Anda di halaman 1dari 26

SEJARAH HUKUM

KEPAILITAN
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Kepailitan pertama kali dikenal sejak zaman romawi ;
⚫ Di Indonesia kepailitan termasuk dalam hukum dagang.
⚫ Antara tahun 1838 sampai dengan tahun 1896 , di Belanda
terdapat dualisme pengaturan kepailitan:, yaitu:
1. Peraturan kepaitan dalam Buku III WvK, yang
mengatur kepailitan khusus bagi pedagang; dan
2. Peraturan kepailitan dalam Buku III Titel 8 Wetboek
Van Burgerlijke Rechsvordering (BRV), yang mengatur
kepailitan bagi bukan pedagang.
Kedua peraturan ini diberlakukan di Indonesia
berdasarkan asas konkordansi,
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Banyak para cendekiawan tdk setuju dg dualisme
pengaturan, antara lain Molengraff, dengan alasan:
1. Wvk dianggap hanya berlaku bagi kaum pedagang
saja, sedangkan yg dpt dinyatakan pailit bukan
pedagang saja melainkan setiap;
2. WvK hanya berisi hukum materiil saja, sdgkan perat
kepailitan berisi baik hukum formal maupunmaterial;
3. Dg dualisme pengaturan kepailitan menimbulkan
kesulitan, keruwetan, waktu penyelesaian lama dan
memakan biaya yang besar;
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Pada Tahun 1896, di Belanda berlaku satu peraturan
kepailitan dalam buku tersendiri. Peraturan tersebut
mencabut Buku III WvK dan Buku III Titel 8 BRV.
⚫ Di Hindia Belanda Pada tahun 1906, dengan Koninnlijk
Besluit (KB), tanggal 19 November 1904 Nomor 46 LN 1905
No. 217 jo. LN 1906 No. 448, ditetapkan
1. Menghapus Buku III WvK; dan
2. Menghapus Buku III BRV.
⚫ Kemudian dengan Stb. 1905 No. 217 dinyatakan berlaku
peraturan kepailitan yang baru, yaitu
Faillisementsverordening, yang selanjutnya disingkat FV.
⚫ Pada zaman pendudukan Jepang tidak dijumpai peraturan kepailitan
yang dibuat Jepang.
⚫ Tahun 1947, Pemerinta Hindia Belanda di Jakarta menerbitkan
Peraturan Darurat Kepailitan (Noodsregeling Failissementen) dengan
S. 214 Tahun 1947. Tujuannya adalah untuk memberikan dasar hukum
bagi penghapusan putusan pailit yang terjadi sebelum berakhirnya
masa penjajahan Jepang. Peraturan Darurat Kepailitan itu tidak
berfungsi lagi seiiring telah tercapainya tujuan tersebut.
⚫ Peraturan Darurat Kepailitan karena bersifat sementara, dan
tugas-tugas yang diatur di dalamnya sudah selesai dilaksanakan, maka
tidak berlaku lagi.
⚫ Berdasarkan Pasal II AP UUD 1945, peraturan perundang-undangan
yang dibuat oleh pemerintah kolonia, termasuk Peraturan Darurat
Kepailitan tidak berlaku karena dibuat setelah kemerdekaan.
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Setelah Indonesia merdeka , FV ini tetap berlaku
berdasarkan Pasal II Aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945., jadi FV tersebut dianggap sebagai Hukum
Kepailitan Indonesia.
⚫ Pada tahun 1998, Indonesia mengeluarkan Perpu No. 1
Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang
Kepailitan. Perpu ini mengubah dan menambah RV dan
tidak mencabut6 RV.
⚫ Dengan demikian berdasarkan Perpu No. 1 Tahun 1998 di
Indonesia terjadi lagi ada 2 peraturan kepailitan;
1. FV, yang sebagian masih berlaku selama tidak
diubah dan ditambah
2. Perpu kepailitan yang mengubah dan menambah
FV, yang tentunya dalam bahasa belanda.
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Dasar pertimbangan keluarnya Perpu no. 1 Tahun 1998,
antara lain:
1. Gejolak moneter sejak tahun 1997, sangat
berpengaruh kepada dunia usaha dalam memenuhi
kewajiban kepada kreditor.
2. memberikan kesempatan baik kpd kreditor &
debitor, mengupayakan penyelesaian secara adil,
diperlukan sarana hukum yg dpt digunakan secara
cepat, terbuka & efektif me;lalui pengadilan khususdi
lingkungan peradilan umum;
3. Sbg salah satu sarana hukum yg mjd landasan
penyelesaian utang piutang.
