Anda di halaman 1dari 39

Penerapan Asas Fair and Equitable Treatment,

Tinjauan terhadap Yurisdiksi ICSID dan Koheren


pada Sengketa ISDS

1
Putu George Matthew Simbolon
2
I Made Bayu Bhraspati
Materi muatan presentasi
• Para Pihak yang bersengketa;

• Duduk Perkara;

• Standar standard of treatment yang dipermasalahkan;

• Pertimbangan hukum tribunal;

• Putusan atau diktum tribunal.


IMFA v. Indonesia
PCA Case No. 2015-40
Pihak yang bersengketa

• Claimant (investor asing yang menggugat): Indian Metals & Ferro Alloys Limited (IMFA), private

limited company (dalam hukum India) yang telah tunduk kepada hukum Indonesia dengan

membentuk perseroan terbatas dengan nama PT Sumber Rahayu Indah (SRI) (vide. Pasal 5 ayat (2)

UU Penanaman Modal).

• Respondent (negara tuan rumah yang diggungat): Republik Indonesia (Republic of Indonesia).
Duduk Perkara Part I: Kiadah hukum yang berkaitan dengan sengketa

• Penyebab sengketa: Izin tambang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten


Barito Timur;

• Hukum materiil yang berkaitan dengan kewenangan Tribunal PCA: Article 9


huruf (b) Bilateral Investment Treaty antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah India yang diadopsi pada tanggal 8 Februari 1999;

• Hukum acara yang diterapkan pada sengketa ini: United Nations Commission on
International Trade Law Arbitration Rules 1976 (UNCITRAL Arbitration Rules).
Duduk Perkara II: Perizinan PT SRI
• PT SRI memegang Izin Usaha Pertambangan Nomor 569 Tahun 2009 in concreto izin usaha di bidang

eksplorasi batubara sebagaimana diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah;

• Kerugian yang dialami oleh PT SRI adalah adanya izin usaha yang saling tumpang tindih yang disebabkan

oleh pengaturan berdasarkan rezim otonomi daerah yang Indonesia terapkan (vide. Pasal 18 UUD NRI

1945 dan UU Pemerintahan Daerah);

• Pemerintah setempat menyatakan bahwa IUP miliki PT SRI dengan Nomor 135 Tahun 2008 tidak dapat

diperpanjang karena entitas ini tidak mampu memenuhi persyaratan berupa hasil eksplorasi pertambangan

yang telah dilakukan.


Duduk Perkara III: Restrukturisasi PT SRI

• Pada tanggal 7 Juni 2010, IMFA melalui anak perusahaanya yaitu Indmet Mauritius Ltd. yang kemudian

memiliki anak perusahaan dengan nama Indment Mining Pte Ltd. Singapore mengakuisisi saham dari 70

% dari saham PT SRI (vide. Pasal 125 s.d 127 UU Perseroan Terbatas);

• Pada tanggal 5 Agustus 2010, PT SRI yang pada awalnya merupakan PT PMDN kemudian berubah

menjadi PT PMA setelah akuisisi ini berdasarkan rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Barito Timur;

• Penanaman Modal oleh IMFA di PT SRI merupakan hal yang dipersengketakan oleh IMFA selaku

penggugat
Duduk Perkara: Perizinan yang Tumpang Tindih

• Pada tanggal 12 Juli 2011, PT SRI menghadap kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral setelah adanya pemberitahuan perihal izin

yang tumpang tindih pada bulan April 2011;

• Berdasarkan informasi yang disediakan oleh Menteri ESDM, IUP yang dimiliki oleh PT SRI telah tumpang tindih dengan beberapa IUP

sebagai berikut: (i) PT Putra Bara Utama; (ii) PT Puspita Alam Kurnia; (iii) PT Tanjung Bartim Kurnia; (iv) PT Geo Explo; (v) PT Kodio

Multicom; dan (vi) PT Marangkayu Bara Makarti.

