Anda di halaman 1dari 31

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT

AKTA TANAH PENGGANTI DALAM PEMBUATAN AKTA


JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA(STUDI
KASUS DI KABUPATEN BEKASI)

PROPOSAL SKRIPSI
OLEH
RAFIF NABIL ARMADA
NIM 8111412108

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2012

PROPOSAL SKRIPSI
1. JUDUL :
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH PENGGANTI DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI
TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA (STUDI KASUS DI
KABUPATEN BEKASI).
2. PENDAHULUAN
2.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara hukum yang bercorak agraris. Hal ini
karena luas wilayah Indonesia yang sangat luas, terdiri dari ribuan pulau.
Jika dibandingkan dengan wilayah negara Asia Tenggara, Indonesia
merupakan negara dengan luas wilayah paling besar se-Asia Tenggara.
Untuk itu dibutuhkan pengaturan tentang pertanahan nasional yang jelas
agar tidak menimbulkan suatu permasalahan. Pada 24 September Tahun
1960, Peraturan pertama terkait pertanahan yaitu Undang-Undang Pokok
Agraria yang disingkat UUPA. Undang-Undang ini menjadi acuan-acuan
peraturan pertanahan lainya dalam mengatur segala hal yang berkaitan
tentang pertanahan.
Tanah merupakan hal penting yang dibutuhkan oleh masyarakat,
karena tanah merupakan kebutuhan primer. Tanah juga disebut sebagai
papan yang berarti tempat tinggal dan merupakan kebutuhan primer. Dari
hal tersebut, jual-beli tanah adalah hal yang selalu terjadi dan pasti terjadi.
Jual-Beli Tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997

tentang Pendaftaran Tanah. Sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka 24


dimana peran Pejabat Pembuat Akta Tanah dibutuhkan oleh masyarakat
dalam setiap transaksi jual beli tanah yang akan dilakukan.
Dalam menjalankan tugasnya, seorang Pejabat Pembuat Akta
Tanah diperbolehkan untuk cuti bilamana ada hal yang penting yang harus
dilakukan oleh pejabat tersebut diluar kegiatanya sebagai seorang Pejabat
Pembuat Akta Tanah dalam waktu yang cukup lama, seperti Pejabat
Pembuat Akta Tanah melakukan ibadah haji yang memerlukan waktu 40
hari lebih. Untuk itu, Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah harus
menunjuk PPAT Pengganti sebagai pengganti sementara Pejabat Pembuat
Akta Tanah tersebut sampai berakhir masa cutinya. Hal ini diatur dalam
Pasal 31 ayat [1] dan [2] PP. No. 37 tahun 1998.
Dalam bertindak sebagai seorang PPAT pengganti, PPAT
pengganti harus bertindak sebagaimana PPAT yang memintanya untuk
menjadi PPAT pengganti, Mulai dari membacakan akta jual beli sampai
penandatanganan akta jual beli.
Dari uraian diatas, Penulis tertarik untuk menegetahui lebih lanjut
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah Pengganti. Oleh karena itu penulis
membuat judul penulisan hukum dengan judul:
PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA
TANAH PENGGANTI DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI
TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA (STUDI KASUS DI
KABUPATEN BEKASI).

2.2 Rumusan Masalah


Adapun

masalah-masalah

yang

akan

diteliti

dalam

penulisan

hukum(Skripsi) ini adalah:


1. Apakah kewajiban PPAT Pengganti dalam pemeriksaan status tanah
sebagai persiapan pembuatan akta jual beli sudah dilaksanakan?
2. Apa kewajiban PPAT Pengganti dalam meniliti persyaratan jual beli
tanah di wilayah Kabupaten Bekasi?
3. Bagaimana tanggung jawab PPAT Pengganti beserta akibat hukumnya
bila apabila dalam pembuatan akta jual beli di wilayah Kabupaten Bekasi
terdapat data-data yang dipalsukan?
4. Apa akibat hukumnya bagi PPAT yang memberikan kuasa kepada PPAT
Pengganti apabila apabila dalam pembuatan akta jual beli di wilayah
Kabupaten Bekasi terdapat data-data yang dipalsukan?

2.3 Tujuan Penelitian


Adapun Tujuan yang ingin penulis capai dalam skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1.Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui pelaksanaan kewajiban PPAT Pengganti dalam
pemeriksaan status tanah sebagai persiapan pembuatan akta jual beli.
b. Untuk mengetahui kewajiban PPAT Pengganti dalam meniliti
persyaratan jual beli tanah di wilayah Kabupaten Bekasi.

c. Untuk mengetahui tanggung jawab PPAT Pengganti

beserta akibat

hukumnya bila apabila dalam pembuatan akta jual beli di wilayah


Kabupaten Bekasi terdapat data-data yang dipalsukan.
d. Akibat hukumnya bagi PPAT yang memberikan kuasa kepada PPAT
Pengganti apabila apabila dalam pembuatan akta jual beli di wilayah
Kabupaten Bekasi terdapat data-data yang dipalsukan.
2.Tujuan Subjektif
a. Untuk memperoleh data yang akan penulis pergunakan dalam
penyusunan skripsi sebagai syarat mencapai gelar kesarjanaan dalam
ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
b.Untuk memperluas pengetahuan dan wawasan penulis dalam
penelitian hukum khususnya dibidang agraria.
2.4 Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang sehubungan dengan penulisan skripsi ini adalah:
1. Kegunaan Teoritis
a. Diharapakan hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan
wawasan bagi pengembangan hukum pada khususnya dan agraria
pada khususnya
b. Diharapkan hasil penilitian ini dapat sebagai latihan menerapkan
teori yang diperoleh sehingga dapat menambah pengalaman dan
pengetahuan ilmiah dengan cara membandingkan teori dengan
praktek.

2.Kegunaan Praktis
a.Untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang akan diteliti.
b. Untuk memberikan masukan dan sumbangan perikiran kepada pihakpihak yang terkait,
3. TINJAUAN PUSTAKA
3.1 TINJAUAN UMUM TENTANG PPAT

Dalam pengelolaan bidang pertanahan di Indonesia, terutama


dalam kegiatan pendaftaran tanah, Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT), merupakan pejabat umum yang menjadi mitra instansi BPN
guna membantu menguatkan/mengukuhkan setiap perbuatan hukum
atas bidang tanah yang dilakukan oleh subyek hak yang bersangkutan
yang dituangkan dalam suatu akta otentik. Secara normatif, PPAT
adalah Pejabat Umum yang diberi wewenang untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau hak milik satuan rumah susun, atau membuat alat bukti
mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah yang
akan dijadikan dasar pendaftarannya (Pasal 1 angka 1 PP Nomor 37
Tahun 1998 jo. Pasal 1 angka 24 PP 24 Tahun 1997)

Khusus mengenai PPAT tersebut telah diterbitkan Peraturan


Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah yang ditetapkan tanggal 5 Maret 1998 dan

ketentuan pelaksanaannya dituangkan dalam Peraturan Kepala Badan


Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun 2006. Dalam peraturan
tersebut lebih gamblang dijelaskan bahwa PPAT adalah pejabat umum
yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah.

PPAT dibagi ke dalam tiga kategori, yakni :


1.

PPAT Biasa, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani


masyarakat dalam pembuatan akta, yang memenuhi syarat
tertentu (dapat merangkap sebagai Notaris, konsultan atau
penasehat hukum)

2.

PPAT Sementara, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani


pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT
(Camat atau Kepala Desa).

3.

PPAT Khusus, yaitu PPAT yang diangkat untuk melayani


pembuatanakta tertentu atau untuk golongan masyarakat tertentu
(Kepala Kantor Pertanahan) Tugas pokok PPAT adalah
melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan
membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum
tertentu mengenai hak atas tanah yang akan dijadikan dasar bagi

pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan


oleh perbuatan hukum itu.

Perbuatan hukum tertentu tersebut meliputi :


1) jual beli;
2) tukar-menukar,
3) hibah;
4) pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
5) pembagian hak bersama;
6) pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik;
7) pemberian Hak Tanggungan; dan
8) pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan.

Dalam pembuatan akta otentik, maka ada persyaratan formal


yang harus dipenuhi antara lain harus dibuat oleh pejabat umum yang
khusus diangkat untuk itu dengan akta yang dibuat dalam bentuk
tertentu, sehingga dapat dipastikan bahwa tindakan dalam pembuatan
akta didasarkan atas hukum yang berlaku, aktanya dapat dijadikan
sebagai dasar telah dilakukannya perbuatan hukum tersebut secara sah
dan dapat dijadikan alat pembuktian di depan hukum.

Dasar hukum yang dijadikan pedoman teknis dalam pelaksanaan


tugas PPAT adalah Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 (UUPA),

Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran


Tanah dan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998 tentang
Pejabat Pembuat Akta Tanah serta peraturan pelaksanaannya.

Tugas Pokok PPAT adalah melaksanakan kegiatan pendaftaran


tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas
satuan rumah susun yang akan dijadikan dasar sebagai pendaftaran
perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan
hukum itu.Perbuatan Hukum mengenai hak atas tanah yang dapat
dilakukan oleh PPAT tersebut antara lain :
a. Jual Beli;
b. Tukar menukar;
c. Hibah;
d. Pemasukan ke dalam perusahaan;
e. Pembagian hak bersama;
f. Pemberian HGB / HP atas tanah HM;
g. Pemberian hak tanggungan;
h. Pemberian kuasa membebankan hak tanggungan.

PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas


tanah yang terletak di dalam daerah kerjanya. PPAT dalam
melaksanakan tugasnya diharuskan untuk :

a. Berkantor di satu kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana


ditetapkan dalam Surat Keputusan pengangkatan, dan diharuskan
diharuskan memasang papan nama jabatan PPAT Sementara,
dengan rincian sbb :
- Ukuran 100 x 40 cm atau 150 x 60 cm atau 200 x 50 cm
- Warna dasar dicat putih tulisan hitam
- Bentuk huruf Kapital
b.

Mempergunakan kop surat dan sampul dinas PPAT dengan letak


penulisan dan warna tertentu.

c.

Mempergunakan stempel jabatan PPAT.

Dalam pelaksanaan tugasnya PPAT mempunyai Hak dan kewajiban, yakni


a. Hak PPAT adalah :
1.

menerima uang jasa (honorarium) termasuk uang jasa

(honorarium)
saksi tidak melebihi 1% (satu persen) dari harga transaksi;
2.

memperoleh cuti

b. Kewajiban PPAT.
1.

mengangkat sumpah jabatan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan


Kab/Kota setempat;

2.

berkantor dalam daerah kerjanya dengan memasang papan nama;

3.

membuat, menjilid dan memelihara daftar-daftar akta, akta-akta

asli,
warkah warkah pendukung, arsip laporan dan surat-surat lainnya
yang
menjadi protokol PPAT;
4.

Hanya dapat menandatangani akta peralihan hak atas tanah dan

atau
bangunan setelah wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran
BPHTB
5.

menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang

dibuatnya
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya kepada:
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota;
Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan;
Kepala Kantor Pelayanan Pajak;
Kepala Kantor Wilayah BPN Propinsi

Larangan PPAT

a. membuat akta untuk dirinya sendiri, suami atau istrinya, keluarga


sedarah

dalam garis lurus vertikal tanpa pembatasan derajat dan dalam garis ke
samping derajat kedua, menjadi para pihak atau kuasa (psl 23 PP 37
Thn. 1998);
b. membuat akta PPAT terhadap tanah yang dalam sengketa (psl 38 ayat
1
PP 37 Thn 1998).

Pengawasan dan Pembinaan PPAT dilakukan oleh Badan Pertanahan


Nasional Pusat, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan
Kantor Pertanahan kabupaten/Kota (Pasa. 33 PP No. 37 Thn. 1998 jo. Psl
35-38 PMNA/KBPN No. 4 Thn. 1999).

Ketentuan Sanksi

a. Sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT, dikenakan


tindakan
administratif berupa teguran tertulis sampai dengan pemberhentian
jabatannya sebagai PPAT (psl 10 PP No. 37 Thn 1998 jo. Psl 37
PMNA/KBPN No. 4 Thn. 1999)
b. Sanksi atas pelanggaran tidak menyampaikan laporan bulanan,
dikenakan
denda sebesar Rp. 250.000,- setiap laporan (psl 26 ayat 2 UU No. 20
Tahun. 2000).

Pengangkatan PPAT saat ini adalah berasal dari Notaris, artinya


dipundak ada dua jabatan, selaku Notaris dan selaku PPAT. Selaku Notaris
seseorang harus mempedomani Undang Undang Nomor 30 tahun 2004
tentang Jabatan Notaris beserta peraturan pelaksanaannya dan harus
tunduk pada pejabat Departemen Kehakiman dan HAM. Sedang selaku
PPAT harus mempedomani Undang Undang Nomor 5 tahun 1960 beserta
peraturan pelaksanaannya dan tunduk dan patuh pada pejabat Badan
Pertanahan Nasional. Dalam hal ini bermakna bahwa terdapat dua paying
hukum yang harus dipatuhi oleh seseorang yang bertindak dalam dua
jabatan.

Dalam pelaksanaan tugasnya selaku PPAT/Notaris, maka segala


tindakannya yang berkaitan dengan pelaksanaan kewajibannya dalam
pembuatan akta PPAT akan diawasi oleh Kepala Kantor Pertanahan
setempat, termasuk pemeriksaan terhadap pembuatan akta, pengadaan dan
pengisian protokol serta pelaksanaan segala kewajiban yang telah
ditentukan, oleh karena itu sebelum melaksanakan tugas sebagai PPAT,
hendaknya saudara berkoordinasi terlebih dahulu dengan Kantor
Pertanahan;

Bahwa dalam setiap membuatkan akta PPAT, lakukan koordinasi


dengan Kantor Pertanahan setempat guna mendapatkan informasi tentang

status tanah yang akan dibuatkan aktanya, apakah tanah tersebut benarbenar telah terdaftar atau apakah data yuridis dan data fisik yang ada
dalam sertipikat tanah tersebut sesuai dengan data yang ada pada buku
tanah di Kantor Pertanahan. Penyesuaian data dalam sertipikat dengan data
dalam buku tanah tersebut lebih dikenal dengan nama "cek bersih". Dalam
hal ini bermakna bahwa seorang PPAT dalam melaksanakan tugasnya
harus senantiasa berkoordinasi dengan pihak pihak terkait.

Bahwa dalam pembuatan akta pastikan benar-benar dilakukan sesuai


dengan keadaan sebenarnya dan keterangan yang sebenarnya dari para
pihak yang bersangkutan Misalnya keadaan yang sebenarnya adalah
bahwa dalam pembuatan akta itu benar benar para pihak berada dan
menandatangani akta di hadapan PPAT, bukan dilakukan pembuatan
aktanya di kantor tetapi penandatanganannya di rumah masing-masing.
Perbuatan demikian apabila ada temuan dari pengawas, maka perbuatan
tersebut merupakan pelanggaran berat dan akan menjadi salah alasan
untuk pemberhentian dari jabatan PPAT dan juga berpotensi terkena
tindakan pidana dengan delik membuat pernyataan palsu di dalam akta
otentik. Dalam tindakan ini bermakna harus terdapat kepastian mengenai
subyek dari yang berkepentingan.

Bahwa dalam rangka membuat Akta PPAT, walaupun tidak ada


keharusan, namun disarankan sedapat mungkin dilakukan cek ke lapangan

untuk memastikan ada tanahnya, letak pastinya dan keadaan tanahnya


guna menjaga hal-hal yang tidak diinginkan seperti adanya sengketa dan
tanahnya fiktif, Hal itu penting, karena salah satu syarat untuk
membuatkan akta PPAT haruslah tanahnya bebas dalam sengketa, apabila
PPAT membuatkan akta yang ternyata tanahnya dalam sengketa, maka
PPAT tersebut telah melakukan pelanggaran berat, konsekwensi
hukumnya tidak hanya terancam akan dicabut jabatan yang diembannya
tetapi juga berpotensi menjadi bahan penyidikan oleh aparat hukum yang
pada akhirnya dapat mengantarkannya ke dalam penjara. Dalam hal ini
bermakna Kepastian mengenai obyek.

Bahwa adanya ketentuan undang-undang mengenai jangka waktu


penyampaian akta ke Kantor Pertanahan oleh PPAT yang bersangkutan
yaitu paling lama 7 (tujuh) hari sejak akta ditandatangani. hal ini perlu
diperhatikan khususnya terhadap pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan yang dengan tegas Undang Undang Hak Tanggungan
mengatur dengan limitatif jangka waktu penyampaian APHT ke Kantor
Pertanahan maksimal 7 hari sejak penandatnaganan akta. Dalam hal ini
bermakan suatu kepastian dalam limit waktu.

Bahwa tugas apapun yang dilaksanakan dengan pembuatan akta


PPAT, semuanya harus dilaporkan secara berkala kepada Badan
Pertanahan Nasional, bahkan jika tidak melaksanakan tugaspun, artinya

aktanya nihil, tetap harus dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional.


Dalam hal ini bermakna kepatuhan dalam menyampaikan laporan.

Bahwa sekalipun PPAT yang diangkat ini telah mendapatkan


pendidikan formal dan telah lulus baik di pendidikan program Specialis
Notariat maupun Magister Kenotariatan serta telah lulus ujian seleksi yang
diadakan oleh Badan PertanahanNasional, namun ilmu yang didapatkan
dari dunia pendidikan formal sering tidak memadai dengan cakupan
persoalan aktual di lapangan, oleh karena itu perlu banyak berkonsulstasi
dengan pembina/pejabat BPN, bertanya kepada senior, banyak membaca
buku dan mengikuti perkembangan peraturan perundang-undangan yang
diterbitkan oleh Pemerintah.

Dalam menjalankan tugas-tugas selaku Notaris sekaligus PPAT, banyak


yang terkait dengan kegiatan di bidang pertanahan yang terkait dengan
tugas dan kewenangan PPAT, seperti :
a. Persoalan mengenai warisan, siapa dan berapa ahli waris sah dan apa
warisannya
b.

Persoalan mengenai wasiat/hibah, terkait ketentuan legitime portie

c.

Masalah status anak, apakah anak sah, anak tidak sah atau anak angkat

dan
hak haknya.

c. Pembuatan Surat Keterangan Ahli Waris (SKAW) yang masih


bermacammacam bentuknya sesuai dengan golongan penduduk, misalnya untuk
penduduk Eropa dan Tionghoa dibuat oleh Notaris, Golongan Timur
Asing dibuat oleh Balai Harta Peninggalan, sedang untuk penduduk
pribumi cukup dibuat oleh ahli waris yang bersangkutan disaksikan
oleh Lurah dan Camat, khusus untuk pribumi yang beragama Islam,
penetapan ahli waris dapat dibuat oleh Mahkamah Syariah dan bagi
yang beragama Kristen dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri.

d.

Pembuatan kuasa, ada kuasa umum, ini kuasa yang lemah karena
hanya bertindak membawa nama yang memberi kuasa, ada kuasa
menjual, tetapi dijual kepada dirinya sendiri, itu salah besar. ada kuasa
mutlak yaitu kuasa yang tidak punya batas waktu, tidak dapat dicabut
kembali dan tidak dikecualikan terhadap perbuatan hukum tertentu serta
isinya tidak dapat dirubah, ada kuasa mutlak substitusi yaitu kuasa yang
dapat dipindahkan kepada orang lain. Kuasa mana yang bisa dijadikan
dasar perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, harus benarbenar diketahui dengan sejelas-jelasnya.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah adanya kewajibankewajiban yang harus dicantumkan dalam akta misalnya pengenaan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) atau Pajak

Penghasilan (PPh). sebab jangan sampai terjadi semula maksud hati


hendak membantu masyarakat dalam melayani pembuatan aktanya,
tetapi karena ketidaktahuan aturan main, maka dengan seenaknya
membuat akta PPAT yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat seperti
tanahnya masih dalam keadaan sengketa, tidak melampirkan bukti
setoran BPHTB terutang, yang pada akhirnya dapat menyeret PPAT
menjadi pesakitan di hadapan aparat penegak hukum.

Konsekuensi hukum.

Bahwa saat ini banyak akta PPAT yang digugat bahkan menjadi
obyek penyidikan oleh aparat penegak hukum, beberapa PPAT telah
dan sedang menjalani pemeriksaan di kepolisian, ada yang menjadi
saksi, bahkan ada yang menjadi tersangka. Ini yang harus diwaspadai.
Sekali lagi pastikan semua aturan yang berkaitan dengan palaksanaan
tugas dimengeri dengan baik, sehingga dalam menjalankan amanat dan
tanggung jawab selaku pejabat Negara bisa survive.

Bahwa dalam menjalankan tugas selaku PPAT juga turut


membantu Badan Pertanahan Nasional dalam memberikan penyuluhan
hukum pertanahan kepada masyarakat, artinya, pelayanan kepada
masyarakat tidak semata dilihat dari sudut bisnis semata tetapi ada sisi
pengabdian sosial selaku pejabat negara.

3.2 TINJAUAN TENTANG PPAT PENGGANTI


Selama PPAT diberhentikan sementara atau menjalani cuti, maka tugas
dan kewenangan PPAT dapat dilaksanakan oleh PPAT pengganti atas
permohonan PPAT yang bersangkutan. PPAT pengganti tersebut diusulkan
oleh PPAT yang bersangkutan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang
menetapkan pemberhentian sementara atau persetujuan cuti di dalam
keputusan mengenai pemberhentian sementara atau keputusan persetujuan
cuti yang bersangkutan sereta diambil sumpahnya oleh Kepala Kantor
Pertanahan. Persyaratan untuk menjadi PPAT Pengganti adalah telah lulus
program pendidikan strata satu jurusan hukum dan telah menjadi pegawai
kantor PPAT yang bersangkutan sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun
(Pasal 31 PP 37/1998).
3.3 TINJAUAN TENTANG JUAL BELI TANAH

Menurut UUPA, jual beli adalah proses yang dapat menjadi bukti adanya
peralihan hak dari penjual kepada pembeli. Prinsip dasarnya adalah Terang
dan Tunai, yakni dilakukan di hadapan pejabat umum yang berwenang dan
dibayarkan secara tunai. Ini artinya jika harga yang dibayarkan tidak lunas
maka proses jual beli belum dapat dilakukan.

Pejabat umum yang berwenang, dalam hal ini, PPAT (Pejabat Pembuat
Akta Tanah) diangkat oleh kepala Badan Pertanahan Nasional RI.

