Anda di halaman 1dari 21

RESUME HUKUM PIDANA

A. PENGANTAR HUKUM PIDANA


 Hukum Pidana ialah Hukum yang dibentuk oleh Negara atau
pemerintah yang berisi keharusan atau larangan terkait suatu
perbuatan tertentu dan akan dikenakan sanksi bagi siapa saja yang
melanggar.
 Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelanggar agar dapat
dikenakan sanksi pidana:
a) Kesalahan.
b) Pertanggungjawaban pidana terhadap diri si pelanggar.
Terdapat pengecualian yaitu terhadap orang jiwanya cacat
dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, maka
perbuatan tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya.
 Pembagian Hukum Pidana meliputi:
a) Berdasarkan wilayah berlakunya (Pidana umum dan hukum
pidana lokal).
b) Berdasarkan bentuknya (tertulis (dikodifikasikan dan tidak
dikodifikasikan) dan tidak tertulis).
c) Berdasarkan kepada siapa berlakunya (hukum pidana umum
dan hukum pidana khusus).
d) Berdasarkan hokum pidana materiil dan formil.
 Sifat dari hukum pidana ialah bersifat publik sebab,hukum pidana
merupakan hukum yang mengatur kepentingan publik (masyarakat
umum), hal ini ditandai dengan ciri-ciri hukum public yaitu sebagai
berikut :
a) Mengatur hubungan kepentingan negara atau asyarakat
dengan masing-masing individu. Kedudukan individu tidak
lebih tinggi dibandingkan dengan penguasa.
b) Penuntutan terhadap subjek hukum yang melanggar ialah
bergantung terhadap negara yang telah diatur berdasarkan
KUHP/UUD yang dimana hal tersebut sesuai dengan
wewenangnya.
 Sumber hukum pidana dari segi yuridis merupakan penerapan
dan penjabaran secara langsung adri sumber hukum segi filosofis
dan ideologis yang dibedakan antara sumber hukum formil yang
terdiri atas undang-undang, kebiasaan, traktat, yurisprudensi,
doktrin. Sumber hukum materiil yaitu diliat dari isinya misalnya
KUHP, KUHAcara Pidana. Undang-undang No.20 Tahun 2001
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-Undang
No.31 Tahun 1997 tentang peradilan militer.
 Ilmu pembantu dalam hukum pidana yaitu:
a) Kriminologi.
b) Social criminal.
c) Antropologi criminal.
d) Psikologi criminal.
e) Viktimologi.
B. PENAFSIRAN DALAM HUKUM PIDANA
 penafsiran bertujuan untuk mencari dan menemukan apa yang
dimaksud dalam undang-undang yang telah disampaikan namun
dengan kurang jelas untuk dipahami. Maka perlu diperhatikan
apabila susunan kata-kata/istilah sudah tegas, maka arti dari istilah
tersebut yang harus digunakan sebagai penafsiran.
 Metode Penafsiran dalam Hukum Pidana:
a) Penafsiran secara otentik, yaitu mencari pasal-pasal dalam
undang-undang itu sendiri. BAB 1KUHP tentang ketentuan
umum (Pasal 1) yang memuat pengertian beberapa istilah
yang digunakan oleh KUHP.
b) Penafisran menurut penjelasan Undang-Undang, yaitu
setiap undang-undang memuat penjelasan, baik penjelasan
umum ataupun penjelasan terhadap pasal.
c) Penafsiran sesuai dengan Jurisprudensi, yaitu dengan
mencari tafsir dalam putusan kasasi Mahkamah Agung,
putusan banding Pengadilan Tinggi, dan Putusan
Pengadilan/Mahkamah pada tingkat I yang telah
memperoleh kekuatan hokum tetap.
d) Penafsiran menurut tata bahasa (Gramatika), yaitu
menafsirkan kata-kata dalam UU sesuai dengan kaidah
bahasa (penafsiran obyektif).
e) Penafsiran Sejarah (historis), mencari maksud perundang-
undangan seperti apa yang terlihat oleh pembentuk UU
ketika undang-undang terbentuk. Penafsiran ini bersumber
dari dokumen ppembahasan di lembaga legislatif ketika UU
dibahas.
f) Penafsiran Sistematis, mencari hubungan antara bagian
yang satu dengan yang lainnya dalam UU itu sendiri.
Sehingga UU dipandang sebagai system yang utuh.
g) Penafsiran Mempertentangkan (Argumentum a Contrario).
Jika UU menetapkan hal-hal tertentu maka peraturan
tersebut hanya berlaku dan terbatas hanya untuk
hal/peristiwa tertentu dan bagi peristiwa diluarnya maka
harus mencari kebalikan pengertian suatu istilah.
