Dalam sejarah berlakunya Peraturan Kepailitan di Indonesia, menurut Sri Redjeki Hartono
dapat dipilah menjadi 3 masa yakni masa sebelum berlakunya Faillisement Verordening , masa
berlakunya Faillisements Verordening itu sendiri dan masa berlakunya UU Kepailitan yang
sekarang ini.
Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum Kepailitan itu diatur dalam dua
tempat yaitu dalam:
1. Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang berjudul Van de Voorzieningen
in geval van Onvormogen van kooplieden atau peraturan tentang ketidakmampuan
pedagang. Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi pedagang.
2. Reglement op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-63, Buku ketiga bab
ketujuh dengan judul Van den staat Von Kenneljk Onvermogen atau tentang Keadaan
nyata-nyata tidak mampu. Peraturan ini adalah Peraturan Kepailitan bagi orang-orang
bukan pedagang. Akan tetapi ternyata dalam pelaksanaanya, kedua aturan tersebut justru
menimbulkan banyak kesulitan antara lain adalah:
a. Banyaknya formalitas sehingga sulit dalam pelaksanaannya
b . Biaya tinggi
c. Pengaruh kreditur terlalu sedikit terhadap jalannya kepailitan
d . Perlu waktu yang cukup lama.
Pembuatan aturan baru yang sederhana dan tidak perlu banyak biaya, maka lahirlah
Faillissements Verordening (S. 1905-217) untuk menggantikan dua Peraturan Kepailitan tersebut.
Sejarah peraturan kepailitan di Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di Belanda melalui asas
1|Page
konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya Code de Commerce (tahun 1811-
1838) kemudian pada tahun 1893 diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1
September 1896.
3. Masa Berlakunya Undang- Undang Kepailitan Sebagai Produk Hukum Nasional Setelah
Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan meskipun masih tambal sulam
sifatnya, yakni sudah ada 3 (tiga) peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional
dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) No. 1 tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan
menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada tanggal 18 November 2004
Penyelesaian masalah utang haruslah dilakukan secara cepat dan efektif. Selama ini masalah
kepailitan dan penundaan kewajiban membayar tadi di atur dalam Feaillisements Verordening S.
1905 No. 217 Jo. S. 1906 No. 348.
Secara umum prosedur yang diatur dalam Faillisements Verordening tersebut masih baik. Namun
karena mungkin selama ini jarang dimanfaatkan, mekanisme yang diatur didalamnya menjadi
semakin kurang teruji, beberapa infra struktur yang mendukung mekanisme tersebut juga menjadi
kurang terlatih. Sementara seiring dengan berjalannya waktu, kehidupan perekonomian
berlangsung pesat maka wajarlah bahkan sudah semakin mendesak untuk menyediakan sarana
hukum yang memadai yakni yang cepat, adil terbuka dan efektif guna menyelesaikan utang
2|Page
piutang.
Krisis moneter yang melanda Benua Asia termasuk Indonesia pada pertengahan tahun 1997 telah
menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional.
Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk
mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat
mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut
berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai, apabila tidak segera diselesaikan akan
berdampak lebih luas antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya.
Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang piutang secara adil, cepat,
terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya. Oleh karena itu
perubahan dilakukan terhadap Undang-Undang Kepailitan dengan memperbaiki, menambah, dan
meniadakan ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan
perkembangan hukum dalam masyarakat, karena jika ditinjau dari segi materi yang diatur, masih
terdapat berbagai kekurangan dan kelemahan.
Ada beberapa faktor perlunya pengaturan mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban
pembayaran utang yaitu untuk menghindari adanya:
1. Perebutan harta debitor apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang
3|Page
menagih piutangnya dari debitor.
2. Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut haknya dengan cara menjual
barang milik debitor tanpa memperhatikan kepentingan debitor atau para kreditor
lainnya.
3. Kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau debitor sendiri.
Misalnya, debitor berusaha untuk memberi keuntungan kepada seorang atau beberapa
orang kreditor tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya perbuatan
curang dari debitor untuk melarikan semua harta kekayaannya dengan maksud untuk
melepaskan tanggung jawabnya terhadap para kreditor.
Setiap peristiwa hukum memiliki subjek hukum dan objek hukum. Menurut C.S.T Kansil
(2002:117), subjek hukum adalah sesuatu yang mempunyai hak dan kewajiban. Subjek
hukum itu sendiri terdiri dari manusia (natuurlijke person) dan badan hukum (rechtspersoon).
