Anda di halaman 1dari 5

Analisis Utang Kasus PT Telkomsel Putusan No. 704K/Pdt.

Sus/2012

Dalam hal memohonkan pailit suatu perusahaan, maka haruslah terpenuhi syarat-syarat dari permohonan
pailit itu sendiri yang antara lain adalah harus adanya utang itu sendiri. Dalam kasus yang sedang kami
analisis, Kasus PT Telkomsel ini merupakan kasus kontroversial yang mana terdapat perbedaan
pengertian Utang antara kedua belah pihak dan juga hakim Pengadilan Niaga. Selain itu, antara kedua
belah pihak dan hakim juga terdapat perbedaan penafsiran dari Purchase Order sebagai alat bukti Utang
atau tidak yang mana merupakan awal dari permohonan pailit ini muncul.

Hutang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata
uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian
hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib diepnuhi oleh
Debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta
kekayaan Debitor.

Menurut Jerry Hoff, Utang dapat timbul baik dari kontrak atau pun dari undang-undang seperti yang
tercantum dalam Pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Arti Utang sendiri dalam arti sempit
yaitu adalah utang yang berupa uang, sedangkan utang dalam arti luas utang adalah utang yang dapat
dinilai dengan uang.

Purcahse Order merupakan dokumen-dokumen yang terlibat dalam transaksi jual beli barang dan
jasa. Surat pemesanan ini dikeluarkan setelah terjadina kesepakatan berdasarkan surat
penawaran yang sebelumnya di tawarkan2. Purchase Order dapat disebut sebagai perjanjian apabila
terdapat perjanjian yang memayungi Purchase Order tersebut, yang mana dalam hal ini telah dipayungi
oleh Perjanjian Kerjasama antara kedua belah pihak. Perjanjian sendiri merupakan suatu kewajiban yang
harus dipenuhi oleh sang Debitur yang mana dalam hal ini PT Telkomsel. Namun selanjutnya hal ini
harus diteliti lebih lanjut, karena dalam Purchase Order dan Perjanjian Kerjasama itu sendiri seharusnya
terdapat term and condition dari setiap pelaksanaan Purchase Order itu sendiri3. Dalam kasus ini, surat
penawaran ini merupakan Perjanjian Kerjasama antara PT Prima Jaya Informatika dengan PT Telkomsel
sebagaiman yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Melihat lagi kedepan, bahwa arti hutang sendiri secara luas dapat berarti segala kewajiban yang dapat
dinyatakan dalam jumlah uang maupun tidak baik secara langsung maupun tidak langsung yang harus
dipenuhi oleh Debitur. Bahwa dalam hal ini, Purchase Order yang dikeluarkan oleh PT Prima Jaya
Informatika ini tidak di indahkan oleh PT Telkomsel yang menyebabkan PT Prima Jaya
Informatika mengartikan bahwa hal ini merupakan utang dari PT Telkomsel yang agar dipenuhi.

Dari hal ini haruslah kita melihat terlebih dahulu, bahwa dalam perjanjian kerjasama bagaimana syarat
dan ketentuan dari Purchase Order itu sendiri. Apabila dalam hal ini, PT Prima Jaya Informatika
mengeluarkan PO ini, apakah PT Telkomsel tanpa syarat harus memenuhi PO tersebut. Karena
apabila melihat dari kasus, PT Telkomsel sendiri tidak memenuhi PO ini dikarenakan pada PO
pertama yang dilakukan oleh PT Prima Jaya Informatika telah dipenuhi kewajibannya oleh PT
Telkomsel namun sebaliknya PT Prima Jaya Informatika tidak melakukan pembayaran terhadap
Purchase Order tersebut yang membuat PT Telkomsel tidak melanjutkan PO yang kedua ini.

Namun apabila dalam Perjanjian Kerjasama tidak terdapat syarat atau kondisi yang tidak mengharuskan
PT Telkomsel menerima pembayaran terlebih dahulu sebelum melanjutkan Purchase Order kedua PT
Prima Jaya Informatika, maka PT Telkomsel dianggap telah melakukan pelanggaran dari Perjanjian
Kerjasama yang ada dan dianggap Purchase Order tersebut dinyatakan sebagai Utang dalam arti luas
karena merupakan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang.

Oleh karena itu, hal ini haruslah dilihat lagi dalam Perjanjian Kerjasama yang dilakukan kedua belah
pihak. Yang apabila sebenarnya Purchase Order dapat disebut sebagai Utang dalam arti luas apabila tidak
terpenuhinya Purchase Order tersebut, karena surat ini berisi komitmen dari penaggan yang kemudian
hari ini Purchase Order tersebut dapat dikatakan sebagai bukti.