• Menteri ESDM merespons permasalahan ini dengan menyatakan bahwa IUP yang tumpang tindih merupakan permasalahan yang umum di

Indonesia dan pemerintah Indonesia melalui menteri ESDM telah berusaha untuk merekonsiliasi permasalahan ini (obligation of means).
Standard of Treatment yang dipermasalahkan oleh Penggugat

• Fair and Equitable Treatment Standard: Berlakunya Peraturan Pemrintah Nomor 24 Tahun 2012 selaku perubahan

dari Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 (vide. Article 3, 4, 5, dan 7 BIT Indonesia-India);

• Dalam menguraikan dalilnya, Penggugat mengenakan reasonableness standard yang menyatakan bahwa FET tidak

harus sejalan dengan United States and Mexico Neer Decision 1926 (vide. Formula Minimum Standards oleh

Cordell Hull);

• FET pada saat ini terdiri dari perlindungan investor asing berupa legitimate expectation, perlindungan dari tindakan

sewenang-wenang, kewajiban negara tuan rumah untuk mentransparansikan kaidah hukumnya, bertindak dengan

itikad baik, keadailan formil dan perlakuan proporsional yang dilakukan oleh negara tuan rumah.
Standard of Treatment dalam duduk perkara (Part I)

• Penggungat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa legitimate expectation

(kewajiban negara tuan rumah untuk mempublkasi aturannya agar investor asing dapat mentaati

peraturan tersebut) (see. Tecmed v. Mexico);

• Penggungat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar FET berupa perlindungan dari tindakan

sewenang-wenang dan diskriminatif (karena gagal dalam menjelaskan landasan upaya dari

pemerintah Indonesia dalam merekonsiliasi perizinan yang saling tumpang tindih dan karena

pemerintah Indonesia telah menerbitkan IUP yang sama kepada PT Kodio Multicom dan PT MBM);
Standard of Treatment pada duduk perkara (Part II)
• Penggugat juga mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar standar FET berupa kewajiban bertindak secara transparan dan

konsisten (karena gagal memberi tahu batas dari lahan yang dapat diusahakan, dan meningkatkan ketentuan yang mengatur

tentang divestasi oleh pemegang saham asing, setelah Penggugat melakukan akuisisi terhadap PT SRI);

• Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat tidak bertindak berdasarkan itikad baik berdasarkan UU Penanaman Modal, dengan

menerapkan PP Nomor 24 Tahun 2012 yang meningkatkan persentase dari divestasi oleh investor asing;

• Terakhir, Penggugat mendalilkan bahwa Tergugat telah melanggar syarat keadilan formiil dengan menerbitkan perizinan lain yang

menyebabkan IUP Nomor 569 Tahun 2009 tindak memiliki kekuatan hukum.
Tangkisan Tergugat mengenai FET (Part I)

• Tergugat mendalilkan bahwa penerapan FET merupakan refleksi dari customary international law sehingga harus tetap

diterapkan berdasarkan neer decision 1926 (penerapan dari Eggregriousness Standard);

• Tergugat mendalilkan bahwa BIT bukan merupakan asuransi dari keputusan buruk suatu korporasi;

• Tergugat menjawab dalil legitimate expectation yang Penggugat sampaikan dengan menyatakan bahwa standar turunan

FET ini harus dipandang secara proporsional (vide. Crystallex v. Venezuela), menyatakan bahwa Penggugat telah lalai

dalam melakukan due diligence dan menyatakan bahwa amandemen legislasi nasional bukan merupakan cakupan dari

legitimate expectation;
Tangkisan Tergugat mengenai FET (Part II)

• Tergugat menjawab dalil tindakan sewenang-wenang dan diskriminatif dengan menyatakan bahwa IUP Nomor

135 Tahun 2009 telah daluwarsa pada tanggal 28 Maret 2009 (dan tidak mampu melengkapi dokumen yang

diperlukan untuk memperpanjang izin tersebut), dan perizinan yang diberikan kepada PT BAB, PT Geo Explo,

PT Kodio Multicom, PT MBM dan PT PBU bukan merupakan izin yang tumpang tindih;

• Tergugat menjawab dalil transparansi dan konsistensi dengan menyatakan bahwa Penggugat seharusnya

memiliki inisiatif dalam mencari informasi mengenai perizinan yang telah disediakan oleh Pihak Tergugat dan

kurang melakukan LDD dengan cermat;


Tangkisan Tergugat mengenai FET (Part III)

• Tergugat menolak dalil yang menyatakan bahwa diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012

tidak didasari oleh itikad baik karena tindakan ini telah sejalan dengan BIT Indonesia-India;

