PENDAHULUAN
1
Abdullah Tri Wahyudi. Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) hlm. 51.
2
Ahmad r, “Peradilan Agama Di Indonesia”, Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam,
YUDISIA, Vol. 6, No. 2, (Desember 2015), hlm. 1
1
Untuk dapat mengetahui proses penyelesaian perkara yang diajukan
kepada Pengadilan Agama, dalam tulisan ini pembahasan akan difokuskan pada
tata cara pengajuan perkara di pengadilan Agama.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum peradilan agama?
2. Bagaimana Proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan Agama?
C. Tujuan
1. Untuk megetahui pengertian hukum peradilan agama.
2. Untuk mengetahui Proses Pendaftaran Perkara di Pengadilan Agama.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan
Agama, cet ke 2, Setara Press, Malang: 2016, hlm. 1
4
Abdullah Tri Wahyudi. Peradilan Agama di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004) hlm. 54-55
3
merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
merupakan pengadilan tingkat banding.
5
Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama Indonesia Sejarah, Konsep dan Praktik di Pengadilan
Agama, cet ke 2, Setara Press, Malang: 2016, hlm. 5
6
Ibid’, hlm. 5
7
Rochmat Soemitro, Masalah Peradilan Administrasi dan Hukum Pajak diIndonesia, (Bandung:
Eresco, 1976), hlm. 7
4
2. adanya suatu perselisihan hukum yang konkrit,
3. ada sekurang-kurangnya dua pihak,
4. adanya aparatur peradilan yang berwenang memutuskan perselisihan.
1. Aturan Hukum
8
Marwan Mas, Pengatar Ilmu Hukum (Bogor:Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 70.
9
Indonesia, Undang-Undang tentang Peradilan Agama, UU No. 54 tahun 1989, Pasal 54.
5
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka hukum acara yang
berlaku di Pengadilan Agama sama dengan hukum acara yang berlaku di
Pengadilan Negeri yakni HIR/RBg. Berlakunya HIR/RBg tersebut tidak
untuk semua perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama, tetapi
hanya berlaku atas perkara yang hukum acaranya belum diatur oleh
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Terhadap perkara yang sudah
diatur oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 maka aturan hukum
acara yang terdapat dalam HIR/RBg tidak berlaku di lingkungan Peradilan
Agama. Adapun perkara yang hukum acaranya sudah diatur oleh undang-
undang nomor 7 Tahun 1989 adalah dalam perkara perceraian dengan
alasan syiqaq dan alasan zina.
10
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hlm. 388.
6
Kedudukan keluarga atau orang-orang dekat dalam perkara syiqaq
adalah saksi, bukan sebagai orang yang hanya sekadar memberikan
keterangan saja atau orang yang diminta oleh hakim dalam rangka upaya
perdamaian para pihak yang berperkara dalam perkara gugat cerai biasa.
Oleh karena kedudukan keluarga atau orang-orang dekat dengan suami
isteri itu sebagai saksi, maka hakim harus mendudukan mereka secara
formal dan meteriil sesuai dengan Pasal 145 dan 146 HIR. Jadi sebelum
mereka memberi keterangan di muka persidangan harus disumpah terlebih
dahulu. Keluarga sebagai saksi hanya berlaku dalam perkara perceraian
yang didasarkan alasan perselisihan dan pertengkaran terus menerus dan
ada unsur dharar, serta pecahnya tali perkawinan (syiqaq).
Tentang kapan sebaiknya para hakam itu diperiksa, hal ini kembali
pada pasal 76 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Dalam pasal
tersebut disebutkan bahwa para hakam itu harus diperiksa setelah tahap
pembuktian. Dengan demikian hasil pemeriksaan pembuktian dapat
diinformasikan secara lengkap kepada hakam yang ditunjuk, terutama
tentang sifat dari perselisihan dan persengketaan yang terjadi di antara
suami isteri tersebut. Informasi tersebut dapat dipergunakan oleh hakam
dalam usaha mendamaikan para pihak dan mengakhiri sengketa.
11
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di LingkunganPeradilan Agama (Jakarta:
Prenada Media, 2005), hlm. 460
7
alat bukti tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat
maupun dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya
dapat menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.
8
d. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998,
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank
Indonesia,
f. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan
Zakat,
g. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf,
h. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat
Berharga Syari’ah Negara,
i. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah,
j. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak,
k. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga,
l. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik
m. Peraturan Bank Indonesia yang berkaitan dengan ekonomi
syari’ah,
n. Yursiprudensi
o. Qonun Aceh
12
A.Hamid S.Attamimi, “Kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional,”
dalam Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, ed. Amrullah Ahmad (Jakarta:
Gema Insani Press, 1996), hlm. 153.
