Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH HUKUM INVESTASI TERKAIT

PERDAGANGAN: TINJAUAN TERHADAP KASUS IMFA v. REPUBLIC OF


INDONESIA DAN KASUS KALTIM PRIMA COAL

ANGGOTA KELOMPOK:

PUTU GEORGE MATTHEW SIMBOLON

I MADE BAYU BHRASPATI

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2023

0
A. Kasus IMFA v. Republic of Indonesia
Dalam dokumen ini, kami akan memaparkan ringkasan dari sengketa antara Indian
Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA) vs. Pemerintah Indonesia pada Tribunal
Permanent Court of Arbitration. Sengketa ini tercatat pada PCA Case No. 2015-40.
Adapun ringkasan dari putusan tribunal pada sengketa ini yaitu sebagai berikut:

I. Pihak yang Bersengketa


Para pihak yang bersengketa pada Investor-State Dispute Settlement melalui tribunal
ICSID ini adalah sebagai berikut:
Claimant (investor asing yang menggugat): Indian Metals & Ferro Alloys Limited
(IMFA), private limited company (dalam hukum India) yang telah tunduk kepada
hukum Indonesia dengan membentuk perseroan terbatas dengan nama PT Sumber
Rahayu Indah (SRI) (vide. Pasal 5 ayat (2) UU Penanaman Modal);
Respondent (negara tuan rumah yang digugat): Pemerintah Republik Indonesia
(Government of the Republic of Indonesia).

II. Kaidah Hukum yang Berkaitan dengan Sengketa


a. Bahwa penyebab dari sengketa ini adalah diterbitkannya izin tambang yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Timur;
b. Bahwa hukum materiil yang berkaitan dengan kewenangan Tribunal PCA
dalam perkara ini adalah Article 9 huruf (b) Bilateral Investment Treaty antara
Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah India yang diadopsi pada tanggal 8
Februari 1999;
c. Bahwa kaidah hukum acara yang diterapkan pada sengketa ini: United
Nations Commission on International Trade Law Arbitration Rules 1976
(UNCITRAL Arbitration Rules).

1
III. Kronologi dari Berjalannya Kasus
Lebih lanjut, latar belakang dari sengketa ini didasari oleh uraian peristiwa hukum di
bawah ini, yang telah kami susun secara kronologis. Peristiwa-peristiwa tersebut
adalah sebagai berikut:

Perizinan PT SRI
Berikut adalah serangkaian fakta hukum yang berkaitan dengan kerugian yang
dialami oleh PT SRI:
a. PT SRI memegang Izin Usaha Pertambangan Nomor 569 Tahun 2009 in
concreto izin usaha di bidang eksplorasi Batubara sebagaimana diterbitkan
oleh Pemerintah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah;
b. Kerugian yang dialami oleh PT SRI disebabkan oleh adanya izin usaha
yang saling tumpang tindih yang disebabkan oleh pengaturan berdasarkan
rezim otonomi daerah yang Indonesia terapkan (vide. Pasal 18 UUD NRI
1945 dan UU Pemerintahan Daerah);
c. Pemerintah setempat menyatakan bahwa IUP miliki PT SRI dengan
Nomor 135 Tahun 2008 tidak dapat diperpanjang karena entitas ini tidak
mampu memenuhi persyaratan berupa hasil eksplorasi pertambangan yang
telah dilakukan.

Restrukturisasi PT SRI
PT SRI berdasarkan arahan dari Pemerintah Kabupaten Barito Timur, telah
disarankan untuk melakukan restrukturisasi perusahaan. Fakta hukum mengenai
restrukturisasi tersebut dapat ditemukan pada uraian di bawah ini:
d. Pada tanggal 7 Juni 2010, IMFA melalui anak perusahaannya yaitu
Indmet Mauritius Ltd. yang kemudian memiliki anak perusahaan dengan
nama Indment Mining Pte Ltd. Singapore mengakuisisi saham dari 70 %
dari saham PT SRI (vide. Pasal 125 s.d 127 UU Perseroan Terbatas);

