Anda di halaman 1dari 108

Proses

Dismissal
Proses dismissal merupakan proses penelitian
terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata
Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan.
Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam
rapat permusyawaratan memutuskan dengan suatu
Penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-
pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu
dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
diubah dan ditambah dalam Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara .
istilah proses dismissal tidak dikenal, akan
tetapi substansi dari makna tersebut diatur
dalam Pasal 62 UU PERATUN.
Istilah prosedur dismissal atau proses dismissal
hanya dapat ditemui dalam keterangan
Pemerintah di hadapan sidang paripurna DPR-
RI yang mengantarkan RUU tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang disampaikan oleh
Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H.,  pada
tanggal 29 April 1986.
Proses Dismissal

Pasal 62 UU PERATUN tidak mengatur secara


terperinci bagaimana mekanisme
pemeriksaan terhadap gugatan yang masuk
dalam proses dismissal.
Mahkamah Agung dalam SEMA No.2 Tahun
1991 
a. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan
dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai
reporteur (raportir).
b. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat
permusyawaratan (di dalam kamar Ketua) atau
dilaksanakan secara singkat.
c. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan
mendengarkan keterangan para pihak sebelum
menentukan Penetapan Dismissal apabila dianggap
perlu.
d.  Penetapan Dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak diterima
atau tidak berdasar, dan Penetapan tersebut ditandatangani
oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Wakil Ketua
Pengadilan dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal
dalam hal Ketua Pengadilan berhalangan.
e.  Penetapan Dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan
sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil
kedua belah pihak untuk mendengarkan.
f.   Dalam hal ada petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat
dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap
bagian petitum gugatan tersebut (dismissal parsial).
g. Dalam hal ditetapkan dismissal parsial,
ketentuan perlawanan terhadap Penetapan
Dismissal berlaku juga dalam hal ini.
h. Di dalam “mendismissal gugatan” hendaknya
Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah
menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali
mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.
ALASAN-ALASAN UNTUK “MENDISMISSAL GUGATAN”

Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1986, yaitu :

a.   Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang


Pengadilan.
Yang dimaksud dengan “pokok gugatan”, menurut penjelasannya adalah
fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut Penggugat
mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu, dan oleh
karenanya mangajukan tuntutan.
b.  Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak
dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-
alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya
sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang
digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya, atau telah
lewat waktunya.
PERLAWANAN TERHADAP PENETAPAN DISMISSAL

Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal diatur dalam Pasal 62


ayat (3), (4), (5) dan (6) UU PERATUN, selengkapnya sebagai
berikut :
a.   Terhadap Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang
waktu 14 hari setelah ditetapkan ;
b.   Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.
Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan
diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.
• Isi perlawanan pada pokoknya menyatakan
bahwa gugatan Penggugat telah sempurna
atau telah benar-benar sesuai dengan fakta-
fakta yang didalilkan dalam gugatan, dan tidak
memenuhi ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1)
huruf a sampai dengan huruf e Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986.
JUKLAK Mahkamah Agung
RI No.222/Td.TUN/X/1993
a. Dalam proses perlawanan terhadap Penetapan
Dismissal, setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan
maupun Tergugat didengar dalam persidangan tanpa
memeriksa pokok gugatan.
b. Putusan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
tidak tersedia upaya hukum apapun (vide Pasal 62 ayat
6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), baik upaya
hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.
c. Dalam hal pihak Pelawan mengajukan
perlawanan, banding atau upaya hukum
lainnya, maka Panitera berkewajiban
membuat Akta Penolakan Banding.
d. Nomor dalam perkara perlawanan adalah
sama dengan Nomor gugatan asal dengan
ditambah kode P
PEMERIKSAAN UPAYA HUKUM PERLAWANAN
TERHADAP PENETAPAN DISMISSAL
• Undang-undang tidak mengatur mengenai tata cara
pemeriksaan terhadap perlawanan Penetapan Dismissal.
• Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut diatur dalam
Surat Mahkamah Agung
RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993
perihal JUKLAK yang dirumuskan dalam Pelatihan Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara Tahap III Angka VII.1,
sebagai berikut :
Surat Mahkamah Agung
RI No.224/Td.TUN/X/1993
a.  Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal
tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya, seperti
memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli dan sebagainya.
b.  Barulah kalau perlawanan tersebut dinyatakan benar, maka
dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya yang dimulai
dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.
c.  Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang
sama dengan yang memeriksa gugatan perlawanan tersebut,
tetapi dengan Penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak dengan
secara otomatis.
1.  Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap dismissal
dilakukan oleh Majelis dalam sidang yang terbuka untuk
umum.
2. Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan
Dismissal tidak boleh sampai memeriksa materi gugatan.
3. Dalam hal perlawanan ditolak, maka bagi Pelawan tidak
tersedia upaya hukum. Dalam hal perlawanan diterima,
maka persidangan terhadap perkaranya dilakukan
dengan acara biasa oleh Majelis Hakim yang sama,
dengan nomor perkara yang sama.
4. Gugatan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
Ketua Pengadilan diajukan dalam waktu 14 hari
setelah Penetapan Ketua Pengadilan diucapkan.
5. Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal
dilakukan dengan cara mengajukan gugatan biasa
(vide Pasal 62 ayat 3b  jo. Pasal 56).
6. Untuk melengkapi gugatan perlawanan dilampirkan
salinan Penetapan Dismissal Ketua PTUN yang
bersangkutan.
Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan
dibenarkan oleh Majelis Hakim Perlawanan
yang memutus gugatan perlawanan, maka
putusannya harus disusun dalam bentuk yang
mengacu ketentuan Pasal 109, yaitu memuat :
Pasal 109
1. Kepala Putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
2.  Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat Kediaman atau Tempat
Kedudukan para pihak yang bersengketa.
3.  Pertimbangan dan penilaian Ketua Pengadilan atau Majelis yang
memutusnya.
4.  Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
5.  Amar putusan tentang sengketa yang bersangkutan.
6.  Hari, tanggal putusan, nama Majelis yang memutus, nama Panitera,
serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Akibat hukum apabila Penetapan Dismissal Ketua
dibenarkan atau menurut pendapat Majelis
perlawanan gugatan perlawanan tidak berdasar
atau tidak dapat diterima, maka terhadap putusan
Majelis perlawanan yang dilakukan dengan acara
singkat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum
(vide Pasal 62 ayat 6). Akibatnya terhadap
Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan menjadi
berkekuatan hukum tetap seperti putusan akhir
terhadap pokok perkaranya.
Pemeriksaan di
Persidangan
PTUN
Pemeriksaan
• Terdiri dari :
– Pemeriksaan pendahuluan
– Pemeriksaan Persidangan
• Acara yang digunakan :
– Acara Singkat;
– Acara Cepat;
– Acara Biasa.
• Acara Singkat tidak memeriksa pokok
sengketa.
Pemeriksaan Pendahuluan
• Penelitian Segi Administratif;
– Dilakukan oleh Panitera, hanya syarat2 formalnya yang
diperiksa.
• Rapat Pemusyawaratan (Pasal 62);
– Dilakukan oleh Ketua Pengadilan, untuk menyring perkara;
– Tahap ini disebut juga dismissal proses;
• Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63)
– Dilakukan oleh Majelis Hakim, untuk melengkapi gugatan
yang kurang jelas;
– jika permohonan acara cepat dikabulkan, maka tidak ada
tahap ini.
Acara Singkat
• prosedur acara yang digunakan untuk memeriksa
perlawanan dari penggugat terhadap penetapan
Ketua PTUN dalam tahap Rapat Permusyawaratan
(lihat pasal 62).
• Acara singkat ini digunakan untuk memeriksa
pemeriksaan perlawanan dan pemutusan terhadap
upaya perlawanan. Jika perlawanan dibenarkan,
maka penetapan dismissel Ketua PTUN gugur demi
hukum,
• selanjutnya pokok gugatan akan diperiksa dengan
menggunakan acara biasa. Terhadap putusan ini
tidak ada upaya hukum
Acara Cepat
• diatur dalam Pasal 98-99, dipimpin oleh hakim tunggal.
• Pemeriksaan dengan acara ini didahului oleh adanya
permohonan kepada ketua pengadilan dengan alasan
adanya kepentingan dari penggugat yang cukup mendesak.
• Dalam waktu 14 hari setelah permohonan ketua pengadilan
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidaknya
permohonan.
• Jika dikabulkan, tujuh hari setelah penetapan oleh ketua
pengadilan harus sudah ditentukan waktu dan tempat
sidang tenpa pemeriksaan persiapan.
• Tenggang waktu jawab-jinawab tidak boleh melebihi waktu
14 hari. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal
Acara Biasa
• Pemeriksaan dengan acara biasa diatur mulai
Pasal 68.
• Jangka waktu pemeriksaan tidak boleh melebihi
waktu 6 bulan sejak registrasi perkara;
• Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim.
• Pemeriksaan diawali dengan adanya pemeriksaan
persiapan.
• Jangka waktu pemanggilan dengan pemeriksaan
tidak boleh kurang dari 6 hari.
PROSES BERACARA DI PTUN
DISMISSAL
Keputusan PROSES OLEH
PEMERIKSAAN
Final Gugatan KETUA PTUN Lolos PERSIAPAN
(Pasal 62) (Pasal 63)