• Tergugat menyatakan bahwa dalil pelanggaran terhadap keadilan procedural yang disebabkan oleh Penerbitan

IUP 569 Tahun 2009 merupakan dalil yang tidak disertai dengan dasar hukum dan merupakan dalil yang

mengada-ngada;

• Tergugat menyatakan bahwa pelanggaran terhadap proporsionalitas dengan menyatakan bahwa doktrin ini

bukan merupakan doktrin yang tepat untuk diterapkan pada pemberlakuan standar FET (vide. Perbebatan

mengenai What is fair? and What is Equitable?)


Pertimbangan hukum tribunal dan penemuan hukum oleh tribunal

• Fair and Equitable Treatment: “First, the SRI ability to exploit the Production IUP was already

impaired at the date the claimant acquired its alleged indirect investment. Second, there were still many

legal requirements and practical obstacles to overcome SRI could undertake any mining activity”

(vide. Joseph Lemire v. Ukraine yang menyatakan bahwa penerapan FET harus ditinjau

berdasarkan pendekatan case by case basis)

• Tribunal juga berpendapat bahwa tindakan Indonesia berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24

Tahun 2012 bukan merupakan ekspropriasi langsung ataupun ekspropriasi tidak langsung (creeping

expropriation) (vide. Electrabel SA v. Hungary, ADM v. Mexico, dan Mamidoil v. Republic of Albania).
Putusan Tribunal
• Menerima eksepsi ratio temporis dari Tergugat yang berkaitan dengan pernyataan tergugat bahwa tindakan yang
dituduh oleh tergugat telah dilakukan sebelum Penggugat melakukan investasi;

• Menolak permohonan penggugat mengenai seluruh tuduhan penggugat pasca kegiatan penanaman modal yang
dilakukan oleh penggugat;

• Menolak petitum berupa klaim tuntutan dan klaim bunga yang telah diajukan oleh Penggugat;

• Mewajibkan Penggugat untuk membayar sejumlah uang kepada Terugat untuk menanggung biaya perkara dari
tribunal ini.
Pemerintah Provnsi Kalimantan
Timur v. PT Kaltim Prima Coal
ICSID Case No. 07/03 Award

(Sengketa Non ISDS)


Pihak yang bersengketa (Part I)
• Claimant: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (the Government of Province of East Kalimantan);

• Respondents:

1. PT Kaltim Prima Coal, badan hukum Indonesia yang merupakan hasil joint venture dari Conzinc RioTinto of
Australia Ltd, badan hukum menurut hukum Australia yang sekarang disebut Rio Tinto Limited dan p.l.c
corporation yaitu badan hukum berdasarkan hukum England dan Wales dengan persentase saham 50:50.

2. Sangatta Holdings Limited, yaitu badan hukum asing yang telah diambil alih oleh PT Bumi Resources Tbk,
yaitu badan hukum perseroan terbatas (publik) yang memperdagangkan sahamnya di pasar modal Indonesia;
Pihak yang Bersengketa (Part II)

3. Rio Tinto plc, badan hukum menurut hukum England dan Wales (Inggris) yang pada awalnya dikenal

sebagai RTZ Corporation p.l.c. yang disatukan ke dalam CRA Limited menjadi suatu entitas ekonomi

dengan dua struktur perusahaan yang melaksanakan kegiatan usahannya di Inggris dan Australia;

4. BP p.l.c., badan hukum berdasarkan ketentuan hukum England dan Wales;

5. Pacific Resources Investments Limited, badan hukum berdasarkan ketentuan hukum Cayman Islands

(Australia).
Duduk Perkara Part I
• Sengketa ini diawali dengan Kontrak KCP dengan para pihaknya yaitu CRA Limited dan BP
p.l.c.;

• Pada tanggal 8 April 1982, PT KPC telah membuat perjanjian dengan perusahaan milik negara
dengan nama Peruskan Negara Tambang Batubara untuk melaksanakan operasi tambang batu
bara dengan durasi 30 (tiga puluh) tahun sejak 1 Januari 1992 di Sanggata, Kalimantan Timur;