9
2. Aparat Hukum Peradilan Agama
a. Hakim
13
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 543.
14
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hlm.117.
10
Tentang syarat beragama Islam bagi hakim Pengadilan Agama,
ada yang beranggapan sebagai syarat yang mengandung cacat
diskriminasi. Sebab dengan syarat tersebut, hukum telah menutup
pintu bagi yang non Islam untuk menjadi hakim di lingkungan
Peradilan Agama. Padahal lingkungan Peradilan Agama sesuai
dengan ketentuan Pasal 13 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009,
termasuk Peradilan Negara. Dengan demikian Peradilan Agama
adalah milik semua bangsa tanpa kecuali. Wajar dan semestinya
terbuka untuk setiap warga negara. Dari satu segi pandangan tersebut
memang benar, akan tetapi ditinjau dari sudut pendekatan
“kekhususan” yang didasarkan pada undang-undang, Peradilan
Agama memiliki ciri khusus yang sangat erat dengan hal-hal sebagai
berikut: Pertama faktor personalitas ke-Islaman, kedua faktor hukum
yang diterapkan, yakni khusus hukum Islam.
Berdasarkan kedua faktor tersebut maka wajar jika orang yang
akan menegakkan hukum dalam Peradilan Agama disyaratkan
beragama Islam. Kemudian dari segi etika, rasanya janggal jika
hukum yang akan diterapkan adalah hukum Islam dan hukum tersebut
akan diperlakukan bagi yang beragama Islam, sedang Hakim yang
menerapkan hukum itu tidak beragama Islam.
Syarat-syarat selengkapnya untuk menjadi hakim Pengadilan
Agama adalah sebagai berikut:
1) warga negara Indonesia,
2) beragama Islam,
3) bertakwa kepada Than Yang Maha Esa,
4) setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
5) sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana
hukum yang menguasai hukum Islam,
6) lulus pendidikan hakim,
7) mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan
tugas dan kewajiban,
8) berwibawa , jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela, (9)
berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun, dan
paling tinggi 45 (empat puluh lima) tahun, dan
9) tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan
kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selain syarat ke-Islaman, tidak ada perbedaan dengan
persyaratan hakim pada umumnya, terutama di lingkungan Peradialn
11
Umum dan Tata Usaha Negara. Semua syarat yang ditentukan dalam
Pasal 13 Undang- Undang Nomor 50 Tahun 2009, merupakan syarat
yang bersifat kumulatif. Semua harus terpenuhi, tidak boleh kurang.
Satu saja syarat tidak terpenuhi maka pengangkatan hakim menjadi
batal.
Selanjutnya mengenai pengangkatan hakim. Pengangkatan
yang dimaksud dengan pengangkatan dalam tulisan ini adalah
berhubungan dengan instansi yang berwenang menetapkan
pengangkatan hakim di lingkungan Peradilan Agama. Mengenai hal
tersebut diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 yang isinya sama dengan ketentuan Pasal 15 Undang-Undang
Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum dan Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Dengan demikian maka pengangkatan hakim di Peradilan
Agama sama persis dengan pengangkatan hakim di lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini
merupakan salah satu isyarat tentang kesamaam derajat antara semua
lingkungan peradilan sebagai peradilan negara.
12
Undang Nomor 50 Tahun 2009. Alasan pemebrehentian
hakim dari jabatannya dengan hormat adalah:
a) atas permintaan sendiri secara tertulis;
b) sakit jasmani atau rokhani secara terus menerus ;
c) telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi hakim
tingkat pertama dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi
hakim Pengadilan Tinggi Agama;
d) ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
13
pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
Hakim sebagai salah satu komponen Peradilan Agama bertugas
untuk memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama.15 Tugas pokok hakim adalah
mengadili, memeriksa dan memutus perkara yang yang dihadapkan
kepadanya, sehingga tidak ada alasan bagi hakim untuk menolak
perkara dengan alasan hukumnya belum ada atau tidak jelas.
Ada tiga tahapan yang harus dilakukan oleh hakim dalam
memeriksa dan mengadili serta menjatuhkan putusan, yakni sebagai
berikut:16
1) Tahap mengkonstatir.
