1. Kasus Posisi Tembakau Bremen (kayaknya disuruh bentuk narasi) 1. Pemerintah mengambil alih perusahaan-perusahaan Belanda pada tahun 1958. Berkaitan dengan nasionalisasi ini, timbul gugatan perusahaan tembakau Belanda di Bremen, Jerman. 2. Perusahaan tembakau yang awalnya dimiliki oleh NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV SenembahMaatschappi, dinasionalisasi dengan ganti kerugian, dan sebagai gantinya Indonesa mendirikan Pusat Perkebunan Negara (PPN) Baru. 3. Lalu, pemerintah menetapkan Bremen sebagai kota untuk memperdagangkan tembakau. Karena itu, terbentuklah Deutsche-Indonesische Tabakhandels GmbH, perusahaan patungan PPN Baru dengan pedagang-pedagang tembakau asal Bremen. 4. Pihak Deli-Senembah (Belanda) menilai tindakan nasionalisasi tersebut sebagai suatu tindakan barbar dan adalah bentuk tekanan politik dengan masalah pembebasan Irian Barat dari Belanda. 5. Pihak Indonesia dengan Maskapai Tembakau JermanIndonesia digugat oleh pihak Belanda di pengadilan negeri Bremen. 6. Sidang dilakukan di Landericht, Bremen, Jerman 7. Secara tidak langsung, keputusan di pengadilan negeri Bremen membenarkan nasionalisasi perusahaan dan perkebunan milik Belanda oleh pemerintah Indonesia. 8. Keputusan Pengadilan Negeri Bremen menyatakan bahwa PN Bremen tidak mencampuri sah tidaknya tindakan ambil alih dan nasionalisasi pemerintah Indonesia , namun nasionalisasi tersebut dapat membenarkan tindakan terhadap perusahaan milik Belanda tersebut (keputusan Landsgericht Bremen pada tanggal 21 April 1959). 9. Putusan Landgericht pada tanggal 21 April 1959 dan 16 Juni 1959 menolak gugatan pihak Deli-Senembah. 10. Pihak Belanda (Verenigde Deli Maatschapijen) mengajukan banding dan mendalilkan bahwa tindakan Indonesia dalam menasionalisasi bekas perusahaan Belanda tidak sah karena ganti rugi yang ditawarkan tidak efektif, serta merta, dan setimpal 11. Karena adanya gugatan banding maka sengketa diselesaikan melalui pengadilan tinggi Oberlandesgericht, Bremen. 12. Pihak perusahaan Jerman-Indonesia dan pemerintah Indonesia membantah dalil Belanda tersebut dengan mengataka bahwa nasionalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia adalah usaha untuk mengubah
struktur ekonomi Indonesia dari ekonomi kolonial. 13. Pengadilan Jerman menerima argumentasi Indonesia karena apabila kompensasi yang bersifat prompt, effective, dan adequate diterapkan, maka upaya memperbaiki perekonomian pasca-kolonialisme akan siasia akibat habisnya kas negara untuk membayar kompensasi kepada pihak Belanda. Karena itu, kompensasi yang wajib dibayar harus memperhatikan kemampuan Indonesia. 14. Maka itu, Indonesia menyediakan ganti kerugian sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1959 bahwa dari penjualan hasil perkebunan tembakau dan perkebunan lainnya akan disisihkan suatu presentase tertentu untuk dialokasikan bagi pembayaran ganti rugi. 15. Banding dari pihak Belanda akhirnya diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Bremen yang menetapkan bahwa pengadilan tidak mempersoalkan keabsahan tindakan nasionalisasi pemerintah Indonesia, yang secara tidak langsung menyatakan bahwa nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia atas perkebunan Belanda adalah sah. 16. Pada tanggal 21 Agustus 1959, Pengadilan Tinggi Oberlandesricht Bremen mengeluarkan putusan yang menguatkan putusan Landgericht (Putusan Oberlandesgericht Bremen tanggal 21 Agustus 1959). 