• Pemerintah Indonesia kemudian masuk ke Kontrak KPC dengan adanya kesepakatan bahwa
perjanjian ini tunduk kepada hukum Indonesia;
Duduk Perkara Part II
• Pada tanggal 19 Februari 1991, CRA limited kemudian mengalihkan kepemilikan sahamnya di KPC kepada Sanggatta Holdings Limited;

• Pada tanggal 16 Desember 1991, Peruskan Negara Tambang Batubara mengalami likuidasi dan digantikan oleh Badan Usaha Milik

Negara lainnya yaitu PT Tambang Batubara Bukit Asam (Persero);

• Sengketa ini berkaitan dengan kewajiban PT KPC berdasarkan Article 26 Kontrak KPC (ketentuan mengenai kewajiban PT KPC untuk

menjamin agar sahamnnya dijual atau dialihkan kepada Pemerintah Indonesia atau perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara

Indonesia);

• Kontrak KPC ini diadendum pada tanggal 27 Juni 1997 dan seluruh hak dan kewajiban dari PT TBA dialihkan kepada pemerintah

Indonesia melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.


Yurisdiksi dari Tribunal ICSID

• Article 23.1. KPC Contract: “Except for tax matters, which are subject to the jurisdiction
of the Majelis Pertimbangan Pajak (The Consultative Board for Taxes),, any dispute
between the Parties hereto arising before or after termination concerning anything
related to this Agreement and the application thereof including contentions that a Party is
in default in the performance of its obligations, shall, unless settled by mutual agreement, or
by mutually satisfactory conciliation, be referred for settlement by arbitration to the
International Centre for Settlement of Investment Disputes pursuant to the Convention
thereon which entered into force on October 14, 1996.”
Objek Sengketa
• PT KPC berkewajiban untuk menjual sahamnnya untuk tunduk kepada ketentuan
di dalam Article 26 KPC Contract, sehingga proses divestasi berdasarkan
ketentuan ini merupakan inti dari sengketa ini.
Kronologi Divestasi (Part I)
• Pada tahun 2001, PT KPC setuju bahwa Pemerintah Indonesia akan membeli 51% dari saham yang
ditawarkannya berdasarkan harga yang akan disepakati para pihak;

• PT KPC memiliki hak istimewa untuk menentukan kepada siapa saham tersebut akan dijual – BP Rio Tinto;

• Berdasarkan Putusan PN Jakpus pada tanggal 8 Maret 2006, Penggugat menyatakan bahwa Menteri ESDM
teah menjanjikan hasil dari divestasi tersebut;

• Pada tanggal 4 April 2001, Berdasarkan semangat otonomi daerah Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa
mereka tidak tertarik untuk membeli saham PT KPC dengan mempertimbangkan aspirasi dari Pemerintah
Daerah Kalimantan Timur;
Kronologi Divestasi (Part II)

• Setelah menuntut KPC baik secara pidana dan perdata di PN Jakarta Pusat, Penggugat kemudian memberi tahu Menteri

ESDM bahwa mereka ingin membeli saham PT KPC;

• Berdasarkan pertemuan antara penggugat dengan Menteri ESDM, penggugat sepakat untuk menarik laporan pidana dan

tuntutan perdata yang dilayangkan di PN Jakarta Pusat tersebut;

• Berdasarkan rapat terbatas yang dipimpin oleh Presiden RI, telah terdapat kesepakatan bahwa 51% saham menjadi hak dari

Menteri ESDM sedangkan 31% dari saham tersebut menjadi hak dari penggugat. DPRD Kalimantan Timur tidak setuju

dengan hasil rapat ini dan ingin agar 51% dari saham harus diberikan kepada Penggugat;
Kronologi Divestasi (Part III)

• Terlepas dari ketidaksetujuan tersebut, Menteri ESDM tetap membuat perjanjian (Framework

Agreement) dengan PT KPC dan penggugat menyatakan bahwa Menteri ESDM telah

membentuk perjanjian yang bertentangan dengan kepentingan nasional;

• Pasal 14.1. Framework Agreement menyatakan bahwa sengketa yang timbul sebagai akibat

dari perjanjian ini, termasuk apabila salah satu pihak lalai dalam melaksanakan perjanjian ini

harus menyelesaikan sengketanya berdasarkan Article 23 KPC Contract.

