ANGGOTA KELOMPOK:
UNIVERSITAS INDONESIA
JAKARTA
2023
0
A. Kasus IMFA v. Republic of Indonesia
Dalam dokumen ini, kami akan memaparkan ringkasan dari sengketa antara Indian
Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA) vs. Pemerintah Indonesia pada Tribunal
Permanent Court of Arbitration. Sengketa ini tercatat pada PCA Case No. 2015-40.
Adapun ringkasan dari putusan tribunal pada sengketa ini yaitu sebagai berikut:
1
III. Kronologi dari Berjalannya Kasus
Lebih lanjut, latar belakang dari sengketa ini didasari oleh uraian peristiwa hukum di
bawah ini, yang telah kami susun secara kronologis. Peristiwa-peristiwa tersebut
adalah sebagai berikut:
Perizinan PT SRI
Berikut adalah serangkaian fakta hukum yang berkaitan dengan kerugian yang
dialami oleh PT SRI:
a. PT SRI memegang Izin Usaha Pertambangan Nomor 569 Tahun 2009 in
concreto izin usaha di bidang eksplorasi Batubara sebagaimana diterbitkan
oleh Pemerintah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah;
b. Kerugian yang dialami oleh PT SRI disebabkan oleh adanya izin usaha
yang saling tumpang tindih yang disebabkan oleh pengaturan berdasarkan
rezim otonomi daerah yang Indonesia terapkan (vide. Pasal 18 UUD NRI
1945 dan UU Pemerintahan Daerah);
c. Pemerintah setempat menyatakan bahwa IUP miliki PT SRI dengan
Nomor 135 Tahun 2008 tidak dapat diperpanjang karena entitas ini tidak
mampu memenuhi persyaratan berupa hasil eksplorasi pertambangan yang
telah dilakukan.
Restrukturisasi PT SRI
PT SRI berdasarkan arahan dari Pemerintah Kabupaten Barito Timur, telah
disarankan untuk melakukan restrukturisasi perusahaan. Fakta hukum mengenai
restrukturisasi tersebut dapat ditemukan pada uraian di bawah ini:
d. Pada tanggal 7 Juni 2010, IMFA melalui anak perusahaannya yaitu
Indmet Mauritius Ltd. yang kemudian memiliki anak perusahaan dengan
nama Indment Mining Pte Ltd. Singapore mengakuisisi saham dari 70 %
dari saham PT SRI (vide. Pasal 125 s.d 127 UU Perseroan Terbatas);
2
e. Pada tanggal 5 Agustus 2010, PT SRI yang pada awalnya merupakan PT
PMDN kemudian berubah menjadi PT PMA setelah akuisisi ini
berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Barito Timur;
f. Penanaman Modal oleh IMFA di PT SRI merupakan hal yang
dipersengketakan oleh IMFA selaku penggugat
3
Argumen Penggugat mengenai FET Standard
Argumen dari IMFA selaku penggugat atau claimant pada sengketa ini adalah
sebagai berikut:
1. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
legitimate expectation (kewajiban negara tuan rumah untuk mempublkasi
aturannya agar investor asing dapat menaati peraturan tersebut) (see. Putusan
pada Tribunal Tecmed v. Mexico);
2. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif. Dalil ini
Penggugat utarakan karena Tergugat telah dianggap gagal dalam menjelaskan
landasan upaya dari pemerintah Indonesia dalam merekonsiliasi perizinan
yang saling tumpang tindih dan karena pemerintah Indonesia telah
menerbitkan IUP yang sama kepada PT Kodio Multicom dan PT MBM;
3. Penggugat juga mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
legitimate expectation (kewajiban negara tuan rumah untuk mempublikasi
aturannya agar investor asing dapat menaati peraturan tersebut) (vide.
