Anda di halaman 1dari 24

Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang

Analisis Putusan Nomor 14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.JKT.PST


PT. DASTECH Terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang

Kelas C

Dosen Pengampu : Siti Mahmudah , S.H., M.H.

Disusun Oleh :

Khilluwa Nadhifah 11010115120158

Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro

2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang
merugi, bangkrut. Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal
Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari
Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok
Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998
disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan
debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak
mereka masing-masing”. Sedangkan Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Kepailitan sendiri terjadi akibat adanya suatu utang piutang yang didahului
dengan perjanjian utang piutang antar pihak. Pihak tersebut yaitu pihak yang mempunyai
hutang (debitor) dan pihak yang mempunyai piutang (kreditor). Meskipun telah
disepakati sebuah perjanjian, namun pada suatu kasus tertentu ada kalanya debitor tidak
melakukan pembayaran untuk meluansi utangnya. Kondisi keuangan debitor yang
memburuk biasanya merupakan salah satu hal Pembayaran utang piutang tersebut sampai
pada titik keadaan berhenti membayar. Keadaan berhenti membayar adalah suatu
keadaan dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah
jatuh tempo. Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal
ini dapat menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada debitor
yang telah dinyatakan pailit.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para
kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama. Akibat hukum pernyataan pailit,
mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan
putusan kepailitan. sehingga piutang kreditor yang beritikad baik tersebut tidak terjamin
Pembayarannya. Perlindungan terhadap hak – hak serta kepentingan debitor dan kreditor
sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Hal tersebut
kemudian diperjelas dan dirinci dalam Undang – Undang nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan
analisa terhadap salah satu putusan pailit terhadap badan hukum perseroan terbatas yang
telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat putusan nomor
14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana penyelesaian utang piutang berdasarkan Undang – Undang Nomor 37


tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
2. Bagaimana analisa dalam putusan nomor
14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. ditinjau dari Undang – Undang nomor
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

C. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan penyelesaian utang piutang berdasarkan Undang – Undang Nomor


37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
2. Menjelaskan analisa dalam putusan nomor
14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst. ditinjau dari Undang – Undang nomor
37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum tentang Kepailitan


Kepailitan pada awalnya diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan yang
dikenal dengan sebutan Failissement Verordening (FV) yaitu Staatsblad Tahun 1905
Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906 Nomor 348. FV tersebut kemudian diubah
dalam arti disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(PERPU) Nomor 1 Tahun 1998 sehubungan dengan gejolak moneter yang menimpa
Negara Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. PERPU Nomor 1 Tahun 1998
selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1998, namun karena perubahan tersebut belum juga memenuhi perkembangan dan
kebutuhan hukum masyarakat kemudian diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Pengaturan suatu kepailitan selain khusus diatur dengan Undang – Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, juga
terdapat dalam beberapa undangundang yaitu KUH Perdata, KUH Pidana, UU no 40
tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Undang-Undang tentang Hak Tanggungan
Nomor 4 Tahun 1996, Perundang-undangan di bidang Pasar Modal , Perbankan, BUMN,
dan lain-lain.
Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan pailit adalah suatu sitaan umum
atas seluruh harta debitor agar dicapainya perdamaian antara debitor dan para kreditor
atau agar harta tersebut dapat dibagi – bagi secara adil di antara para kreditor. R. Subekti
berpendapat bahwa kepailitan adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan
pembayaran bagi semua orang yang berpiutang secara adil. Pasal 1 angka 1 Undang –
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang menyatakan bahwa yang dimaksud kepailitan adalah sita umum atas
semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh
Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas. Selanjutnya pada pasal 2 ayat (1)
menyebutkan bahwa Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak
membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih,
dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun
atas permohonan satu atau lebih kreditornya. Pasal 2 ayat (1) tersebut merupakan syarat
yuridis agar debitor dapat dinyatakan pailit. Apabila syarat – syarat tersebut telah
terpenuhi, maka hakim harus menyatakan pailit, bukan dapat menyatakan pailit.