• Kontrak ini sempat diadendum sebanyak dua kali sebelum dibatalkan oleh Pengadilan Negeri

Samarinda.
Kronologi Divestasi (Part IV)
• Alasan PN Samarinda membatalkan kontrak ini adalah karena telah membatasi kewenangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah

untuk menguasai sumber daya alam.

• Walaupun demikian, perjanjian divestasi ini tetap dilanjutkan dan pada tanggal 15 Mei 2003, KPC telah menemukan kandidat pembeli saham

senilai 51% tersebut. Kandidat tersebut adalah PT Tambang Bukit Asam (Persero) dengan nilai 20% dan Perusda Melati Bhakti Satya dan

Perusda Pertambangan Dan Energy Kutai Timur dengan nilai 31%.

• Framework Agreement ini pada akhirnya dibatalkan oleh para pihak pada bulan Oktober 2003. Pembatalan ini didasari oleh pemberitahuan

oleh Sanggata Holdings Limited yang bertindak untuk dan atas nama Rio Tinto kepada Menteri ESDM, PT KPC dan BP International Limited

pada bulan April 2003.


Penjualan Saham KPC kepada Penggugat
• Pada tanggal 13 Oktober 2003, Penggugat telah membeli 18,6% dari Saham KPC dari Sanggata

Holdings Limited dan Kalimantan Coal Limited (yang dimiliki oleh Bumi). Pembelian ini telah

disahkan oleh DPRD Kutai Timur

• Bupati Kutai Timur kemudian mengalihkan hak atas saham tersebut kepada PT Kutai Timur Energi

yang kemudian dipermasalahkan di Pengadilan Tata Usaha Samarinda pada bulan November 2004.

• Pada tanggal 21 Februari 2005, PT Kutai Timur Energi kemudian sepakat untuk mengalihkan

13,6% dari saham ini kepada Bumi karena ketidakmampuannya untuk membayar saham ini.
Pokok Gugatan dari Penggugat
• Penggugat menyatakan bahwa pera tergugat telah lalai dalam melaksanakan ketentuan pada Kontrak KPC dan

melanggar ketentuan penanaman modal asing di Indonesia;

• Atas pelanggaran tersebut penggugat telah mengalami kerugian deviden yang menjadi haknya (atau kewajiban PT

Kaltim Prima Coal untuk mendistribusikan deviden tersebut), apabila PT Kaltim Prima Coal dan Rio Tinto serta

BP telah melaksanakan kewajiban divestasi saham sebesar 51%-nya dan patuh terhadap ketentuan di dalam

Article 26 KPC Contract;

• Atas dasar kerugian yang dialami, penggugat kemudian mengajukan gugatan ganti rugi yang meliputi kerugian,

bunga dan permohonan agar tergugat menanggung biaya perkara.


Mengenai permohonan ketidaklanjutan

• Pada tanggal 14 Agustus 2008, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur memohon ketidaklanjutan

(discontinuance) dari sengketa ini berdasarkan surat gubernur Kalimantan Timur;

• Permohonan ketidaklanjutan ini dasari oleh penggantian pemerintahan yang terjadi di Kalimantan

Timur (dari Yurnalis Ngayoh ke Awang Farouk). Pada tanggal 10 Oktober 2008, Tribunal ini

memutuskan agar proses penyelesaian sengketa ini dilanjutkan.


Eksepsi dan Jawaban Tergugat (KPC)
• Penggugat bukan merupakan suatu negara atau subdivisi dari negara anggota ICSID dan sengketa ini bukan merupakan

sengketa hukum mengingat bahwa penggugat bukan merupakan bagian dari kontrak;

• Tidak terdapat ketentuan yang memperbolehkan penafsiran terhdap Article 25 ICSID Convention secara luas atau dalam

favorem jurisdictionis.

• Bahwa penggugat seharusnya menerapkan ketentuan hukum internasional bukan hukum perdata (vide. CSOB v. Slovak

Republic dan Banro American Resources v. Democratic Republic of Congo);

• Menteri ESDM tidak pernah melimpahkan kewenangannya kepada Penggugat bedasarkan UU Otonomi Daerah baik untuk

melakukan proses divestasi ataupun berperkara pada tribunal ini.