Tecmed v. Mexico);
4. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif. Dalil ini
dilandasi oleh pendapat bahwa Tergugat telah gagal dalam menjelaskan
landasan upaya dari pemerintah Indonesia dalam merekonsiliasi perizinan
yang saling tumpang tindih dan karena pemerintah Indonesia telah
menerbitkan IUP yang sama kepada PT Kodio Multicom dan PT MBM;
5. Penggugat juga mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar standar FET
berupa kewajiban bertindak secara transparan dan konsisten. Dalil ini
dilandasi oleh kegagalan Tergugat untuk memberi tahu batas dari lahan yang
dapat diusahakan, dan meningkatkan ketentuan yang mengatur tentang
divestasi oleh pemegang saham asing, setelah Penggugat melakukan akuisisi
atau pengambilalihan terhadap PT SRI;
4
6. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat tidak bertindak berdasarkan itikad
baik berdasarkan UU Penanaman Modal, dengan menerapkan PP Nomor 24
Tahun 2012 yang meningkatkan persentase dari divestasi oleh investor asing;
7. Terakhir, Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar syarat
keadilan formiil dengan menerbitkan perizinan lain yang menyebabkan IUP
Nomor 569 Tahun 2009 tindak memiliki kekuatan hukum.
5
dan PT PBU bukan merupakan izin yang tumpang tindih dengan mengacu
pada ratio temporis dari pengajuan seluruh izin tersebut;
5. Tergugat menjawab dalil transparansi dan konsistensi dengan menyatakan
bahwa Penggugat seharusnya memiliki inisiatif dalam mencari informasi
mengenai perizinan yang telah disediakan oleh Pihak Tergugat dan kurang
melakukan LDD dengan cermat;
6. Tergugat menolak dalil yang menyatakan bahwa diberlakukannya Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tidak didasari oleh itikad baik karena
tindakan ini telah sejalan dengan BIT Indonesia-India;
7. Tergugat menyatakan bahwa dalil pelanggaran terhadap keadilan prosedural
yang disebabkan oleh Penerbitan IUP 569 Tahun 2009 merupakan dalil yang
tidak disertai dengan dasar hukum dan merupakan dalil yang mengada-ngada
atau tidak disertai dengan dasar hukum yang jelas;
8. Tergugat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap proporsionalitas dengan
menyatakan bahwa doktrin ini bukan merupakan doktrin yang tepat untuk
diterapkan pada pemberlakuan standar FET (vide. Perdebatan mengenai
What is fair? and What is Equitable?)
6
terdapat banyak persyaratan hukum dan hambatan praktis bagi PT SRI untuk
melaksanakan kegiatan pertambangannya). Pandangan Tribunal ini didasari
oleh putusan terdahulu pada Tribunal Joseph Lemire v. Ukraine yang
menyatakan bahwa penerapan FET harus ditinjau berdasarkan pendekatan
kasus per kasus (case by case basis).
2. Tribunal juga berpendapat bahwa tindakan Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 bukan merupakan ekspropriasi langsung
ataupun ekspropriasi tidak langsung (yang juga dikenal dengan istilah
creeping expropriation) (vide. Putusan pada Tribunal dalma Kasus
Electrabel SA v. Hungary, ADM v. Mexico, dan Mamidoil v. Republic of
Albania).
7
B. Kasus Kaltim Prima Coal
Walaupun kasus ini merupakan sengketa antara investor asing dengan negara tuan
rumahnya, kasus berupa Investor-State Dispute Settlement ini memiliki keunikan.
Adapun keunikan yang kami maksud yaitu pihak yang berkedudukan sebagai
penggugat adalah pemerintah dari negara tuan rumah. Keadaan ini tentunya berbeda
dengan Investor-State Dispute Settlement pada umumnya, dalam mana penggugat
pada sengketa tersebut adalah investor asing. Ringkasan dari kasus ini kami uraikan
sebagai berikut:
8
BP p.l.c., badan hukum berdasarkan ketentuan hukum England dan
Wales;
Pacific Resources Investments Limited, badan hukum berdasarkan
ketentuan hukum Cayman Islands (Australia).