N.O

VERZET
PEMERIKSAAN
DALAM SIDANG
- Pasal 68
GUGATAN - Pasal 98
PERLAWANAN
d.t.w. 14 hari

PUTUSAN
(Pasal 108)
BAGAN PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI
PTUN
GUGATA TAHAP I
Penelitian
N Administrasi
TAHAP II
a. Proses Dismissal
b. Menolak/mengabulkan permohonan Penundaan
PANITERA
PelaksanaanKeputusan Tata Usaha Negara (Skorsing)
c. Menolak/mengabulkan permohonan pemeriksaan
Cuma-Cuma
d. Menolak/mengabulkan pemeriksaan acara cepat.
KETUA
e. Menetapkan perkara diperiksa dengan acara biasa.
TAHAP III
- Pemeriksaan Persiapan
TAHAP IV
MAJELIS
- Sidang Terbuka untuk Umum
PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DENGAN
ACARA CEPAT
( Pasal 98 dan Pasal 99 UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun 1986 )
• Gugatan
KETUA PTUN PENETAPAN
• disertai permohonan
d.t.w. 14 hari
• acara cepat

Permohonan diterima Permohonan ditolak


sekaligus dalam penetapan tersebut
Penunjukkan Hakim Tunggal ditetapkan Pemeriksaan dilaksanakan
d.t.w. 7 hari dengan Acara Biasa

Penetapan hari sidang


Tanpa Pemeriksaan Persiapan

Jawaban dan Pembuktian


masing-masing pihak tidak
lebih dari 14 hari

KESIMPULAN

PUTUSAN
TAHAP PEMERIKSAAN PERKARA
DENGAN ACARA BIASA
Pemeriksaan Persiapan PEMBACAAN
oleh Majelis Hakim SURAT GUGATAN

JAWABAN
Tujuannya adalah Tergugat
untuk melengkapi
REPLIK
gugatan yang kurang Penggugat
jelas
DUPLIK
Tergugat
- Bukti Surat/Tulisan
PEMBUKTIAN - Bukti Saksi-Saksi

KESIMPULAN

PUTUSAN
Pembuktian
PEMBUKTIAN PTUN( Diatur dalam Pasal 100 s.d Pasal 107 )