2. Ya, jelas terdapat pesoalan Ketertiban Umum dalam Kasus Tembakau Bremen. Definisi daripada Ketertiban Umum itu sendiri hingga saat ini belum secara jelas disepakati dan dirumuskan oleh para ahli. Prof. Sudargo Gautama menyatakan bahwa kaidah kaidah hukum asing yang seharusnya diperlakukan menurut ketentuan ketentuan hukum perdata internasional Indonesia, tidak akan dipergunakan apabila ketentuan ketentuan itu bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan baik. Dalam kasus ini, persoalan ketertiban hukum yang ada tercermin dalam nasionalisasi perkebunan tembakau di Deli yang awalnya dimiliki oleh NV Verenigde Deli-Maatschappijen dan NV SenembahMaatschappi. Tindakan nasionalisasi yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam hal ini dianggap mencederai prinsip dalam hukum internasional dimana nasionalisasi harus disertai dengan pemberian ganti rugi / kompensasi yang prompt, effective, adequate. Disamping itu negara negara pada umumnya, termasuk Jerman dimana gugatan diajukan, sangat menjunjung tinggi pengakuan
akan hak milik. Maka tindakan nasionalisasi yang dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dianggap melanggar ketertiban umum Jerman, dalam kasus ini pelanggaran akan hak milik. Ditinjau dari syarat ketertiban umum, maka kaidah yang dianggap bertentangan haruslah manifestly incompatible, dalam artian bahwa jelas jelas bertentangan dan tidak mungkin dipasangkan (compatible) dengan kaidah / prinsip dasar yang dianut suatu negara. Dalam kasus ini, pengakuan akan hak milik adalah suatu prinsip dasar negara Jerman. Maka, syarat daripada Ketertiban Umum telah terpenuhi. Ditinjau dari relativitas ketertiban umum, tidak ada suatu ketertiban umum yang bersifat tetap / permanen. Hal ini disebabkan ketertiban umum sangat dipengaruhi oleh perbedaan tempat dan waktu, dimana apa yang dianggap sebagai ketertiban umum pada waktu dan tempat tertentu, belum tentu dianggap demikian pada waktu dan tempat yang berbeda. Dalam kasus ini, hak milik yang dianggap sebagai ketertiban umum di Jerman, dipandang berbeda di Indonesia(perbedaan tempat). Hal ini mengingat bahwa Indonesia yang baru merdeka menempatkan kepentingan perubahan struktur ekonomi nasional diatas kepentingan hak milik pribadi. 3. Konsepsi Ketertiban Umum yang tercermin dalam Kasus Tembakau Bremen adalah konsepsi GUYS, BERHUBUNG INI BISA DITINJAU DARI BERBAGAI SISI, BAIK KONSEPSI ITALIA, PERANCIS, MAUPUN JERMAN, JADI PILIH SENDIRI AJA YA GW PUSING AHAHHAAHA B. Mengenai Pilihan Hukum 2. Ya, memang diatur. Dalam Pasal 1338 BW terkandung asas kebebasan berkontrak yang merupakan asas yang mendasari Pilihan Hukum, dimana kebebasan tersebut dibatasi ketentuan dalam Pasal 1337, yaitu selama tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa kebebasan berkontrak tidaklah tak terbatas, dan mengingat bahwa pada dasarnya, HPI adalah bagian dari rezim hukum (perdata) nasional. Disamping ketentuan dalam BW, dalam hukum nasional Indonesia, lembaga pilihan hukum juga dikenal dalam berbagai peraturan perundang undangan, diantaranya dalam Pasal 18 Ayat (2) jo Ayat (3) UU No 11 Tahun 2008 (UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik), UU No 1 Tahun 2009 (UU tentang Penerbangan), dan UU
No 30 Tahun 1999 (UU tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa). Pengakuan akan lembaga pilihan hukum secara spesifik dapat ditemui pada perumusan Pasal 18 Ayat (2) dan (3) UU ITE yang berbunyi sebagai berikut: (2) Para pihak memiliki kewenangan untuk memilih hukum yang berlaku bagi Transaksi Elektronik internasional yang dibuatnya. (3) Jika para pihak tidak melakukan pilihan hukum dalam Transaksi Elektronik internasional, hukum yang berlaku didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional. 