2
e. Pada tanggal 5 Agustus 2010, PT SRI yang pada awalnya merupakan PT
PMDN kemudian berubah menjadi PT PMA setelah akuisisi ini
berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Barito Timur;
f. Penanaman Modal oleh IMFA di PT SRI merupakan hal yang
dipersengketakan oleh IMFA selaku penggugat

Perizinan yang Tumpang Tindih


Bahwa permasalahan berupa adanya perizinan yang tumpang tindih inilah yang
kemudian menyebabkan IMFA melalui PT SRI mempermasalahkan Pemerintah
Indonesia pada tribunal arbitrase internasional. Korespondensi antara PT SRI dengan
Pemerintah Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:
g. Pada tanggal 12 Juli 2011, PT SRI telah menghadap kepada Menteri Energi
dan Sumber Daya Mineral setelah adanya pemberitahuan perihal izin yang
tumpang tindih pada bulan April 2011;
h. Berdasarkan informasi yang disediakan oleh Menteri ESDM, IUP yang
dimiliki oleh PT SRI telah tumpang tindih dengan beberapa IUP sebagai
berikut: (i) PT Putra Bara Utama; (ii) PT Puspita Alam Kurnia; (iii) PT
Tanjung Bartim Kurnia; (iv) PT Geo Explo; (v) PT Kodio Multicom; dan (vi)
PT Marangkayu Bara Makarti.
i. Menteri ESDM merespons permasalahan ini dengan menyatakan bahwa IUP
yang tumpang tindih merupakan permasalahan yang umum di Indonesia dan
pemerintah Indonesia melalui menteri ESDM telah berusaha untuk
merekonsiliasi permasalahan ini (obligation of means).

IV. Standard of Treatment dalam Duduk Perkara


Dalam Investor-State Dispute Settlement ini, dapat kami pahami bahwa penerapan
dari prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) merupakan salah substansi hukum
materiil yang mengarahkan baik para pihak dalam menyelesaikan sengketa ini.
Perdebatan mengenai pemberlakuan FET pada sengketa ini adalah sebagai berikut:

3
Argumen Penggugat mengenai FET Standard
Argumen dari IMFA selaku penggugat atau claimant pada sengketa ini adalah
sebagai berikut:
1. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
legitimate expectation (kewajiban negara tuan rumah untuk mempublkasi
aturannya agar investor asing dapat menaati peraturan tersebut) (see. Putusan
pada Tribunal Tecmed v. Mexico);
2. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif. Dalil ini
Penggugat utarakan karena Tergugat telah dianggap gagal dalam menjelaskan
landasan upaya dari pemerintah Indonesia dalam merekonsiliasi perizinan
yang saling tumpang tindih dan karena pemerintah Indonesia telah
menerbitkan IUP yang sama kepada PT Kodio Multicom dan PT MBM;
3. Penggugat juga mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
legitimate expectation (kewajiban negara tuan rumah untuk mempublikasi
aturannya agar investor asing dapat menaati peraturan tersebut) (vide.
Tecmed v. Mexico);
4. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa
perlindungan dari tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif. Dalil ini
dilandasi oleh pendapat bahwa Tergugat telah gagal dalam menjelaskan
landasan upaya dari pemerintah Indonesia dalam merekonsiliasi perizinan
yang saling tumpang tindih dan karena pemerintah Indonesia telah
menerbitkan IUP yang sama kepada PT Kodio Multicom dan PT MBM;
5. Penggugat juga mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar standar FET
berupa kewajiban bertindak secara transparan dan konsisten. Dalil ini
dilandasi oleh kegagalan Tergugat untuk memberi tahu batas dari lahan yang
dapat diusahakan, dan meningkatkan ketentuan yang mengatur tentang
divestasi oleh pemegang saham asing, setelah Penggugat melakukan akuisisi
atau pengambilalihan terhadap PT SRI;

4
6. Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat tidak bertindak berdasarkan itikad
baik berdasarkan UU Penanaman Modal, dengan menerapkan PP Nomor 24
Tahun 2012 yang meningkatkan persentase dari divestasi oleh investor asing;
7. Terakhir, Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar syarat
keadilan formiil dengan menerbitkan perizinan lain yang menyebabkan IUP
Nomor 569 Tahun 2009 tindak memiliki kekuatan hukum.