9
III. Yurisdiksi dari Tribunal ICSID
Adapun yurisdiksi dari Tribunal ICSID dalam memeriksa dan mengadili sengketa ini,
sebagaimana tertulis pada Article 23.1. KPC Contract. Klausul ini memuat rumusan
sebagai berikut:
Article 23.1. KPC Contract: “Except for tax matters, which are subject to the
jurisdiction of the Majelis Pertimbangan Pajak (The Consultative Board for
Taxes),, any dispute between the Parties hereto arising before or after
termination concerning anything related to this Agreement and the
application thereof including contentions that a Party is in default in the
performance of its obligations, shall, unless settled by mutual agreement, or
by mutually satisfactory conciliation, be referred for settlement by arbitration
to the International Centre for Settlement of Investment Disputes pursuant to
the Convention thereon which entered into force on October 14, 1996.”
Klausul ini antara lain menyatakan bahwa apabila salah satu pihak lalai dalam
melaksanakan perjanjian ini, maka para pihak harus menyelesaikannya melalui
Arbitrase ICSID. Adapun sengketa yang tidak dapat dilimpahkan kepada arbitrase ini
yaitu sengketa yang menjadi kewenangan dari Majelis Pertimbangan Pajak.
V. Kronologi Divestasi
Adapun kronologi dari divestasi yang telah dilakukan oleh KPC yaitu sebagai berikut:
Pada tahun 2001, PT KPC setuju bahwa Pemerintah Indonesia akan membeli
51% dari saham yang ditawarkannya berdasarkan harga yang akan disepakati
para pihak;
10
PT KPC memiliki hak istimewa untuk menentukan kepada siapa saham
tersebut akan dijual – BP Rio Tinto;
Berdasarkan Putusan PN Jakpus pada tanggal 8 Maret 2006, Penggugat
menyatakan bahwa Menteri ESDM telah menjanjikan hasil dari divestasi
tersebut;
Pada tanggal 4 April 2001, Berdasarkan semangat otonomi daerah
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk
membeli saham PT KPC dengan mempertimbangkan aspirasi dari Pemerintah
Daerah Kalimantan Timur;
Setelah menuntut KPC baik secara pidana dan perdata di PN Jakarta Pusat,
Penggugat kemudian memberi tahu Menteri ESDM bahwa mereka ingin
membeli saham PT KPC;
Berdasarkan pertemuan antara penggugat dengan Menteri ESDM, penggugat
sepakat untuk menarik laporan pidana dan tuntutan perdata yang dilayangkan
di PN Jakarta Pusat tersebut;
Berdasarkan rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden RI, telah terdapat
kesepakatan bahwa 51% saham menjadi hak dari Menteri ESDM sedangkan
31% dari saham tersebut menjadi hak dari penggugat. DPRD Kalimantan
Timur tidak setuju dengan hasil rapat ini dan ingin agar 51% dari saham harus
diberikan kepada Penggugat;
Terlepas dari ketidaksetujuan tersebut, Menteri ESDM tetap membuat
perjanjian (Framework Agreement) dengan PT KPC dan penggugat
menyatakan bahwa Menteri ESDM telah membentuk perjanjian yang
bertentangan dengan kepentingan nasional;
Pasal 14.1. Framework Agreement menyatakan bahwa sengketa yang timbul
sebagai akibat dari perjanjian ini, termasuk apabila salah satu pihak lalai
dalam melaksanakan perjanjian ini harus menyelesaikan sengketanya
berdasarkan Article 23 KPC Contract.
11
Kontrak ini sempat diadendum sebanyak dua kali sebelum dibatalkan oleh
Pengadilan Negeri Samarinda.
Alasan PN Samarinda membatalkan kontrak ini adalah karena telah
membatasi kewenangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
menguasai sumber daya alam.
Walaupun demikian, perjanjian divestasi ini tetap dilanjutkan dan pada
tanggal 15 Mei 2003, KPC telah menemukan kandidat pembeli saham senilai
51% tersebut. Kandidat tersebut adalah PT Tambang Bukit Asam (Persero)
dengan nilai 20% dan Perusda Melati Bhakti Satya dan Perusda Pertambangan
Dan Energy Kutai Timur dengan nilai 31%.
Framework Agreement ini pada akhirnya dibatalkan oleh para pihak pada
bulan Oktober 2003. Pembatalan ini didasari oleh pemberitahuan oleh
Sanggata Holdings Limited yang bertindak untuk dan atas nama Rio Tinto
kepada Menteri ESDM, PT KPC dan BP International Limited pada bulan
April 2003.
12
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kemudian melayangkan gugatan yang
memuat beberapa dalil sebagai berikut:
1. Penggugat menyatakan bahwa tergugat telah lalai dalam melaksanakan
ketentuan pada Kontrak KPC dan melanggar ketentuan penanaman modal
asing di Indonesia;
2. Atas pelanggaran tersebut penggugat telah mengalami kerugian deviden yang
menjadi haknya (atau kewajiban PT Kaltim Prima Coal untuk
mendistribusikan deviden tersebut), apabila PT Kaltim Prima Coal dan Rio
Tinto serta BP telah melaksanakan kewajiban divestasi saham sebesar 51%-
nya dan patuh terhadap ketentuan di dalam Article 26 KPC Contract;
3. Atas dasar kerugian yang dialami, penggugat kemudian mengajukan gugatan
ganti rugi yang meliputi kerugian, bunga dan permohonan agar tergugat
menanggung biaya perkara.
13
1. Penggugat bukan merupakan suatu negara atau sub divisi dari negara anggota
ICSID dan sengketa ini bukan merupakan sengketa hukum mengingat bahwa
penggugat bukan merupakan bagian dari kontrak;
2. Tidak terdapat ketentuan yang memperbolehkan penafsiran terhadap Article
25 ICSID Convention secara luas atau dalam favorem jurisdictionis.
3. Bahwa penggugat seharusnya menerapkan ketentuan hukum internasional
bukan hukum perdata (vide. CSOB v. Slovak Republic dan Banro
American Resources v. Democratic Republic of Congo);
4. Menteri ESDM tidak pernah melimpahkan kewenangannya kepada Penggugat
berdasarkan UU Otonomi Daerah baik untuk melakukan proses divestasi
ataupun berperkara pada tribunal ini.
5. Penggugat bukan merupakan pihak ketiga yang berhak atas manfaat dari
kontrak KPC (vide. Pasal 1340 KUHPerdata), kecuali apabila perjanjian
tersebut in casu Kontrak KPC memang menyatakan hal yang sedemikian
rupa;
6. Selain bukan merupakan pihak ketiga pada Kontrak KPC, Penggugat juga
bukan merupakan pihak ketiga di dalam Framework Agreement antara
Menteri ESDM dan PT KPC.
14
3. Baik Menteri ESDM maupun Penggugat sama-sama merupakan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Article 1.8 KPC Contract;
4. Penggugat tidak dapat berharap kerja sama dari Menteri ESDM karena
Tergugat dengan Menteri ESDM telah melakukan praktik kolusi;
5. Penggugat merupakan pihak ketiga sebagaimana dimaksud oleh Pasal
1340 jo. Pasal 1317 KUHPerdata;
6. Gubernur Kalimantan merupakan otoritas yang berwewenang berdasarkan
UU Pemerintahan Daerah (vide. Asas Otonomi Daerah di dalam Pasal
18 UUD NRI 1945).
15
merupakan sengketa hukum dan sengketa tersebut timbul sebagai akibat
dari penanaman modal;
2. Dengan merujuk kepada ketentuan di dalam Article 25 dan jawaban
tergugat, tribunal setuju bahwa hukum internasional merupakan hukum
yang diberlakukan dalam menyelesaikan sengketa;
3. Tribunal tetap mempertimbangkan hukum Indonesia dalam menyelesaikan
sengketanya, namun tidak mempertimbangkan putusan terdahulu
pengadilan Indonesia sebagai bagian dari res judicata.
16
2. Penggugat juga bukan merupakan pihak yang memiliki kedudukan hukum
atau judicio standi mengingat bahwa pemerintah pusat in casu Menteri
ESDM tidak pernah memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk
mengajukan langkah hukum pada sengketa ini.
17