Pasal 100
(1)  Alat bukti ialah :
surat atau tulisan;
keterangan ahli;
keterangan saksi;
pengakuan para pihak;
pengetahuan Hakim.
(2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak
perlu dibuktikan.
Pasal 101
Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah:
• akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan
seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundang-
undangan berwenang membuat surat itu dengan maksud
untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
• akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan
ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan
maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya;
• surat-surat lainnya yang bukan akta.
Pasal 102
(1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang
diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui
menurut pengalaman dan pengetahuannya.
(2)  Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai
saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh
memberikan keterangan ahli.
Orang yang tidak boleh didengar
sebagai saksi (Pasal 88)
• Keluarga sedarah atau semenda menurut
garis keturunan lurus keatas atau kebawah
sampai derajat kedua dari salah satu pihak
yang bersengketa;
• Isteri atau suami salah satu pihak yang
bersengketa, meskipun sudah bercerai;
• Anak yang belum berusia tujuh belas tahun;
• Orang yang sakit ingatan
Pasal 89
Orang yang dapat minta pengunduran diri dari
kewajiban untuk memberikan kesaksian
• saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan
perempuan salah satu pihak;
• setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau
jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu
yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau
jabatannya itu.
• Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk
merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud
dalam  huruf b, diserahkan kepada pertimbangan
Hakim.
Pasal 103

(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah


satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua
Sidang dapat menunjuk seseorang atau
beberapa orang ahli.
(2) Seorang ahli dalam persidangan harus
memberi keterangan baik dengan surat maupun
dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah
atau janji menurut kebenaran sepanjang
pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Pasal 104

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti


apabila keterangan itu berkenaan dengan hal
yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi
sendiri.
Dalam menilai suatu kesaksian, hal-hal yang harus diperhatikan hakim sebagai berikut :

• Alasan-alasan saksi untuk memberikan keterangan


• Perikehidupan, kedudukan, dan martabat saksi
dalam masyarakat setempat dan segala sesuatu
yang dapat mempengaruhi saksi dalam
memberikan keterangannya
• Kesesuaian antara kesaksian yang satu dengan
yang lainnya
• Kesesuaian kesaksian dengan suatu alat bukti
lainnya yang diajukan dalam perkara tersebut.
Pasal 93
Jika Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib
datang sendiri di persidangan
Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil
sebagai saksi di Pengadilan tidak dibebankan
sebagai biaya perkara.
 
Pasal 94
• Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam
persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang
bersengketa.
• Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi
tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan,
maka saksi dapat di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak
yang bersengketa.
• Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di
persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh
hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang di tempat kediaman
saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar
saksi tersebut.
Pasal 105
Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.
Dalam Hukum Acara dikenal ada dua macam pengakuan :
• Pengakuan yang diberikan di depan persidangan
• Pengakuan yang diberikan di luar persidangan
Penilaian terhadap alat bukti Pengakuan yang diberikan di depan
persidangan dengan yang di luar persidangan mempunyai
kekuatan pembuktian yang berbeda. Pengakuan di luar
persidangan penilainnya diserahkan kepada pertimbangan
hakim, sebagai alat bukti bebas konsekuensuinya hakim bebas
menilainya bisa sebagai petunjuk  bukti permulaan saja.
Pasal 106
Pengetahuan Hakim adalah hal yang
olehnya diketahui dan diyakini
kebenarannya.
 