Argumen Tergugat mengenai FET Standard


Adapun jawaban Pemerintah Indonesia sebagai tergugat (respondent) yaitu sebagai
berikut:
1. Tergugat mendalilkan bahwa penerapan FET merupakan refleksi dari hukum
kebiasaan internasional (customary international law) sehingga harus tetap
diterapkan berdasarkan Neer Decision 1926. Pernyataan ini sejalan dengan
praktik penerapan dari Eggregriousness Standard yang dapat ditemukan
dalam Tribunal pada Kasus Cargill v. Mexico;
2. Tergugat mendalilkan bahwa BIT bukan merupakan asuransi dari keputusan
buruk suatu korporasi;
3. Tergugat menjawab dalil legitimate expectation yang Penggugat sampaikan
dengan menyatakan bahwa standar turunan FET ini harus dipandang secara
proporsional (vide. Putusan Tribunal pada Kasus Crystallex v. Venezuela).
Selain itu, Tergugat juga telah menyatakan bahwa Penggugat telah lalai dalam
melakukan due diligence dan menyatakan bahwa amandemen legislasi
nasional bukan merupakan cakupan dari legitimate expectation;
4. Tergugat menjawab dalil tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif
dengan menyatakan bahwa IUP Nomor 135 Tahun 2009 telah daluwarsa pada
tanggal 28 Maret 2009. Selain itu, Tergugat juga menyatakan bahwa Tergugat
tidak mampu melengkapi dokumen yang diperlukan untuk memperpanjang
izin tersebut). Lebih lanjut, Tergugat juga menyatakan bahwa perizinan yang
diberikan kepada PT BAB, PT Geo Explo, PT Kodio Multicom, PT MBM

5
dan PT PBU bukan merupakan izin yang tumpang tindih dengan mengacu
pada ratio temporis dari pengajuan seluruh izin tersebut;
5. Tergugat menjawab dalil transparansi dan konsistensi dengan menyatakan
bahwa Penggugat seharusnya memiliki inisiatif dalam mencari informasi
mengenai perizinan yang telah disediakan oleh Pihak Tergugat dan kurang
melakukan LDD dengan cermat;
6. Tergugat menolak dalil yang menyatakan bahwa diberlakukannya Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tidak didasari oleh itikad baik karena
tindakan ini telah sejalan dengan BIT Indonesia-India;
7. Tergugat menyatakan bahwa dalil pelanggaran terhadap keadilan prosedural
yang disebabkan oleh Penerbitan IUP 569 Tahun 2009 merupakan dalil yang
tidak disertai dengan dasar hukum dan merupakan dalil yang mengada-ngada
atau tidak disertai dengan dasar hukum yang jelas;
8. Tergugat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap proporsionalitas dengan
menyatakan bahwa doktrin ini bukan merupakan doktrin yang tepat untuk
diterapkan pada pemberlakuan standar FET (vide. Perdebatan mengenai
What is fair? and What is Equitable?)