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Perpu No. 1/1998 ditetapkan menjadi
undang-undang, berdasarkan Undang-undang No.
4/1998 tentang Penetapan Perpu No. 1/1998 ttg
perubahan atas UU kepailitan mjd UU (Tgl 9
September 1998)
⚫ Dgn demikian sejak 9 Sept 1998, kepailitan juga
masih diatur dlm 2 (dua) peraturan: yaitu
1. UU No. 4/1998
2. Sebagian Faillissementsverordening (FV),
kecuali yang diubah dan ditambah oleh UU No.
4/1998
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Jika diperhatikan UU No. 4/1998, terkesan lebih
menekankan perlindungan kepada kreditor. Hal ini
diketahui dari
1.proses penyelesaian kepailitan yang hrs cepat,
yi.Putusan atas permohon-an pernyataan pailit hrs
ditetapkan dlm jangka waktu 30 hari terhitung sejak
permohonan pernyataan pailit didaftarkan.
2. Proses pengajuan penerimaan dan pemeriksaan
diatur dalam jangka waktu relatif singkat, shg
penyelesaian permohonan pailit sesegera mungkin baik
di tingkat Pengadilan Niaga maupun di tingkat MA
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Mnrt penjelasan perpu No. 1/1998, terdpt 7 hal pokok
penyempurnaan UU kepailitan lama (FV), yaitu
1. Penyempurnaan syarat dan prosedur permintaan
pernyataan pailit, termasuk pemberian kerangka yg pasti
bagi pengambilan keputusan pernyatan kepailitan
2. penambahan ketentuan ttg tindakan sementara yg
dpt diambil, pihak-pihak ybs, khususnya kreditor, atas
kekayaan debitor sebelum adanya putusan pernyataan
pailit;
3. peneguhan fungsi kurator, antara lain mengatur
syarat-syarat untuk dpt melakukan kegiatan sebagai
kurator berikut kewajiban mereka;
4. Penegakan upaya hukum yg dpt diambil terhadap
putusan pernyataan pailit, dpt langsung kasasi ke MA
Sejarah hukum kepailitan
5. adanya mekanisme penangguhan
pelaksanaan hak di antara kreditor yg
memegang hak tanggungan, gadai, jaminan
fidusia atau agunan yg lain.
6. Penyempurnaan terhadap ketentuan ttg
penundaan kewajiban pembayaran utang.
7. Penegasan pembentukan peradilan khusus,
yaitu Pengadilan Niaga, dengan hakim yg
bertugas secara khusus yg akan menyelesaikan
masalah kepailitan.
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Tahun 2004, 5 tahun setelah berlakunya UU. 4/1998,
dicabut dengan UU No. 37/2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
⚫ UU No. 37 tahun 2004 mulai berlaku sejak tanggal 18
Oktober 2004, yaitu sejak tanggal diundangkan.
⚫ UU Nomor 37 tahun 2004 mempunyai cakupan yang
lebih luas, baik dari segi norma, ruang lingkup materi,
maupun proses penyelesaian utang piutang.
Sejarah Hukum Kepailitan
⚫ Pokok substansi baru yang diatur dalam UU No. 37
Tahun 2004, antara lain :
1. Agar tidak timbul multi-interpretasi, dalam bab
ketentuan Umum dibuat batasan pengertian,
termasuk pengertian utang dan jatuh tempo
2. Mengenai syarat-syarat permohonan pailit dan
permohonan PKPU, termasuk pemberian kerangka
waktu yang pasti dalam penanganan perkaranya yang
dihitung sejak pendaftaran perkara sampai dengan
putusan
Sejarah Hukum Kepailitan
⚫ Setelah diundangkan, UU Nomor 37 tahun 2004 , beberapa
pasalnya pernah dilakukan uji materi ke MK (4 kali)
⚫ Perkara No. 071/PUU-II/2004, 001-002/PUU-III/2005,
Yayasan Lembaga Konsumen Asuransi Indonesia, Aryunia
Candra Purnama, dan Suharyanti, selaku pemohon
mendalilkan bahwa Pasal 2 Ayat (5), pasal 6 ayat (3), Pasal
223, dan Pasal 224 ayat (6) UU Nomor 37 tahun 2004
bertentangan dengan hak konstitusional para pemohon
sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945. MK mengabulkan permohonan para
pemohon untuk sebagian.