C. Asas Legalitas.
 Berlakunya asas legalitas memberikan sifat perlindungan kepada
undang-undang pidana yaitu UU pidana melindungi rakyat terhadap
pelaksanaan kekuasaan yang tanpa batas dari pemeritah. UU
pidana dalam batas-batas yang ditentukan dalam UU, pelaksanaan
oleh pemerintah secara tegas diperbolehkan.
 Sejarah Asas Legalitas Di dalam catatan sejarah tercatat bahwa
lahirnya pemikiran terkait pentingnya Asas legalitas yaitu dimulai
pada saat Kekaisaran Romawi Kuno yang dipimpin oleh Kaisar
Yustianus dimana pada masa tersebut, hukum pidana bersumber
pada hokum tidak tertulis. Pada masa tersebut kekuasaan negara
bersifat mutlak dengan kekuasaan raja yang bersifat mutlak.
Sehingga timbullah kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh
pejabat dan para hakim dapat menghukum seseorang berdasarkan
atas pandangan pribadinya atau manusia dipandang sebagai objek
bukan subjek hukum. Sehingga timbul pemikiran bahwa hukum
pidana harus bersumber pada undang-undang agar dapat
menjamin hak asasi manusia sehingga seseorang tidak dapt diadili
berdasarkan atas keputusan pribadi sebagaimana yang tertera
dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP bahwa “ tidak ada delik,tidak ada
hukuman tanpa ada peraturan yang mengatur sebelumnya”.
 Makna asas legalitas yaitu ketentuan hukum pidana berdasarkan
peraturan-peraturan tertulis, ketentuan pidana tidak boleh berlaku
surut, tidak ada penerapan pidana secara analogi, seseorang tidak
dapat dipidana hanya berdasarkan kebiasaan, tidak boleh ada
rumusan delik yang kurang jelas, tidak ada pidana kecuali yang
ditentukan oleh UU, dan penuntutan pidana hanya menurut cara
yang ditentukan UU.
 Fungsi dan tujuan asas legalitas yaitu:
a) Fungsi Instrumental, bahwa tidak ada perbuatan pidana
yang tidak dituntut.
b) Fungsi melindungi, bahwa tidak ada pemidanaan kecuali
atas dasar UU.
D. LINGKUNGAN KUASA BERLAKUNYA HUKUM PIDANA

 Lingkungan kuasa berlakunya hukum pidana yaitu terbagi menurut


waktu, tempat serta orang, berikut adalah penjelasannya:
a) Berlakunya hukum pidana menurut waktu Pasal 1 ayat 1
KUHP Sesuai yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP
yang mengatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan
perundang-undangan pidana yang telah ada”. Maka apabila
perbuatan tersebut telah dilakukan orang setelah suatu
ketentuan pidana menurut undang-undang itu benar-benar
berlaku, pelakunya itu dapat dihukum dan dituntut
berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam ketentuan
pidana tersebut.
b) Menurut tempat/orang terdapat 4 asas yaitu:
 Asas teritorialitas (wilayah), bahwa berlakunya undang-
undang pidana suatu negara didasarkan pada tempat
dimana perbuatan itu dilakukan. Tempat tersebut terletak di
dalam wilayah negara berlakunya hukum pidana seperti
yang tertera pada Pasal 2 KUHP, ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang
yang dalam wilayah Indonesia melakukan perbuatan pidana.
 Asas Nasionalitas Aktif (Personalitas), berlakunya UU
Pidana suatu negara didasarkan pada
kewarganegaraannya. Hal ini diartikan bahwa hukum pidana
yang berlaku di suatu negara mengikuti warga negaranya
kemana pun dan dimanapun ia berada.
 Asas Nasionalitas Pasif, yaitu berlakunya undang-udang
pidana suatu negara yang didasari oleh kepentingan hukum
negara itu sendiri.apabilla kepentingan hukum negara yang
menganut asas ini dilanggar, baik oleh warga negaranya
maupun orang asing, dilakukan baik didalam maupun diluar
wilayah negara yang menganut asas tersebut.
 Asas universalitas, yaitu UU pidana suatu negara yang
menganut asas tersebut dapat diperlakukan terhadap siapa
pun yang melanggar kepentingan umum (dunia) yang
bersifat universal. Namun terdapat pengecualian dalam
hukum internasional yaitu duta besar, utusan, staf pegawai
dan kelaurga (hak kekbalan diplomatik).
E. TINDAK PIDANA
 Delik disinonimkan dengan tindak pidana, maka delik merupakan
perubuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang,
mengandung unsur melawan hukum, terdapat kesalahan dan dapat
perbuatan yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya.
 Hukum pidana Indonesia didasarkan terhadap perbuatan dan
pembuatnya sehingga tindak pidana dan pertanggungjawaban
pidana memperoleh hubungan yang jelas.