Lanjutan....
• Penggugat bukan merupakan pihak ketiga yang berhak atas manfaat dari kontrak
KPC (vide. Pasal 1340 KUHPerdata), kecuali apabila perjanjian tersebut in casu
Kontrak KPC memang menyatakan hal yang sedemikian rupa;

• Selain bukan merupakan pihak ketiga pada Kontrak KPC, Penggugat juga bukan
merupakan pihak ketiga di dalam Framework Agreement antara Menteri ESDM
dan PT KPC.
Replik oleh Penggugat
• Dengan merujuk kepada Amco v. Indonesia, Penggugat menyatakan bahwa penafsiran terhdap

perjanjian arbitrase ICSID tidak boleh dilakukan secara terlalu formalistik. Selain itu, perjanjian

arbitrase tersebut harus dibentuk berdasarkan itikad baik dari para pihak (vide. CSOB v. Slovak

Republic).

• Para pihak telah menyetujui bahwa sengketa ini tidak diselesaikan melalui pilihan hukum berupa

hukum internasional (publik);

• Baik Menteri ESDM maupun Penggugat sama-sama merupakan Pemerintah sebagaimana dimaksud

pada Article 1.8 KPC Contract;


Lanjutan

• Penggugat tidak dapat berharap kerja sama dari Menteri ESDM karena Tergugat dengan Menteri

ESDM telah melakukan praktik kolusi;

• Penggugat merupakan pihak ketiga sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1340 jo. Pasal 1317

KUHPerdata;

• Gubernur Kalimantan merupakan otoritas yang berwewenang berdasarkan UU Pemerintahan

Daerah (vide. Asas Otonomi Daerah di dalam Pasal 18 UUD NRI 1945).
Tanggapan Tribunal terhadap Putusan Terdahulu (Isu Koheren)

• Tribunal merujuk kepada pendapat tribunal AES Corporation v. Argentine Republic yang

menyatakan bahwa “In support of their positions, the Parties have relied on previous decisions or

awards. The Tribunal considers that its is not bound by previous decision.” Namun disisi lain,

tribunal juga berpendapat bahwa mereka harus berkontribusi terhadap perkembangan harmonis

dari hukum investasi internasional.


Pilihan Forum dan Pilihan Hukum
• Sengketa ini telah memenuhi unsur di dalam Article 25 ICSID Convention yang terdiri dari sengketa antara negara anggota

dengan inidividu yang merupakan bagian dari negara anggota lain, para pihak harus setuju untuk menyelesaikan sengketa

ini melalui Arbitrase ICSID, sengketa tersebut merupakan sengketa hukum dan sengketa tersebut timbul sebagai akibat dari

penanaman modal;

• Dengan merujuk kepada ketentuan di dalam Article 25 dan jawaban tergugat, tribunal setuju bahwa hukum internasional
merupakan hukum yang diberlakukan dalam menyelesaikan sengketa;

• Tribunal tetap mempertimbangkan hukum Indonesia dalam menyelesaikan sengketannya, namun tidak mempertimbangkan
putusan terdahulu pengadilan Indonesia sebagai bagian dari res judicata.
Temuan lain pada sengketa ini

• Dengan merujuk ketentuan di dalam Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1968, Tribunal berpendapat

bahwa Penggugat bukan merupakan perwakilan dari pemerintah Indonesia atau tidak sejalan

dengan doktrin step into the shoes;

• Penggugat juga bukan merupakan pihak yang memiliki judicio standi mengingat bahwa

pemerintah pusat in casu Menteri ESDM tidak pernah memberikan kewenangan kepada

Penggugat untuk mengajukan langkah hukum pada sengketa ini.


Putusan Tribunal

• Permintaan Kabupaten Kutai Timur untuk melibatkan diri pada sengketa ini ditolak;

• Tribunal berpendapat bahwa mereka tidak memiliki wewenang dalam memeriksa sengketa ini, karena sengketa

ini tidak memenuhi pengaturan yurisdiksi sebagaimana diatur di dalam Article 25 ICSID Convention;

• Biaya perkara yang berkaitan dengan pelaksanaan tribunal ini ditanggung oleh para pihak secara tanggung

renteng

• Biaya perkara lain dari sengketa ini ditanggung oleh para pihak secara mandiri.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai