Anda di halaman 1dari 20

RESUME BUKU MENGENAL HUKUM PERUSAHAAN (FREDDY

HIDAYAT, S.H., M.H.) DAN BUKU HUKUM DAGANG DALAM


SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA (MARTHA ERI
SAFIRA, M.H.)

Disusun untuk memenuhi tugas Ulangan Tengah Semester


Mata Kuliah Hukum Dagang Semester Gasal
Tahun Akademik 2021/2022

Dosen Pengampu :
Dr. Suraji, S.H., M.Hum.
NIP 196107101985031011

Disusun Oleh :
Dody Setyawan
NIM E0020153

S-1 Ilmu Hukum


Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................... 2
BAB I KONSEP DAN PENGERTIAN HUKUM DAGANG ............................ 4
A. Pengertian Hukum Dagang .......................................................................... 4
B. Sumber-Sumber Hukum Dagang di Indonesia ............................................ 4
C. Sejarah KUH Dagang................................................................................... 5
D. Hubungan antara KUH Perdata dan KUH Dagang...................................... 6
BAB II BADAN USAHA BERBADAN HUKUM ............................................... 6
A. Perseroan Terbatas (PT)............................................................................... 6
B. Koperasi ....................................................................................................... 6
C. Yayasan ........................................................................................................ 7
BAB III BADAN USAHA BUKAN BERBADAN HUKUM .............................. 7
A. Perusahaan Dagang (PD) ............................................................................. 7
B. Persekutuan Perdata (Maatschap)................................................................ 8
C. Persekutuan dengan Firma (Fa) ................................................................... 8
D. Persekutuan Komanditer (CV)..................................................................... 8
BAB IV BUMN, BUMD, DAN BUMS ................................................................. 9
A. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) .......................................................... 9
B. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ........................................................ 10
C. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) ......................................................... 10
BAB V PENANAMAN MODAL ........................................................................ 10
A. Penanaman Modal Asing (PMA) ............................................................... 10
B. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ............................................... 11
BAB VI KEPAILITAN........................................................................................ 11
A. Pengertian Kepailitan ................................................................................. 11
B. Syarat untuk Dinyatakan Pailit .................................................................. 12
C. Dasar-Dasar Hukum terkait Kepailitan...................................................... 12
BAB VII KEPERANTARAAN, MAKELAR, DAN KOMISIONER ............. 13
A. Keperantaraan ............................................................................................ 13
B. Makelar ...................................................................................................... 13

2
C. Komisioner................................................................................................. 14
BAB VIII ASURANSI ......................................................................................... 14
A. Pengertian Asuransi ................................................................................... 14
B. Unsur-Unsur Asuransi ............................................................................... 15
C. Jenis-Jenis Asuransi ................................................................................... 15
BAB IX ARBITRASE.......................................................................................... 16
A. Pengertian Arbitrase................................................................................... 16
B. Langkah-Langkah Arbitrase ...................................................................... 16
BAB X HUKUM PERBANKAN ........................................................................ 17
A. Pengertian Hukum Perbankan.................................................................... 17
B. Dasar-Dasar Hukum Perbankan................................................................. 17
C. Jenis dan Macam Lembaga Perbankan ...................................................... 18
BAB XI HUKUM PENGANGKUTAN .............................................................. 18
A. Pengertian Hukum Pengangkutan .............................................................. 18
B. Sumber-Sumber Hukum Pengangkutan di Indonesia ............................... 19
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 20

3
BAB I

KONSEP DAN PENGERTIAN HUKUM DAGANG

A. Pengertian Hukum Dagang

Sebagai akibat adanya kodifikasi hukum perdata dalam Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan hukum dagang Kitab Undang-
Undang Hukum Dagang (KUHD), maka di Negara-negara yang menganut sistem
hukum sipil atau continental (civil law) termasuk Indonesia, dianut paham bahwa
hukum dagang merupakan bagian dari hukum perdata.