B. Syarat – Syarat Pernyataan Pailit


Berdasarkan ketentuan pasal 2 ayat (1) undang – undang nomor 37 tahun 2004,
maka dapat disimpulkan bahwa seorang debitor dapat dinyatakan pailit apabila
memenuhi syarat – syarat sebagai berikut.
1) Debitor paling sedikit memiliki dua kreditor. Keberadaan dua kreditor merupakan
syarat yang disebutkan dalam undang – undang.
2) Debitor paling sedikit tidak membayar satu utang kepada salah satu kreditor.
Pengertian keadaan berhenti membayar utang – utang harus diartikan sebagai suatu
keadaan bahwa debitor tidak membayar utangnya yang seharusnya ia bayar. Apabila
baru satu kali tidak membayar, maka tidak dapat dikatakan berhenti membayar.
Keadaan berhenti membayar adalah adanya lebih dari satu kali berhenti membayar,
keadaan ini merupakan syarat mutlak untuk pernyataan pailit.
3) Utang yang belum dibayar telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Utang jatuh waktu dan
dapat ditagih memiliki pengertian yang berbeda. Utang yang telah jatuh waktu dengan
sendirinya menjadi utang yang dapat ditagih, namun utang yang dapat ditagih belum
tentu utang yang telah jatuh waktu. Utang dikatakan jatuh waktu apabila telah sampai
jadwal waktunya untuk dilunasi debitor. Suatu utang sekalipun waktunya belum tiba,
tetapi mungkin saja utang itu dapat ditagih karena terjadi wanprestasi sebagaimana
ditentukan dalam perjanjian.
Syarat – syarat yuridis agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah
sebagai berikut.1
1) Adanya utang
2) Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo
3) Minimal satu dari utang dapat ditagih
4) Adanya debitor
5) Adanya kreditor
6) Kreditor lebih dari satu
7) Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut Pengadilan Niaga

1
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, “Mengenal Kepailitan”, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal 27 – 30.
8) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang
9) Syarat – syarat yuridis lainnya dalam UU.

C. Pihak – Pihak yang Dapat Berkedudukan sebagai Pemohon Pailit


Pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit telah ditentukan oleh pasal 2
Undang – undang no 37 tahun 2004. Ada 6 pihak yang dapat mengajukan permohonan
pailit, yaitu2
1) Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. Dalam hal permohonan pailit
diajukan oleh debitor yang menikah, maka permohonan hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami atau istrinya kecuali apabila tidak ada percampuran harta
perkawinan
2) Kreditur, yang dimaksud adalah kreditur konkuren, kreditor separatis, maupun
kreditor preferen. Khusus mengenai kreditor separatis dan kreditor preferen, mereka
dapat mengajukan permohonan pailit tanpa kehilangan hak agunan atas kebendaan
yang mereka miliki terhadap harta debitor dan haknya untuk didahulukan
3) Kejaksaan untuk kepentingan umum yaitu kepentingan bangsa dan negara dan/atau
kepentingan masyarakat luas. Termasuk dalam kepentingan umum yaitu debitor
melarikan diri; debitor menggelapkan bagian dari harta kekayaan; debitor
mempunnyai utang kepada BUMN atau badan usaha lain yang menghimpun dana dari
masyarakat; debitor mempunyai utang yang berasal dari penghimpunan dana dari
masyarakat luas; debitor tidak beritikad baik atau tidak kooperatif dalam
menyelesaikan masalah utang piutang yang telah jatuh waktu; atau dalam hal lainnya
yang menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.
4) Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan pasal 6 Undang – Undang nomor 12 tahun 2011
tentang Otoritas Jasa Keuangan. Sejak adanya Undang-Undang Otoritas Jasa
Keuangan, maka permohonan pernyataan pailit bagi sektor perbankan, Pasar Modal
dan sektor Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa
Keuangan lainnya harus dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Jika kreditor menempuh jalan melalui gugatan perdata, maka hanya kepentingan
kreditor/si penggugat saja yang dicukupi dengan harta si debitor yang disita dan
kemudian dieksekusi pemenuhan piutang dari kreditor, kreditor lain yang tidak

2
Rahayu Hartini, 2007, “Hukum Kepailitan Edisi Revisi”, UMM Press, Malang, hal 37 – 58.
melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila
kreditor-kreditor memohon agar pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan
persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitor
dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.3

D. Pihak – Pihak yang Dapat Dimohonkan Pailit


Pihak yang dapat dimohonkan pailit:
1) Orang perseorangan baik laki-laki maupun perempuan yang telah menikah maupun
belum menikah. Jika permohonan pernyataan pailit tersebut diajukan oleh debitor
perorangan yang telah menikah, maka permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas
persetujuan suami/istrinya, kecuali antara suami-istri tersebut tidak ada percampuran
harta
2) Perserikaan-perserikatan dan perkumpulan-perkumpulan tidak berbadan hukum
lainnya. Permohonan pernyataan pailit terhadap suatu “firma” harus memuat nama
dan tempat kediaman masing-masing pesero yang secara tanggung renteng terikat
untuk seluruh utang firma.
3) Perseroan-perseroan, perkumpulan-perkumpulan, koperasi maupun yayasan yang
berbadan hukum. Dalam hal ini berlakulah ketentuan mengenai kewenangan masing-
masing badan hukum sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnya.
4) Harta Warisan. Harta warisan dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal
dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berhenti membayar utangnya, atau
harta warisannya pada saat meninggal dunia tidak cukup untuk membayar utangnya. 4
Namun permohonan tidak diajukan kepada ahli waris. Pernyataan pailit harta
peninggalan berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang meninggal
dari harta kekayaan ahli waris dengan cara yang dijelaskan dalam pasal 1107
KUHPerdata. Permohonan pailit terhadap harta peninggalan harus memperhatikan
ketentuan pasal 210 undang –undang, yang menyatakan bahwa permohonan
pernyataan pailit harus diajukan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak debitor
meninggal dunia.

E. Akibat Kepailitan

3
Khairandy,” Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, 2002, hal
108
4 Imran Nating, 2002, “Hukum Kepailitan”, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal 42.
Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut.
a. Akibat Kepailitan terhadap Harta Kekayaan Debitur Pailit. Kepailitan mengkibatkan
seluruh kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitn berada
dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali:
1) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh dbitur sehubungan
dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang diperunakan
untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dioergunakan oleh
debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan
keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2) Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangnag, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau
3) Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.
b. Akibat Kepailitan terhadap Pasangan (Suami/Istri) Debitor Pailit. Akibat pailit yang
pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dan adanya
persatuan harta, kepailitannya juga dapat memberikan akibat hukum terhadap
pasangan (suami/istri). Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau
suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oelh
suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum
tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang
hasil penjualan tersebut. Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa
apabila seorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juka istri atau
suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa
konsekuensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam
persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam
persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepilitan dan otomatis masuk dalam
boedel pailit.
c. Akibat Kepailitan terhadap Seluruh Perikatan yang Dibuat Debitur Pailit. Semua
perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta
pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit ( Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004). Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang
menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan
tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila
tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit,
penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).
d. Akibat Kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan. Dalam pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 dinyatakan secara tegas bahwa untuk kepantingan harta pailit, segala
perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan
kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai
pembatalan kepada pengadilan. Kemudian dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 kepailitan iberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur
tersebut, antara lain:
1) Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum
putusan pernyataan pailit
2) Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya
3) Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersbut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditor
4) Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa:
a) Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak
dengan siapa perjanjian tersebut dibuat
b) Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum
jatuh tempo dan/ atau belum atau tidak dapat ditagih
c) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor perorangan, dengan
atau untuk kepentingan:
a. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
b. Suatu badan hukum di mana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada
huruf (a) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut,
baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, ikut serta secara langsung atau
tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% dari
modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
d) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan
badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:
a. Anggota direksi atau pengurus dari debitur, suami atau istri, anak angkat,
atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota Direksi atau pengurus
tersebut;
b. Perorangan, baik sendiri aau bersama-sama dengan suami atau istri, anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung
dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50% dari modal disetor atau
dalam pengendalian badan hukum tersebut;
c. Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau kelurganya sampai
derajat ketiga, ikut serta secara langsung aau tidak langsung dalam
kepemilikan pada debitur lebihdari 50% dari modal disetor atau dalam
pengendalian badan hukum tersebut;
e) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang merupakan
badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
a. Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut
adalah orang yang sama;
b. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari
perorangan anggota direksi atau pengurus debitur juga merupakan anggota
direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
c. Perorangan angota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada
debitur, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat
ketiga, baik sendiri atau bersama-sama ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari modal yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum
tersebut, atau sebaliknya;
d. Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada Badan Hukum lainnya
atau sebaliknya;
e. Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama atau
tidak dengan suami atau istrinya, dan/atau para anak angkatnya dan
keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50%
(lima puluh persen) dari modal yang disetor.
e) dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap
badan hukum lain dalam satu grup di mana debitur adalah anggotanya;
f) ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis
dalam hal dilakukan oleh debitur dengan atau untuk kepentingan:
a. Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat atau
keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut;
b. Perorangan baik sendiri maupun bersamasama dengan suami atau istri. Anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung
dalam pengendalian badan hukum tersebut.

F. Pemberesan Harta Pailit


Pemberesan harta pailit dilakukan oleh kurator dengan melalui pengawasan dari
hakim pengawas. Pengertian kurator terdapat dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang,
yaitu bahwa Kurator adalah Balai Harta Peninggalan atau orang perseorangan yang
diangkat oleh Pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitor pailit di
bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UndangUndang ini. Kurator
merupakan salah satu pihak yang memegang peranan sangat penting dalam proses
penyelesaian kepailitan. Kuator diangkat oleh Pengadilan, dengan tugas utama adalah
mengurus dan membereskan harta pailit. Dalam Pasal 70 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
disebutkan, yang dapat bertindak menjadi kurator adalah Balai Harta Peninggalan (BHP)
atau kurator lainnya.
Balai Harta Peninggalan adalah instansi pemerintah yang berada dibawah
Kemnetrian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang melakukan pelayanan jasa hukum di
bidang kepailitan dan PKPU serta bidang lainnya sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. BHP dapat diangkat oleh pengadilan niaga dengan putusan untuk melakukan
pelayanan jasa hukum di bidang kepailitan dan PKPU. BHP yang diangkat pengadilan
niaga bertindak sebagai kurator dan/atau pengurus. Apabila BHP menangani perkara
kepailitan disebut kurator, sedangkan apabila mngurusi harta debitor bersama-sama
dengan debitor PKUP disebut pengurus. Pengurus tidak berwenang menjual harta debitor
PKPU, sedangkan kurator mempunyai otoritas untuk menjual aset debitor pailit. Untuk
jenis Kurator lainnya, dalam Pasal 70 ayat (2) huruf (a) Undang-undang kepailitan
disebutkan, yaitu kurator yang bukan Balai Harta Peninggalan adalah mereka yang harus
memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
a. Perorangan atau perselutuan perdata yang berdomisili di Indonesia, yang
mempunyai keahlian khusus yang dibutuhkan dalam rangka mengurus dan atau
membereskan harta pailit.
b. Telah terdaftar pada Kementrian yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang hukum dan peraturan perundang-undangan.
Kurator dalam melakukan pemberesan harta pailit diawasi oleh Hakim Pengawas.
Hakim pengawas adalah Hakim yang ditunjuk oleh pengadilan dalam putusan pailit atau
putusan penundaan kewajiban pembayaran utang, Pasal 1 angka 8 UUK-PKPU. Hakim
pengawas tersebut ditunjuk oleh Majelis Hakim Pemeriksa atau Majelis Hakim Pemutus
perkara PPP. Pada prinsipnya, hakim pengawas adalah wakil pengadilan yang
mengawasi pengurusan dan pemberesan harta pailit yang dilakukan oleh Kurator.
Penunjukan Hakim Pengwas dilakukan bersamaan dengan diucapkannya putusan
pernyataan pailit.5
Dalam hal pemberesan dan pengurusan harta pailit tersebut, kurator bekerja
setelah adanya putusan pernyataan pailit dari hakim, putusan pailit tersebut terhitung
sejak pukul 00.00 waktu setempat. Maka terhitung sejak tanggal putusan pernyataan
pailit tersebut diucapkan, debitor pailit demi hukum tidak mempunyai kewenangan lagi
untuk menguasai dan mengurus harta kekayaan.

G. Berakhirnya Kepailitan

Dalam kepailitan dimungkinkan adanya suatu perdamaian. Perdamaian adalah


perjanjian antara debitor pailit dengan kreditor dimana menawarkan pembayaran
sebagian dari utangnya dengan syarat bahwa setelah melakukan pembayaran tersebut, ia
dibebaskan dari sisa utangnya, sehingga ia tidak mempunyai utang lagi. Ketentuan
tentang perdamaian sebagaimana diatur dalam Bagian keenam Undang-undang Nomor
37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pasal
144 menjelaskan bahwa debitor pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian
kepada semua kreditor.

5
Lilik Mulyadi, 2013, “Perkara Kepailitan Dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang (PKPU) Teori Dan
Praktik”, Alumni, Bandung, hlm 132-133.
Rencana perdamaian diterima apabila disetuji dalam rapat kreditor oleh lebih dari
½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya
diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, seperti yang tercantum
dalam Pasal 151 UUK-PKPU. Maka dari itu, perdamaian dalam kepailitan ini akan
mengikat semua kreditor termasuk kreditor yang tidak memberikan suara termasuk
kreditor yang tidak menyetujui perdamaian tersebut.

Apabila perdamaian dibatalkan, maka kepailitan dibuka kembali seperti semula.


Akibatnya semua perbuatan yang dilakukan oleh debitu dalam waktu antara pengesahan
perdamaian dan pembukaan kembali kepailitan, akan mengikat harta pailit. Setelah
kepailitan dibuka kembali, tidak dapat ditawarkan perdamaian untuk kedua kalinya.
BAB III

ANALISIS PUTUSAN

A. Kasus Posisi Putusan Nomor 14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst


Salman Maghfiron (Pemohon) mengajukan permohonan pailit terhadap PT.
DASTECH (Termohon) suatu Perseroan Terbatas yang didirikan dan berdasarkan Hukum
Negara Republik Indonesia, berkedudukan di Ruko Plazza Del España Jl. Kalimantan No.
55 Lippo Karawaci, Panunggangan Barat, Cibodas Tangerang. Permohonan pailit diajukan
pada tanggal 5 April 2016 di Kepaniteraan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat pada register perkara Nomor: 14/Pdt.Sus/ Pailit/2016/PN.Niaga.JKT.PST.
Salman Maghfiron, selaku Pemohon yang dalam hal diwakili oleh Kuasanya Roesmajin,
SH,, Advokat/ Penasehat Hukum pada kantor Advokat “ROESMAJIN, SH. & REKAN”.
Sedangkan PT. DASTECH selaku pihak termohon tidak memberikan kuasa kepada pihak
manapun.
Salman Maghfiron adalah Kreditur dari PT. DASTECH dimana pada Tanggal 6
September 2012 Pemohon dan Termohon telah mengikatkan diri dalam suatu perjanjian
hutang piutang dengan masa waktu 1 (satu) tahun. Dan atas hutang tersebut termohon
diwajibkan memberikan keuntungan kepada Pemohon sebesar 20% (duapuluhpersen)
pertahun. Dalam perjanjian tersebut Termohon telah menerima uang pinjaman dari
Pemohon seluruhnya sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) dan atas hutang
tersebutakan Termohon kembalikan setelah berakhirnya masa perjanjianya yakni tanggal 6
September 2013.
Namun hingga berakhirnya perjanjian, Termohon belum menyelesaikan
kewajibannya baik pokok maupun keuntungan yang telah disepakati berdasarkan surat
Perjanjian tertanggal 6 September 2012. Dengan kata lain Termohon dalam keadaan
berhenti membayar. Pemohon secara kekeluargaan dan telah menegur secara tertulis agar
Termohon segera membayar kewajibannya tersebut dengan melayangkan somasi I No. :
01/S. som/R&R/X/2013 tertanggal 21 Oktober 2013, agar Termohon menyelesaikan
kewajibannya kepada Pemohon. Lalu pemohon kembali mengirimkan Somasi II pada
tanggal 11 Nopember 2013 dengan No. : 11/S. Som/R&R/X/2013, serta Somasi III pada
tanggal 20 Nopember 2013, namun hingga Permohonan kepailitan diajukan tidak
mendapat tanggapan sama sekali dari Termohon.
B. Analisa Penulis mengenai Putusan Nomor 03/Pdt.Sus-Pailit/2015/PN.Niaga.Smg
ditinjau dari Hukum Kepailitan

 Syarat syarat kepailitan

Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu
perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah :
 Adanya utang;
 Minimal satu utang sudah jatuh tempo
 Minimal satu utang sudah dapat ditagih;
 Adanya Kreditur lebih dari satu;
 Adanya debitur
 Adanya kreditur
 Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan
“Pengadilan Niaga”
 Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang
 Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang
Kepailitan.

Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat
debitor untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila
syarat-syarat terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan
pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan
“judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.
Dan berdasarkan rumusan pasal 1131 KUHPerdata, menunjukan bahwa setiap
tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum dalam lapangan hukum keperdataan
khususnya bidang hukum harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta
kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaan maupun yang
nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaan.
Pasal 1132 KUHPerdata merupakan pasal pernormaan dari prinsip pari passu
pro rata parte dalam konteks pasal ini, setiap pihak yang berhak ata pemenuhan
perikatan dari harta kekayaan pihak berkewajiban (debitor) secara:
 Pari passu yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang
didahulukan.
 Prorarta parte yaitu proporsional yang dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan piutang mereka secara keseluruhan
terhadap harta kekayaan debitor tersebut.

 Minimal ada 2 kreditur atau lebih.

Bahwa memang jelas terdapat ada perjanjian utang piutang baik antara termohon
PT DASTECH dengan pemohon. Para Pemohon dan berdasarkan bukti, Termohon
(PT. DASTECH) selaku Debitur mempunyai dua Kreditur, yakni Salan Maghfiro
sendiri serta PT. Asrie Pratama Mandiri; yang sama-sama mempunyai tagihan utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dengan demikian, unsur pertama dalam
pasal 2 ayat (1) undang – undang nomor 37 tahun 2004 yaitu mengenai debitor
mempunyai dua atau lebih kreditor telah dapat dibuktikan dan oleh karena itu telah
terpenuhi.

 Adanya utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih.