 Usnur-unsur dalam tindak pidana yaitu:
a) Aliran monisme
Unsur
 mencocoki rumusan delik. obyektif
 bersifat melawan hukum (tidak ada alasan (Perbuatan)

pembenar)
 ada kesalahan (tidak ada alasan pemaaaf). (Unsur
Subjektif).
 kemampuan bertanggungjawab. (Unur Subjektif).
b) Aliran dualism:
 Mencocoki rumusan delik.
 Bersifat melawan hukum.
 Ada kesalahan.
 Kemampuan bertanggungjawab.
 Jenis-jenis tindak pidana berdasarkan berdasarkan code penal
membagi atas 3 bagian yaitucrimen (misdaden) kejahatan, Delicta
(wanbedrijven) yaitu perbuatan yang tak patut, contravention yaitu
pelanggaran.
 Pembagian delik menurut system Hukum Pidana Indonesia:
a) Pembagian delik menurut KUHP, yaitu kejahatan tertera
dalam Buku II (bab I-XXXI) Pasal 104-488. Dan pelanggaran
yang tertera dalam Buku III (Bab I-IX) Pasal 489-569. Bahwa
kejahatan merupaka perbuatan yang memang selain
melangar UU juga dipandang patut dipidana oleh
masyarakat dengan ancaman pidana lebih berat. Sedangkan
pelanggaran adalah perbuatan yang melanggar UU namun
belum tentu melanggar kepatutan dalam masyarakat. Serta
peraturan UU lain diluar KUHP dalam bentuk UU yang
menentukan apakah suatu perbuatan termasuk dalam
kejahatn atau pelanggaran, Contoh: UU No.5 Tahun 1997
tentang Psikotropika.
b) Pembagian delik menurut penilaian kesadaran hukum,
yaitu terdiri atas delik hukum dan delik Undang-undang.
Delik hukum merupakan perbuatan yang dipandang sebagai
tindakan yang bertentangan dengan hukum (mengandung
sifat ketidakadilan) sebelum adanya peraturan yang
menyatakan mengenai perbuatan tersebut. Delik undang-
undang sendiri merupakanperbuatan yang dipandang
sebagai tindakan yang bertentangan dengan hukum setelah
adanya peraturan yang dinyatakan dalam UU.
c) Pembagian delik menurut cara perumusannya, Terdiri
atas delik formiil dan delik materiil. Delik formil yang
dirumuskan ialah tindakan yang dilarang dengan tidak
mempersoalkan akibat dari tindakannya dilarang. Contoh:
Pasal 362 KUHP (pencurian). Dan delik materiil yang
dimana selain tindakan yang dilarang dan juga harus ada
akibat yang ditimbulkan dari tindakan yang dilarang.
Contohnya Pasal 338 KUHP (pembunuhan)maka harus ada
orang yang mati terbunuh.
d) Pembaian delik menurut cara melakukannya, Delik komisi
yaitu delik yang terjadi karena melakukan suatu tindakan
aktif yang dilarang seperti pada Pasal 338, Pasal 284
(perzinahan) KUHP. Delik omisi yaitu delik yang terjadi
karena tidak melakukan sesuatu perbuatan yang diharuskan.
Contoh: Pasal 531 (tidak memberikan pertolongan kepada
orang yang dalam keadaan bahaya maut). Dan delik
komisionis per Omisionis komise yaitu delik yang terjadi
karena melakukan dan tidak melakukan sesuatu. Contoh
Pasal 341 (pembunuhan anak) dengan cara tidak
memberimakanan (asi) dan mencekik lehernya.
e) Pembagian delik menurut bentuk kesalahan, Yaitu delik
dolus yang merupakan delik yang terjadi karena
kesengajaan dan delik culpa yaitu delik yang terjadi karena
kelalaian/kealpaan.
f) Pembagian delik menurut subyek, Yaitu delik umum yang
meurpakan delik yang dapat dilakukan oleh siapa saja dan
delik khusus terkhusus pada orang-orang tertentu yang
dikualifisir melakukannya seperti KUHP Militer.
g) Pembagian delik menurut ancaman pidana terhadap
ancaman pidana pokoknya, Yaitu terbagi atas, delik pokok
(bentuk pokok), delik diperberat (dikualifisir), dan delik
diperringan (diplivisier).
h) Pembagian delik menurut cara penuntutanya, yaitu delik
biasa merupakan delik yang harus dituntut meskipun tidak
ada pengaduan dari korban atau orang yang dirugikan.
(pembunuhan, pencurian, korupsi). Delik aduan sendiri
merupakan delik yang hanya bias dituntut jika ada
pengaduan dari korban atau pihak yang dirugikan
(persinahan, penghinaan).