V. Pertimbangan Hukum Tribunal dan Penemuan Hukum oleh Tribunal


Dalam memutus perkara ini, Tribunal PCA telah mempertimbangkan dua hal sebagai
berikut:
1. Pertimbangan mengenai Berlakunya Standar Fair and Equitable
Treatment: Dalam mempertimbangkan standar ini, Tribunal menyatakan
bahwa “First, the SRI ability to exploit the Production IUP was already
impaired at the date the claimant acquired its alleged indirect investment.
Second, there were still many legal requirements and practical obstacles to
overcome SRI could undertake any mining activity” (Terjemahan Bebas:
Pertama, Kemampuan SRI dalam mengeksploitasi berdasarkan IUP tersebut
telah tidak cocok dengan tanggal dalam mana SRI selaku penggugat
mendapatkan pernyataan mengenai penanaman modal mereka. Kedua, masih

6
terdapat banyak persyaratan hukum dan hambatan praktis bagi PT SRI untuk
melaksanakan kegiatan pertambangannya). Pandangan Tribunal ini didasari
oleh putusan terdahulu pada Tribunal Joseph Lemire v. Ukraine yang
menyatakan bahwa penerapan FET harus ditinjau berdasarkan pendekatan
kasus per kasus (case by case basis).
2. Tribunal juga berpendapat bahwa tindakan Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 bukan merupakan ekspropriasi langsung
ataupun ekspropriasi tidak langsung (yang juga dikenal dengan istilah
creeping expropriation) (vide. Putusan pada Tribunal dalma Kasus
Electrabel SA v. Hungary, ADM v. Mexico, dan Mamidoil v. Republic of
Albania).

VI. Putusan Tribunal


Setelah mempertimbangkan hal-hal di atas, maka Tribunal PCA yang memeriksa dan
mengadili perkara ini memutus hal-hal sebagai berikut:
1. Menerima eksepsi ratio temporis dari Tergugat yang berkaitan dengan
pernyataan tergugat bahwa tindakan yang dituduh oleh tergugat telah
dilakukan sebelum Penggugat melakukan investasi;
2. Menolak permohonan penggugat mengenai seluruh tuduhan penggugat pasca
kegiatan penanaman modal yang dilakukan oleh penggugat;
3. Menolak petitum berupa klaim tuntutan dan klaim bunga yang telah diajukan
oleh Penggugat;
4. Mewajibkan Penggugat untuk membayar sejumlah uang kepada Terugat
untuk menanggung biaya perkara dari tribunal ini.

7
B. Kasus Kaltim Prima Coal
Walaupun kasus ini merupakan sengketa antara investor asing dengan negara tuan
rumahnya, kasus berupa Investor-State Dispute Settlement ini memiliki keunikan.
Adapun keunikan yang kami maksud yaitu pihak yang berkedudukan sebagai
penggugat adalah pemerintah dari negara tuan rumah. Keadaan ini tentunya berbeda
dengan Investor-State Dispute Settlement pada umumnya, dalam mana penggugat
pada sengketa tersebut adalah investor asing. Ringkasan dari kasus ini kami uraikan
sebagai berikut:

I. Pihak yang Bersengketa


Para pihak yang bersengketa pada kasus ini adalah sebagai berikut:
1. Claimant: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (the Government of
Province of East Kalimantan);
2. Respondents:
 PT Kaltim Prima Coal, badan hukum Indonesia yang merupakan
hasil joint venture dari Conzinc RioTinto of Australia Ltd, badan
hukum menurut hukum Australia yang sekarang disebut Rio Tinto
Limited dan p.l.c corporation yaitu badan hukum berdasarkan hukum
England dan Wales dengan persentase saham 50:50.
 Sangatta Holdings Limited, yaitu badan hukum asing yang telah
diambil alih oleh PT Bumi Resources Tbk, yaitu badan hukum
perseroan terbatas (publik) yang memperdagangkan sahamnya di pasar
modal Indonesia;
 Rio Tinto plc, badan hukum menurut hukum England dan Wales
(Inggris) yang pada awalnya dikenal sebagai RTZ Corporation p.l.c.
yang disatukan ke dalam CRA Limited menjadi suatu entitas ekonomi
dengan dua struktur perusahaan yang melaksanakan kegiatan usahanya
di Inggris dan Australia;

8
 BP p.l.c., badan hukum berdasarkan ketentuan hukum England dan
Wales;
 Pacific Resources Investments Limited, badan hukum berdasarkan
ketentuan hukum Cayman Islands (Australia).