Subjek hukum dalam kepailitan yaitu pihak Pemohon pailit, debitor pailit, hakim pengawas,
kurator, panitia kreditor.
a. Pemohon Pailit, Pada umumnya pihak Pemohon pailit adalah kreditor, namun Pasal 2
UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU membedakan siapa saja yang
dapat mengajukan permohonan pailit terhadap debitor yang memiliki bidang usaha
berbeda. Permohonan pailit dapat diajukan oleh:
4|Page
I. debitor sendiri,
II. seorang atau lebih kreditor;
III. Kejaksaan terhadap debitor untuk kepentingan umum;
IV. Bank Indonesia terhadap debitor dalam bidang perbankan;
V. Bapepam (Badan Pengawas Penanaman Modal) terhadap debitor berupa
prusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga
penyimpanan dan penyelesaian;
VI. Menteri Keuangan terhadap debitor yang beupa perusahaan asuransi, re-asuransi,
dana pensiun, BUMN yang bergerak di bidang kepentingan public
b. Debitur Pailit , Pihak yang dimohonkan pailit adalah pihak yang berutang dalam hal ini
disebut dengan debitor. Beberapa debitor yang dapat diajukan pailit,
antara lain:
Dari ketiga jenis debitor tersebut, debitor yang sering kali diajukan permohonan pailit
adalah debitor yang berbentuk perusahaan berbadan hukum. Daniel Suryana (2007:20),
menyimpulkan ciri-ciri dari suatu badan hukum, yaitu:
(1) memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan orang-orang yang menjalankan
kegiatan badan hukum tersebut;
(2) memiliki hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang terpisah dari hak-hak dan kewajiban-
kewajiban orang-orang yang menjalankan kegiatan badan hukum tersebut;
(3) memiliki tujuan tertentu;
(4) berkesinambungan (kontinuitas) dalam arti keberadaannya tidak terikat pada orang-orang
tertentu, karena baik hak-hak dan kewajiban-kewajiban badan hukum tetap ada meskipun
orang-orang yang menjalankannya berganti.
Daniel Suryana (2007:22), juga membagi beberapa badan hukum jika ditinjau dari jenisnya
yaitu:
(1) badan hukum publik, misalnya Negara Republik Indonesia, Daerah Provinsi, Daerah
Kabupaten, Daerah Kota, BUMN, dan lain sebagainnya; dan
5|Page
(2) badan hukum privat, misalnya Perseroan Terbatas, Koperasi, Yayasan dan lain
sebagainya.
Debitor yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah debitor yang berbentuk badan
hukum publik dalam hal ini yaitu Badan Usaha Milik Nergara (BUMN). Menurut Abdulkadir
Muhammad (2006:137), BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar
modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari
kekayaan negara yang dipisahkan.
Menurut Abdulkadir Muhammad (2006:138), bentuk dari BUMN terdiri atas
perusahaan Perseroan (Persero) dan perusahaan umum (perum). Persero adalah BUMN yang
berbentuk perseoran terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling
sedikit 51% sahamnya dimiliki oleh negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya
mengejar keuntungan. Organ Persero yaitu direksi, komisaris dan rapat umum pemegang
saham (RUPS).Persero merupakan BUMN yang berbentuk Perseroan terbatas (PT), jadi
kepailitan pada Persero sama halnya dengan kepailitan pada PT. Apabila debitor adalah PT,
maka yang harus mengajukan permohonan pailit adalah direksi perusahaan tersebut, namun
harus berdasarkan keputusan RUPS. Menurut Sutan Remy Syahdeini (2009:129), direksi
tidak berwenang mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga tanpa adanya keputusan
dari RUPS.
c. Kurator,Menurut ketentuan Pasal 70 Ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan PKPU, kurator yang dimaksud adalah Balai Harta Peninggalan dan curator
lainnya, yang dapat menjadi kurator adalah:
(1) perorangan atau persekutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang memiliki
keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan membereskan harta
pailit; dan
(2) telah terdaftar pada kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
hukum dan peraturan perundang-undangan (Pasal 70 Ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004
tentangKepailitandanPKPU).