F. KAUSALITAS
 Kausalitas merupakan ajaran yang menjelaskan mengenai
hubungan antara perbuatan dengan akibat, yang sekiranya dari
perbuatan tersebut yang menjadi sebab timnulnya akibat sehingga
menjadi perbuatan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam
hukum pidana.
 Teori kausalitas terbagi atas tiga:
a) Teori syarat mutlak Conditio Sine Qua Non ( Von Buri) yang
menyatakan bahwa setiap perbuatan harus menjadi sebab
dan syarat dari suatu akibat. Setiap perbuatan menjadi
sebuah faktor dari terjadinya sebuah akibat dan memiliki nilai
yang sama.
b) Teori mengindividualisir yaitu menjadi sebab dari akibat
namun terbatas hanya berdasarkan suatu peristiwa yang
dianggap paling dekat dengan timbulnya akibat.
c) Teori keseimbangan/ adequate (von Kries) bahwa yng
menjadi syarat sebagai sebab dari akibat harus seimbang
dengan akibat tersebut.
G. UNSUR PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA
 Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) merupakan
pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah
seseorang terdakwa atau tersangka dipertangungjawabkan atas
suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.. maka untuk dapat
dipidananya pelaku, diharuskan perbuatan yang dilakukannya
memenuhi unsur delik yang telah ditentukan dalam UU. Dilihat dari
sudut terjadinya, seseorang dapat dipidana apabila tindakannya
melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar. Dan berdasarkan
sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang
mampu bertanggungjawab yang dapat dipertanggungjawabkan
atas perbuatannya
a) Unsur pertanggungjawaban pidana yaitu, kemampuan
berpikir sehingga ia dapat menentukan akibat perbuatannya
dan menentukan kehendak dari perbuatannya.
b) Syarat-syarat terhadap orang yang dapat
dipertanggungjawabkan ialah jiwa orang tersebut tidak
terganggu oleh karena penyakit atau karena pertumbuhan
jiwanya cacat, sehingga orang tersebut sadar akibat yang
timbul dari perbuatannya.
 Definisi mengenai kesalahan yaitu terdapatnya keadaan psikis
tertentu pada seseorang yang melakukan tindak pidana dan
adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang
dilakukannya, sehingga pelaku dapat dijatuhkan ancaman pidana.
a) Unsur-unsur kesalahan yaitu, adanya kemampuan
bertanggungjawab oleh si pelaku, adanya hubungan batin
antara sipelaku dengan perbuatannya, baik yang disengaja
(dolus) maupun karena kealpaan (culpa). Tidak tidak adanya
alasan pemaaf yang dapat menghapus kesalahan.
b) Teori-teori kesengajaan:
 Teori Determinisme merupakan teori Kehendak
manusia itu sudah ditentukan terlebih dahulu oleh
suatu pengaruh, Tindakan manusia sbg perwujudan
kehendak yg dikendalikan atau dipaksakan oleh
Dirinya sendiri atau karena lingkungan. Dan Teori
Indeterminisme Pertanggungjawaban sbg akibat dr
tindak pidana yg dilakukannya merupakan
perwujudan dari kehendak bebasnya.
 Teori Kehendak (wils theorie) oleh Von Hippel,
meurpakan menganggap kesengajaan ada apabila
perbuatan dan akibat suatu tindak pidana memang
dikehendaki oleh pelaku. Dan Teori
Pengetahuan/membayangkan (voorstellings-theorie)
oleh Frank, yang menganggap kesengajaan ada
apabila Ketika pelaku mulai melakukan perbuatan,
ada bayangan yg terang, bahwa akibat akan tercapai,
oleh karena itu ia menyesuaikan perbuatannya
dengan akibat itu.
 Teori kesengajaan berwarna, Bahwa agar seseorang
dapat dipersalahkan/dipidana maka selain ia harus
menghendaki perbuatannya, ia juga harus menyadari
bahwa perbuatannya dilarang dan diancam pidana
oleh UU. Dan Teori kesengajaan tidak berwarna
berpandangan bahwa seseorang melakukan tindak
pidana sudah cukup hanya dengan menghendaki
perbuatannya dengan tidak diharuskan mengetahui
atau menyadari bahwa perbuatannya dilarang dan
diancam UU
 Kesengajaan (dolus) sebagai niat berarti apabila perbuatan yg
dilakukan atau terjadinya akibat adalah memang sudah menjadi
tujuan si pelaku. Senagaja insyaf akan kepastian Berarti apabila
perbuatan yg dilakukan / terjadinya suatu akibat bukanlah tujuan
utama yg dituju, dan utk mencapainya pasti/harus melakukan
perbuatan tertentu. Sengaja insyaf akan kemungkinan Berarti
apabila dengan dilakukannya perbuatan / terjadinya suatu akibat yg
dituju itu, maka disadari adanya kemungkinan akan timbulnya
akibat lain.