II. Duduk Perkara


Adapun kronologi dari penyebab terjadinya sengketa ini, yang kami uraikan sebagai
berikut:
 Sengketa ini diawali dengan Kontrak KCP dengan para pihaknya yaitu CRA
Limited dan BP p.l.c.;
 Pada tanggal 8 April 1982, PT KPC telah membuat perjanjian dengan
perusahaan milik negara dengan nama Peruskan Negara Tambang Batubara
untuk melaksanakan operasi tambang batu bara dengan durasi 30 (tiga puluh)
tahun sejak 1 Januari 1992 di Sanggata, Kalimantan Timur;
 Pemerintah Indonesia kemudian masuk ke Kontrak KPC dengan adanya
kesepakatan bahwa perjanjian ini tunduk kepada hukum Indonesia;
 Pada tanggal 19 Februari 1991, CRA limited kemudian mengalihkan
kepemilikan sahamnya di KPC kepada Sanggatta Holdings Limited;
 Pada tanggal 16 Desember 1991, Peruskan Negara Tambang Batubara
mengalami likuidasi dan digantikan oleh Badan Usaha Milik Negara lainnya
yaitu PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero);
 Sengketa ini berkaitan dengan kewajiban PT KPC berdasarkan Article 26
Kontrak KPC (ketentuan mengenai kewajiban PT KPC untuk menjamin agar
sahamnya dijual atau dialihkan kepada Pemerintah Indonesia atau perusahaan
yang dikendalikan oleh warga negara Indonesia);
 Kontrak KPC ini diadendum pada tanggal 27 Juni 1997 dan seluruh hak dan
kewajiban dari PT TBA dialihkan kepada pemerintah Indonesia melalui
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

9
III. Yurisdiksi dari Tribunal ICSID
Adapun yurisdiksi dari Tribunal ICSID dalam memeriksa dan mengadili sengketa ini,
sebagaimana tertulis pada Article 23.1. KPC Contract. Klausul ini memuat rumusan
sebagai berikut:
Article 23.1. KPC Contract: “Except for tax matters, which are subject to the
jurisdiction of the Majelis Pertimbangan Pajak (The Consultative Board for
Taxes),, any dispute between the Parties hereto arising before or after
termination concerning anything related to this Agreement and the
application thereof including contentions that a Party is in default in the
performance of its obligations, shall, unless settled by mutual agreement, or
by mutually satisfactory conciliation, be referred for settlement by arbitration
to the International Centre for Settlement of Investment Disputes pursuant to
the Convention thereon which entered into force on October 14, 1996.”
Klausul ini antara lain menyatakan bahwa apabila salah satu pihak lalai dalam
melaksanakan perjanjian ini, maka para pihak harus menyelesaikannya melalui
Arbitrase ICSID. Adapun sengketa yang tidak dapat dilimpahkan kepada arbitrase ini
yaitu sengketa yang menjadi kewenangan dari Majelis Pertimbangan Pajak.

IV. Objek Sengketa


Bahwa yang menjadi objek dari sengketa ini adalah kewajiban dari PT KPC untuk
menjual sahamnya dalam melaksanakan ketentuan pada Article 26 KPC Contract.
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa proses divestasi berdasarkan KPC Contract
merupakan inti dari sengketa ini.

V. Kronologi Divestasi
Adapun kronologi dari divestasi yang telah dilakukan oleh KPC yaitu sebagai berikut:
 Pada tahun 2001, PT KPC setuju bahwa Pemerintah Indonesia akan membeli
51% dari saham yang ditawarkannya berdasarkan harga yang akan disepakati
para pihak;