Achmad Ichsan mendefinisikan hukum dagang sebagai hukum yang


mengatur masalah perdagangan atau perniagaan, yaitu masalah yang timbul
karena tingkah laku manusia (person) dalam perdagangan atau perniagaan.
Sedangkan H.M.N. Purwosutjipto menyatakan bahwa hukum dagang adalah
hukum perikatan yang timbul dalam lapangan perusahaan.

B. Sumber-Sumber Hukum Dagang di Indonesia


1. Pengaturan Hukum di dalam Kodifikasi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUH Perdata (Burgerlijk
Wetboek) yang secara nyata menjadi sumber hukum dagang adalah Buku
III tentang Perikatan. Hal itu dapat dimengerti, karena sebagaimana
dikatakan H.M.N. Purwosutjipto diatas bahwa hukum dagang adalah
hukum perikatan yang timbul dalam lingkup perusahaan.
2. Pengaturan di luar Kodifikasi
Sumber-sumber hukum dagang yang terdapat di luar kodifikasi
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas;
b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
c. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
Milik Negara

4
d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen
Perusahaan;
e. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Paten;
f. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Merek;
g. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta;
h. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang;
i. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa;
j. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Pembayaran;
3. Yurisprudensi
4. Hukum Kebiasaan
C. Sejarah KUH Dagang

Pada awalnya ketentuan-ketentuan perdagangan/perniagaan diatur dalam


dua Kitab UndangUndang terpisah. Hal ini disebabkan karena pada zaman
Romawi kuno, yaitu “Corpus Juris Civilis” belum mengenal adanya Hukum
Dagang secara khusus. di Perancis dibawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV
dikenal adanya aturan “Ordonance du Commerce” (1673) dan “Ordonance de la
Marine” (1681), yang kemudian dihimpun dalam satu kitab undang-undang yang
disebut “Code de Commerce” dan inilah yang menjadi cikal bakal dari KUH
Dagang yang ada saat ini.

Pada tanggal 1 Januari 1809, Belanda dijajah oleh Perancis, maka sebagai
konsekuensinya di Belanda sebagai negara jajahan diberlaku juga hukum “Code
de Commerce”. Namun setelah Belanda merdeka kembali pada tanggal 1 Oktober
1838, maka dibuatlah “Wetboek van Koophandel”. Dengan cara penundukan
secara sukarela menurut penetapan Raja tanggal 15 September 1916 No. 26 yang
berlaku mulai 1 Januari 1917, bangsa Indonesia diperkenankan menyatakan
dirinya tunduk kepada KUH Dagang.

5
D. Hubungan antara KUH Perdata dan KUH Dagang

Hukum dagang merupakan bagian atau cabang hukum perdata. Dengan


kata lain hukum dagang merupakan cabang hukum perdata namun dalam bentuk
yang lebih khusus. Dengan demikian, KUH Perdata menjadi sumber hukum
perdata khusus. Hubungan kedua hukum tersebut merupakan genus (umum) dan
species (khusus). Dalam hubungan yang demikian berlaku asas lex specialis
deroga lex generalis (hukum yang khusus dapat mengalahkan hukum yang
umum). Ketentuan yang demikian itu dapat ditemukan dalam Pasal 1 KUHD yang
menyebutkan, “Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sepanjang tidak diatur
lain, berlaku juga terhadap hal-hal yang juga diatur dalam kitab ini”.

BAB II

BADAN USAHA BERBADAN HUKUM

A. Perseroan Terbatas (PT)

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan


Terbatas, menjelaskan bahwa: Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut
perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan
berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang
seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan
dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya. PT sebagai subjek
hukum mempunyai kedudukan mandiri atau yang disebut dengan persona standi
in judicio, yang artinya PT tidak bergantung pada pemegang saham.

