Kelas C
Disusun Oleh :
Universitas Diponegoro
2018
BAB I
PENDAHULUAN
Pailit dalam kamus besar bahasa Indonesia diartikan sebagai keadaan yang
merugi, bangkrut. Beberapa definisi tentang kepailitan telah di terangkan didalam jurnal
Penerapan Ketentuan Kepailitan Pada Bank Yang Bermasalah yang ditulis oleh Ari
Purwadi antara lain: Freed B.G Tumbunan dalam tulisannya yang berjudul Pokok-Pokok
Undang-Undang Tentang Kepailitan sebagaimana diubah oleh Perpu No. 1 Tahun 1998
disebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum yang mencakup seluruh kekayaan
debitur untuk kepentingan semua krediturnya. Tujuan kepailitan adalah pembagian
kekayaan debitur oleh kurator kepada semua kreditur dengan memperhatikan hak-hak
mereka masing-masing”. Sedangkan Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
(PKPU), “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim
pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.
Kepailitan sendiri terjadi akibat adanya suatu utang piutang yang didahului
dengan perjanjian utang piutang antar pihak. Pihak tersebut yaitu pihak yang mempunyai
hutang (debitor) dan pihak yang mempunyai piutang (kreditor). Meskipun telah
disepakati sebuah perjanjian, namun pada suatu kasus tertentu ada kalanya debitor tidak
melakukan pembayaran untuk meluansi utangnya. Kondisi keuangan debitor yang
memburuk biasanya merupakan salah satu hal Pembayaran utang piutang tersebut sampai
pada titik keadaan berhenti membayar. Keadaan berhenti membayar adalah suatu
keadaan dimana pelaku usaha tidak mampu lagi membayar utang-utangnya yang telah
jatuh tempo. Proses terjadinya kepailitan sangatlah perlu diketahui, karena hal
ini dapat menentukan keberlanjutan tindakan yang dapat dilakukan pada debitor
yang telah dinyatakan pailit.
Tujuan utama kepailitan adalah untuk melakukan pembagian antara para
kreditur atas kekayaan debitur oleh kurator. Kepailitan dimaksudkan untuk
menghindari terjadinya sitaan terpisah atau eksekusi terpisah oleh kreditur dan
menggantikannya dengan mengadakan sitaan bersama. Akibat hukum pernyataan pailit,
mengakibatkan debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai dan mengurus
kekayaannya yang dimasukkan dalam kepailitan terhitung sejak pernyataan
putusan kepailitan. sehingga piutang kreditor yang beritikad baik tersebut tidak terjamin
Pembayarannya. Perlindungan terhadap hak – hak serta kepentingan debitor dan kreditor
sebenarnya sudah diatur dalam Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Hal tersebut
kemudian diperjelas dan dirinci dalam Undang – Undang nomor 37 tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka penulis bermaksud untuk melakukan
analisa terhadap salah satu putusan pailit terhadap badan hukum perseroan terbatas yang
telah diputus oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat putusan nomor
14/Pdt.Sus/Pailit/2016/PN.Niaga.Jkt.Pst.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
TINJAUAN PUSTAKA
1
Sudiarto dan Zaeni Asyhadie, 2004, “Mengenal Kepailitan”, Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal 27 – 30.
8) Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang
9) Syarat – syarat yuridis lainnya dalam UU.
2
Rahayu Hartini, 2007, “Hukum Kepailitan Edisi Revisi”, UMM Press, Malang, hal 37 – 58.
melakukan gugatan tidak dilindungi kepentingannya. Adalah lain halnya apabila
kreditor-kreditor memohon agar pengadilan menyatakan debitor pailit, maka dengan
persyaratan pailit tersebut, maka jatuhlah sita umum atas semua harta kekayaan debitor
dan sejak itu pula semua sita yang telah dilakukan sebelumnya bila ada menjadi gugur.3
E. Akibat Kepailitan
3
Khairandy,” Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan”, Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, 2002, hal
108
4 Imran Nating, 2002, “Hukum Kepailitan”, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hal 42.
Secara umum akibat pernyataan pailit adalah sebagai berikut.
