapan tidak mungkin ada reconventie atau
interventie atau vrijwaring. Putusan mempunyai 3 kekuatan dan berlaku untuk pihak-pihak
maupun untuk dunia luar (pihak ketiga) tetapi penetapan hanya berlaku untuk pemohon
sendiri, untuk ahli warisnya dan untuk orang yang memperoleh hak daripadanya.
Akta perdamaian adalah akta yang memuat isi naskah perdamaian dan putusan hakim
yang menguatkan kesepakatan perdamaian. Apabila kedua pihak yang bersengketa berdamai
kemudian meminta kepada pengadilan agar perdamaian itu dijadikan sebagai putusan
pengadilan, maka bentuk persetujuan perdamaian ini disebut akta perdamaian. Akta
perdamaian tidak memiliki kekuatan hukum yang memberikan kepastian hukum bagi para
pihak yang bersengketa. Kesepakatan perdamaian akan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat saat telah menjadi akta perdamaian melalui putusan hakim dalam pengadilan
agama.
DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Z. A. (1993). Kumpulan perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama


Cet III. Jakarta: Al-Hikmah.

Fauzan, M. (2007). pokok-pokok hukum acara peradilan agama dan mahkamah syar’iyah di
indonesia. Jakarta: Kencana.

Manan, A. (2015). Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama.


Jakarta: Prenada Media Group.

Muhammad, R. (2006). Potret Lembaga Pengadilan Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

Putra, R. K. (2016). Gugatan Wanprestasi Atas Putusan Akta Perdamaian Di Pengadilan


Negeri Semarang Putusan Nomor 436/Pdt.G/2014/PN Smg. Diponegoro Law
Journal, Volume 5 Nomer 3 .

Rasyid, R. A. (1994). Hukum Acara Peradilan Agama Cet. III. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

Rosyid, R. A. (2013). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sjadzali, M. (1989). Buku Undang-Undang Peradilan Agama Beserta Gambaran Ringkas


Kronologis Pembahasan di DPR RI. Jakarta: PB. Dharma Bhakti.

Syafe’i, R. (2010). Ilmu Ushul Fiqh. Bandung: Pustaka Setia.

Wahyudi, A. T. (2004). Peradilan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyudi, A. T. (2016). Hukum Acara Peradilan Agama Dilengkapi Contoh Surat-surat


Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. Bandung: Mandar Maju.

Anda mungkin juga menyukai