Anda di halaman 1dari 9

PERTEMUAN KE-11

UPAYA HUKUM DALAM HUKUM ACARA PERADILAN TATA UAHA NEGARA


Dosen : Abdul Hayy Nasution

PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena berkat anugerahNya dan rahmatNya kita masih bisa
bertemu dalam materi kuliah Hukum Peradilan Tata Usaha Negera yang berkaitan dengan
Upaya Hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang diatur dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1986, Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang perubahan
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Baik sengketanya diselesaikan secara langsung ke
Pengadilan Tata Usaha Negara maupun secara tidak langsung melalui upaya administratif
maupun Banding Administratif terlebih dahulu.

TUJUAN PERKULIAHAN

 Menjelaskan tentang cara upaya hukum di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN);
 Menjelaskan tentang cara upaya hukum biasa di Peradilan Tata Usaha Negara
(PERATUN);
 Menjelaskan tentang upaya hukum luar biasa di Pengadilan Tata Usaha Negara;
 Mengajak mahasiswa untuk memahami upaya hukum biasa dan luar biasa beracara di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN);
 Mengajak mahasiswa aktif dalam tanyak jawab;
 Pro test.
DISKRIPSI MATERI

UPAYA HUKUM BISA


1. Banding
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan banding oleh
penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (Pasal 122 UU
No. 5 Tahun 1986)
Baik pemeriksaan tingkat pertama maupun pemeriksaan tiingkat kedua (banding)
merupakan pemeriksaan judex facti. Mengapa pemeriksaan tingkat banding disebut judex
facti , hal ini oleh karena Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa ulang
kembali fakta-fakta, bukti dan penerapan hukumnya.
Pasal 123 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
menyatakan bahwa permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh
pemohon atau kuasanya, yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata
Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah. Permohonan
pemeriksaan banding disertai pembayaran uang muka biaya perkara banding lebih
dahulu, yang besarnya ditaksir oleh panitra.
Untuk tenggang waktu ini dalam juklak Mahkamah Agung No.
224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka 2 memberikan petunjuk
bahwa :
a. Kalau tidak ada keragu-raguan tetang kapan diterimanya surat pemberitahuan putusan
oleh pihak-pihak, maka secara prinsip resi surat pengiriman dapat dijadikan patokan
bahwa pemberitahuan putusan tersebut telah diberitahukan secara sah.
b. Kalau terjadi keragu-raguan tentang kapan diterimanya surat pemberitahuan putusan
tersebut, maka mengenai hal ini diserahkan kepada kearifan hakim dengan suatu
pertimbangan dengan cara mencari petunjuk-petunjuk kapan kemungkinan besar surat
pemberitahuan tersebut diterima oleh yang bersangkutan.

Apabila sampai tenggang waktu tersebut berakhir ternyata pihak yang dikalahkan
tidak menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum banding tersebut, maka
pihak yang dikalahkan dianggap telah menerima putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara tersebut.
Sesudah pembanding mengajukan permohonan banding kepada panitra dan oleh
panitra telah mencatat dalam daftar perkara, selanjutnya panitra memberitahukan
kepada Terbanding atas permohonan pemeriksaan banding dari pembanding tersebut.
Setelah pencatatan dilakukan dalam daftar perkara, maka oleh panitra sesuai
dengan ketentuan pasal 126 UU No. 5 Tahun 1986 akan melakukan:
1. Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah permohonan dicatat, Panitra
memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat
berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam tenggang
waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan tersebut.
2. Salinan putusan, berita acara, dan surat lainnya yang bersangkutan harus
dikirim kepada Panitra Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara selambat-
lambatnya enampuluh hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
3. Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan/atau kontra memori
banding serta surat keterangan dan bukti kepada Panitra Pengadilan Tata
Usaha Negara dengan ketentuan bahwa salinan memori dan / atau kontra
memori diberikan kepada pihak lainnya dengan perantaraan panitra
pengadilan.
Penyerahan memori banding maupun kontra memori banding tidak wajib,
oleh karenanya tidak dibatasi oleh tenggang waktu, maka dengan demikian
memori banding maupun kontra memori banding dapat diserahkan ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sepanjang majelis hakim belum
memutus perkara yang bersangkutan.
Pemeriksaan tingkat banding itu bersifat devolutif, artinya pengadilan tinggi
memindahkan dan mengulangi kembali seluruh pemeriksaan perkara yang pernah
dilakukan oleh pengadilan tingkat pertama (PTUN). Hakim pengadilan tinggi
seakan-akan duduk sebagai hakim tingkat pertama pada waktu memeriksa perkara
tersebut ditingkat banding.
Kekhususan Hukum acara TUN adalah Pengadilan Tinggi TUN selain
memiliki kewenangan untuk memeriksa perkara ditingkat banding sebagai judex
facti tingkat yang terakhir, juga dapat menjalankan fungsi pemeriksaan
pengadilan tingkat pertama untuk gugatan terhadap kepegawaian yang telah
melewati banding administrative.