a. Akibat Kepailitan terhadap Harta Kekayaan Debitur Pailit. Kepailitan mengkibatkan
seluruh kekayaan debitur serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitn berada
dalam sitaan umum sejak saat putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali:
1) Benda, termasuk hewan yang benar-benar dibutuhkan oleh dbitur sehubungan
dengan pekerjaannya, perlengkapannya, alat-alat medis yang diperunakan
untuk kesehatan, tempat tidur dan perlengkapannya yang dioergunakan oleh
debitur dan keluarganya, dan bahan makanan untuk 30 hari bagi debitur dan
keluarganya, yang terdapat di tempat itu;
2) Segala sesuatu yang diperoleh debitur dari pekerjaannya sendiri sebagai
penggajian dari suatu jabatan atau jasa, sebagai upah, pensiun, uang tunggu
atau uang tunjangnag, sejauh yang ditentukan oleh hakim pengawas; atau
3) Uang yang diberikan kepada debitur untuk memenuhi suatu kewajiban
memberi nafkah menurut undang-undang.
b. Akibat Kepailitan terhadap Pasangan (Suami/Istri) Debitor Pailit. Akibat pailit yang
pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu perkawinan yang sah dan adanya
persatuan harta, kepailitannya juga dapat memberikan akibat hukum terhadap
pasangan (suami/istri). Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau
suaminya berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak bergerak yang
merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan. Jika benda milik istri atau suami telah dijual oelh
suami atau istri dan harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum
tercampur dalam harta pailit maka istri atau suami berhak mengambil kembali uang
hasil penjualan tersebut. Pasal 23 Undang-Undang Kepailitan menentukan bahwa
apabila seorang dinyatakan pailit, maka yang pailit tersebut termasuk juka istri atau
suaminya yang kawin atas dasar persatuan harta. Ketentuan pasal ini membawa
konsekuensi yang cukup berat terhadap harta kekayaan suami istri yang kawin dalam
persatuan harta. Artinya bahwa seluruh harta istri atau suami yang termasuk dalam
persatuan harta perkawinan juga terkena sita kepilitan dan otomatis masuk dalam
boedel pailit.
c. Akibat Kepailitan terhadap Seluruh Perikatan yang Dibuat Debitur Pailit. Semua
perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pailit, tidak lagi dapat dibayar dari harta
pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit ( Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004). Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang
menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap kurator. Dalam hal tuntutan
tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur pailit maka apabila
tuntutan tersebut mengakibatkan suatu penghukuman terhadap debitur pailit,
penghukuman tersebut tidak mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004).
d. Akibat Kepailitan terhadap seluruh perbuatan hukum debitur yang dilakukan sebelum
putusan pernyataan pailit diucapkan. Dalam pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 dinyatakan secara tegas bahwa untuk kepantingan harta pailit, segala
perbuatan hukum debitur yang telah dinyatakan pailit, yang merugikan kepentingan
kreditor, yang dilakukan sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan, dapat dimintai
pembatalan kepada pengadilan. Kemudian dalam Pasal 42 Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 kepailitan iberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan hukum debitur
tersebut, antara lain:
1) Bahwa perbuatan hukum tersebut dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun sebelum
putusan pernyataan pailit
2) Bahwa perbuatan hukum tersebut tidak wajib dilakukan debitur, kecuali dapat
dibuktikan sebaliknya
3) Bahwa debitur dan pihak dengan siapa perbuatan tersebut dilakukan dianggap
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan tersbut akan
mengakibatkan kerugian bagi kreditor
4) Bahwa perbuatan hukum itu dapat berupa:
a) Merupakan perjanjian dimana kewajiban debitur jauh melebihi kewajiban pihak
dengan siapa perjanjian tersebut dibuat
b) Merupakan pembayaran atas, atau pemberian jaminan untuk utang yang belum
jatuh tempo dan/ atau belum atau tidak dapat ditagih
c) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor perorangan, dengan
atau untuk kepentingan:
a. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarganya sampai derajat ketiga;
b. Suatu badan hukum di mana debitur atau pihak sebagaimana dimaksud pada
huruf (a) adalah anggota direksi atau pengurus atau apabila pihak tersebut,
baik sendiri-sendiri maupun bersamasama, ikut serta secara langsung atau
tidak langsung dalam kepemilikan badan hukum tersebut lebih dari 50% dari
modal disetor atau dalam pengendalian badan hukum tersebut.
d) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitur yang merupakan
badan hukum, dengan atau untuk kepentingan:
a. Anggota direksi atau pengurus dari debitur, suami atau istri, anak angkat,
atau keluarga sampai derajat ketiga dari anggota Direksi atau pengurus
tersebut;
b. Perorangan, baik sendiri aau bersama-sama dengan suami atau istri, anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga, yang ikut serta secara langsung
dalam kepemilikan pada debitur lebih dari 50% dari modal disetor atau
dalam pengendalian badan hukum tersebut;
c. Perorangan yang suami atau istri, anak angkat, atau kelurganya sampai
derajat ketiga, ikut serta secara langsung aau tidak langsung dalam
kepemilikan pada debitur lebihdari 50% dari modal disetor atau dalam
pengendalian badan hukum tersebut;
e) Merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh debitor yang merupakan
badan hukum dengan atau untuk kepentingan badan hukum lainnya, apabila:
a. Perorangan anggota direksi atau pengurus pada kedua badan usaha tersebut
adalah orang yang sama;
b. Suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga dari
perorangan anggota direksi atau pengurus debitur juga merupakan anggota
direksi atau pengurus pada badan hukum lainnya, atau sebaliknya;
c. Perorangan angota direksi atau pengurus, atau anggota badan pengawas pada
debitur, atau suami atau istri, anak angkat, atau keluarga sampai derajat
ketiga, baik sendiri atau bersama-sama ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kepemilikan badan hukum lainnya lebih dari 50% (lima
puluh persen) dari modal yang disetor atau dalam pengendalian badan hukum
tersebut, atau sebaliknya;
d. Debitor adalah anggota direksi atau pengurus pada Badan Hukum lainnya
atau sebaliknya;
e. Badan hukum yang sama, atau perorangan yang sama baik bersama atau
tidak dengan suami atau istrinya, dan/atau para anak angkatnya dan
keluarganya sampai derajat ketiga ikut serta secara langsung atau tidak
langsung dalam kedua badan hukum tersebut paling kurang sebesar 50%
(lima puluh persen) dari modal yang disetor.
e) dilakukan oleh debitur yang merupakan badan hukum dengan atau terhadap
badan hukum lain dalam satu grup di mana debitur adalah anggotanya;
f) ketentuan dalam huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f berlaku mutatis mutandis
dalam hal dilakukan oleh debitur dengan atau untuk kepentingan:
a. Anggota pengurus dari suatu badan hukum, suami atau istri, anak angkat atau
keluarga sampai derajat ketiga dari anggota pengurus tersebut;
b. Perorangan baik sendiri maupun bersamasama dengan suami atau istri. Anak
angkat, atau keluarga sampai derajat ketiga yang ikut serta secara langsung
dalam pengendalian badan hukum tersebut.
G. Berakhirnya Kepailitan
5
Lilik Mulyadi, 2013, “Perkara Kepailitan Dan Penundaan KewajibanPembayaran Utang (PKPU) Teori Dan
Praktik”, Alumni, Bandung, hlm 132-133.
Rencana perdamaian diterima apabila disetuji dalam rapat kreditor oleh lebih dari
½ (satu perdua) jumlah kreditor konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya
diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikit 2/3 (dua pertiga)
dari jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari
kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut, seperti yang tercantum
dalam Pasal 151 UUK-PKPU. Maka dari itu, perdamaian dalam kepailitan ini akan
mengikat semua kreditor termasuk kreditor yang tidak memberikan suara termasuk
kreditor yang tidak menyetujui perdamaian tersebut.
ANALISIS PUTUSAN
Berdasarkan bunyi Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa “debitor yang mempunyai
dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya”.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas, maka syarat-syarat yuridis agar suatu
perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah :
Adanya utang;
Minimal satu utang sudah jatuh tempo
Minimal satu utang sudah dapat ditagih;
Adanya Kreditur lebih dari satu;
Adanya debitur
Adanya kreditur
Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut dengan
“Pengadilan Niaga”
Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang
Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang Undang
Kepailitan.
Bunyi Pasal 2 ayat (1) tersebut bersifat kumulatif, yang artinya syarat-syarat
debitor untuk dapat dinyatakan pailit harus memenuhi semua unsur di atas. Apabila
syarat-syarat terpenuhi, hakim ”harus menyatakan pailit”, bukan “dapat menyatakan
pailit”, sehingga dalam hal ini kepada hakim tidak diberikan ruang untuk memberikan
“judgement” yang luas seperti pada perkara lainnya.