Pada tahap ini, hakim mengkonstatir atau melihat untuk
menentukan ada tidaknya suatu peristiwa yang diajukan
kepada hakim. Untuk memastikan hal tersebut, maka
diperlukan pembuktian, dan oleh karena itu hakim harus
bersandarkan pada alat-alat bukti yang sah menurut hukum.
Alat bukti dalam perkara perdata diatur dalam pasal 164
HIR/Pasal 284 RBg. Menurut pasal tersebut alat bukti terdiri
dari bukti tertulis, saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah.
2) Tahap mengkualifikasi
Pada tahap ini hakim mengkualifisir dengan menilai
peristiwa kongret yang telah dianggap benar-benar terjadi itu,
termasuk hubungan hukum apa atau hubungan yang bagaimana
atau menemukan hukum untuk peristiwa-peristiwa tersebut.
Dengan kata laian mengkwalifisir berarti mengelompokan atau
menggolongkan peristiwa kongkret tersebut masuk dalam
kelompok atau golongan peristiwa hukum.
Jika peristiwanya sudah terbukti dan peraturan
hukumnya jelas dan tegas, maka penerapan hukumnya akan
mudah, tetapi jika hukumnya tidak jelas atau tidak tegas
hukumnya , maka hakim bukan lagi harus menemukan
hukumnya saja, tetapi lebih dari itu hakim haris menciptakan
hukum, yang tentu saja tidak boleh bertentangan dengan
keseluruhan sistem hukum perundang- undngan dan memenuhi
pandangan serta kebutuhan masyarakat.
15
M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2007), hlm.100
16
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1991), hlm.
92-94
14
3) Tahap mengkonstituir
b) Panitera
Panitera adalah pegawai negeri sipil yang menyandang jabatan
fungsional sebagai administratur perkara yang bekerja berdasarkan
sumpah jabatan untuk menjaga kerahasiaan setiap perkara.18
1) Fungsi Panitera
Pada prinsipnya managemen peradilan di Indonesia dipimpin
oleh seorang panitera. Oleh karena itu seorang panitera harus
mampu menjalankan fungsi managerial dan fungsi operatif.
Fungsi managerial mengatur semua kegiatan dan keikutsertaan
karyawan dalam kegiatan organisasi. Sedangkan fungsi operatif
menentukan jumlah dan mutu tenaga kerja sesuai dengan
17
Ahmad Zaenal Fanani, “Berfikir Falsafati dalam Putusan Hakim,” Varia Peradilan 304 (Maret,
2011), hlm. 55.
18
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformas (Jakarta:
Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 542
15
kebutuhan untuk mencapai tujuan organisasi.19
Fungsi Panitera pada dasarnya mencakup lima hal :
a) Menyusun kegiatan administrasi perkara serta
melaksanakan kordinasi dan sinkronisasi yang berkaitan
dengan persidangan.
b) Mengurus daftar perkara, administrasi perkara, administrasi
keuangan perkara dan administrasi pelaksanaan putusan
perkara perdata.
c) Menyusun stastistik perkara, dokumentasi perkara, laporan
perkara dan yurisprudensi
d) Lain-lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.
2) Tugas Panitera
19
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, Dan Tanggung
Jawab,(Jakarta: Mahkamah Agung, 2007), hlm.19.
20
Direktorat Jenderal Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pedoman
Pembinaan Peradilan Agama, (Jakarta: Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2007), hlm. 34
16
(1) Membantu hakim dengan menghadiri dan
mencatat jalannya sidang pengadilan.
(2) Menyusun berita acara persidangan.
(3) Memberitahukan putusan verstek dan putusan di luar
hadir.
(4) Melegalisir surat-surat yang akan dijadikan bukti
dalam persidangan.
(5) Mengirimkn berkas perkara yang dimohonkan
banding, kasasi dan peninjauan kembali.
c) Juru Sita
Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya juru
sita dan juru sita pengganti .Tugas Juru Sita sebagaimana
diatur dalam Pasal 103 Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 adalah sebagai berikut :
(1) melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh
Ketua Sidang,
(2) menyampaikan pengumuman, teguran, dan
pemberitahuan putusan Pengadilan berdasarkan
ketentuan undang-undang,
(3) melakukan penyitaan atas perintah Ketua
Pengadilan,
(4) membuat berita acara, yang salinan resminya
diserahkan kepada pihak-pihak yang
berkepentingan.