Unsur kedua, yaitu adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
dibuktikan dengan salah satu cara yaitu kreditor membuktikan telah memberikan
teguran kepada debitor untuk membayar kewajibannya, tetapi debitor tidak juga
membayarnya. Atau kreditor membuktikan bahwa hingga lewat jangka waktu
pembayaran kewajiban (utang) yang telah disepakati sebelumnya, debitor tidak juga
membayar utangnya. Para kreditor telah berupaya untuk meminta kepada debitor
untuk memenuhi prestasinya berupa pembayaran utang dan pembagian keuntungan
(pasal 1234 KUHPerdata). Dalam menuntut haknya, para kreditor pada awalnya tidak
meminta pengadilan untuk mengeluarkan peringatan (aanmaning) kepada debitor,
namun langsung mengirimkan peringatan sendiri kepada PT DASTECH tanpa
melalui pengadilan dalam bentuk somasi, sebagaimana diatur dalam pasal 1238
KUHPerdata.
Ada istilah lain yang biasa dikaitkan dengan somasi, yaitu “in gebreke
gesteld“ (atau ingebrekestelling), yang bisa diterjemahkan menjadi “pernyataan lalai“
(atau “dinyatakan dalam keadaan lalai“), sebagai yang diatur dalam Pasal 1238
KUHPerdata. Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa “Si berutang dinyatakan
dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia
berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa
akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang
ditentukan saja“. Keadaan lalai berkaitan dengan jatuh temponya kewajiban perikatan
debitur. Apabila belum tiba saatnya kewajiban perikatan debitur dilaksanakan, maka
debitur tidak bisa dinyatakan dalam keadaan lalai. Debitor berada dalam keadaan lalai
setelah ada perintah atau peringatan agar debitor melaksanakan kewajiban
perikatannya. Perintah atau peringatan tersebut yang kemudian disebut sebagai
somasi. Somasi yang tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah membawa debitor berada
dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku.
Berdasarkan redaksi Pasal 1238 BW, debitur berada dalam keadaan lalai bisa karena,
setelah diperingatkan dengan benar untuk berprestasi, debitur tanpa dasar yang bisa
dibenarkan tetap tidak berprestasi atau bisa juga debitur wanprestasi (tanpa perlu
somasi) atas dasar sifat perikatannya.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
kapan Debitur dapat dinyatakan berada dalam keadaan berhenti membayar, dan oleh
karenanya, untuk menentukannya, Majelis Hakim merujuk pada Yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung RI yang menyatakan “Debitur dikatakan berhenti membayar tidak
harus diartikan sebagai keadaan dimana Debitur memang tidak mempunyai
kesanggupan lagi untuk membayar hutang-hutangnya kepada salah seorang atau lebih
Kreditur, akan tetapi termasuk pula keadaan dimana Debitur tidak berprestasi lagi
pada saat permohonan pailit diajukan ke Pengadilan”.
Setelah memperhatikan surat permohonan pailit tersebut dapat diketahui bahwa
Termohon telah tidak membayar kepada PEMOHON suatu hutang pokok sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratusjuta rupiah), profit sharing 20 % atau sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan bunga keterlambatan mulai bulan Oktober
2013 s/d juni 2013 sebesar Rp. 500.000.000,- x 2 % x 9 bl. = Rp. 90.000.000,-
(Sembilan puluh juta rupiah) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan
Surat perjanjian hutang piutang tertanggal 6 September 2012 dan Surat tanggapan
somasi tertanggal 20 November 2013. Lalu, dengan tidak ditanggapinya Surat
Tagihan (Somasi) dari Pemohon oleh Termohon oleh karenanya Termohon demi
hukum memiliki kewajiban untuk memenuhi hutang semenjak saat jatuh tempo
hutang tersebut dan berhak untuk ditagih. Berdasarkan tagihan sebagaimana yang
dibuktikan, pada mulanya Pemohon memberikan waktu 10 (sepuluh) hari bagi
Termohon untuk memberikan menyelesaikan atas tagihan tersebut, akan tetapi sampai
dengan tanggal diajukannya Permohonan Pailit ini, Pemohon tidak juga mendapat
tanggapan dan pelunasan hutang dalam bentuk apapun dari Pihak Termohon. Maka
berdasarkan hal tersebut, unsur kedua telah dipenuhi.

 Pertimbangan Hukum

Undang – undanng 37 tahun 2004 menentukan bahwa debitor dapat dan harus
dinyatakan pailit apabila telah dipenuhinya unsur pembuktian sederhana dalam
pemeriksaaan perkara kepailitan. Pasal 8 ayat (4) Undang – Undang no 37 tahun 2004
menentukan “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. Yang dimaksud
dengan "fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.
Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit
dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa dalam perkara pailit, debitor yang akan
dipailitkan harus terbukti secara sederhana bahwa debitor memiliki dua kreditor atau
lebih dan utangnya sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja bahwa mengenai pembuktian keberadaan utang, haruslah jelas
bahwa utang tersebut adalah utang yang tidak dapat dibantah lagi keberadaannya oleh
debitor. Bahwa debitor sudah diteguroleh kreditor untuk memenuhi kewajiban
utangnya, tetapi debitor tidak memenuhi kewajibannya tersebut. Atau jika telah
ditentukan secara pasti waktu pemenuhan kewajiban debitor, setelah lewatnya jangka
waktu tersebut debitor tidak juga memenuhi kewajibannya.6 Pembuktian secara
sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir.

 Amar Putusan Pengadilan


1. Mengabulkan permohonan PEMOHON untuk seluruhnya;
2. Menyatakan TERMOHON yaitu PT. DASTECH Pailit dengan segala akibat
hukumnya:
3. Mengangkat BASLIN SINAGA, SH. MH, Hakim Niaga Pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat sebagai Hakim Pengawas;
4. Menunjuk Balai Harta Peninggalan (BHP) Jakarta, sebagai Kurator dalam
Kepailitan ini;
5. Menetapkan imbalan jasa Kurator akan ditetapkan dikemudian hari setelah
Kurator selesai melaksanakan tugasnya;
6. Menghukum Termohon Pailit untuk membayar biaya perkara sebesar Rp.
316.000,- (tiga ratus enam belas ribu rupiah);

Berdasarkan amar putusan hakim pada putusan Nomor Putusan Nomor


14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst maka dapat disimpulkan bahwa debitor telah
terbukti secara sederhanasesuai pasal 8 ayat (4) yang memenuhi unsur – unsur dalam
pasal 2 ayat (1) Undang – undang no 37 tahun 2004, sehingga dapat dan harus
dinyatakan pailit. Ada tiga unsur yang harus dibuktikan oleh hakim, yaitu bahwa
debitor memiliki dua atau lebih kreditor, debitor tidak membayar sedikitnya satu
utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, serta pengajuan permohonan pailit
dilakukan atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
kreditornya. Dalam kasus ini, pada dasarnya harus dilihat terlebih dahulu bagaimana
perjanjian utang piutang yang terjadi antar pihak sehingga dapat ditentukan siapa
kreditor dan siapa debitornya.

Akibat hukum dari adanya kepailitan yang diberlakukan kepada debitor oleh
undang-undang.Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor
dengan dua mode pemberlakuan yaitu7 :

1) Berlaku demi hukum

6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, “Pedoman Menangani Perkara Kepailitan”,Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal 135.
7
Munir Fuady, 2002, Hukum Pailit 1998, cetakan kedua, Bandung, hal. 65
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of
law)

Segera setelah adanya pernyataan pailit memiliki kekuatan tetap, ataupun


setelah berakhirnya kepailitan. Dalam hal telah adanya pernyataan pailit pada
debitur, maka debitur dilarang untuk meninggalkan tempat tinggalnya
selamamasa pemberesan tersebut dilakukan. Walaupun dalam keadaanya
seperti ini pihak hakim pengawas masih mungkin dapat memberikan izin
kepada debitur untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

2) Berlaku secara Rule of Reason

Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila
diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan
mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal
ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat
hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim
Pengawas, dan lain-lain.

Akibat yang memerlukan rule of reason adalah tindakan penyegelan harta


pailit. Dalam hal ini harta debitur dapat disegel atas persetujuan Hakim
Pengawas jadi hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis. Reason yang
dilakukan dalam penyegelan harta pailit ini diartikan hanya untuk alasan

Kreditor adalah orang yang berdasarkan hubungan pribadi mempunyai hak


subyektif untuk menuntut pemenuhan tagihannya dari debitor dan pada dasarnya berhak
untuk memperoleh pembayaran atas tagihannya tersebut atas harta kekayaan debitor. Agar
dapat digolongkan sebagai kreditor sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.
Berdasarkan pasal 19 undang – undang no 37 tahun 2004, yang dinyatakan pailit
adalah seluruh harta kekayaan debitor, bukan pribadinya. Oleh karena itu, menurut pasal
24 undang – undang no 37 tahun 2004, dengan dinyatakannya pailit, debitor pailit demi
hukum kehilangan haknya untuk berbuat bebas terhadap kekayaannya yang termasuk
dalam kepailitan, begitu pula haknya untuk mengurus, sejak tanggal putusan pailit
diucapkan. Tanggal putusan dihitung sejak pukul 00.00 waktu setempat.8 Terhitung sejak
tanggal putusan pernyataan pailit ditetapkan, maka kurator berwenang untuk

Rahayu Hartini, Op.Cit, hal 104


8
melaksanakan tugas pengurusan dan/atau pemberesan atas harta pailit, meskipun terhadap
putusan tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali (pasal 12 ayat (1) jo pasal 16
ayat (1) Undang – Undang no 37 tahun 2004). Tugas kurator diatur dalam pasal 69 ayat
(1) undang – undang no 37 tahun 2004, yaitu melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
harta pailit yang meliputi penyelamatan, pengelolaan, dan penjaminan, serta penjualan
harta pailit.
Apabila PT DASTECH dan para kreditor tidak dapat mencapai perdamaian, maka
terjadi insolvensi yang berarti harus dilakukan pemberesan harta pailit oleh kurator.
Menurut ketentuan pasal 178 undang – undang no 37 tahun 2004, apabila dalam rapat
pencocokan utang piutang tidak ditawarkan perdamaian atau bila perdamaian yang
ditawarkan tekah ditolak atau pengesahan perdamaian (homologatie accord) telah ditolak
dengan pasti maka demi hukum, harta pailit berada dalam keadaan tak mampu membayar
(insolvensi). Oleh karena itu, kurator atau kreditor dapat mengusulkan agar perusahaan
debitor pailit dilanjutkan. Dalam hal ini, kurator harus memulai pemberesan dan menjual
semua harta pailit danpa memperoleh persetujuan dari debitor. Semua barang harus dijual
di hadapan umu atau secara dibawah tangan selama ada ijin dari hakim pengawas.
Kurator wajib memuat daftar pembayaran, yang salah satu isinya adalah mengenai
pembagian yang harus diterima oleh setiap piutang tersebut. Dalam hal ini, kuraotor Balai
Harta Peninggalan Jakarta Pusat harus terlebih dahulu melakukan pencocokan setiap
piutang dengan seluruh kreditor yang dimiliki oleh PT DATECH. Jika dipandang perlu,
kurator juga berwenang atas persetujuan panitera kreditor untuk melanjutkan usaha (on
going concern) debitor, jika hal itu dipandang akan menguntungkan harta pailit. Langkah
ini merupakan langkah strategis bagi perseroan terbatas. Namun apabila dalam proses
pemberesan tersebut ternyata harta pailit tidak mencukupi untuk pelunasan utang, maka
demi hukum PT DASTECH Indonesia menjadi bubar. Dengan bubarnya badan hukum
tersebut, maka utang – utang yang dimiliki oleh debitor yang belum terbayarkan menjadi
utang di atas kertas saja tanpa bisa dilakukan penagihan karena badan hukumnya sudah
bubar. Dalam pada itu, badan hukum pailit harta kekayaannya tidak mencukupi untuk
membayar semua utangnya kepada kreditor, tidak dapat mengajukan pencabutan
kepailitan. 9
Tujuan utama proses kepailitan terhadap perseroan terbatass adalah untuk
mempercepat proses likuidasi dalam rangka pendistribusian aset perseroan dalam rangka