Dan berdasarkan rumusan pasal 1131 KUHPerdata, menunjukan bahwa setiap
tindakan yang dilakukan oleh subjek hukum dalam lapangan hukum keperdataan
khususnya bidang hukum harta kekayaan selalu akan membawa akibat terhadap harta
kekayaannya, baik yang bersifat menambah jumlah harta kekayaan maupun yang
nantinya akan mengurangi jumlah harta kekayaan.
Pasal 1132 KUHPerdata merupakan pasal pernormaan dari prinsip pari passu
pro rata parte dalam konteks pasal ini, setiap pihak yang berhak ata pemenuhan
perikatan dari harta kekayaan pihak berkewajiban (debitor) secara:
Pari passu yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan, tanpa ada yang
didahulukan.
Prorarta parte yaitu proporsional yang dihitung berdasarkan pada besarnya
piutang masing-masing dibandingkan piutang mereka secara keseluruhan
terhadap harta kekayaan debitor tersebut.
Bahwa memang jelas terdapat ada perjanjian utang piutang baik antara termohon
PT DASTECH dengan pemohon. Para Pemohon dan berdasarkan bukti, Termohon
(PT. DASTECH) selaku Debitur mempunyai dua Kreditur, yakni Salan Maghfiro
sendiri serta PT. Asrie Pratama Mandiri; yang sama-sama mempunyai tagihan utang
yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Dengan demikian, unsur pertama dalam
pasal 2 ayat (1) undang – undang nomor 37 tahun 2004 yaitu mengenai debitor
mempunyai dua atau lebih kreditor telah dapat dibuktikan dan oleh karena itu telah
terpenuhi.
Unsur kedua, yaitu adanya utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat
dibuktikan dengan salah satu cara yaitu kreditor membuktikan telah memberikan
teguran kepada debitor untuk membayar kewajibannya, tetapi debitor tidak juga
membayarnya. Atau kreditor membuktikan bahwa hingga lewat jangka waktu
pembayaran kewajiban (utang) yang telah disepakati sebelumnya, debitor tidak juga
membayar utangnya. Para kreditor telah berupaya untuk meminta kepada debitor
untuk memenuhi prestasinya berupa pembayaran utang dan pembagian keuntungan
(pasal 1234 KUHPerdata). Dalam menuntut haknya, para kreditor pada awalnya tidak
meminta pengadilan untuk mengeluarkan peringatan (aanmaning) kepada debitor,
namun langsung mengirimkan peringatan sendiri kepada PT DASTECH tanpa
melalui pengadilan dalam bentuk somasi, sebagaimana diatur dalam pasal 1238
KUHPerdata.
Ada istilah lain yang biasa dikaitkan dengan somasi, yaitu “in gebreke
gesteld“ (atau ingebrekestelling), yang bisa diterjemahkan menjadi “pernyataan lalai“
(atau “dinyatakan dalam keadaan lalai“), sebagai yang diatur dalam Pasal 1238
KUHPerdata. Pasal 1238 KUHPerdata menyatakan bahwa “Si berutang dinyatakan
dalam keadaan lalai, baik dengan perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu, atau ia
berada dalam keadaan lalai demi perikatannya sendiri, jika perikatan itu membawa
akibat, bahwa si berutang berada dalam keadaan lalai, dengan lewatnya waktu yang
ditentukan saja“. Keadaan lalai berkaitan dengan jatuh temponya kewajiban perikatan
debitur. Apabila belum tiba saatnya kewajiban perikatan debitur dilaksanakan, maka
debitur tidak bisa dinyatakan dalam keadaan lalai. Debitor berada dalam keadaan lalai
setelah ada perintah atau peringatan agar debitor melaksanakan kewajiban
perikatannya. Perintah atau peringatan tersebut yang kemudian disebut sebagai
somasi. Somasi yang tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah membawa debitor berada
dalam keadaan lalai, dan sejak itu semua akibat kelalaian (wanprestasi) berlaku.
Berdasarkan redaksi Pasal 1238 BW, debitur berada dalam keadaan lalai bisa karena,
setelah diperingatkan dengan benar untuk berprestasi, debitur tanpa dasar yang bisa
dibenarkan tetap tidak berprestasi atau bisa juga debitur wanprestasi (tanpa perlu
somasi) atas dasar sifat perikatannya.