 Kelapaan (culpa) dalam KUHP yaitu karena kesalahannya missal
pada pasal 181, 191 KUHP. Kemudian terdapat bentuk-bentuk
kealpaan yang ditinjau dari dua sudut yaitu sudut berat ringannya.
yang terdiri dari kealpaan berat (culpa lata), kejahatan karena
kealpaan/Buku II KUHP, dan kealpan ringan (culpa levis)
pelanggaran/Buku III KUHP.
 Bentuk kealpaan yaitu dilihat dari sudut kesadaran.
Kealpaan Disadari (bewuste schuld)Terjadi apabila pembuat
dapat membayangkan atau memperkirakan kemungkinan
timbulnya suatu akibat yang menyertai perbuatannya.
Kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld), terjadi
apabila pembuat tidak membayangkan atau memperkirakan
kemungkinan timbulnya suatu akibat yang menyertai
perbuatannya, tetapi seharusnya ia dapat membayangkan
atau memperkirakan kemungkinan suatu akibat tersebut.
H. UNSUR MELAWAN HUKUM
 Unsur melawan hukum artinya bertentangan dgn hukum, bukan
saja dengan hak orang lain (hukum subyektif), tetapi juga dg hukum
obyektif, seperti hukum perdata atau hukum administrasi negara.
 Rumusan melawan hukum dalam delik, dengan mengakui bahwa
sifat melawan hukum adalah mutlak dari tindak pidana, tidak berarti
unsur tersebut harus selalu dibuktikan oleh penuntut umum. Hal
tersebut tergantung dari rumusan tindak pidana itu sendiri. Apabila
dinyatakan dengan tegas maka unsur tersebut harus dibuktikan.
Kalau tidak dinyatakan dengan tegas, maka juga tidak usah
dibuktikan. Pasal-pasal KUHP yang dengan tegas mencantumkan
bersifat melawan hukum antara lain adalah : Pasal 167, 168, 333,
334, 335, 362, 368, 378, 406, dan termasuk juga Pasal 302, 329,
282 KUHP dan sebagainya.
 Sifat melawan hukum formil dan materiil:
 Sifat melawan hukum formil adanya alasan pengecualian
(peniadaan) sifat melawan hukum dari perbuatan yang
terdapat dalam UU, misalnya Pasal 48 KUHP: daya paksa
(overmacht), Pasal 49 (1): Bela Paksa (Noodweer), Pasal 50
: Melaksanakan ketentuan UU, dan Pasal 51 (Perintah
jabatan yg sah).
 Sifat melawan hukum materiil, mengakui adanya
pengecualian (peniadaan) selain yang terdapat dalam UU
(Hukum tertulis) juga terdapat dalam hukum tidak tertulis.
 Unsur perbuatan terbagi atas perbuatan yang merupakan unsur
objektif dan perbuatan aktif/pasif
 Perbuatan merupakan unsur objektif, yaitu terbagi atas
perbuatan yang terbagi tas perbuatan bersifat positif dan
negatif yang menyebabkan pelanggaran pidana. terdapat
akibat yang terdiri atas merusaknya atau membahayakan
kepentingan-kepentingan hukum. Dan bersifat melawan
hukum dan sifat dapat dipidana.
 Perbuatan Aktif / Pasif, yang terbagi atas Delictum
Commissionis : Delik yang berupa pelanggaran terhadap
sesuatu yang dilarang undang-undang. Delik ini diwujudkan
dengan kelakukan aktif atau positif. Delictum Omissionis :
Delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, tidak
berbuat atau melakukan sesuatu yang
diharuskan/diperintahkan. Delik ini mensyaratkan kelakukan
pasif atau negatif, seperti misalnya Pasal 164 KUHP (tidak
segera melaporkan adanya suatu pemufakatan jahat yang
diketahuinya). Delik commissionis per omissionem
Commissa adalah delik yang berupa pelanggaran larangan
tetapi dapat dilakukan dengan tidak berbuat. Misalnya
seorang ibu yang merampas nyawa anaknya dengan jalan
tidak memberi makan pada anak itu (Pasal 341 KUHP).
I. TEORI DAN TUJUAN PEMIDANAAN
 Pemidanaan diartikan berdasarkan oleh salah satu pakar yaitu
Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan
kata penghukuman.Penghukuman itu berasal dari kata dasar
hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau
memutuskan tentang hukumnya (berechten). yakni penghukuman
dalam perkara pidana, yang yang kerap kali dipersamakan dengan
pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim.