B. Koperasi

Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang


Perkoperasian menyatakan bahwa: “Koperasi adalah badan hukum yang didirikan
oleh orang perseorangan atau badan hukum koperasi dengan pemisahan
kekayaan para anggotanya sebagai modal untuk menjalankan usaha, yang
memenuhi aspirasi dan kebutuhan bersama di bidang ekonomi, sosial, dan

6
budaya sesuai dengan nilai dan prinsip koperasi”. Unsur-unsur koperasi adalah
sebagai berikut:

1. Adanya para pihak


2. Adanya tujuan
3. Adanya modal
4. Adanya pembagian sisa hasil usaha
C. Yayasan

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan,


dijelaskan bahwa yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang
dipisahkan dan diperuntukan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan yang tidak mempunyai anggota. Yayasan
merupakan sebuah badan hukum yang sifatnya sosial, bisa juga disebut nirlaba.
Menurut Wirjono Projodikoro, esensi yayasan meliputi:

1. Adanya suatu harta kekayaan.


2. Harta kekayaan ini merupakan harta kekayaan tersendiri tanpa adanya
yang memilikinya melainkan dianggap sebagai milik dari yayasan.
3. Atas harta kekayaan itu diberi suatu tujuan tertentu.
4. Adanya pengurus yang melaksanakan tujuan dan diadakannya harta
kekayaan itu.

BAB III

BADAN USAHA BUKAN BERBADAN HUKUM

A. Perusahaan Dagang (PD)

Perusahaan dagang atau dapat juga disebut dengan perusahaan


perseorangan merupakan perusahaan yang dijalankan oleh satu orang pengusaha.
Satu orang tersebut adalah pemilik modal sendiri, sementara jika ia bekerja
dengan banyak orang maka mereka hanya bertugas membantu sesuai kewenangan
yang diberikan.

7
B. Persekutuan Perdata (Maatschap)

Persekutuan perdata diterjemahkan dari kata bugerlijk maatschap, yang


menurut Pasal 1618 KUH Perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau
lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan itu dengan
maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari persekutuan itu dibagi di antara
mereka. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka persekutuan perdata
memiliki ciri sebagai berikut:

1. Terjadi perjanjian di antara dua orang atau lebih.


2. Pihak yang mengadakan perjanjian memasukkan sesuatu ke dalam
persekutuan.
3. Tujuan dari perjanjian dan kegiatan tersebut adalah untuk membagi
keuntungan atau kemanfaatan.
C. Persekutuan dengan Firma (Fa)

Berdasarkan Pasal 16 KUH Dagang, persekutuan dengan firma adalah


persekutuan perdata yang didirikan untuk menjalankan perusahaan dengan nama
bersama. KUH Dagang yang memuat ketentuan tentang firma terdapat pada Pasal
16 sampai dengan Pasal 35. Firma memiliki tiga unsur mutlak yang merupakan
ciri khusus sebagai tambahan persekutuan perdata, yaitu:

1. Menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD).


2. Dengan nama bersama atau firma (Pasal 16 KUHD).
3. Tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan (Pasal 18
KUHD).
D. Persekutuan Komanditer (CV)

Pasal 19 KUH Dagang menerangkan bahwa persekutuan komanditer atau


commanditaire vennootschap (CV) adalah perseroan yang terbentuk dengan cara
meminjamkan uang, yang didirikan antara beberapa orang persero yang
bertanggung jawab secara tanggung renteng untuk keseluruhannya, dan satu orang
atau lebih sebagai pemberi pinjaman uang. Sekutu komplementer adalah sekutu

8
kerja, sifanya aktif dan yang bertanggung jawab secara tanggung renteng. Sekutu
komanditer adalah sekutu yang sifatnya pasif, pihak inilah yang memberikan
investasi modal.

BAB IV

BUMN, BUMD, dan BUMS

A. Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diatur dalam Undang-Undang


Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara
Nomor 70 Tahun 2003). Bentuk BUMN terdiri dari perseroan (Persero) dan
perusahaan umum (Perum).

1. Perusahaan Perseroan (Persero)


Perusahaan perseroan yang selanjutnya disebut persero, adalah BUMN
yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham
yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar
keuntungan. Organ BUMN Persero terdiri dari Rapat Umum Pemegang
Saham (RUPS), direksi, dan komisaris.
2. Perusahaan Umum (Perum)
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan
Usaha Milik Negara berbunyi, “Perusahaan umum yang selanjutnya
disebut perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan
tidak terbagi atas saham yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa
penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus
mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan”.
Perihal organ perum, disebutkan dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, yaitu terdiri dari
menteri, direksi, dan dewan pengawas.

9
B. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah badan usaha yang didirikan
oleh pemerintah daerah dan sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh
pemerintah daerah. BUMD memiliki bentuk berupa perusahaan daerah atau
perseroan terbatas. Modal perusahaan BUMD berasal dari kekayaan pemerintah
daerah yang dipisahkan. Tujuan dibentuknya BUMD yaitu untuk mengusahakan
potensi di daerah, dan sebagai problem solver bagi anggaran daerah. BUMD
memiliki organ yang terdiri atas kepala daerah (pemegang saham), direksi, dan
komisaris (pengawas).

C. Badan Usaha Milik Swasta (BUMS)

Badan Usaha Milik Swasta (BUMS) merupakan badan usaha di mana


modal yang digunakan berasal dari pihak swasta, baik dari dalam maupun luar
negeri. BUMS sangat berkontribusi bagi perkembangan ekonomi di Indonesia.
Pemerintah pun melibatkan BUMS untuk turut serta dalam pembangunan
ekonomi negara.

BAB V

PENANAMAN MODAL

A. Penanaman Modal Asing (PMA)

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Penanaman Modal


menerangkan bahwa: “Penanaman modal asing adalah kegiatan menanam modal
untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan
oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya
maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”. Penanaman
modal asing (PMA) terbagi menjadi dua bentuk berdasarkan pada kepemilikan
modalnya, yaitu:

1. Langsung, yaitu seluruh modalnya berasal dari penanam modal asing, baik
warga negara asing (WNA) atau badan hukum asing (BHA).

10
2. Patungan, yaitu apabila modal asing sebagian dimiliki oleh WNA/BHA
dan sebagian juga dimiliki oleh WNI/BHI.

Berdasarkan pada penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5


Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, terdapat beberapa unsur yang harus ada
dalam penanaman modal asing, yaitu:

1. PMA wajib dalam bentuk perseroan terbatas.


2. Berdasarkan pada hukum Indonesia.
3. Berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia.
B. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)

Penanaman modal dalam negeri (PMDN) menurut Pasal 1 angka 2


Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, merupakan
kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik
Indonesa yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan
modal dalam negeri. Penanam modal yang dimaksud bisa dari pihak WNI
perseorangan, badan usaha dalam negeri, dan pemerintah yang menanam modal di
wilayah negara Republik Indonesia. Berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, ada tiga kategori bidang usaha
dalam penanaman modal, yaitu bidang usaha terbuka, bidang usaha tertutup, dan
bidang usaha terbuka dengan persyaratan.

BAB VI

KEPAILITAN

A. Pengertian Kepailitan

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang


Kepailitan dan PKPU menyebutkan, “Kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini”.

11
Pailit merupakan kondisi di mana seseorang tidak berkemampuan untuk
membayar utang-utangnya yang diperoleh dari kreditor. Kreditor adalah orang
yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang yang dapat
ditagih di muka pengadilan. Debitor adalah orang yang mempunyai utang karena
perjanjian atau undang-undang yang pelunasannya dapat ditagih di muka
pengadilan.

B. Syarat untuk Dinyatakan Pailit

Syarat kepailitan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-


Undang Kepailitan dan PKPU ialah, debitor yang mempunyai dua atau lebih
kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu
dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

C. Dasar-Dasar Hukum terkait Kepailitan

Undang-undang kepailitan yang saat ini berlaku di Indonesia adalah


Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 LN RI Tahun 2004 Nomor 131. Aturan-
aturan mengenai kepailitan juga terdapat dalam Pasal 1131 sampai dengan Pasal
1134 KUH Perdata. Adapun aturan lain yang memiliki keterkaitan dengan hukum
kepailitan di antaranya:

1. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dalam


Pasal 104, Pasal 115, dan Pasal 142.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.
3. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentan Jaminan Fiducia dalam
Pasal 27.