Kewenangannya untuk membuat akta-akta tertentu, seperti Akta Jual Beli,


Tukar Menukar, Hibah, Pemberian Hak Bangunan atas Tanah Hak Milik,
Pemberian

Hak

Tanggungan,

Pemasukan

ke

dalam

Perusahaan,

Pembagian Hak Bersama dan Pemberian Hak Pakai atas Tanah Hak Milik.

Sebelum melakukan proses jual beli, penjual maupun pembeli harus


memastikan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam sengketa atau
tanggungan di Bank. Jika tanah tersebut sedang dalam permasalahan maka
PPAT dapat menolak pembuatan Akta Jual Beli yang diajukan.

Adapun data-data yang dibutuhkan untuk terjadinya Jual beli adalah


sebagai berikut:

1. Data Penjual dan Pembeli

A. Penjual

Data yang perlu disiapkan adalah:

Foto copy KTP (apabila sudah menikah maka Foto copy KTP

Suami dan Istri)

Kartu Keluarga (KK)

Surat Nikah (kalau sudah nikah)

Asli Sertifikat Hak Atas Tanah yang akan dijual meliputi

(Sertifikat Hak Milik, Sertifikat Hak Guna Bangunan, Sertifikat Hak Guna
Usaha, Sertifikat Hak Milik atas Satuan Rumah Susun). Selain 4 jenis

sertifikat tersebut, maka bukan Akta PPAT yang digunakan melainkan


Akta Notaris.

Bukti Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) 5 tahun

terakhir.

NPWP

Foto copy Surat Keterangan WNI/ganti nama (bila ada untuk WNI

keturunan)

Surat bukti persetujan suami istri (bagi yang sudah berkeluarga)

Jika suami/istri penjual sudah meninggal maka yang harus dibawa

adalah akta kematian.

Jika suami istri telah bercerai, yang harus dibawa adalah Surat

Penetapan dan Akta Pembagian Harta Bersama yang menyatakan


tanah/bangunan adalah hak dari penjual dari pengadilan.

B. Pembeli

Foto copy KTP (Apabila sudah menikah maka Foto copy KTP

suami dan Istri)

Kartu Keluarga (KK)

Surat Nikah (kalau sudah nikah)

NPWP

2. Proses Pembuatan AJB di Kantor PPAT

A. Persiapan

Sebelum membuat AJB, PPAT akan melakukan pemeriksaan

mengenai keaslian sertifikat ke kantor Pertanahan.

Penjual harus membayar pajak penghasilan (PPh, sedangkan

pembeli diharuskan membayar Bea Perolehan Hak atas Tanah dan


Bangunan (BPHTB), dengan ketentuan sebagai berikut:

Pajak Penjual (PPh

= NJOP/Harga Jual x 5 %

Pajak Pembeli (BPHTB) = {NJOP/Harga Jual Nilai Tidak Kena


Pajak} x 5 %

NJOP adalah singkatan dari Nilai Jual Objek Pajak, yakni harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.

Calon pembeli dapat membuat surat pernyataan bahwa dengan

membeli tanah tersebut maka tidak lantas menjadi pemegang Hak Atas
Tanah yang melebihi ketentuan batas luas maksimum.

PPh maupun BPHTB dapat dibayarkan di Bank atau Kantor Pos.

sebelum PPh dan BPHTB dilunasi maka akta belum dapat dibayarkan.
Biasanya untuk mengurus pembayaran PPh dan BPHTB dibantu oleh
PPAT bersangkutan.

Mengecek apakah jangka waktu Hak Atas Tanah sudah berakhir

atau belum. Sebab untuk Sertifikat Hak Guna BAngunan (SHGB) dan
Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU) ada jangka waktunya. Jangan sampai
membeli tanah SHGB/SHGU dengan kondisi sudah jatuh tempo.

Mengecek apakah di atas tanah yang akan dibeli ada Hak yang

lebih tinggi. Misalkan, tanah yang akan dibeli adalah tanah SHGB yang di
atasnya ada Hak Pengelolaan (HP). Maka penjual dan pembeli harus
meminta izin dahulu kepada pemegang Hak Pengelolaan tersebut.

Mengecek apakah rumah yang akan dibeli pernah menjadi jaminan

kredit dan belum dilakukan penghapusan (Roya) atau tidak. Apabila


pernah maka harus diminta Surat Roya dan Surat Lunas dari penjual agar
nantinya bisa balik nama.

B. Pembuatan AJB

Pembuatan AJB harus dihadiri penjual dan pembeli (suami istri

bila sudah menikah) atau orang yang diberi kuasa dengan surat kuasa
tertulis.