21
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Panitera Pengadilan, Tugas, Fungsi, Dan Tanggung
Jawab,(Jakarta: Mahkamah Agung, 2007), hlm. 40
17
Juru sita berwenang untuk melakukan tugasnya di
daerah hukum Pengadilan Agama dimana Juru Sita tersebut
bertugas. Hal tersebut diatur dalam Pasal 103 ayat 2 Undang-
Undang Nomor 7 tahun 1989. Dengan demikian ketika Juru
Sita harus memanggil orang yang berada di wilayah luar
Pengadilan Agama dimana dia bertugas, maka ia harus minta
bantuan ke juru sita Pengadilan Agama wilayah lain.Prosedur
yang sperti ini akan memakan waktu yang cukup lama
sehingga akan menghambat penyelesaian perkara.
Juru Sita/Juru sita pengganti dalam kontek kelembagaan
bertanggung jawab kepada Ketua Pengadilan Agama,
sedangkan secara administratif Juru Sita/Juru Sita Pengganti
bertanggung jawab kepada Panitera. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 8 Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: KMA/055/SK/X/1996 yang menentukan
sebagai berikut:
(1) Dalam hal ditunjuk melakukan ekseksusi,Juru Sita
atau Juru Sita Pengganti bertanggung jawab
kepada Ketua Pengadilan.
(2) Dalam hal melaksanakan perintah
pemanggilan/penyampaian pengumuman, teguran,
protes-protes dan pemberitahuan, Juru Sita atau
Juru Sita Pengganti bertanggung jawab kepada
Ketua Pengadilan/Ketua Sidang Dalam hal
melakukan sita, Juru Sita atau Juru Sita Pengganti
bertanggung jawab kepada Ketua
Pengadilan/Ketua Sidang.
22
Roihan A. Rasyid. Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada,
2015) hlm. 10
18
Surat gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditandatangani
diajukan ke Kepaniteraan Peradilan Agama. Surat gugatan diajukan pada Sub
Kepaniteraan Gugatan. Sedang permohonan pada Sub Kepaniteraan
Permohonan. Sesuai dengan asas hukum acara Peradilan Agama, “Berperkara
harus dengan biaya”. Maka Pemohon atau Penggugat harus membayar biaya
panjar perkara. Besarnya panjar biaya perkara berdasarkjan penaksiran yang
dilakukan oleh petugas kepaniteraan. Hasil penaksiran tersebut dituangkan
dalam Surat Kuasa Untuk Membayar.23
Sewaktu kepaniteraan Pengadilan Agama menerima berkas, surat
gugatan atau permohonan itu akan diteliti dan penelitian itu menyangkut dua
hal:
a. Apakah surat gugatan atau permohonan itu sudah jelas, benar tidak
tukar balik mulai dari identitas pihak-pihak, bagian posita dan tentang
petitanya, apakah posita sudah terarah sesuai dengan petita dan
sebagainya,
b. Apakah perkara tersebut termasuk kekuasaan Pengadilan Agama, baik
kekuasaan relatif maupun kekuasaan absolut.24
Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi
untuk menyelesaikan perkara tersebut, yang berdasarkan pasal 193 R.Bg/pasal
182 ayat (1) HIR/pasal 90 ayat (1) UU-PA, meliputi:
a. Biaya Kepaniteraan dan biaya materai.
b. Biaya pemeriksaan, saksi ahli, juru bahasa, dan biaya sumpah.
c. Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan Hakim yang lain.
d. Biaya panggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah Pengadilan
yang berkenaan dengan perkara itu.
Biaya yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo
(cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut dibuktikan dengan melampirkan
surat keterangan dari Lurah/Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh
Camat. Perkara prodeo didaftarkan setelah mendapatkan surat penetapan
bahwa perkara yang diajukan adalah perkara prodeo.25
23
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. (Bandung: MandarMaju, 2018) hlm. 115.
24
Aris Bintania. Hukum Acara Peradilan Agama dalam Kerangka Fiqh al-Qadha
(Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2013)
25
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. (Bandung: MandarMaju, 2018) hlm. 117.
19
panjar biaya perkara sesuai dengan yang tertera pada SKUM tersebut. Kasir
kemudian:
a. Menerima uang tersebut dan mencatat dalam jurnal biaya perkara.
b. Menandatangani dan memberi nomor perkara serta tanda lunas pada
SKUM tersebut.
c. Mengembalikan surat gugat/permohonan dan SKUM kepada calon
penggugat/pemohon.
d. Menyerahkan uang panjar tersebut kepada Bendaharawan perkara.
3. Pendaftaran Perkara
Calon penggugat/pemohon kemudian menghadap pada Meja II dengan
menyerahkan Surat Gugatan/Permohonan dan SKUM yang telah dibayar
tersebut. Kemudian Meja II:
a. Memberi nomor pada Surat Gugatan/Permohonan sesuai dengan
nomor yang diberikan oleh Kasir. Sebagai tanda telah terdaftar maka
petugas Meja II membubuhkan paraf.
b. Menyerahkan satu lembar surat gugatan/permohonan yang telah
terdaftar bersama satu helai SKUM kepada penggugat/pemohon.
c. Mencatat Surat Gugatan/Permohonan tersebut pada Buku Register
Induk Perkara Permohonan atau Register Induk Perkara Gugatan
sesuai dengan jenis perkaranya.26
d. Memasukkan Surat Gugatan/Permohonan tersebut dalam Map Berkas
Perkara dan menyerahkan kepada Wakil Panitera untuk disampaikan
kepada Katua Pengadilan melalui Panitera.
26
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hlm. 61
20
umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan. PMH dibuat dalam
Register Induk Perkara yang bersangkutan.
PMH yang terdiri dari satu orang hakim sebagai ketua majelis dan dua
orang hakim sebagai hakim anggota serta panitera sidang. Apabila belum
ditetapkan panitera sidang yang ditunjuk ketua majelis hakim dapat menunjuk
panitera sidang sendiri. Setelah ada penetapan Majelis Hakim, ketua
pengadilan agama menyampaikan berkas perkara kepada hakim yang
ditunjuk melalui panitera pengadilan.27
27
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. (Bandung: MandarMaju, 2018) hlm. 117.
28
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hlm. 62
21
3. Penetapan Hari Sidang
Ketua Majelis setelah menerima berkas perkara tersebut, bersama-
sama hakim anggotanya mempelajari berkas perkara. Ketua kemudian
menetapkan hari dan tanggal serta jam kapan perkara itu akan disidangkan
serta memerintahkan agar pihak dipanggil untuk datang menghadap pada
hari, tanggal, dan jam yang telah ditentukan itu.
Penetapan hari sidang disesuaikan dengan kondisi para pihak yang
dipanggil berdasarkan jauh tidaknya lokasi tempat tinggalnya. Penetapan hari
sidang dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Bagi pihak yang berada di wilayah Indonesia dan diketahui tempat
tinggalnya dilakukan selambat-lambatnya 30 hari setelah perkara
didaftarkan.
b. Bagi yang berada di luar negeri selambat-lambatnya 6 bulan sejak
perkara didaftarkan.
c. Bagi yang tidak diketahui tempat tinggalnya dilakukan paling
lambat 4 bulan sejak perkara di daftarkan.29
Kepada para pihak diberitahukan pula bahwa mereka dapat
mempersiapkan saksi-saksi dan bukti-bukti yang akan diajukan dalam
persidangan. Perintah tersebut dilakukan dalam sebuah “Penetapan” yang
ditandatangani oleh Hakim/Ketua Majelis.
Tanggal penetapan hari sidang dan tanggal sidang pertama harus
dicatat dalam Register Induk Perkara yang bersangkutan. Demikian pula
tanggal penundaan sidang kedua dan seterusnya serta alasan-alasan
penundaannya juga dicatat dalam Register tersebut.
4. Pemanggilan Pihak-Pihak
29
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. (Bandung: MandarMaju, 2018) hlm. 118
22
pihak yang terlibat dalam suatu perkara di pengadilan, agar memenuhi dan
melaksanakan hal-hal yang diminta dan diperintahkan majelis hakim atau
pengadilan.30
a. Aturan Umum
30
Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Hlm, 213
23
kurangnya 3 hari kerja (tidak termasuk hari libur
didalamnya).31
(5) Apabila pihak yang dipanggil tidak diketahui tempat
tinggal atau tempat kediamannya, pemanggilan dilakukan
dengan cara:
- Panggilan dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang
waktu 1 bulan antara panggilan pertama dengan panggilan
kedua dengan pelaksanaan hari sidang sekurang-kurangnya
3 bulan.
- Panggilan ditempel di papa pengumuman pengadilan
bersama salinan gugatan/permohonan dan mengumumkan
melalui media massa.