⚫ Perkara nomor 015/PUU-III/2005, diajukan oleh
Tommy S. Siregar sbg kurator mendalilkan bahwa
pasal 17 ayat (2), Pasal 18 Ayat (3), Penjelasan Pasal 59
ayat (1), Pasal 83 ayat (2), Pasal 104 ayat (1), Pasal 127
ayat (1), Pasal 244, dan Penjelasan Pasal 228 ayat (6)
UU Nomor 37 Tahun 2004 melanggar atau
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 1
ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, dan
oleh karenanya agar dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. MK menolak permohonan
pemohon untuk seluruhnya.
Sejarah Hukum Kepailitan
⚫ Perkara no. 02/PUU-VI/2008, diajukan oleh M. Komarudin (Ketua
Umum Federasi Ikatan Serikat Buruh Indonesia (FISBI) dan
Muhammad Hafidz selaku Sekum FISBI, mendalilkan bahwa Pasal 29,
Pasal 55 ayat (1), Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 138 UU No. 37 Tahun 2004
sangat berpotensi hilangnya hak-hak buruh yang diputuskan
hubungan kerjanya karena perusahaan tempat kerjanya pailit. Dengan
diputuskannya perusahaan pailit, demi hukum gugur segala tuntutan
buruh yang sedang berjalan. Selain itu, dengan adanya pasal yang
mengatur kreditor separatis sebagai pemegang hak tanggungan yang
mempunyai wewenang mutlak melakukan eksekusi seolah-olah tidak
terjadi kepailitan. Ketentuan2 tsb merugikan hak-hak konstitusional
para pemohon yang dijamin UUD 1945. MK menyatakan permohonan
para pemohon tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaard)
Sejarah Hukum Kepailitan
⚫ Perkara No. 19/PUU-VII/2009, diajukan oleh Tafrizal
Hasan Gewang dan Royandi Haikal. Para pemohon
selaku Kurator dan Pengurus mendalilkan bahwa
kalimat terakhir Pasal 15 ayat (3) UU No. 37 Tahun
2004 yaitu : “... Dan tidak sedang menangani perkara
kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran
utang lebih dari 3 (tiga) perkara” bertentangan dengan
dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat. MK menolak permohonan para
pemohon untuk seluruhnya
Sejarah hukum kepailitan
⚫ Jika dibandingkan ant. UU No. 37/2004 dgn ketentuan kepailitan sebelumnya,
UU No. 37/2004 memberikan beberapa asas yg menjadi titik kekuatan UU ini,
yaitu:
1. Asas keseimbangan, yaitu disatu pihak tdpt ketentuan yg dpt mencegah
terjadinya penyalahgunaan pranata & lembaga kepailitan oleh debitor yg tdk
jujur, di lain pihak ada ketentuan yg dpt mencegah terjadinya penyalahgunaan
pranata & lembaga kepailitan oleh kreditor yg tdk beritikat baik;
2. Asas kelangsungan usaha, terdapat ketentuan yg memungkinkan
perusahaan debitor yg prospektif tetap dilangsungkan;
3. Asas Keadilan, ketentuan kepailitan dpt memenuhi rasa keadilan para pihak
yg berkepentingan, mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak
penagih yg mengusahakan pembayaran atas tagihan masing2 debitor, dg tdk
memperhatikan kreditor lainnya.
4. Asas integrasi, sistem hukum formil dan hukum materiil merupakan satu
kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata
nasional
Perbedaan UU Kepailitan (RV) & UU No. 4 tahun
1998
1. Pihak yang dpt mengajukan permohonan pernyataan pailit:
UU Kepailitan : Debitor
UU No. 4/1998 : Debitor/Kreditor
2. Syarat-syarat
UU Kepailitan : telah berhenti membayar utang-utangnya
UU No. 4/1998 : a. memiliki utang yang telah jatuh tempo &
dpt ditagih;
b. memiliki setidaknya 2 kreditor
c. debitor tdk mampu/mau utk membayar
utang-utangnya
3. Proses beracara
UU Kepailitan : Pengadilan Negeri
UU No. 4/1998 : Pengadilan Niaga
Beberapa kelemahan UU Kepailitan (RV)

1. memerlukan tes insolvensi (keadaan tdk


mampu bayar)
2. melalui pengadilan Negeri
3. Waktu : lebih kurang 5-7 tahun
4. tdk efisien dan tranparan
Beberapa kelebihan UU No. 4/1998
1. tdk memerlukan tes insolvensi
2. melalui Pengadilan Niaga
3. Waktu : lebih kurang 154 hari
4. syarat-syarat lebih jelas
5. lebih efisien dan transparan.