6|Page
d. Hakim Pengawas, Pada pengurusan harta pailit hakim pengawas melakukan
pengawasan terhadap pengurusan dan pemberesan harta pailit yang berwenang untuk
mendengar keterangan saksi atau memerintahkan penyelidikan oleh para saksi untuk
memperoleh kejelasan tentang segala hal mengenai kepailitan. Menurut Pasal 66 UU No. 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang intinya sama dengan ketentuan 64
Failissementsverordening. Pengadilan wajib mendengar pendapat Hakim Pengawas, sebelum
mengambil suatu keputusan mengenai pengurusan atau pemberesan harta pailit.
e. Panitia Kreditur, Panitia kreditur adalah pihak yang mewakili pihak kreditur, sehingga
panitia kreditur tentu akan memperjuangkan segala kepentingan hukum dari pihak kreditur.
Ada dua macam kreditur yang terdapat dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
PKPU yaitu:
(1) panitia kreditur sementara (yang ditunjuk dalam pernyataan putusan pailit);
(2) panitia kreditur tetap, yakni panitia kreditur yang dibentuk oleh hakim pengawasan
apabila dalam putusan pailit tidak diangkat panitia kreditur sementara.
C.S.T Kansil (2002:118), menyebutkan bahwa objek adalah segala sesuatu yang
berguna bagi subjek hukum dan yang dapat menjadi objek suatu perhubungan hukum. Objek
merupakan semua sasaran dalam hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang untuk
mencapai tujuan tertentu. Objek suatu perbuatan hukum biasanya berupa benda. Ketentuan
mengenai benda diatur dalam buku II BW dan UU No 30 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan, UU No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
7|Page
intelektual), serta piutang (tagihan).
Menurut ketentuan Pasal 21 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU,
kepailitan meliputi seluruh harta kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit
diucapkan dan segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Sehingga objek dari
kepailitan adalah harta kekayaan dari debitor pailit. Harta pailit menurut Ahmad Yani dkk
(2004: 27), adalah harta milik debitor yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan.
Menurut Pasal 22 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, terdapat
beberapa kekayaan yang yang tidak termasuk dalam kepailitan yaitu :
a. benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh debitur sehubungan dengan
pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang digunakan untuk kesehatan,
tempat tidur dan perlengkapannya yang digunakan oleh debitur dan keluarganya, dan
bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan keluarganya, yang terdapat ditempat
itu;
b. segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai penggajian
dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah pensiun, uang tunggu atau uang tunjangan,
sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas;
c. uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban memberi
nafkah menurut undang-undang.
Ketentuan yang mengecualikan kekayaan dari harta pailit di atas digunakan sepanjang
yang dipailitkan adalah subjek hukum orang dan tidak berkaitan dengan kepailitan terhadap
subjek hukum badan hukum.
8|Page
C. ASAS-ASAS HUKUM KEPAILITAN
Menurut Pasal 1131 Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari,
menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan.
Kedua pasal tersebut di atas memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa kewajiban
debitur akan tetap dipenuhi dengan jaminan dari kekayaan debitur baik yang sudah ada
maupun yang masih akan ada dikemudian hari Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132 KUH
Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian pembayaran atas transaksi-
transaksi yang telah diadakan.
Hubungan kedua pasal tersebut adalah kekayaan debitur (Pasal 1131 KUH Perdata)
merupakan jaminan bersama bagi semua krediturnya (Pasal 1132 KUH Perdata) secara
proporsional, kecuali bagi kreditur dengan hak mendahului (hak preferensi).
Pada dasarnya, asas yang terkandung di dalam Pasal 1131 KUH Perdata dan 1132
KUH Perdata ini adalah bahwa undang-undang mengatur tentang hak menagih bagi kreditur
atau kreditur-krediturnya terhadap transaksinya dengan debitur. Bertolak dari asas tersebut
sebagai lex generalis, maka ketentuan kepailitan mengaturnya dalam urutan yang lebih rinci
dan operasional.Menurut Sri Redjeki Hartono, lembaga kepailitan pada dasarnya mempunyai
dua fungsi sekaligus yaitu:
(1) Kepailitan sebagai lembaga pemberi jaminan kepada krediturnya bahwa debitur tidak
akan berbuat curang dan tetap bertanggung jawab atas semua hutang-hutangnya kepada
semua kreditur-krediturnya
(2) Juga memberi perlindungan kepada debitur terhadap kemungkinan eksekusi massal oleh
kreditur-krediturnya.
9|Page
Keberadaan ketentuan tentang kepailitan baik sebagai suatu lembaga atau
sebagai upaya hukum khusus merupakan satu rangkaian konsep yang taat asas sesuai
dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata.