12
BAB VII

KEPERANTARAAN, MAKELAR, DAN KOMISIONER

A. Keperantaraan

Pada dasarnya keperantaraan adalah perjanjian antara seorang perantara


dan prinsipal ( principal). Prinsipal adalah orang yang memberikan tugas kuasa
pada perantara untuk melakukan suatu perbuatan hukum dengan orang lain demi
kepentingannya. Sedangkan perantara adalah orang yang memegang kuasa atau
kepercayaan principal untuk melakukan suatu perbuatan hukum berdasarkan
kuasa atau di bawah pengawasan prinsipal.

B. Makelar

Pada dasarnya makelar adalah seorang perantara yang menghubungkan


antara pengusaha dengan pihak ketiga untuk mengadakan berbagai perjanjian.
Berdasarkan Pasal 62 KUHD, makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari
pemerintah, dan sebelum melakukan kegiatannya terlebih dahulu harus
bersumpah di Pengadilan Negeri bahwa ia akan menjalankan kewajibannya
dengan baik.

Makelar yang menjalankan usahanya sebagai perantara mendapatkan upah


tertentu yang disebut dengan provisi atau courtage dari pihak prinsipal. Pasal 46
KUHD secara enutiatif menyebutkan beberapa macam cakupan perjanjian yang
dapat dilakukan perantara, yakni membeli dan menjual untuk kepentingan
principal. Selain itu perantara juga dapat mengurusi barang-barang dagangan,
efek, obligasi, wesel, surat sanggup dan surat-surat berharga lainnya, asuransi,
pengangkutan dengan kapal pinjaman uang dan lain-lain.

Menurut H.M.N. Purwosutjipto, oleh karena makelar merupakan jabatan


yang diakui oleh undang-undang dan tugasnya ditentukan undangundang, maka
dia mempunyai tanggung jawab yang tidak kecil. Dalam perjanjian jual beli
dengan contoh barang atau sampel, makelar diharuskan menyimpan
contoh/sampel tersebut sampai perjanjian telah selesai dilaksanakan seluruhnya

13
(Pasal 69 KUHD). Dalam perjanjian jual beli wesel atau surat berharga lainnya,
makelar harus menanggung sahnya tanda tangan penjual agar pembeli tidak
merugi disebabkan debitur wesel itu tidak mau membayarnya karena tanda tangan
penjual (endosan) itu palsu (Pasal70 KUHD).

C. Komisioner

Komisioner adalah orang yang menjalankan perusahaan dengan membuat


perjanjian-perjanjian atas namanya sendiri, mendapat provisi atas perintah dan
pembiayaan orang lain. Adapun ciri khas komisioner adalah sebagai berikut:

1. Tidak ada syarat pengangkatan resmi dan penyumpahan sebagaimana


makelar;
2. Komisioner menghubungkan komiten dengan pihak ketiga atas nama
dirinya sendiri;
3. Di dalam membuat perjanjian komisioner tidak berkewajiban untuk
menyebut nama komitennya; dan
4. Komisioner dapat juga bertindak atas nama pemberi kuasanya.

Pada umumnya, komisioner membuat perjanjian atas nama dirinya sendiri


(Pasal 76 KUHD), akan tetapi menurut Pasal 79 KUHD, komisioner dapat juga
bertindak atas nama pemberi kuasa. Dalam hal ini komisioner tunduk kepada
peraturan pemberian kuasa, yakni Pasal 1792 KUH Perdata dan seterusnya. Jadi,
dapat dikatakan komisioner berbuat atas nama dirinya adalah bersifat umum,
sedangkan berbuat atas nama pemberi kuasa adalah sifat khusus.