 Teori tujuan pemidanaan:
 Teori Retribusi Pidana itu merupakan suatu akibat hukum
yang mutlak harus ada sebagai seuatu pembalasan kepada
orang yang telah melakukan kejahatan. Jadi dasar
pembenaran pidana terletak pada terjadinya kejahatan itu
sendiri. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul
dengan dijatuhinya pidana, tidak peduli apakah
masyarakatmungkin akan dirugikan.
 Teori Deterence Berbeda dengan pandangan retributif yang
memandang penjatuhan sanksi pidana hanya sebagai
pembalasan semata, maka deterrence memandang adanya
tujuan lain yang lebih bermanfaat daripada sekedar
pembalasan, yaitu tujuan yang lebih bermanfaat.

 Teori Rehabilitasi, Konsep ini sering dimasukkan dalam sub


kelompok deterrence karena memiliki tujuan pemidanaan,
meskipun dalam pandangan Andrew Ashworth
sesungguhnya rehabilitasi merupakan suatu alasan
penjatuhan pidana yang berbeda dengan pandangan
deterrence.
 Perincian jenis-jenis pidana menurut KUHP yaitu dibedakan atas
dua kelompok, antar pidana pokok dan pidana tambahan. Dimana
pidana pokok terdiri atas: Pidana mati, Pidana Penjara, Pidana
Kurungan, Pidana Kurungan, Pidana Denda, dan Pidana Tutupan.
Sedangkan pidana tambahan yaitu berupa: Pencabutan hak-hak
tertentu, Perampasan barang-barang tertentu, dan Pengumuman
putusan hakim.
 Prinsip penjatuhan pidanayakni bahwa tidak boleh dijatuhkan
pidana pokok secara kumulatif, Pidana pokok bersifat imperative
(keharusan) sedangkan pidana tambahan bersifat fakultatif
(pilihan).pidana pokok dapat dijatuhkan tanpa pidana tanpa
tambahan.
J. ALASAN PENGHAPUSAN PIDANA
 Penghapus pidana adalah peraturan yang terutama ditujukan
kepada hakim. Peraturan ini menetapkan dalam keadaan apa
seorang pelaku, yang telah memenuhi perumusan delik yang
seharusnya dipidana, tidak dipidana. Hakim menempatkan
wewenang dari pembuat undang-undang untuk menentukan
apakah telah terdapat keadaan khusus seperti dirumuskan dalam
alasan penghapus pidana.
 Dalam ajaran alasan penghapusan pidana, terdapat tiga asas yang
sangat penting, yaitu:
 Asas Subsidiaritas, yaitu Ada benturan antara kepentingan
hukum dengan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan
kewajiban hukum, kewajiban hukum dan kewajiban hukum.
 Asas Proporsionalitas, Ada keseimbangan antara
kepentingan hukum yang dibela atau kewajiban hukum yang
dilakukan.
 Asas “culpa in causa”, yaitu Pertanggungjawaban pidana
bagi orang yang sejak semula mengambil risiko bahwa dia
akan melakukan perbuatan pidana.
 Alasan penghapusan pidana secara umum terbagi atas dua jenis
yaitu:
 Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond-faits
justificatifs). adalah alasan yang meniadakan sifat melawan
hukum dari perbuatan,sehingga menjadi perbuatan yang
dibenarkan dan tidak dapat dijatuhi pidana. Adapun alasan
pembenar dalam KUHP yaitu keadaan darurat (Pasal 48
KUHP), Pembelaan terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP).
 Alasan Pemaaf (schulduitsluitingsgrond-faits d’exuce).
alasan yang meniadakan kesalahan si pembuat tindak
pidana. Perbuatannya tetap bersifat melawan hukum tetapi
pembuatnya tidak dapat dipidana karena padanya tidak ada
kesalahan. Alasan pemaaf yang terdpat dalam KUHP yaitu
tidak mampu bertanggung jawab Pasal 44 ayat (1) KUHP.
K. ALASAN PENGURANGAN DAN PENAMBAHAN PIDANA
 Alasan Pengurangan Pidana ditentukan berdasarkan: belum
cukup umur (Pasal 47 KUHP) bahwa Undang-Undang No 11 Tahun
2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak maka usia anak
sebagai pelaku tindak pidana yang dapat diajukan ke sidang anak
adalah telah mencapai umur 12 tahun tetapi belum mencapai umur
18 tahun menjadi pengurangan seperdua dari ancaman pidana
maksimum yang diancamkan bagi orang dewasa.Dan jika tindak
pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang
diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup. Percobaan
(Pasal 53 KUHP) apabila memnuhi syarat-syarat sebagai berikut
yaitu: niat sudah ada untuk membuat kejahatan, Perbuatan
berwujud permulaan pelaksanaan, delik tidak selesai diluar
kehendak pelaku. (Pasal 56 dan Pasal 57 KUHP) bahwa
maksimum pidana pokok untuk pembantuan dikurangi sepertiga,
dan apabila kejahatan diancam pidana mati atau penjara seumur
hidup maka maksimum pidana untuk pembantu ialah 15 tahun
penjara.