Dihadirkan sekurang-kurangnya 2 saksi.

PPAT akan membacakan dan menjelaskan isi Akta. Bila pihak

penjual dan pembeli menyetujui isinya maka Akta akan ditandatangani


oleh penjual, pembeli, saksi dan PPAT.

Akta dibuat 2 lembar asli, satu disimpan oleh PPAT dan satu

lembar lain akan diserahkan ke Kantor Pertanahan untuk keperluan Balik


Nama. Salinannya akan diberikan pada pihak penjual dan pembeli.

C. Proses Ke kantor Pertanahan

Setelah AJB selesai di buat, maka PPAT menyerahkan berkas AJB ke


kantor Pertanahan untuk Balik Nama. Penyerahan berkas AJB harus
dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja sejak ditandatangani.

Adapun berkas-berkas yang diserahkan meliputi:

Surat Permohonan Balik Nama yang telah ditandatangani pembeli

Akta Jual Beli dari PPAT

Sertifikat Hak Atas Tanah

Foto copy KTP penjual dan pembeli

Bukti lunas pembayaran PPh dan BPHTB

Proses di kantor pertanahan adalah sebagai berikut:

Setelah berkas diserahkan di Kantor Pertanahan, maka akan ada

tanda bukti penerimaan yang akan diserahkan kepada pembeli.

Nama pemegang hak lama (penjual) akan dicoret dengan tinta

hitam dan diberi paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang
ditunjuk.

Nama pembeli selaku pemegang hak baru atas tanah akan ditulis

pada halaman dan kolom yang ada pada buku tanah dan sertifikat, dengan
pembubuhan tandatangan Kepala Kantor Pertanahan atau Pejabat yang
ditunjuk.

Dalam waktu 14 hari, pembeli berhak mengambil sertifikat yang

sudah balik atas nama pembeli di Kantor Pertanahan setempat.

3. Tanah Warisan

Apabila suami/istri atau keduanya yang namanya tercantum dalam


sertifikat sudah meninggal dunia dan ahli warisnya akan melakukan jual
beli maka tanah tersebut harus dibalik nama terlebih dahulu atas nama
Ahli Waris. Selain itu, Sebelum melakukan proses jual beli seperti di atas,
data tambahan yang diperlukan adalah sebagai berikut :

Surat Keterangan Waris

Untuk WNI Pribumi

Surat
dibenarkan

Keterangan

Waris

yang

diajukan

disaksikan

dan

oleh Lurah yang dikuatkan Camat.

Untuk WNI keturunan

Surat Keterangan Waris dari Notaris

Foto copy KTP seluruh Ahli Waris

Foto copy Kartu Keluarga (KK)

Foto copy Surat Nikah

Seluruh ahli waris harus hadir untuk tanda tangan AJB, atau Surat

Persetujuan dan kuasa dari seluruh ahli waris kepada salah seorang di
antara mereka yang dilegalisir oleh Notaris (dalam hal tidak bisa hadir)

Bukti Pembayaran BPHTB waris (pajak Ahli Waris) dimana

besarnya adalah 50% dari BPHTB jual beli setelah dikurangi dengan nilai
tidak kena pajaknya.

4. Tanah Girik

Tanah girik merupakan tanah-tanah bekas hak milik adat yang belum
didaftarkan atau disertifikatkan pada Kantor Pertanahan setempat. Jadi
Girik bukan tanda bukti atas tanah melainkan merupakan bukti bahwa
pemilik girik adalah pembayar pajak dan orang menguasai tanah milik adat
atas bidang tanah tersebut beserta bangunan (bila ada) di atasnya.

Adapun jual beli tanah girik dapat dilakukan sebagai berikut:

Akta girik yang dipakai adalah girik asli

Bukti pembayaran PBB dari pemilik girik

Surat keterangan bahwa tanah girik tersebut tidak sedang dalam

persengketaan

Surat keterangan Riwayat Tanah dari kelurahan/kecamatan/kepala

desa. Adapun surat riwayat ini menerangkan asal tanah dan siapa saja
pemilk tanah sebelumnya hingga sampai saat ini.