PENGUJIAN ATAU PENILAIAN HASIL
PEMBUKTIAN
Pasal 107

Hakim menentukan apa yang harus


dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian, dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya
dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.
Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha
menemukan kebenaran materiel.
Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka
dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa
bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan
Tata Usaha Negara dapat menemukan sendiri:
1. apa yang harus dibuktikan;
2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan
oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan
oleh Hakim sendiri;
3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam
pembuktian;
4. kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan
Dalam PTUN dianut teori pembuktian bebas
yang terbatas. Dikatakan bebas terbatas adalah
karena alat-alat bukti yang boleh digunakan
dalam pembuktian suatu perkara TUN telah
ditentukan secara limitatif dalam Pasal
100.Selain itu juga dalam Pasal 107 hakim
dibatasi wewenangnya untuk menilai sahnya
pembuktian, yaitu paling sedikit harus ada dua
alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Keputusan
PTUN
Majelis hakim dapat membuat suatu putusan
guna menyelesaikan sengketa TUN
berdasarkan atas fakta dan bukti yang
diperoleh selama persidangan.
Untuk menentukan hal ini, hakim akan
bermusyawarah secara tertutup dalam suatu
ruangan untuk memutuskan putusan yang
akan dijatuhkan
• Putusan yang dibuat dalam musyawarah majelis hakim
yang dipimpin oleh hakim ketua sidang merupakan hasil
permufakatan bulat.
• Bila musyawarah majelis hakim tersebut tidak dapat
menghasilkan putusan, maka musyawarah ditunda sampai
musyawarah selanjutnya.
• Bila pada musyawarah berikutnya majelis hakim tidak
dapat membentuk putusan akhir, maka hakim ketua sidang
yang menenentukan putusan akhir.
Jenis Putusan

Putusan yang bukan putusan akhir


• Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Putusan
Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun
diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan
tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita
acara sidang”.
• Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan
akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding
bersama-sama dengan putusan akhir”.
Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan
oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara selesai yang mengakhiri
sengketa tersebut pada tingkat pengadilan
tertentu. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
97 ayat (7)
1. Gugatan ditolak

Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah


putusan yang menyatakan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang menimbulkan
sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan
Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal
atau dinyatakan sah.
2. Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah
putusan yang menyatakan bahwa Keputusan
Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa
Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha
Negara yang dinyatakan batal atau tidak sah.
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh
tergugat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
97 ayat (9), berupa:
• pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan, atau
• pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara
yang bersangkutan dan penerbitan Keputusan
Tata Usaha Negara yang baru, atau
• penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara
baru.
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat
(10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh
Tergugat tersebut dapat disertai pembebanan
ganti kerugian. Di samping, pembebanan ganti
kerugian terhadap gugatan dikabulkan
berkenaan dengan kepegawaian dapat juga
disertai rehabilitasi atau kompensasi.
3.Gugatan tidak dapat diterima

Putusan yang berupa gugatan tidak diterima


adalah putusan yang menyatakan bahwa
syarat-syarat yang telah ditentukan tidak
dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh
penggugat.
4. Gugatan gugur

Putusan yang berupa gugatan gugur adalah


putusan yang dijatuhkan hakim karena
penggugat tidak hadir dalam beberapa kali
sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut
atau penggugat telah meninggal dunia.
Isi putusan Pasal 109 ayat (1), harus memuat:

a.  Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau tempat
kedudukan para pihak yang bersengketa;
c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal
yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f.  Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera,
serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Sistematika Putusan
1. Pembukaan
2. Tentang kedudukan perkara
3. Tentang pertimbangan hukumnya
4. Kesimpulan
5. Diktum atau amar
6. penutup
1. Pembukaan
a. Kata putusan atau penetapan
b. Nomor perkara
c. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan
Yang Maha Esa”
d. Pengadilan yang menjatuhkan putusan atau
mengeluarkan penetapan
e. Identitas penggugat dan tergugat, dengan
kuasa hukumnya
• Irah-irah tersebut mengingatkan kepada
hakim akan bersumpah jabatannya, bahwa
hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada
hukum, diri sendiri, dan rakyat, tetapi juga
bertanggung jawab kepada tuhan Yang Maha
Esa.
2. Tentang duduk perkara
• Uraian singkat dari gugatan, jawaban, replik,
duplik, serta alat-alat bukti.

