Oleh :
Lebih lanjut Pasal 56 ayat (2) UUP menentukan bahwa dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
1
a. bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan dari negara setempat;
b. Paspor Republik Indonesia; dan/atau
c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.
Dalam hal perkawinan tersebut telah dilakukan di negara lain, maka harus
mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut
kemudian dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat.
Dan selanjutnya dapat difahami pula bahwa akta nikah yang dikeluarkan oleh
pejabat di negara lain belum memiliki kekuatan hukum di Indonesia jika :
1
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4060/keabsahan-akta-nikah-yang-dikeluarkan-
negara-lain diakses pada tanggal 09 November 2016.
2
a. Tidak dilaporkan kepada Perwakilan Indonesia di negara setempat; dan
b. Tidak dicatatkan dan dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di
Indonesia.
2 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni, 1985), hal.
281.
3
memiliki ketentuan perihal tata cara eksekusi suatu putusan asing ini, maka ketentuan
R.V tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman.3 Maka pasal itu dianggap terus berlaku,
berdasar atas Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara RI juncto Pasal 192
Konstitusi RIS juncto Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.
3 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 37
4 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Sumur Bandung, 1979),
hal. 74.
5 https://gmraindonesia.wordpress.com diakses pada 10 November 2016.
4
Menurut M. Yahya Harahap,6 satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan
pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai
dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian,
putusan pengadilan asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai
alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:
a. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat; atau
b. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan
hakim.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 41 ayat (1) (2) dan (3 ) dikatakan
bahwa perceraian WNI yang dilakukan di luar negeri wajib di catatkan pada instansi
yang berwenang di negera tersebut dan dilaporkan pada perwakilan RI dan apabila di
negera tersebut tidak ada pencatatan , maka perwakilan RI mencatat dalam regester
akta cerai dan menerbitkan kutipan akta cerai , kemudian bila sudah kembali wajib
melaporkan dalam waktu 30 hari setelah pulang ke indonesia.
6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),hal. 136.
5
ditakutkan adalah percerian yang berakibat pada dideportasinya anak untuk mengikuti
ayahnya yang berkewarganegaraan asing.7
Namun Pada tahun 2006 terbit Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia yang mengatur bahwa status hukum anak menurut
undang-undang tersebut tidak lagi mengikuti status hukum orang tuanya, terutama
ayahnya. Hal ini dikarenakan Undang-undang ini memiliki “Asas Kewarganegaraan
Ganda Terbatas”. Asas ini menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tersebut.
Berkenaan hal tersebut, Pasal 25 ayat 4 menegaskan bahwa status
kewarganegaran Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat 1 s/d 3 berakibat anak menjadi kewarganegaraan ganda. Pengaturan
mengenai kewarganegaraan ganda ini diatur secara tegas dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-
undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal ini berbunyi sebagai
berikut :
7Hanum Megasari, Status Hukum Dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian Karena Perkawinan
Campuran, (Tesis Fakultas Hukum, Program Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta : 2009).
6
2002 tentang Perlindungan Anak yang berprinsip bahwa negara Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak
yang merupakan hak asasi manusia.8
(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing,
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari
ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak
berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan
salah satu dari kedua orangtuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban
mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.
Pada ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No.23 Tahun 2002 diatas terdapat klausul
yang menyatakan :
“....... anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.”
8http://irmadevita.com/2012/hak-asuh-anak-pada-perceraian-perkawinan-campuran/ diakses
pada 10 November 2016.
7
berumur 18 tahun atau sudah kawin sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat 1
Undang-undang No.12 Tahun 2006; dan
2. Bahwa diasuhnya anak tersebut dapat pula berdasarkan putusan pengadilan yang
tentunya diajukan oleh salah satu dari kedua orangtuanya.
WNI yang menikah dengan WNA lalu tinggal diluar negeri, maka apabila terjadi
perceraian tunduk pada ketentuan yang berlaku di Indonesia, sepanjang WNI tersebut
masih menjadi warga Negara Indonesia. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 66 ayat
(4) dan pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama,
yang menyatakan bahwa :
“dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama jakarta pusat”
8
Berkaitan dengan hal tersebut, Yahya Harahap SH dalam bukunya Hukum
Acara Perdata, maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung no 22 K/Sip/54 tgl 6 Juli
1955 mengatakan bahwa:
“putusan perceraian yang dilakukan oleh negara asing, sebenarnya putusan itu tidak
mempunyai daya mengikat dan pembuktian kepada orang lain di Indonesia”.9
Namun demikian, putusan ini bisa tetap diterapkan dengan mengacu kepada
asas lex posteori derogat legi priori (peraturan yang baru mengalahkan/melumpuhkan
peraturan yang lama), serta keputusan Yurisprudensi Mahkamah Agung no
1037K/Sip/73 tgl 23 Maret 1976 dimana perceraian yang dilakukan di luar negeri
dianggap sah sebagai alat bukti perceraian atau akibat cerai.10
Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
3. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
5. Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia
6. Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil
9
Referensi:
1. Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni,
1985).
2. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni,
1992).
3. R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Sumur
Bandung, 1979).
4. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
5. Hanum Megasari, Status Hukum Dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian Karena
Perkawinan Campuran, (Tesis Fakultas Hukum, Program Magister Kenotariatan,
Universitas Indonesia, Jakarta : 2009).
6. H. Zamhari Hasan, “Pencatatan Nikah dan Rujuk di Luar Negeri”,
<http://pusdiklatteknis.depag. go.id/index.php/20101021178/pencatatan-nikah-
dan-rujuk-di-luarnegeri. html>, tanggal diakses 21 Oktober 2010.
7. Abdullah Tri Wahyudi, “Hukum Acara Pidana, Yurisprudensi. Ditandai: Facti,
Hukuman, Judex, Kaidah Hukum, Kasasi, Pemeriksaan,Yurisprudensi”,
<http://advosolo.wordpress.com/2010/11/19/ukuran-hukuman-adalah-
wewenang-judexfacti/>, tanggal diakses19 Maret 2010.
8. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4060/keabsahan-akta-nikah-yang-
dikeluarkan-negara-lain diakses pada tanggal 09 November 2016.
9. https://gmraindonesia.wordpress.com diakses pada 10 November 2016.
10. http://irmadevita.com/2012/hak-asuh-anak-pada-perceraian-perkawinan-
campuran/ diakses pada 10 November 2016.
10