 Alasan Penambahan Pidana, yang secra umum terdapat tiga
macam alasan yaitu kedudukan sebagai pejabat (Pasal 52 KUHP)
dimana syarat utamanya ialah orang tersebut harus Pegawai
Negeri Sipil, kemudian pegawai negeri tersebut harus melanggar
kewajiban istimewa atau dalam memakai kekuasaannya. Recidive
atau pengulangan (Pasal486,487,488KUHP) dengan syarat bahwa
orang tersebut harus mengulangi kejahatan yang sama, antara
melakukan kejahatan yang satu dengan yang lainnya harus ada
putusan hakim serta harus ada hukuman penjara. Gabungan
(Pasal 63-71 KUHP) yang terbagi atas 3 jenis yaitu: Concursus
idealis (gabungan satu perbuatan) Pasal 63 KUHP, Voogezette
handeling (perbuatan berlanjut) Pasal 64 KUHP, Concursus realis
(gabungan beberapa perbuatan) Pasal 65 KUHP.
L. PERCOBAAN (poging)
 Percobaan (poging) berasal dari kata “poging totmisdrijf is dan de
bengonnen maar niet voltooide uitveoring van het misdrijf, of wel
door een begin van uitveoring geopenbaarde wil om een bepaald
misdrijf te plegen” yang artinya: “Dengan demikian, maka
percobaan untuk melakukan kejahatan itu adalah pelaksanaan
untuk melakukan suatu kejahatan yang telah dimulai akan tetapi
tidak selesai, ataupun suatu kehendak untuk melakukan suatu
kejahatantertentu yang telah diwujudkan di dalam suatu permulaan
pelaksanaan”.
 Teori pemidanaan terhadap percobaan yaitu:
 Teori subjektif bahwa percobaan terletak pada sikap batin.
 Teori Objektif bahwa dipidananya percobaan terletak pada
sifat berbahayanya perbuatan yang dilakukan.
 Teori Campuran bahwa dasar patut dipidananya percobaan
yaitu dari dua sisi yaitu segi subjektif dan segi objektif.
 Unsur-Unsur Percobaan:
 Adanya niat, bahwa niat adalah sikap batin yang memberi
arah kepada perbuatan atau akibat yang dituju. Dengan
adanya unsur niat maka tidak mungkin berlaku percobaan
pada delik karena kelalaian.
 Adanya perbuatan permulaan pelaksanaan, yaitu karena
adanya kualifikaksi perbuatan yang tergolong dalam
perbuatan pelaksanaan, namun delik tidak akan sempurna
terjadi karena sesuatu hal diluar kemampuan pelaku. Seperti
percoabaan selesai karena terhalang oleh fisik serta
percobaan tertunda.
M. PENYERTAAN DALAM HUKUM PIDANA (Deelneming)
 Penyertaan dalam hukum pidana ialah Suatu tindak pidana dapat
dilakukan oleh seseorang dan dalam hal-hal tertentu dapat juga
dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama. Keterlibatan
dari beberapa orang didalam suatu tindak pidana merupakan
bentuk kerjasama yang berlainan sifat dan bentuknya sesuai
dengan perannya masing- masing. Dimana yang tertera dalam
KUHP, penyertaan diatur dalam Buku I Ketentuan Umum Bab V
Pasal 55 sampai 63 KUHP yaituvTurut Serta Melakukan Perbuatan
yang Dapat Dihukum.
 Pentingnya ajaran penyertaan dalam hukum pidana. Yaitu sebagai
dasar memperluas dapat dipidananya orang, serta sebagai dasar
memperluas dapat dipidananya perbuatan.
 Bentuk-bentuk penyertaan menurut KUHP Indonesia dalam pasal
55 dan 56KUHP dengan rumusan sebagai berikut:
a) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana.
Yaitu orang yang melakukan (pleger), yang menyuruh
melakukan atau turut serta (donpleger), orang yang turut
serta melakukan (Medepleger). Orang yang membujuk untuk
melakukan (Uitlokker).
N. GABUNGAN TINDAK PIDANA (CONCURSUS)
 Pengertian gabungan/gabungan tindak pidana yaitu “perbarengan”
atau “gabungan” dua atau lebih tindak pidana yang
dipertanggungjawabkan kepada seseorang (atau lebih) dan dari
rangkaian tindak pidana yang dilakukannya belum ada yang diadili
dan akan diadili sekaligus.