M. Hadi Shubhan. Loc.Cit, hal 146.


9
membayar utang – utang perseroan karena perseroan telah mengalami kesulitan keuangan
yang menyebabkan insolvensi. Eksistensi yuridis dari perseroan terbatas yang telah
dipailitkan adalah masih tetap ada eksistensi badan hukumnya. Dengan dinyatakan pailit,
tidak mutatis mutandis badan hukum perseroan menjadi tidak ada. Suatu perseroan
terbatas yang telah dilikuidasi, maka eksistensi badan hukum dari perseroan terbatas masih
tetap ada sampai proses likuidasi tersebut beres sama sekali yang berujung pada bubarnya
perseroan terbatas tersebut. Pada tahap insolvensi dari perseroan terbatas yang pailit maka
eksistensi yuridis dari perseroan ini tetap ada dan melakukan kegiatan – kegiatan seperti
subjek hukum lainnya hanya kegiatan yang dimaksud mengarah pada pemberesan
terhadap harta – harta pailit perseroan dan terutama pada proses pencairan harta atau aset
perseroan.
Akibat hukum bagi perseroan terbatas adalah tidak menyebkan secara otomatis
perseroan terbatas tersebut berhenti melakukan segala perbuatan hukumnya. Yang secara
otomatis berhenti melakukan perbuatan hukum yang berkaitan dengan harta kekayaan
perseroan adalah organ perseroan yang terdiri dari pemegang saham, komisaris, dan
direktur. Semua kewenangan tiga organ perseoran tersebut beralih pada kurator sepanjang
berkaitan dengan harta kekayaan perseroan. Kurator pada perseroan terbatas pailit pada
prinsipnya mempunyai kewenangan penuh untuk melakukan pengurusan harta pailit dari
perseroan tersebut. Dalam pasal 69 Undang – Undang no 37 tahun 2004 secara tegas
menyatakan bahwa kurator tidak memerlukan persetujuan dari atau menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu kepada debitor atau salah satu organ debitor, meskipun
dalam keadaan di luar kepailitan persetujuan atau pemberitahuan demkian disyaratkan.
Hanya dalam beberapa hal kurator harus meminta persetujuan terhadap hakim pengawas.

BAB III
KESIMPULAN

1. Pertimbangan hakim dalam putusan perkara Nomor: 14/Pdt.Sus/


Pailit/2016/PN.Niaga.JKT.PST didasarkan pada undang – undang nomor 37 tahun
2004. Dalam undang – undang tersebut, cukup dengan pembuktian secara sederhana
(pasal 8 ayat (4)) bahwa debitor telah memenuhi unsur – unsur pasal 2 ayat (1), maka
hakim sudah harus menyatakan debitor pailit. Adapun unsur – unsur yang dipenuhi
dalam kasus yang diambil penulis adalah (1) ada lebih dari satu kreditor yaitu Salan
Maghfiro sendiri serta PT. Asrie Pratama Mandiri; (2) debitor memiliki setidaknya
satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih yaitu sebesar suatu hutang pokok
sebesar Rp. 500.000.000,- (lima ratusjuta rupiah), profit sharing 20 % atau sebesar
Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan bunga keterlambatan mulai bulan Oktober
2013 s/d juni 2013 sebesar Rp. 500.000.000,- x 2 % x 9 bl. = Rp. 90.000.000,-
(Sembilan puluh juta rupiah); serta (3) permohonan pailit diajukan oleh kreditor.
2. Penulis sependapat dengan pertimbangan hukum dan putusan yang dilakukan hakim
dalam memeriksa dan memutus perkara PT DASTECH. Hal ini juga dikaitkan dengan
analisa terhadap perjanjian utang piutang antara kreditor dan debitor dengan pasal –
pasal lain terkait yang terdapat dalam KUHPerdata dan dalam HIR, serta berbagai
prinsip – prinsip hukum kepailitan.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Munir Fuady. 2002. Hukum Pailit 1998. cetakan kedua. Bandung

Lilik Mulyadi. 2013. Perkara Kepailitan Dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang


(PKPU) Teori Dan Praktik. Bandung: Alumni.
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie. 2004. Mengenal Kepailitan. Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Undang – Undang
Undang – undang nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.
Kitab Undang – Undang Hukum Perdata
HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (HIR)

Anda mungkin juga menyukai