• Meski uraian secara singkat, tetapu uraian


singkat tersebut harus jelas dan terang dapat
menggambarkan duduk perkara yang di
periksa dan diputus oleh hakim.
3. Tentang pertimbangan Hukumnya

• Penilaian mengenai alat-alat bukti terhadap


fakta-fakta yang diajukan atau yang dibantah
oleh penggugat atau tergugat
• Pertimbagan hukum menjadi sangat penting
dan menentukan karena pertimbangan hukum
yang tidak cukup akan menjadi alasan untuk
membatalkan putusan tersebut dalam
pemeriksaan
4. Kesimpulan
• Kesimpulan merupakan penilaian akhir, juga
merupakan penutup dari pertimbangan
hukum yang disebut dalam suatu putusan
5. Diktum atau Amar
• Gugatan ditolak
• Gugatan dikabulkan
• Gugatan tidak diterima
• Gugatan gugur

Pasal 97 ayat 7 uu Peratun


Kekuatan Hukum dari Putusan
a.  Kekuatan pembuktian.
Kekuatan pembuktian dari putusan hakim
adalah kekuatan hukum yang diberikan
kepada suatu putusan hakim bahwa dengan
putusan tersebut telah diperoleh bukti
tentang kepastian sesuatu.
kekuatan pembuktian yang sempurna
(Psl 1868 jo Psl 1870 KUHPerdata)
b.  Kekuatan mengikat.
Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah
kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu
putusan hakim bahwa putusan tersebut
mengikat yang berkepentingan untuk menaati
dan melaksanakannya. Karena dalam
Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas Erga
Omnes.
c.  Kekuatan eksekutorial.
Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim
adalah kekuatan hukum yang diberikan
kepada suatu putusan hakim bahwa putusan
tersebut dapat dilaksanakan.
Eksekusi Putusan Tata
Usaha Negara
  Pasal 115 UU Nomor 5 tahun 1986
Putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang dapat
dilaksanakan.
Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara, Prof.
Paulus Effendi Lotulung,
“Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara
dan Problematikanya dalam Praktek”, 
dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang
Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia
Indonesia, 1995).
• Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak
hukum yang akan melaksanakan eksekusi putusan
bisa meminta bantuan aparat keamanan.
• Beda halnya dengan eksekusi putusan
PTUN. eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan
upaya paksa dengan menggunakan aparat
keamanan.
• Istimewanya, Presiden selaku kepala pemerintahan
dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan
putusan PTUN.
Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada
dasarnya dapat berupa:
Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara
("KTUN") yang menimbulkan sengketa dan
menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan
keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus
Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi
otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN
tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak
perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari
pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009:
234)
Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang
mewajibkan pejabat TUN bukan hanya
mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.
Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan
pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana
dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur
tentang keputusan fiktif negatif.
Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan
pejabat yang tidak melaksanakan putusan
Pengadilan diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja.
Begitu batas waktu lewat, penggugat
mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan agar tergugat melaksanakan
putusan
Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan lebih
lanjut, ketua pengadilan mengajukan
ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi
dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi
pengawasan.
Dari rumusan ini jelas bahwa Presiden punya
kewenangan memaksa pejabat TUN untuk
melaksanakan putusan
Upaya Hukum
Upaya hukum adalah hak bagi pihak yang
dikalahkan oleh pengadilan untuk tidak
menerima putusan hakim. Upaya hukum dalam
PTUN terhadap suatu putusan hakim dapat
ditempuh melalu:
a. Pemeriksaan banding
 Pemeriksaan ditingkat banding adalah
pemeriksaan judex factie pada tingkat akhir.
Pemeriksaan dilakukan kembali secara menyeluruh.
 Permohonan pemeriksaan banding yang diajukan
secara tertulis oleh pemohon atau kuasa hukumnya
kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut
dalam tenggang waktu 14 hari sesudah diputus
secara sah, yang disertai dengan pembayaran uang
muka biaya perkara terlebih dahulu (Pasal 123 UU
No. 5 Tahun 1986).
 Putusan pengadilan yang bersifat putusan akhir yang
tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding oleh
Pengadilan Tinggi TUN adalah :
a. Penetapan dismissal (Pasal 62 ayat 1)
b. Putusan perlawanan (Pasal 62 ayat 6)
c. Putusan penundaan pelaksanaan putusan yang
digugat (Pasal 67)
d. Putusan perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi
putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal
118 ayat 1).
Pengadilan Tinggi TUN memeriksa dan memutus perkara
banding dengan paling sedikit tiga orang hakim. Bila
Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan
PTUN kurang lengkap, maka tindakan yang dapat
dilakukan oleh Pengadilan Tinggi TUN dalam hal seperti itu
adalah:
a. Mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan
pemeriksaan tambahan
b. Memerintahkan PTUN pada tingkat pertama yang
bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan
tambahan tersebut
Putusan Pengadilan Tinggi TUN terhadap
sengketa TUN yang dimohonkan banding
tersebut dapat berupa:
a. Menguatkan putusan pengadilan tingkat
pertama
b. Membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian
dari putusan hakim pada tingkat pertama
dengan mengadili sendiri kembali terhadap
perkara TUN tersebut
b. Pemeriksaan kasasi
Mahkamah Agung sebagai lembaga
Pengadilan Negara Tertinggi merupakan
pengadilan kasasi terhadap putusan-putusan
yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi TUN
atau pengadilan tingkat terakhir dari semua
lingkup peradilan yang ada.
(Pasal 29 UU No. 14 Tahun 1985)
Pemeriksaan kasasi dalam lingkungan
Peradilan TUN hanya diatur dalam satu pasal
saja, yaitu Pasal 131 UU No. 5 Tahun 1986.