BAB VIII

ASURANSI

A. Pengertian Asuransi

Menurut Pasal 246 KUHD, asuransi atau pertanggungan adalah suatu


perjanjian di mana seorang penanggung dengan menikmati suatu premi
mengikatkan dirinya kepada tertanggung untuk membebaskannya dan kerugian

14
karena kehilangan, kerusakan atau ketiadaan keuntungan yang diharapkan, yang
akan dideritanya karena kejadian yang tidak pasti.

B. Unsur-Unsur Asuransi

Dari definisi yang dirumuskan Pasal 246 KUHD tersebut, dapat ditarik
beberapa unsur yang terdapat di dalam asuransi, yakni:

1. Ada dua pihak yang terkait dalarn asuransi, yakni penanggung dan
tertanggung;
2. Adanya peralihan risiko dan tertanggung kepada penanggung;
3. Adanya premi yang harus dibayar tertanggung kepada penanggung
4. Adanya unsur peristiwa yang tidak pasti (onzeker vooral, evenement); dan
5. Adanya unsur ganti rugi apabila terjadi sesuatu peristiwa yang tidak pasti.
C. Jenis-Jenis Asuransi

Berdasarkan karakter perjanjian asuransi membagi asuransi dalam dua


golongan, yakni :

1. Asuransi kerugian;
2. Asuransi jumlah.

Tujuan asuransi kerugian (schade verzekering) adalah memberikan


penggantian kerugian yang mungkin timbul pada harta kekayaan tertanggung.
Tujuan asuransi jumlah (sommen verzekering, sum insurance) adalah untuk
mendapatkan pembayaran sejumlah uang tertentu, tidak tergantung pada
persoalan apakah peristiwa yang tidak pasti itu (evenement) menimbulkan
kerugian atau tidak.

Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak, di dalam praktik terdapat


penggolongan besar asuransi sebagai berikut:

1. Asuransi jiwa (life insurance);


2. Asuransi pengangkutan laut (marine insurance);
3. Asuransi kebakaran (fire insurance); dan

15
4. Asuransi varia.

BAB IX

ARBITRASE

A. Pengertian Arbitrase

Berdasarkan definisi yang diberikan dalam pasal 1 angka 1 Undang-


Undang No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang
dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Ada tiga hal yang dapat
dikemukakan dari definisi yang diberikan dalam Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 tersebut:

1. Arbitrase merupakan salah satu bentuk perjanjian.


2. Perjanjian arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis.
3. Perjanjian arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan
sengketa yang dilaksanakan di luar peradilan umum.
B. Langkah-Langkah Arbitrase

Pranata alternatif penyelesaian sengketa yang diperkenalkan oleh Undang-


Undang No. 30 Tahun 1999 sebagaimana diatur dalam pasal 6 terdiri dari:

1. Penyelesaian yang dapat dilaksanakan sendiri oleh para pihak dalam


bentuk “negosiasi” (sebagaimana diatur dalam pasal 6 ayat (2) Undang-
Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut);
2. Penyelesaian sengketa yang diselenggarakan melalui (dengan bantuan)
pihak ketiga yang netral di luar para pihak yaitu dalam bentuk mediasi
yang diatur dalam pasal 6 ayat (3), pasal 6 ayat (4), dan pasal 6 ayat (5)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999;
3. Penyelesaian melalui arbitrase (pasal 6 ayat (9), Undang-Undang No. 30
Tahun 1999). Selain pengertian dari “Arbitrase” dalam Undang-Undang
No. 30 Tahun 1999 ini tidak diberikan adanya definisi atau pengertian dari

16
apa yang dimaksud dengan/dalam perkataan “konsultasi, negosiasi,
konsiliasi maupun penilaian ahli”.

BAB X

HUKUM PERBANKAN

A. Pengertian Hukum Perbankan

Menurut Muhammad Djumhana, hukum perbankan adalah sebagai


kumpulan peraturan hukum yang mengatur kegiatan lembaga keuangan bank yang
meliputi segala aspek dilihat dari segi esensi, dan eksistensinya, serta
hubungannya dengan bidang kehidupan yang lain. Sedangkan Munir Fuady
merumuskan hukum perbankan adalah seperangkat kaidah hukum dalam bentuk
peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, doktrin, dan lain-lain sumber
hukum, yang mengatur masalah-masalah perbankan sebagai lembaga, dan aspek
kegiatannya sehari-hari.