10
 PT KPC memiliki hak istimewa untuk menentukan kepada siapa saham
tersebut akan dijual – BP Rio Tinto;
 Berdasarkan Putusan PN Jakpus pada tanggal 8 Maret 2006, Penggugat
menyatakan bahwa Menteri ESDM telah menjanjikan hasil dari divestasi
tersebut;
 Pada tanggal 4 April 2001, Berdasarkan semangat otonomi daerah
Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka tidak tertarik untuk
membeli saham PT KPC dengan mempertimbangkan aspirasi dari Pemerintah
Daerah Kalimantan Timur;
 Setelah menuntut KPC baik secara pidana dan perdata di PN Jakarta Pusat,
Penggugat kemudian memberi tahu Menteri ESDM bahwa mereka ingin
membeli saham PT KPC;
 Berdasarkan pertemuan antara penggugat dengan Menteri ESDM, penggugat
sepakat untuk menarik laporan pidana dan tuntutan perdata yang dilayangkan
di PN Jakarta Pusat tersebut;
 Berdasarkan rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden RI, telah terdapat
kesepakatan bahwa 51% saham menjadi hak dari Menteri ESDM sedangkan
31% dari saham tersebut menjadi hak dari penggugat. DPRD Kalimantan
Timur tidak setuju dengan hasil rapat ini dan ingin agar 51% dari saham harus
diberikan kepada Penggugat;
 Terlepas dari ketidaksetujuan tersebut, Menteri ESDM tetap membuat
perjanjian (Framework Agreement) dengan PT KPC dan penggugat
menyatakan bahwa Menteri ESDM telah membentuk perjanjian yang
bertentangan dengan kepentingan nasional;
 Pasal 14.1. Framework Agreement menyatakan bahwa sengketa yang timbul
sebagai akibat dari perjanjian ini, termasuk apabila salah satu pihak lalai
dalam melaksanakan perjanjian ini harus menyelesaikan sengketanya
berdasarkan Article 23 KPC Contract.

11
 Kontrak ini sempat diadendum sebanyak dua kali sebelum dibatalkan oleh
Pengadilan Negeri Samarinda.
 Alasan PN Samarinda membatalkan kontrak ini adalah karena telah
membatasi kewenangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk
menguasai sumber daya alam.
 Walaupun demikian, perjanjian divestasi ini tetap dilanjutkan dan pada
tanggal 15 Mei 2003, KPC telah menemukan kandidat pembeli saham senilai
51% tersebut. Kandidat tersebut adalah PT Tambang Bukit Asam (Persero)
dengan nilai 20% dan Perusda Melati Bhakti Satya dan Perusda Pertambangan
Dan Energy Kutai Timur dengan nilai 31%.
 Framework Agreement ini pada akhirnya dibatalkan oleh para pihak pada
bulan Oktober 2003. Pembatalan ini didasari oleh pemberitahuan oleh
Sanggata Holdings Limited yang bertindak untuk dan atas nama Rio Tinto
kepada Menteri ESDM, PT KPC dan BP International Limited pada bulan
April 2003.

VI. Kronologi Penjualan Saham KPC kepada Penggugat


Adapun kronologi dari penjualan saham KPC kepada penggugat, yang dapat
ditemukan pada uraian fakta hukum sebagai berikut:
1. Pada tanggal 13 Oktober 2003, Penggugat telah membeli 18,6% dari Saham
KPC dari Sanggata Holdings Limited dan Kalimantan Coal Limited (yang
dimiliki oleh Bumi). Pembelian ini telah disahkan oleh DPRD Kutai Timur
2. Bupati Kutai Timur kemudian mengalihkan hak atas saham tersebut kepada
PT Kutai Timur Energi yang kemudian dipermasalahkan di Pengadilan Tata
Usaha Samarinda pada bulan November 2004.
3. Pada tanggal 21 Februari 2005, PT Kutai Timur Energi kemudian sepakat
untuk mengalihkan 13,6% dari saham ini kepada Bumi karena
ketidakmampuannya untuk membayar saham ini.