(6) Panggilan bagi pihak yang berada di luar negeri panggilan
disampaikan melalui perwakilan Indonesia setempat dengan
tenggang waktu sekurang-kurangnya 6 bulan sebelum
persidangan.32
b. Aturan Khusus
Khusus mengenai perkara perceraian, tata cara pemanggilan diatur
tersendiri pada pasal 26 sampai dengan 29 PP No. 9/1975.
d. Tatacara pemanggilan
31
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hlm. 63
32
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. (Bandung: MandarMaju, 2018) hlm. 117.
33
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hlm. 65
24
(1) Hakim/Ketua setelah menerima berkas perkara dari Ketua
Pengadilan Agama, mempelajarinya dengan seksama bersama
Hakim-Hakim Anggotanya.
(2) Hakim/Ketua Majelis, setelah bermusyawarah dengan hakim-
hakim anggotanya menetapkan hari dan tanggal serta jamnya
kapan perkara itu akan disidangkan dan memerintahkan agar
para pihak dipanggil untuk hadir dalam sidang tersebut.
(3) Penetapan dan perintah tersebut dituangkan dalam
“Penetapan” hari sidang (PHS) yang ditandatangani oleh
Hakim atau Ketua Majelis.
(4) Hakim menantangani formulir PGL 1 dan 2 yang telah diisi
sesuai dengan PHS-nya
(5) Panggilan dilakukan oleh jurusita/jurusita pengganti yang
telah diangkat dan disumpah.
(6) Berdasarkan perintah hakim tersebut, jurusita yang ditunjuk
menghadap pada kasir untuk meminta ongkos jalan guna
melaksanakan pemanggilan tersebut dengan menyerahkan
formulir PGL 1 dan 2.
(7) Jurusita mempersiapkan Relaas atau berita acara panggilan
(8) Pemanggilan disampaikan langsung kepada pribadi yang
bersangkutan ditempat tinggalnya, dan jika tidak bertemu
dirumahnya maka panggilan disampaikan lewat kepala
desa/lurah yang bersangkutan.
(9) Orang yang menerima panggilan harus menandatangani
Relaas panggilan tersebut.
(10) Apabila panggilan disampaikan mealui lurah, maka berita
acara panggilan harus dibubuhi cap dinas.
(11) Apabila yang dipanggil tidak mau menandatangani Relaas,
atau lurah tidak mau memberikan cap dinas, hal itu dicatat
oleh jurusita didalam Relaas tersebut dan hal itu tidak
mengurangi sahnya Relaas panggilan tersebut.
25
(12) Jurusita menandatangani Relaas tersebut.
(13) Lurah harus menyampaikan panggilan itu kepada pihak yang
dipanggil.
(14) Panggilan harus sudah diterima oleh para pihak dalam
tenggang waktu sekurang-kurangnya 3 hari kerja sebelum
sidang dibuka.
(15) Jika yang dipanggil sudah meninggal dunia, maka panggilan
disampaikan kepada ahli warisnya.
(16) Dalam perkara perceraian, jika yang dipanggil telah
meninggal dunia, maka hal itu dicatat dalam Relaas panggilan
sebagai dasar bagi Hakim untuk menggugurkan perkara.
(17) Apabila pihak yang dipanggil telah menunjuk kuasa
hukumnya yang telah didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan
Agama, maka panggilan disampaikan kepada kepada kuasa
hukumnya.
(18) Jurusita menyerahkan Relaas panggilan tersebut kepada
Majelis Hakim yang memeriksa perkara itu.34
Segala sesuatu yang terjadi dalam pemanggilan para pihak dicatat
oleh juru sita/ juru sita pengganti yang memanggil dalam berita acara
panggilan. Setelah panggilan dilaksanakan berita acara disampaikan
kepada majelis hakim yang memeriksa perkara sebagai bukti bahwa
para pihak telah dipanggil.
Panggilan kepada para pihak yang berperkara harus dilakukan
dengan teliti, cermat, hati-hati, dan waspada karena ketidakhadiran para
pihak akan mengakibatkan konsekuensi yang berat bagi masing-masing
pihak.35
34
Mukti Arto. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2011) hlm. 65-68
35
Abdullah Tri Wahyudi. Hukum Acara Peradilan Agama dilengkapi Contoh Surat-surat
Dalam Praktik Hukum Acara di Peradilan Agama. (Bandung: MandarMaju, 2018) hlm. 119.
26
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Peradilan Agama adalah peradilan khusus bagi orang-orang yang
beragama islam dan mengadili perkara-perkara tertentu (pasal 2).
2. Proses Pendaftaran perkara di Pengadilan Agama
27
4. Pemanggilan Pihak-Pihak
28
29