Analisis Debitor dan Kreditor Putusan No. 704K/Pdt.Sus/2012

Syarat untuk dapatnya dijatuhi kepailitan sebagaimana diatur di dalam pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004 yang berbunyi :

“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan ridak membayar lunas sedikitnya satu utang yang
telah jatuh waktu dan ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya
sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.“

Dimana di dalam kasus ini PT Telkomsel di perlakukan atau dianggap sebagai debitor oleh Majelis
Hakim Pengadilan Niaga adalah penafsiran yang keliru dan terbalik. Di dalam perjanjian kerjasama
antara PT Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika, pada dasarnya harus dilihat terlebih dahulu
kedudukan hukumnya didalam Perjanjian kerja sama tersebut antara siapa sebagai Kreditor yang
sebenarnya dan siapa sebagai Debitor yang sebenarnya. Menurut Pasal 1 Angka (3) UU Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang No. 37 Tahun 2004, yang dimaksud Debitor adalah:

“Orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau Undang-undang yang pelunasannya dapat
ditagih di muka pengadilan.”

Dan menurut Pasal 1 Angka (2), yang dimaksud Kreditor adalah:

“Orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau Undang-Undang yang dapat ditagih di muka
pengadilan.”

Kreditor adalah orang yang berdasarkan hubungan pribadi mempunyai hak subyektif untuk menuntut
pemenuhan tagihannya dari debitor dan pada dasarnya berhak untuk memperoleh pembayaran atas
tagihannya tersebut atas harta kekayaan debitor. Agar dapat digolongkan sebagai kreditor sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Kepailitan, maka kreditor harus dapat menuntut tagihannya di muka
pengadilan. Oleh sebab itu, apa yang dikenal sebagai perikatan alami (natuurlijkeverbintenis) tidak dapat
menjadi dasar untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apakah yang dimaksud dengan
natuulirjke verbintenis adalah obligation civile manqué oi degeneree artinya perikatan semacam itu tidak
dapat dituntut pemenuhannya di muka pengadilan karena ketentuan undang-undang, baik ab initio (dari
semula) semisal utang karena perjudian atau pertaruhan (Pasal 1788 KUHPerdata) maupun sesudahnya
sebagai akibat daluwarsa yang membebaskan dari suatu kewajiban (Pasal 1967 KUHPerdata). Secara
singkat dapat disimpulkan bahwa didalam suatu perjanjian timbal balik, kreditor adalah pihak yang
berhak mendapatkan pembayaran atas sesuatu yang timbul dari perjanjian tersebut, sedangkan Debitur
adalah Pihak yang berkewajiban membayar atas suatu yang timbul dari perjanjian yang bersangkutan.
Didalam perjanjian kerjasama antara Telkomsel dengan PT.Prima Jaya Informatika terlihat jelas isi dari
perjanjian tersebut Telkomsel memberikan aturan main yang jelas untuk ditaati mitra kerjanya yaitu
PT.Prima Jaya Informatika atas perjanjian tersebut. Telkomsel Menyediakan voucher isi ulang dan Kartu
perdana untuk dijual oleh PT.Prima Jaya Informatika dengan target penjualan 120 juta voucher dan 10
juta Kartu Perdana serta Membentuk komunitas Prima (10 juta anggota). Penetapan jumlah penjualan
Voucher dan kartu perdana ditetapkan oleh Telkomsel secara sepihak berdasarkan asas kebebasan
berkontrak dan disetujui untuk ditaati. Didalam perjanjian kerja sama tersebut Pihak Telkomsel telah
melaksanakan pretasinya. Pihak Telkomsel tidak menyediakan Voucher isi ulang dan kartu perdana yang
telah diminta oleh PT.Prima Jaya Informatika, akan tetapi ternyata PT.Prima Jaya Informatika justru
Tidak Melakukan Pembayaran Terhadap PO NO.PO/PKIAK/ V/2012/00000026 tanggal 9 Mei 2012
sebesar Rp4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta Rupiah). Didalam pelaksanaan perjanjian
ini terlihat jelas Telkomsel adalah berkedudukan sebagai kreditor dan PT.Prima Jaya Informatika
berkedudukan sebagai Debitor karena mempunyai kewajiban untuk membayar atas apa yang
telah diberikan oleh Telkomsel, dan selain terkait barang yang belum dibayar PT.Prima Jaya
Informatika juga tidak memiliki pilihan lain selain wajib mentaati Peraturan didalam perjanjian
kerjasama tersebut. Berdasarkan Pasal 8 ayat (4) Undang-undang No.37 Tahun 2004 Tentang
kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa : “ Permohonan
pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana
bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 2 ayat (1) telah
terpenuhi.”