2. Kasasi
Mahkamah Agung merupakan pengadilan tertinggi dari badan peradilan yang berada
dalam keempat lingkungan peradilan. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undang-undang
menentukan lain. (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) a Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman).
Setelah diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, maka tidak semua putusan
pengadilan tinggi dapat diajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Ini dapat diketahui
dari ketentuan Pasal 45 A menyatakan :
1. Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi mengadili perkara yang memenuhi syarat
untuk diajukan kasasi, kecuali perkara yang oleh undang-undang ini dibatasi
pengajuannya.
2. Perkara yang dikecualikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas :
a. Putusan tentang pra-peradilan.
b. Perkara pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun
dan/atau diancam pidana denda.
c. Perkara tata usaha Negara yang obyek gugatannya berupa keputusan pejabat
daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah yang bersangkutan.
3. Permohonan kasasi terhadap perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau
permohoan kasasi yang tidak memenuhi syarat-syarat formal, dinyatakan tidak dapat
diterima dengan penetapan ketua pengadilan tingkat pertama dan berkas perkaranya
tidak dikirim ke Mahkamah Agung.
4. Penetapan ketua pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat
diajukan upaya hukum lagi.
Rakernas Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan empat lingkngan peradilan
di Batam pada tahun 2006 merumuskan tentang ukuran (parameter) yang dapat
digunakan oleh ketua pengadilan untuk menentukan apakah keputusan pejabat daerah
yang jangkauannya hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan sebagai berikut :
a. Keputuan pejabat daerah tersebut diterbitkan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang secara atributif memberikan kewenangan langsung kepada pejabat
daerah. (jadi, perlu dicermati peraturan dasar yang dijadikan dasar kewenangan
penerbiitan keputusan itu.)
b. Produk keputusannya hanya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
c. Tidak termasuk keputusan itu yakni keptusan yang diterbitkan oleh pejabat daerah
yang sumber kewenangannya berasal dari pelimpahan wewenang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang secara atributif kewenangan tersebut
merupakan kewenangan pejabat pusat.
d. Menyangkut hal tersebut ada wacana :
Bahwa yang dimaksud keputusan yang berlaku di wilayah daerah bersangkutan,
yaitu khusus keputusan kepala daerah yang didasarkan pada kewenangan daerah
berdasarkan asas desentralisasi. Jadi, tidak termasuk keputusan yang diterbitkan
berdasarkan kewenangan yang didasarkan pada asas dekonsentrasi dan asas
medebewind. Dengan kata lain, hanya meliputi keputusan-keputusan yang
diterbitkan oleh pejabat daerah dalam melaksanakan otonomi daerah.
Permohonan kasasi hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 hari (empat belas)
hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan diberitahukan kepada pemohon. Selambat-
lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permohoan kasisasi terdaftar, panitra pengadilan
dalam tingkat pertama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai
permohonan itu kepada pihak lawan/termohon kasasi (Pasal 46 Undang-undang No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung). Setelah tercat dalam buku daftar permohonan kasasi itu oleh
panitra, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari pemohon kasasi wajib menyampaikan pula
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya.
Apabila pemohon kasasi menyampaikan memori kasasi panitra pengadilan yang
memutus perkara dalam tingkat pertama memberikan tanda terima atas penerimaan memori
kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan/termohon kasasi
dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari. Pihak lawan /termohon kasasi berhak
mengajkan surat jawaban terhadap memori kasasi kepada panitra dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari sejak tanggal diterimanyaa salinan memori kasasi (Pasal 47 UU No. 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung).
Pasal 47 di atas mengisyaratkan bahwa pemohon kasasi wajib menyampaikan memori
kasasi yang memuat alasan-alasannya, maka ketentuan tersebut dapat dihubungkan dengan
ketentuan pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tetang Perubahan atas Undang-
Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Alasan-alasan yang dimuat dalam
memori kasasi agar putusan judex facti dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung selaku judex
juris, maka alasan-alasan dalam memori kasasi merujuk pada ketentuan Pasal 30 ayat (1) yang
berbunyi :
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan
dari semua lingkungan peradilan karena :
a. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang.
Tidak berwenang misalnya merupakan kewenangan pengadilan TUN lain, sedangkan
melampaui batas wewenang misalnya dikaitkan dengan pasal 47 UU No. 5 Tahun
1986, Pengadilan TUN bertugas berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
sengketa TUN, contoh sengketa kepemilikan atas tanah adalah perbuatan melawan
hukum merupakan kewenangan Peradilan Umum.
b. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
Salah menerapkan hukum misalnya dikaitkan dengan penerapan hukum pembuktian
Pasal 107 UU No. 5 Tahun 1986, hakim dalam memutus suatu perkara minimal
diperlukan dua alat bukti yang sah ditambah dengan keyakinan hakim, ternyata hakim
hanya berdasarkan satu alat bukti.
c. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Lalai dalam hal ini misalnya hakim dalam putusannya tidak menerapkan ketentuan
Pasal 109 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986, sebab pada ayat (2) menyatakan bahwa
tidak dipenuhinya salah satu ketentuan ayat (1) dapat menyebabkan batalnya putusan
pengadilan.
Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan surat-menyurat
dan hanya jika dipandang perlu :
a. Mahkamah Agung mendengar sendiri para pihak atau para saksi.
b. Memerintahkan pengadilan tingkat pertama atau pengadilan tingkat banding yang
memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi.

Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan Pasal


30 huruf a, maka Mahkamah Agung menyerahkan perkara tersebut kepada
pengadilan lain yang berwenang memriksa dan memutusnya. Dalam hal Mahkamah
Agung mengabulkan permohonan kasasi berdasarkan pasal 30 hurup b dan huruf c,
maka Mahkamah Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi (Pasal 51
UU No. 14 Tahun 1985).
Dalam pengambilan putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan
yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alasan-alasan hukum sendiri
(Pasal 52 UU No. 14 Tahun 1985)

UPAYA HUKUM LUAR BIASA


Peninjauan Kembali
Peninjauan kembali merupakan upaya hukum luar biasa, oleh karena itu menurut ketentuan Pasal
66 bahwa permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya satu kali. Permohonan
Peninjauan Kembali tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
Prosedur permohonan peninjauan kembali di Pengadilan Tata Usaha Negara :
1. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon (diajukan sendiri, ahli warisnya,
atau seorang wakilnya yang secara khusus dikuasakan) dan diajukan secara tertulis
dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu. Salah
satu alasan yang dapat dijadikan dasar untuk mengajukan permohonan peninjauan
kembali dapat diketahui dari ketentuan Pasal 67 huruf a hingga huruf f, yaitu :
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat, pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang
kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b. Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut;
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar
yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan
putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan
yang nyata.
2. Permohonan peninjauan kembali didaftarkan kepada kepanitraan pengadilan Tata Usaha
Negara yang semula memutus pada tingkat pertama yang ditujukan kepada Mahkamah
Agung dengan membayar biaya perkara yang telah ditentukan.
3. Setelah permohonan peninjauan kembali diterima oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara, panitra selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari memberikan atau
mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon (termohon
peninjauan kembali), dengan maksud :
a. Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana
dimaksud Pasal 67 huruf a atau huruf b agar pihak lawan (termohon peninjauan
kembali) mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya. Tenggang waktu
mengajukan jawaban yaitu 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya salinan
permohonan peninjauan kembali. Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada
pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban itu
oleh panitra dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut, yang
salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui.
b. Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan
sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf c hingga huruf f agar dapat diketahui. Dengan
demikian pihak termohon peninjauan kembali berdasarkan ketentuan ini disampaikan
hanya utnuk diketahui.
4. Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat menyurat antara pemohon
dan/atau pihak lain dengan Mahkamah Agung.
5. Permohoan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh panitra
dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari.

Acara pemeriksaan peninjauan kembali dialakukan menurut ketentuan yang dimaksud


dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Adapun pasal
77 ayat (1) menyatakan bahwa dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang
diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan hukum
acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 hingga Pasal 75.

RANGKUMAN

Permohonan Pemeriksaan Banding diajukan secara tertulis oleh Pemohon atau Kuasanya yang khusus
dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan tersebut dalam
tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan itu diberitahukan kepadanya secara sah.
Sedangkan terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan Kasasi kepada
Mahkamah Agung dan Terhadap Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
dapat diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

e-learning

Anda mungkin juga menyukai