Sistem pengaturan yang taat asas inilah yang mempunyai nilai utama dalam rangka
memberikan kepastian hukum.
Dari itu timbullah lembaga kepailitan yang berusaha untuk mengadakan tata
yang adil mengenai pembayaran utang terhadap semua kreditur dengan cara seperti
yang diperintahkan oleh Pasal 1132 KUHPerdata. Jadi Pasal 1131 dan 1132 KUH
Perdata merupakan dasar hukum dari kepailitan.
Dalam peraturan perundangan yang lama yakni dalam Ferordening
vaillissements (FV) maupun UU No 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur
secara khusus, namun pada UU No 37 Tahun 2004 yaitu Undang-Undang tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya
menyebutkan bahwa keberadaan undang-undang ini mendasarkan pada sejumlah asas-
asas kepailitan yakni:
(3)
1. Asas Keseimbangan
3. Asas Keadilan
Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak
mempedulikan Kreditor lainnya.
10 | P a g e
4. Asas Integrasi
Asas Integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum
formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum
perdata dan hukum acara perdata nasional.
Kalau diperhatikan prosedur untuk memohon pernyataan pailit bagi si debitur ada
disebutkan Pasal 4 Undang-Undang No.4 Tahun 1998 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Permohonan pernyataan pailit diajukan melalui panitera.
2. Panitera mendaftarkan permohonan pernyataan pailit pada tanggal permohonan yang
bersangkutan diajukan dan kepada pemohon diberikan tanda terima tertulis yang
ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran.
3. Panitera menyampaikan permohonan pernyataan pailit kepada ketua dengan jangka
waktu paling lambat 1x24 jam terhitung sejak tanggal permohonan pernyataan pailit
didaftarkan, pengadilan mempelajari
4. Sidang memeriksa atas permohonan pernyataan pailit diselenggarakan dalam waktu
paling lambat 20 (dua puluh) hari sejak tanggal pemohonan didaftarkan.
5. Atas permohonan debitur dan berdasarkan alasan yang cukup, pengadilan dapat
menunda permohonan dan menetapkan hari sidang.
6. Penyelenggaraan paling lama 25 (dua puluh lima) hari terhitung sejak tanggal
permohonan didaftarkan.
7. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu firma.
Demi melindungi kepentingan kreditur tersebut Pasal 7 ayat (1) sub a dan Undang-
Undang No. 4 Tahun 1998, menegaskan bahwa kreditur dapat mengajukan permohonan
pailit terhadap debitur yang ditetapkan. Hal ini dilakukan kreditor untuk menjaga itikad
tidak baik debitor dalam berhubungan dengan pemberesan dan pengurusan hartanya.
Selanjutnya juga dalam putusan pernyataan pailit ataupun setiap saat setelah putusan
dijatuhkan, atas usul hakim pengawasan atau permintaan kurator atau salah seorang
debitor atau lebih maka pengadilan boleh memerintahkan agar debitor pailit dimasukkan
dalam tahanan baik dalam penjara maupun dalam rumah debitor sendiri dibawah
11 | P a g e
pengawasan seorang pejabat dari kekuasaan umum dan pemerintah untuk melakukan
penahanan dijalankan oleh kejaksaan. Hal ini dilakukan oleh pengadilan atas dasar
debitur pailit dengan sengaja tanpa dasar yang sah hal ini sesuai dengan Pasal 88, 101
dan 122 Undang-Undang No. 4 Tahun 1998.
Jika kreditor yang memohonkan pernyataan pailit maka kreditor tersebut harus dapat
membuktikan bahwa tuntutannya terhadap pembayaran piutangnya kepada debitor
dilengkapi dengan bukti-bukti tagihan yang cukup, kalau tidak kreditor tersebut tidak
akan mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap diri si debitor.
Jaksa atau penuntut umum dapat memohon kepailitan seorang debitor bilamana
dipenuhi syarat-syarat adanya keadaan berhenti membayar utang dari yang bersangkutan
dengan alasan kepentingan umum. Jadi bila tidak ada lagi kepentingan perseorangan jaksa
maka dapat berperan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit atas si debitor, tetapi
bila bukan, demi kepentingan umum jaksa tidak berhak mengajukan permohonan pailit.
12 | P a g e
13 | P a g e
14 | P a g e
15 | P a g e
16 | P a g e