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepalitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai
kapan Debitur dapat dinyatakan berada dalam keadaan berhenti membayar, dan oleh
karenanya, untuk menentukannya, Majelis Hakim merujuk pada Yurisprudensi tetap
Mahkamah Agung RI yang menyatakan “Debitur dikatakan berhenti membayar tidak
harus diartikan sebagai keadaan dimana Debitur memang tidak mempunyai
kesanggupan lagi untuk membayar hutang-hutangnya kepada salah seorang atau lebih
Kreditur, akan tetapi termasuk pula keadaan dimana Debitur tidak berprestasi lagi
pada saat permohonan pailit diajukan ke Pengadilan”.
Setelah memperhatikan surat permohonan pailit tersebut dapat diketahui bahwa
Termohon telah tidak membayar kepada PEMOHON suatu hutang pokok sebesar Rp.
500.000.000,- (lima ratusjuta rupiah), profit sharing 20 % atau sebesar Rp.
100.000.000,- (seratus juta rupiah), dan bunga keterlambatan mulai bulan Oktober
2013 s/d juni 2013 sebesar Rp. 500.000.000,- x 2 % x 9 bl. = Rp. 90.000.000,-
(Sembilan puluh juta rupiah) yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih berdasarkan
Surat perjanjian hutang piutang tertanggal 6 September 2012 dan Surat tanggapan
somasi tertanggal 20 November 2013. Lalu, dengan tidak ditanggapinya Surat
Tagihan (Somasi) dari Pemohon oleh Termohon oleh karenanya Termohon demi
hukum memiliki kewajiban untuk memenuhi hutang semenjak saat jatuh tempo
hutang tersebut dan berhak untuk ditagih. Berdasarkan tagihan sebagaimana yang
dibuktikan, pada mulanya Pemohon memberikan waktu 10 (sepuluh) hari bagi
Termohon untuk memberikan menyelesaikan atas tagihan tersebut, akan tetapi sampai
dengan tanggal diajukannya Permohonan Pailit ini, Pemohon tidak juga mendapat
tanggapan dan pelunasan hutang dalam bentuk apapun dari Pihak Termohon. Maka
berdasarkan hal tersebut, unsur kedua telah dipenuhi.
Pertimbangan Hukum
Undang – undanng 37 tahun 2004 menentukan bahwa debitor dapat dan harus
dinyatakan pailit apabila telah dipenuhinya unsur pembuktian sederhana dalam
pemeriksaaan perkara kepailitan. Pasal 8 ayat (4) Undang – Undang no 37 tahun 2004
menentukan “permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta
atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan
pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi”. Yang dimaksud
dengan "fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana" adalah adanya fakta dua
atau lebih kreditor dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar.
Sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalihkan oleh pemohon pailit
dan termohon pailit tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit.
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa dalam perkara pailit, debitor yang akan
dipailitkan harus terbukti secara sederhana bahwa debitor memiliki dua kreditor atau
lebih dan utangnya sudah jatuh waktu dan dapat ditagih. Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja bahwa mengenai pembuktian keberadaan utang, haruslah jelas
bahwa utang tersebut adalah utang yang tidak dapat dibantah lagi keberadaannya oleh
debitor. Bahwa debitor sudah diteguroleh kreditor untuk memenuhi kewajiban
utangnya, tetapi debitor tidak memenuhi kewajibannya tersebut. Atau jika telah
ditentukan secara pasti waktu pemenuhan kewajiban debitor, setelah lewatnya jangka
waktu tersebut debitor tidak juga memenuhi kewajibannya.6 Pembuktian secara
sederhana lazim disebut dengan pembuktian secara sumir.
Akibat hukum dari adanya kepailitan yang diberlakukan kepada debitor oleh
undang-undang.Menurut Munir Fuady akibat-akibat tersebut berlaku kepada debitor
dengan dua mode pemberlakuan yaitu7 :
6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2004, “Pedoman Menangani Perkara Kepailitan”,Rajagrafindo
Persada, Jakarta, hal 135.
7
Munir Fuady, 2002, Hukum Pailit 1998, cetakan kedua, Bandung, hal. 65
Ada beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation of
law)
Akibat hukum ini tidak secara otomatis berlaku, akan berlaku apabila
diberlakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan, dengan
mengajukan alasan-alasan yang wajar untuk memberlakukannya. Dalam hal
ini pihak-pihak yang dapat mempertimbangkan berlakunya akibat-akibat
hukum tertentu tersebut misalany kurator, Pengadilan Niaga, Hakim
Pengawas, dan lain-lain.
BAB III
KESIMPULAN
Buku
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja. 2004. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan.
Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Munir Fuady. 2002. Hukum Pailit 1998. cetakan kedua. Bandung