VII. Pokok Gugatan dari Penggugat

12
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kemudian melayangkan gugatan yang
memuat beberapa dalil sebagai berikut:
1. Penggugat menyatakan bahwa tergugat telah lalai dalam melaksanakan
ketentuan pada Kontrak KPC dan melanggar ketentuan penanaman modal
asing di Indonesia;
2. Atas pelanggaran tersebut penggugat telah mengalami kerugian deviden yang
menjadi haknya (atau kewajiban PT Kaltim Prima Coal untuk
mendistribusikan deviden tersebut), apabila PT Kaltim Prima Coal dan Rio
Tinto serta BP telah melaksanakan kewajiban divestasi saham sebesar 51%-
nya dan patuh terhadap ketentuan di dalam Article 26 KPC Contract;
3. Atas dasar kerugian yang dialami, penggugat kemudian mengajukan gugatan
ganti rugi yang meliputi kerugian, bunga dan permohonan agar tergugat
menanggung biaya perkara.

VIII. Permohonan Ketindalanjutan


Pada saat Tribunal ICSID memeriksa sengketa ini, Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur sempat memohonkan ketidaklanjutan pemeriksaan yang dapat dilihat pada
peristiwa sebagai berikut:
1. Pada tanggal 14 Agustus 2008, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur
memohon ketidaklanjutan (discontinuance) dari sengketa ini berdasarkan
surat gubernur Kalimantan Timur;
2. Permohonan ketidaklanjutan ini dasari oleh penggantian pemerintahan yang
terjadi di Kalimantan Timur (dari Yurnalis Ngayoh ke Awang Farouk). Pada
tanggal 10 Oktober 2008, Tribunal ini memutuskan agar proses penyelesaian
sengketa ini dilanjutkan.

IX. Eksepsi dan Jawaban Tergugat (KPC)


Adapun jawaban dari KPC selaku tergugat pada sengketa ini. Jawaban tersebut telah
dituangkan ke dalam dalil-dalil sebagai berikut:

13
1. Penggugat bukan merupakan suatu negara atau sub divisi dari negara anggota
ICSID dan sengketa ini bukan merupakan sengketa hukum mengingat bahwa
penggugat bukan merupakan bagian dari kontrak;
2. Tidak terdapat ketentuan yang memperbolehkan penafsiran terhadap Article
25 ICSID Convention secara luas atau dalam favorem jurisdictionis.
3. Bahwa penggugat seharusnya menerapkan ketentuan hukum internasional
bukan hukum perdata (vide. CSOB v. Slovak Republic dan Banro
American Resources v. Democratic Republic of Congo);
4. Menteri ESDM tidak pernah melimpahkan kewenangannya kepada Penggugat
berdasarkan UU Otonomi Daerah baik untuk melakukan proses divestasi
ataupun berperkara pada tribunal ini.
5. Penggugat bukan merupakan pihak ketiga yang berhak atas manfaat dari
kontrak KPC (vide. Pasal 1340 KUHPerdata), kecuali apabila perjanjian
tersebut in casu Kontrak KPC memang menyatakan hal yang sedemikian
rupa;
6. Selain bukan merupakan pihak ketiga pada Kontrak KPC, Penggugat juga
bukan merupakan pihak ketiga di dalam Framework Agreement antara
Menteri ESDM dan PT KPC.

X. Replik oleh Penggugat


Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur kemudian sempat mengajukan replik
(counter memorial) yang memuat beberapa dalil sebagai berikut:
1. Dengan merujuk kepada Putusan oleh Tribunal pada Kasus Amco v.
Indonesia, Penggugat menyatakan bahwa penafsiran terhadap perjanjian
arbitrase ICSID tidak boleh dilakukan secara terlalu formalistik. Selain itu,
perjanjian arbitrase tersebut harus dibentuk berdasarkan itikad baik dari
para pihak (vide. CSOB v. Slovak Republic).
2. Para pihak telah menyetujui bahwa sengketa ini tidak diselesaikan melalui
pilihan hukum berupa hukum internasional (publik);

14
3. Baik Menteri ESDM maupun Penggugat sama-sama merupakan
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Article 1.8 KPC Contract;
4. Penggugat tidak dapat berharap kerja sama dari Menteri ESDM karena
Tergugat dengan Menteri ESDM telah melakukan praktik kolusi;
5. Penggugat merupakan pihak ketiga sebagaimana dimaksud oleh Pasal
1340 jo. Pasal 1317 KUHPerdata;
6. Gubernur Kalimantan merupakan otoritas yang berwewenang berdasarkan
UU Pemerintahan Daerah (vide. Asas Otonomi Daerah di dalam Pasal
18 UUD NRI 1945).