Sehingga dengan tidak tepat nya penetapan PT Telkomsel sebagai debitur ini, maka permohonan pailit
semestinya tidak dikabulkan.

Analisis Penetapan Fee Kurator Putusan No. 704K/Pdt.Sus/2012

Salah satu masalah yang terjadi terhadap putusan pailit PT. Telkomsel ialah mengenai fee kurator.
Pengertian kurator sendiri menurut Pasal 1 angka 5 UUK-PKU ialah Balai Harta Peninggalan atau orang
perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di
bawah pengawasan hakim pengawas sesuai dengan UU ini. Kurator ini bukanlah bekerja tanpa imbalan.
Dengan berlakunya UUK-PKPU, kurator merupakan profesi baru. Pasal 75 UUK-PKPU menentukan,
besarnya imbalan jasa kurator. Pasal 76 UUK-PKPU menentukan, besarnya imbalan jasa yang harus
dibayarkan kepada kurator ditetapkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman RI.
Sebagai pelaksana pasal tersebut, sesuai dengan ketentuan pasal 350 UUK-PKPU berlaku ketentuan lama
yang merupakan pelaksanaan UU No. 4 tahun 1998. Ketentuan lama mengenai imbalan Kurator diatur
dalam Keputusan Menteri Kehakiman No. M.09/HT.05.10/1998 tentang Pedoman Besarnya Imbalan Jasa
Bagi Kurator dan Pengurus.12

PT. Telkomsel sebagai salah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, tersandung dengan
pembebanan fee kurator akibat dari putusan pailit yang ia terima. Awal mula dari kasus ini ialah sejak
Putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat No. 28/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 14
September 2012 yang menyatakan bahwa Telkomsel dinyatakan pailit dan ditunjuk Tim Kurator
yaitu Feri S.Samad, S.H., M.H., Edino Girsang, S.H., dan Mohamad Sadikin, S.H. namun
berdasarkan keberatan Telkomsel sehingga Mahkamah Agung memberikan Putusan Kasasi No.
704K/Pdt.Sus/2012 tanggal 21 November 2012 yang mana menyatakan batalnya pailit Telkomsel.
Kemudian PT. Prima Jaya Informatika mengajukan Peninjauan Kembali yang ditolak oleh
Mahkamah Agung dengan memberikan Putusan Nomor 30PK/Pdt.Sus.Pailit/2013 tanggal 13 Juli
2013.
Tim Kurator sendiri telah mengetahui kepailitan Telkomsel berakhir berdasarkan putusan kasasi tanggal
21 November 2012 dengan mengajukan permohonan untuk biaya kepailitan dan imbalan Jasa Kurator
dengan Surat No. 01/KUR-TLK/I/2012 tanggal 22 Januari 2013 yang pada pokoknya meminta imbalan
jasa Kurator proses kepailitan Telkomsel sebesar Rp 587.232.227.000,-. Atas permohonan tersebut
Pengadilan Niaga pada PN. Jakarta Pusat memberikan Penetapan No. 48/Pailit/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst Jo
No. 704K/Pdt.Sus/2012 tanggal 31 Januari 2013 yang menetapkan imbalan jasa Kurator sebesar Rp 293
616.000.000,- dan dibebankan kepada Pemohon yaitu PT. Prima Jaya Informatika dan Debitor yaitu PT.
Telekomunikasi Selular masing-masing setengah bagian yaitu Rp 146.808.000.000,-. Adapun
pertimbangan hakim adalah sebagai berikut:

1. Bahwa tugas Kurator telah berakhir pada tanggal 10 Januari 2013 bersamaan dengan diterimanya
Putusan Mahkamah Agung No. 704K/Pdt.Sus/2012 tahun 2012. 2. Bahwa Majelis Haim Pemutus tidak
sependapat dengan jumlah fee jasa Kurator yang diajukan oleh Kurator berdasarkan Surat Pemohonan
No. 01/KURTLK/I/2013 tanggal 22 Januari 2013. 3. Bahwa fee jasa Kurator yang layak adalah 0.5% dari
aset Debitor sebesar Rp 58.723.227.000.000,- yaitu Rp 293.616.135.000,-. 4. Majelis Hakim Pemutus
sependapat dengan jumlah Biaya Kepailitan yang diajukan oleh Kurator berdasarkan surat
permohonannya sebesar Rp 240.500.000,-.

Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Niaga tersebut juga sesuai dengan Laporan Hakim
Pengawas Kepailitan Telkomsel, dalam Surat No.W.10.UI tanggal 25 Januari 2013 yang pada
dasarnya memberikan pertimbangan bahwa berdasarkan Laporan Akhir, Kurator telah menerima
relaas Putusan Mahkamah Agung No.704K/Pdt.Sus/2012 tanhu 2012 pada tanggal 10 Januari 2013,
dengan demikian secara yuridis tugas Kurator telah selesai tanggal 10 Januari 2013. Namun,
Telkomsel mengajukan Peninjauan Kembali tentang fee Kurator tersebut. Tindakan PT.
Telkomsel ini merujuk ke pasal 24 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. PT.
Telkomsel berpandangan bahwa aturan yang digunakan adalah Peraturan Menteri Hukum dan
HAM No.1 Tahun 2013 tentang Imbalan Jasa Kurator yang berlaku pada tanggal 11 Januari 2013.
Dalam aturan Permenkumham 2013 pasal xx, seharusnya perhitungan fee kurator adalah
berdasarkan jumlah jam kerja dan bukan berdasarkan perhitungan presentase aset pailit. Jika PK
tersebut di kabulkan, maka PT. Telkomsel akan mendapatkan keuntungan karena Permenkumham No. 1
Tahun 2013 membuat PT. Telkomsel bebas dari kewajiban membayar imbalan jasa kurator, sebagaimana
di Pasal 2 Angka 1 bagian c yaitu “dalam hal permohonan pernyataan pailit ditolak di tingkat kasasi atau
peninjauan kembali, banyaknya imbalan ditetapkan oleh hakim dan dibebankan kepada pemohon
pernyataan pailit.” Peninjauan Kembali mengenai fee Kurator PT. Telkomsel pun dikabulkan.
Pertimbangan dari dikabulkannya Peninjauan Kembali itu ialah: 1. Mahkamah Agung menilai peraturan
yang dipakai seharusnya Permenkumham no. 1 tahun 2013, bukan Keputusan Menteri Kehakiman No. M.
09-HT.05-10 Tahun 1998. Majelis hakim niaga dinilai keliru dalam menerapkan hukum yang menjadi
dasar pedoman besarnya imbalan para kurator. Alasannya ialah Permenkumham itu lahir lebih dahulu
daripada penetapan fee kurator. 2. Mahkamah Agung menyatakan dala menentukan imbalan jasa
pengurusan perkara PT. Telkomsel, kurator tidak merinci pekerjaan yang telah dilakukan. Selain itu,
kurator tidak merinci tarif pekerjaan dan kemampuannya sehingga harus mendapat bayaran 1% dari aset
Telkomsel. Begitu juga dengan majelis hakim Pengadilan Niaga yang tidak memberikan rincian untuk
memutuskan mengabulkan ½% dari aset Telkomsel. PT. Telkomsel pada dasarnya membawa penetapan
fee kurator ini kepada Upaya Peninjauan Kembali karena Peraturan yang digunakan untuk menetapkan
fee kurator tersebut tidaklah semestinya yang diterapkan. Putusan Peninjauan Kembali ini membawa
keuntungan bagi PT. Telkomsel sebagai debitor karena ia dibebaskan dari beban pembayaran fee kurator.
Permenkumham no. 1 tahun 2013 ini khususnya pasal 2 ayat (1) huruf C tidak sesuai dengan Pasal 17
ayat (3) UUK-PKPU yang mana pembebanannya pada UUK-PKPU dibebani kepada dua pilihan pihak
yaitu (1) Pemohon Pernyataan Pailit saja, atau (2) Pemohon Pernyataan Peilit dan Debitor dalam
Perimbangan yang ditetapkan Majelis Hakim. Ketentuan pasal 2 ayat (1) huruf C Permenkumham 1 tahun
2013 melanggar UU yang lebih tinggi dan menimbulkan rasa ketidakadilan. Karena seharusnya di posisi
ini, Pemohon Pailit lah yang berusaha untuk menempuh jalur kepailitan demi mendapatkan hak-nya
kembali dari debitor. Apalagi pada kasus ini, jumlah utang yang menjadi hak Pemohon Pailit jauh lebih
kecil dibanding fee kurator yang seharusnya ia bayar. Untungnya terhadap solusi atas pasal kontroversial
di Permenkumham 1 Tahun 2013 tersebut, yaitu Putusan No. 54/P/HUM/2013 tanggal 19 Desember 2013
yang menyatakan bahwa khusus pasal itu dibatalkan karena tidak sesuai dengan keadilan serta tidak
menempatkan Pemohon Pailit pada kedudukan yang sesuai dengan porsinya. Maka, akan menjadi tugas
bagi Menteri Hukum dan HAM-lah untuk membuat peraturan yang memiliki kesesuaian dengan UUK-
PKPU agar permasalahan seperti ini tidak diketemukan lagi nantinya. Hal ini juga penting agar
mewujudkan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak dalam suatu perkara kepailitan.

Anda mungkin juga menyukai