hukum acaranya ditetapkan sesuai ketentuan


Pasal 55 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung
Permohonan kasasi dapat diajukan dengan
syarat sebagai berikut:
a. Pemohon telah menempuh upaya hukum
banding terhadap perkaranya, kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang
b. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan
satu kali saja.
Prosedur pengajuan kasasi

 Permohonan kasasi diajukan oleh para pihak yang


bersengketa atau kuasanya secara tertulis atau lisan dalam
tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan
pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon
 Permohonan kasasi tersebut diajukan melalui panitera
PTUN (tingkat pertama) yang memutuskan perkara tersebut
 Jika tenggang waktu 14 hari tersebut terlampaui tanpa ada
pengajuan permohonan kasasi oleh pihak yang bersengketa,
maka pihak yang bersengketa dianggap telah menerima
putusan pengadilan tersebut
 Setelah pemohon membayar biaya perkara, panitera
berkewajiban melakukan beberapa hal yaitu:
1. Mencatat permohonan kasasi dalam buku register
2. Pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi
yang dilampirkan pada berkas perkara
3. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari setelah
permohonan kasasi terdaftar, panitera
memberitahukan secara tertulis mengenai
permohonan tersebut.
 Panitera mengirimkan seluruh berkas perkara (meliputi
permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori
kasasi, perkara-perkara lain)

a. Panitera Mahkamah Agung melakukan tindakan:


b. Mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar
dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal
penerimaannya
c. Membuat cacatan singkat tentang isinya
d. Melaporkan semua itu kepada Ketua Mahkamah Agung
Perlawanan oleh pihak ketiga
Perlawanan pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam proses perkara
menurut Pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986 harus diajukan dengan beberapa
persyaratan sebagai berikut:
a. Pihak ketiga tersebut belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama
pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83.
b. Adanya hubungan kepentingan dengan pelaksanaan putusan pengadilan.
c. Gugatan perlawanan tersebut harus diajukan pada saat sebelum
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tersebut
dilaksanakan
d. Gugatan perlawanan dibuat dengan memuat alasan-alasan tentang
permohonan pihak ketiga dengan memenuhi syarat-syarat formil dan
materiil sebuah gugatan (Pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986)
d. Peninjauan kembali
 Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal
132 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang
menyebutkan bahwa:
 Ayat (1): “terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan
permohonan PK pada MA.”
 Ayat (2): “acara pemeriksaan PK ini dilakukan
menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung.”
• Permohonan kasasi
kasasi pemeriksaan terhadap keputusan
pengadilan dalam tingkat peradilan yg terakhir
apakah ada kesalahan atau kekeliruan dlm
penerapan hukumnya.
 Peninjauan Kembali  Permohonan peninjauan
Kembali thdp putusan pengadilan yg tlh memperoleh
kekuatan hkm tetap merupakan wewenang eklusif
Mahkamah Agung.
 Peninjauan Kembali  Permohonan peninjauan
Kembali thdp putusan pengadilan yg tlh memperoleh
kekuatan hkm tetap merupakan wewenang eklusif
Mahkamah Agung.
 Mahkamah Agung akan memutuskan permohonan PK
pd tingkat pertama da terakhir.
Alasan-alasan
PK diatur dlm Pasal 67-75 UU No. 14 tahun
1986
 Apabila putusan didasarkan pada suatu
kebohongan atau tipu muslihat phk lawan yg
diketahui stlh perkaranya diputus atau
didasarkan pada bukti2 perdana dinyatakan
palsu
 Apabila stlh perkara diputus ditemukan surat2
bukti yg bersifat menentukan yg pd waktu
pekara diperiksa tdk dpt ditemukan
 Apabila tlh dikabulkan suatu hal yg tdk
dituntut atau lbh daripada yg dituntut
 Apabila mengenai suatu bagian dr tuntutan
blm diputus tanpa dipertimbangkan
seab2nya
 Apabila antara phk2 yg sama mengenai soal
yg sama atas dasar yg sama, oleh pegadilan
yg sama, atau sama tingkatnya tlh diberikan
putusan yg satu dg lainnya bertentangan
 Apabila dlm suatu putusan trdapat
ketentuan2 yg bertentangan satu dg yg
lainya.
PENERAPAN DISKRESI
DALAM PEMBUATAN
KTUN
Diskresi merupakan keputusan dan/atau
tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan
oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan.
• Istilah diskresidapat kita temukan dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi
pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah
terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin
akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan,
memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat
dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan
peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan
azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan
memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga
masyarakat.
Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014
Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan
yang ditetapkan dan/atau dilakukan
oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang
memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya
stagnasi pemerintahan.
Pasal 6 ayat (2) huruf e jo ayat (1) UU 30/2014.

Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya


merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh
pejabat pemerintahan dalam mengambil
keputusan dan/atau tindakan. Demikian yang
diatur dalam 
Pasal 1 angka 3 UU 30/2014:

 Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah


unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan,
baik di lingkungan pemerintah maupun
penyelenggara negara lainnya.
Hal-hal penting menyangkut diskresi yang
diatur dalam UU 30/2014 antara lain:
1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat
pemerintahan yang berwenang [Pasal 22 ayat
(1)]
2. Setiap penggunaan diskresi pejabat
pemerintahan bertujuan untuk Pasal 22 ayat (2)
dan penjelasan]:
a.    melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
b.    mengisi kekosongan hukum;
c.    memberikan kepastian hukum; dan
d.    mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan
tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Adapun yang dimaksud dengan stagnasi
pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya
aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau
disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan,
contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.
3.    Diskresi pejabat pemerintahan meliputi [Pasal 23]:
a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan;
b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena
peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena
peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak
jelas; dan
d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya
stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
4.    Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus
memenuhi syarat [Pasal 24]:
a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 ayat (2);
b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan;
c. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
(AUPB);
d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan
f. dilakukan dengan iktikad baik.
5.   Penggunaan diskresi yang berpotensi
mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh
persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persetujuan dimaksud dilakukan apabila
penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum
yang berpotensi membebani keuangan negara
[Pasal 25 ayat (1) dan (2)]
 

Anda mungkin juga menyukai