B. Dasar-Dasar Hukum Perbankan

Berkenaan dengan pentingnya peranan Bank di Indonesia, Ketetapan


MPRS No. XXIII/MPRS/1966 dalam pasal 55 menyatakan, bahwa dalam rangka
pengamanan keuangan negara pada umumnya dan pengawasan serta penyehatan
tata perbankan pada khususnya, maka segera harus ditetapkan Undang-undang
Pokok Perbankan dan Undang-undang Bank Sentral. Untuk melaksanakan
ketentuan-ketentuan Pasal 23 ayat (3) dan (4) UUD 1945 dan Pasal 55 Ketetapan
MPRS No. XXIII, MPRS/1966 yang disebutkan di atas, maka pada tanggal 30
Desember 1967 oleh Pemerintah Republik Indonesia dan DPR Gotong Royong
(DPR-GR) telah dikeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentang Pokok-
pokok Perbankan (Undang-Undang Pokok-pokok Perbankan disingkat UUP) yang
diundangkan dalam Lembaran Negara No. 34/1967 dan penjelasannya dimuat
dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2842. Terhitung mulai tanggal 30
Desember 1967, sebagai satu-satunya undang-undang yang mengatur pokok-
pokok perbankan di Indonesia.

17
C. Jenis dan Macam Lembaga Perbankan

Menurut UU pokok Perbankan No.14/1967 berdasarkan fungsinya, bank


dibedakan dalam:

1. Bank Sentral
2. Bank Umum
3. Bank Tabungan
4. Bank Pembangunan

BAB XI

HUKUM PENGANGKUTAN

A. Pengertian Hukum Pengangkutan

Dalam hal ini terkait unsur-unsur pengangkutan sebagai berikut:

1. Ada sesuatu yang diangkat,


2. Tersedianya kendaraan sebagai alat angkutnya, dan
3. Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.

Adapun yang menjadi fungsi pengangkutan itu adalah memindahkan


barang atau orang dan satu tempat ke tempat lain dengan maksud untuk
meningkatkan daya guna dan nilai. Pengangkutan dilakukan karena nilai barang
akan lebih tinggi di tempat tujuan daripada di tempat asalnya. Oleh karena itu,
pengangkutan dikatakan memberi nilai kepada barang yang diangkut. Nilai itu
akan lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Nilai yang diberikan berupa nilai
tempat (place utility) dan nilai waktu (time utility).

Adapun macam-macam moda pengangkutan dapat diklasifikasikan


sebagai berikut:

1. Pengangkutan Darat
a. Pengangkutan melalui jalan (raya);
b. Pengangkutan dengan Kereta Api

18
2. Pengangkutan Laut; dan
3. Pengangkutan Udara
B. Sumber-Sumber Hukum Pengangkutan di Indonesia

Berkaitan dengan pengaturan hukum pengangkutan dapat ditemukan


dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan hukum
kebiasaan. Sumber hukum tersebut dapat dirinci sebagai berikut:

1. Umum
Buku III KUH Perdata tentang Perikatan
2. Khusus
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD);
b. Ordonasi Pengangkutan Udara (Stb. Tahun 1939 No 100);
c. UU No.13 Tahun l992;
d. UU No. l4 Tahun 1992;
e. UU No. l5 Tahun 1992;
f. UU No. 21 Tahun 1992.
3. Yurisprudensi;
4. Hukum Kebiasaan

19
DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Freddy. 2020. Mengenal Hukum Perusahaan. Banyumas: CV. Pena


Persada.

Safira, M. E. 2017. Hukum Dagang dalam Sejarah dan Perkembangannya di


Indonesia. Ponorogo: CV. Nata Karya.

Wiwoho, Jamal. 2014. Pengantar Hukum Bisnis. Surakarta: UNS Press.

20

Anda mungkin juga menyukai