 Pentingnya ajaran ini yaitu bagi hakim yang ingin menjatuhkan
pidana terhadap pelaku untuk dapat menentukan jenis pidana dan
berat ringannya hukuman yang dijatuhkan serta maksimal
hukuman.
 Jenis-jenis gabungan (concursus), berdasarkan KUHP dalam Buku
I Bab VI Pasal 63 hingga Pasal 71 .
a) Concursus Idealis (Pasal 63 KUHP) yang menggunakan
sistem absorpsi yaitu hanya dikenakan satu pidana pookok
yang terberat.
b) Perbuatan Berlanjut(Pasal 64 KUHP) menggunakan sistem
absropsi yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dan jika
berbeda-beda hukumannya maka dikenakan ketentuan yang
memuat ancaman pidana pokok yang terberat..
c) Concursus realis (pasal 65-71 KUHP) berupa kejahatan
yang diancam pidana pokok sejenis berlaku.
O. PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE)
 Recidive atau pengulangan terjadi apabila seseorang yang
melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atau
“inkracht van gewijsde”, kemudian melakukan tindak pidana
lagi.Biasanya pelakupengulangan tindak pidana (recidive) disebut
sebagai “recidivist”.
 Perbedaan antara recidive dengan concursus. Recidive diantara
perbuatan pidana itu sudah ada putusan pengadilan berupa
pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap
sedangkan concursus realis yaitu seseorang melakukan beberapa
perbuatan pidana.
 Recidive meurpakan salah satu alasan dalam memeperberat
penjatuhan hukuman pidana.
 Penggolongan pengulangan tindak pidana terbagi atas 2 macam:
a) Sistem Recidive Umum.
b) Sistem Recidive Khusus.
 Dalam KUHP bentuk Recidive dalam 2 kategori yakni:
a) Recidive kejahatan. (Pasal 137 (2), 144 (2), 155(2), dan
sebagainya
b) Recidive Pelanggaran.(Pasal 489, 492, 495, dan
sebagainya).
P. ALASAN GUGURNYA HAK MENUNTUT
 Hak Negara untuk Menuntut pelaku delik gugur dalam hal
yaitu, telah ada putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap (de kracht van een rechtelijk gewijsde). Mengenai
tindakan yang sama (Pasal 76). Terdakwa meninggal dunia (Pasal
77). Perkara tersebut daluwarna (Pasal 78). Terjaid penyelesaian di
luar persidangan, khusus bagi pelanggaran yang hanya diancam
dengan pidana denda (Pasal 82). Dan Presiden yang memberikan
abolisi dan amnesti sebagai hak prerogratif presiden.
 Hak Negara untuk pelaksanaan pidana (eksekusi) gugur dalam
hal, terpidana meninggal dunia (Pasal 83), Daluwarsa (Pasal 84),
Presiden memberi grasi dan amnesti sebagai hak prerogative
Presiden.
 Tenggang Waktu Daluarsa Penuntut, bagi pelanggaran-
pelanggaran, dan semua kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan adalah satu tahun, bagi kejahatan yang diancam
dengan pidana denda kurungan, atau pidana penjara maksimum 3
tahun adalah 6 tahun, bagi kejahatan yang diancam pidana penjara
lebih dari 3 tahun adalah 12 tahun. Bagi kejahatan yang diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup adalah 18 tahun.
Bagi pelaku yang pada saat melakukan tindak pidana belum
berusia 18 tahun maka tenggang waktu tersebut dikurangi menjadi
dua per tiga dari tenggang waktu.
 Awal perhitungan daluwarsaadalah hari pertama sesudah terjadi
tindak pidana, kecuali terhadap pemlsuan atau perusakan mata
uang, maka awal perhitungan tenggang waktu daluwarsa dimulai
sejak hari pertama sesuadah mata uang yang dirusak atau uang
yang dipalsu digunakan.
 Tenggang Waktu Daluwarsa Pelaksanaan (Eksekusi) hukuman,
bagi semua pelanggaran adalah 2 tahun, bagi kejahatan yang
dilakukan dengan percetakan adalah 5 tahun, bagi kejahatan yang
diancam dengan pidana denda, kurungan atau pidana penjara
paling lama 3 tahun adalah 8 tahun. Dan bagi kejahatan yang
diancam pidana penjara lebih dari 3 tahun adalah 16 tahun.
 Tempo gugurnya hak menjalankan pidana tidak boleh kurang
dari lamnya pidana penjara yang telah dijatuhkan, hak mejalankan
pidana pidana mati tidak gugr karena daluwarsa (tidak ada
daluwarsa dalam menjalankan pidana mati). Awal perhitungan
tenggang waktu daluwarsa pelaksanaan adalah dimulai pada esok
hari setelah putusn hakim dapat dilaksanakan, bukan sejak putusan
hakim dijatuhkan.

Anda mungkin juga menyukai