3. Teori teori berikut ini adalah teori teori yang dapat digunakan dalam hal para pihak yang berkontrak tidak menyatakan secara tegas Pilihan Hukum yang menguasai atau berlaku atas kontrak, atau dengan kata lain adalah menyatakan Pilihan Hukum secara diam diam (implied). Sebagai akibatnya, maka Hakim harus menyimpulkan berdasarkan teori teori berikut, hukum mana yang sebenarnya dipilih oleh para pihak. i. Lex Loci Contractus Teori ini merupakan salah satu teori mendasar dalam HPI yang merupakan penjabaran lebih lanjut daripada teori locus regit actum (Statuta Mixta). Teori locus regit actum menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap suatu perbuatan hukum adalah hukum tempat dimana perbuatan hukum tersebut dilaksanakan. Secara lebih spesifik, teori lex loci contractus menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap suatu kontrak adalah hukum dimana kontrak tersebut disepakati oleh para pihak. Pada perkembangannya, dengan kemajuan teknologi, para pihak yang berkontrak tidak harus bertatap muka atau bertemu secara fisik dalam menyepakati suatu kontrak. Maka, teori ini dianggap sulit untuk dipertahankan dalam upaya menetukan Pilihan Hukum para pihak yang berkontrak. ii. Lex Loci Solutionis Teori ini merupakan salah satu teori mendasar dalam HPI yang merupakan penjabaran lebih lanjut daripada teori locus regit actum (Statuta Mixta). Teori locus regit actum menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap suatu perbuatan hukum adalah hukum tempat dimana perbuatan hukum tersebut dilaksanakan. Secara lebih spesifik, teori lex loci solutionis menyatakan bahwa hukum yang berlaku terhadap suatu kontrak adalah hukum dimana kontrak tersebut akan dieksekusi / dilaksanakan. Penggunaan teori ini terutama pada kontrak kontrak pembangunan, dimana
pelaksanaan pembangunan (infrastruktur) tunduk pada hukum yang
berlaku di wilayah pembangunan tersebut. iii. Proper Law of the Contract Dalam hal Pilihan Hukum secara diam diam (tersirat, implied) maka indicator yang dapat digunakan oleh Hakim diantaranya adalah penggunaan bahasa, mata uang, dan domisili para pihak berkontrak dalam menentukan hukum mana yang berlaku atas kontrak. Cheshire menyatakan bahwa indicator indicator tersebut akan menunjukkan center of gravity, yaitu akan dapat ditarik kepada suatu center hukum tertentu. iv. Most Characteristic Connection Dalam teori ini, yang dijadikan indicator / penentu hukum maa yang berlaku atas kontrak adalah hukum yang berlaku atas pihak mana yang memiliki prestasi / kewajiban yang paling unik / karakteristik (center of obligation). Contohnya dapat ditemukan dalam kewajiban penjual dalam perjanjian jual beli yang diatur dalam BAB V BW, sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1460 BW yang berbunyi: Jika barang yang dijual itu berupa barang yang sudah ditentukan, maka sejak saat pembelian,barang itu menjadi tanggungan pembeli, meskipun penyerahannya belum dilakukan dan penjual berhak menuntut harganya. Berdasarkan rumusan pasal diatas, dapat dilihat bahwa yang memiliki prestasi/kewajiban yang paling menonjol adalah pihak pembeli. (Pasal ini telah dicabut dengan diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung No 3 Tahun 1963 tentang Gagasan Menganggap Burgerlijk Wetboek Tidak Sebagai Undang Undang. Dalam angka 5 SEMA No 3 Tahun 1963, dinyatakan bahwa dengan dicabutnya Pasal 1460 BW, maka risiko akan musnahnya suatu barang tidak lagi menjadi tanggung jawab pembeli sepenuhnya, melainkan harus dilihat secara kasuistis). C. Mengenai Teori teori HPI lainnya 1. i. Hubungan Renvoi dan Kualifikasi Renvoi (penunjukkan kembali) adalah lembaga dalam HPI yang lahir dari adanya perbedaan prinsip di bidang status personal, yaitu prinsip nasionalitas dan prinsip domisili. Penunjukkan yang dimaksud adalah penunjukan terhadap hukum asing untuk menentukan hukum mana yang berlaku terhadap suatu persoalan HPI.