Surat keterangan dari Kelurahan/Kecamatan bahwa tanah tersebut

belum diperjualbelikan kepada siapapun

Tanah tersebut tidak sedang dijaminkan

Adapun pengajuan permohonan Hak dilakukan dengan cara berikut:

1. Meminta Girik asli dari penjual dan memastikan nama penjual


dalam girik tersebut adalah nama yang tercantum dalam AJB.
2. Memastikan bahwa objek yang termasuk di dalam tanah girik
dikuasai secara fisik.
3. Mengajukan permohonan Hak ke Kantor BPN wilayah dengan
tahapan :

Pengakuan pemilikan fisik tanah dilanjutkan dengan pembuatan

gambar situasi

Penelitian dan pembahasan panitia ajudikasi. Dimana panitia

ajudikasi ini dibentuk oleh Menteri Negara Agraria/Kepala BPN yang


bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan untuk melakukan
pendaftaran tanah sistemik. Ajudikasi sendiri merupakan kegiatan yang
dilaksanakan

dalam

rangka

proses

pendaftaran

tanah

meliputi

pengumpulan dan penetapan kebenaran data fisik dan data yuridis


mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran tanah untuk keperluan
pendaftarannya.

Pengumuman surat permohonan tersebut

Penerbitan surat keputusan pemberian hak

Pencetakan sertifikat tanah

Namun, mengingat girik bukanlah bukti kepemilikan atas bidang


tanah yang sah, maka sebaiknya sebelum proses jual beli girik dirubah

menjadi

sertifikat.

Disebutkan

bahwa

pengurusan

sertifikat

ini

membutuhkan waktu 9 bulan. Adapun berkas yang perlu disiapkan adalah:

Asli Girik dan asli AJB

Foto copy KTP

Surat penguasaan fisik bidang tanah

Surat Keterangan Kepala Desa/kelurahan

Surat bukti PBB

Surat Kuasa apabila pengurusan dikuasakan kepada orang lain.

Setelah berkas-berkasnya lengkap, proses selanjutnya diteruskan ke


BPN setempat dan petugas ukur akan segera mensosialisasikan luas bidang
tanah yang akan dibuatkan sertifikat aslinya. Setelah berkas selesai
diproses, petugas administrasi BPN akan memberikan sertifikasi
kepemilikan tanah yang sah sebagai pengganti girik.

4. METODE PENELITIAN
1. Jenis dan sifat penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
yuridis normatif dengan jenis penelitian hukum untuk perkara In-Concrito.
Diman penulis mencari fakta-fakta yang akurat dan valid tentang sebuah
peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian. Penelitian ini juga
dilakukan dan ditujukan pada peraturan-peraturan tertul;is dan bahanbahan lain, serta menelaah peraturan perundang-undang yang berhubungan
dengan ppenulisan skripsi ini. Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah

deskriftif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti


mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam
memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori
baru.
2.

Data dan sumber data

Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang tidak diperoleh dari sumber pertama yang bisa diperoleh dari
dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku
harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya. Data sekunder dalam
penelitian ini dapat dibagi atas 3 kelompok besar, yaitu :
a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh dari beberapa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari Putusan Mahkamah


Konstitusi No. 2-3/PUU-V/2007, keterangan, kajian, analisis tentang
hukum positif seperti skripsi, makalah seminar,dll.
c. Bahan hukum tertier yang dipergunakan penulis sebagai bahan yang
mendukung, memberi penjelasan bagi bahan hukum sekunder seperti
Kamus Besar Indonesia,Kamus Bahasa Inggris, dan Kamus Hukum.
3.

Metode pengumpulan data


Alat-alat pengumpulan data, pada umumnya dikenal tiga jenis alat
pengumpulan data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan
atau observasi, dan wawancara atau interview (Soekanto, 2007 : 50).

Berdasar pendekatan yang dipergunakan dalam memperoleh data, maka


alat pengumpulan data yang dipergunakan adalah :
a.

Studi kepustakaan dan dokumen


Dalam

penelitian

ini,

penulis

mempergunakan

metode

pengumpulan data melalui studi dokumen/ kepustakaan ( library research


) yaitu dengan melakukan penelitina terhadap berbagai sumber bacaan
seperti buku-buku yang berkaitan dengan pidana mati, psikologi, pendapat
sarjanah, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh
dari internet.
b.

Wawancara
Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara si penanya
atau pewawancara dengan si

penjawab atau responden dengan

menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara)


(Nazir, 1988 : 234).
Wawancara dipergunakan dengan tujuan-tujuan sebagai berikut :
1. Memperoleh data mengenai persepsi manusia
2. Mendapatkan data mengenai kepercayaan manusia
3. Mengumpulkan data mengenai perasaan dan motivasi seseorang
(atau mungkin kelompok manusia)
4. Memperoleh data mengenai antisipasi ataupun orientasi ke masa
depan dari manusia

5. Memperoleh informasi mengenai perilaku pada masa lampau


6. Mendapatkan data mengenai perilaku yang sifatnya sangat pribadi
atau sensitif (Soekanto, 2007 : 67).

Anda mungkin juga menyukai