XI. Tanggapan Tribunal terhadap Putusan Terdahulu (Isu Koheren)


Dalam memeriksa dan memutus perkara ini, Tribunal ICSID sempat membahas
mengenai isu keberadaan dari praktik koheren atau penerapan putusan terdahulu
dalam rezim hukum investasi internasional. Hal ini dapat ditemukan dalam
pandangan tribunal sebagai berikut:
Tribunal merujuk kepada pendapat tribunal AES Corporation v. Argentine
Republic yang menyatakan bahwa “In support of their positions, the Parties
have relied on previous decisions or awards. The Tribunal considers that its
is not bound by previous decision.” Namun disisi lain, tribunal juga
berpendapat bahwa mereka harus berkontribusi terhadap perkembangan
harmonis dari hukum investasi internasional.

XII. Pilihan Forum dan Pilihan Hukum


Dalam menerapkan konsep pilihan forum (choice of forum) dan pilihan hukum
(governing law), Tribunal pada kasus ini menyatakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Sengketa ini telah memenuhi unsur di dalam Article 25 ICSID Convention
yang terdiri dari sengketa antara negara anggota dengan individu yang
merupakan bagian dari negara anggota lain, para pihak harus setuju untuk
menyelesaikan sengketa ini melalui Arbitrase ICSID, sengketa tersebut

15
merupakan sengketa hukum dan sengketa tersebut timbul sebagai akibat
dari penanaman modal;
2. Dengan merujuk kepada ketentuan di dalam Article 25 dan jawaban
tergugat, tribunal setuju bahwa hukum internasional merupakan hukum
yang diberlakukan dalam menyelesaikan sengketa;
3. Tribunal tetap mempertimbangkan hukum Indonesia dalam menyelesaikan
sengketanya, namun tidak mempertimbangkan putusan terdahulu
pengadilan Indonesia sebagai bagian dari res judicata.

XIII. Putusan Tribunal


Adapun amar putusan dari tribunal pada kasus ini yaitu sebagai berikut:
1. Permintaan Kabupaten Kutai Timur untuk melibatkan diri pada sengketa
ini ditolak;
2. Tribunal berpendapat bahwa mereka tidak memiliki wewenang dalam
memeriksa sengketa ini, karena sengketa ini tidak memenuhi pengaturan
yurisdiksi sebagaimana diatur di dalam Article 25 ICSID Convention;
3. Biaya perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan tribunal ini ditanggung
oleh para pihak secara tanggung renteng
4. Biaya perkara lain dari sengketa ini ditanggung oleh para pihak secara
mandiri.

XIV. Temuan Lain pada Sengketa ini


Dalam menganalisis putusan dari sengketa ini, kami menemukan beberapa hal
penting sebagai berikut:
1. Dengan merujuk ketentuan di dalam Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1968,
Tribunal berpendapat bahwa Penggugat bukan merupakan perwakilan dari
pemerintah Indonesia atau tidak sejalan dengan doktrin step into the shoes
yaitu doktrin yang menyatakan bahwa Pemerintah Provinsi Kalimantan
Timur tidak berperan sebagai pengganti Menteri ESDM;

16
2. Penggugat juga bukan merupakan pihak yang memiliki kedudukan hukum
atau judicio standi mengingat bahwa pemerintah pusat in casu Menteri
ESDM tidak pernah memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk
mengajukan langkah hukum pada sengketa ini.

17

Anda mungkin juga menyukai