Kualifikasi adalah penyalinan fakta fakta kedalam pengistilahan
hukum (translated into legal terms) yang kemudian diklasifikasikan kedalam bidang bidang hukum tertentu (classification of facts). Hubungan renvoi dengan kualifikasi dapat dilihat dari penunjukan masing masing teori tersebut. Dalam Renvoi, penunjukan pertama selalu bersifat gesamtverweisung (penunjukkan terhadap kaidah kaidah hukum intern dan ekstern HPI negara lain). Penunjukan kedua kemudian bersifat sachnormverweisung (menunjuk kepada kaidah kaidah intern negara lain). Penunjukan kedua kepada kaidah intern ini ditujukan agar tidak terjadi yang disebut lingkaran setan, yaitu penunjukan terus menerus antara hukum negara negara yang bersangkutan (menganut prinsip berbeda, nasionalitas dan domisili). Sedangkan dalam kualifikasi, hanya terdapat satu kali penunjukan bersifat sachnormverweisung kepada hukum intern negara lain. Apabila penunjukan bersifat gesamtverweisung, maka tidaklah dapat dibedakan kemudian antara renvoi dan kualifikasi. ii. Hubungan Ketertiban Umum dengan Penyelundupan Hukum Keterkaitan antara lembaga Ketertiban Umum dan Penyelundupan Hukum terletak kesamaan tujuan daripada kedua lembaga ini, yaitu pengesampingan keberlakuan kaidah hukum asing demi kepentingan hukum nasional. Perbededaan yang terdapat antara keduanya adalah pertama: 1) faktor yang menyebabkan pengesampingan tersebut, dimana dalam Ketertiban Umum ditentukan oleh sendi sendi asasi hukum nasional, sedangkan dalam Penyelundupan Hukum, pengesampingannya dilatar belakangi oleh penggunaan suatu cara yang tidak dapat dibenarkan. 2) Pada Ketertiban Umum, pemberlakuan hukum nasional dan penolakan terhadap hukum asing adalah bersifat mutlak, artinya bahwa kaidah hukum asing benar benar bertentangan dengan sendi sendi asasi hukum nasional, menyangkut suatu hal yang nyata nyata dilarang. Dalam Penyelundupan Hukum, keberlakuan kaidah hukum asing tersebut iii. Hubungan Renvoi dan Pilihan Hukum Pilihan hukum adalah lembaga dalam HPI yang menentukan hukum mana yang berlaku terhadap suatu persoalan HPI di bidang hukum perjanjian. Kebebasan memilih hukum yang menguasai perjanjian oleh para pihak (autonomy of the parties, partij-otonomie) bersumber dari asas kebebasan berkontrak (freedom of contract). Penggunaan istilah rem darurat digunakan untuk merujuk kepada
lembaga ini, sebab terdapat batasan akan keberlakuan kaidah
daripada hukum asing. Hal yang patut dicermati adalah cakupan daripada Renvoi adalah menyangkut Status Personal, sedangkan Pilihan Hukum menyangkut hukum perjanjian. Namun terdapat hubungan yang dapat digambarkan sebagai berikut, yaitu bahwa Status Personal selalu mendahului Pilihan Hukum. Dalam membuat kontrak, keabsahan suatu kontrak (syarat syarat sah suatu perjanjian) ditentukan berdasarkan hukum nasional masing masing pihak. Sebagai contoh, syarat syarat sahnya suatu perjanjian dimana salah satu pihaknya adalah warga negara Indonesia tunduk pada Pasal 1320 BW. Pilihan Hukum yang kemudian dicantumkan dalam kontrak tidaklah mungkin akan berlaku, apabila perjanjian antara para pihak dari semula tidak sah. Maka, dapat dikatakan bahwa Pilihan Hukum sangatlah bergantung pada Status Personal pihak yang berkontrak, dengan tetap memperhatikan bahwa perbedaan ruang lingkup kedua lembaga ini.
iv. Hubungan Pilihan Hukum dengan Ketertiban Umum
Hubungan antara kedua lembaga ini ditinjau dari keberlakuan suatu hukum asing yang dipilih oleh para pihak yang berkontrak disandingkan dengan ketertiban umum berdasarkan hukum nasional. Kebebasan memilih hukum yang berlaku oleh para pihak sifatnya adalah tidak tak terbatas, dalam artian terdapat batasan batasan terhadap kebebasan tersebut, yaitu kesusilaan dan ketertiban umum. Apabila terdapat kaidah dalam hukum asing yang dianggap oleh hakim bertentangan dengan sendi sendi asasi hukum negara, maka tentunya kaidah tersebut tidak dapat diberlakukan. Penggunaan istilah sendi sendi asasi hukum menunjukkan bahwa ketertiban umum ini tidak diartikan hukum tertulis saja, melainkan juga norma norma yang mendasari sistem hukum daripada suatu negara. v. Hubungan Pilihan Hukum dan Penyelundupan Hukum Pilihan Hukum dan Penyelundupan Hukum erat kaitannya mengingat bahwa dalam kedua lembaga ini pihak pihak berkontrak sama sama memiliki kebebasan dan kelulasaan untuk melakukan perubahan kaidah kaidah hukum yang berlaku atas kontrak para pihak. Perbedaan antara keduanya terletak pada tindakan sewenang wenang para pihak.
Pada Pilihan Hukum, tidak terdapat tindakan sewenang wenang
mengingat para pihak menundukkan diri pada kaidah kaidah hukum intern negara tertentu dan dibatasi oleh kaidah kaidah tersebut. Sedangkan pada Penyelundupan Hukum, para pihak dengan sengaja memilih suatu hukum tertentu untuk menyimpangi ketentuan hukum nasional yang akan berlaku terhadap kontrak mereka dengan tujuan mendapatkan keuntungan tertentu, yang dimana diartiakan sebagai tindakan sewenang wenang.