Perbedaan antara UU No. 4/1998 & UU No.
37/2004
1. UU No. 4/1998: Pengadilan Niaga (30 hari), Kasasi (30) hari, PK (30
hari)
UU No. 37/2004: Pengadilanm Niaga (60) hari, Kasasi (60) hari, PK
(30) hari
2. UU No. 4/1998: tdk ada penjelasan arti utang
UU No. 37/2004: Definisi utang cukup jelas
3. UU No. 4/1998: Waktu dihitung berdasarkan jam
UU No. 37/2004: waktu diitung berdasarkan hari
4. UU No. 4/1998: tdk ada definisi debitor dan kreditor
UU No. 37/2004: definisi debitor & kreditor cukup jelas
5. UU No. 4/1998: Hak khusus tdk dpt dimohonkan pailit scr langsung
oleh kreditornya hanya diberikan kpd perbankan dan
sekuritas
UU No. 37/2004 : hak khusus diperluas terhadap perusahaan
asuransi, dana pensiun & BUMN
Perbedaan antara UU No. 4/1998 & UU No.
37/2004
6. UU No. 4/1998: tdk ada wewenang utk menolak pendaftaran
permohonan pailit
UU No. 37/2004: Panitera Pengadilan Niaga memiliki wewenang utk
menolak pendaftaran permohonan pailit thdp
perusahaan tertentu secara langsung
7. UU No. 4/1998: Hakim Ad Hoc hanya dikenal pd tingkat Pengadilan
Niaga pada Pengadilan Negeri
UU No. 37/2004: Hakim Ad Hoc dimungkinkan utk setiap tingkatan
8. UU No. 4/1998: tdk ada penjelasan lengkap mengenai kewenangan
arbitrase
UU No. 37/2004: Pengadilan Niaga memiliki extraordinary judicial
power terhadap arbitrase;
9. UU No. 4/1998: tdk ada pembatasan jumlah pekerjaan bagi kurator
UU No. 37/2004: Penunjukan kurator terbatas utk 3 perkara saja.
Perbedaan antara UU No. 4/1998 & UU No.
37/2004
10. UU No. 4/1998: tdk ada penjelasan lengkap mengenai
hak kreditor separatis utk mengajukan
permohonan pailit
UU No. 37/2004: Kreditor separatis dpt memohonkan
pailit tanpa hrs mengeksekusi
jaminannya.
11. UU No. 4/1998: Kreditor separatis tdk dpt terlibat dlm
voting kecuali menyerahkan terlebih dahulu
hak separatisnya
UU No. 37/2004: Kreditor separatis terlibat dlm voting
tanpa hrs menyerahkan jaminannya.
12. UU No. 4/1998: Kreditor tdk dpt mengajukan
permohonan PKPU
UU No. 37/2004: Kreditor dpt mengajukan PKPU
Sistimatika UU no. 37/2004
⚫ BAB I : Ketentuan Umum (Ps. 1)
⚫ BAB II : Kepailitan
⚫ Bagian Kesatu : Syarat & putusan pailit
⚫ Bagian Kedua : Akibat Kepailitan
⚫ Bagian Ketiga : Pengurusan Harta Pailit:
⚫ Hakim pengawas
⚫ Kurator
⚫ Panitia Kreditor
⚫ Rapat Kreditor
⚫ Penetapan Hakim
⚫ Bagian Keempat :Tindakan setelah pernyataan pailit & Tugas
Kurator
⚫ Bagian Kelima :Pencocokan piutang
Sistimatika UU no. 37/2004
⚫ Bagian Keenam : Perdamaian
⚫ Bagian Ketujuh : Pemberesan harta pailit
⚫ Bagian Kedelapan Keadaan Hukum Debitor setelah berakhirnya
pemberesan
⚫ Bagian Kesembilan : Kepailitan Harta Peninggalan
⚫ Bagian Kesepuluh Ketentuan Hukum internasional;
⚫ Bagian Kesebelas : Rehabilitasi
⚫ Bab III : Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
⚫ Bagian Kesatu :Pemberian PKPU & akibatnya
⚫ Bagian Kedua : Perdamaian;
⚫ BAb IV : Permohonan Peninjauan Kembali
⚫ Bab V: Ketentuan Lain-lain
⚫ Bab VI : Ketentuan Peralihan
⚫ Bab VII : Ketentuan Penutup.

Anda mungkin juga menyukai