Anda di halaman 1dari 10

Akibat Hukum Perceraian Pada Perkawinan Campuran (WNI dengan

WNA) yang Dilaksanakan di Luar Negeri

Oleh :

Ahmad Farhan Subhi, S.Sy., S.H., M.H.


(Peserta Diklatsar Balitbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI
CPNS/CAKIM Angkatan LXXXVIII, Satker Pengadilan Agama Muara Bungo)

A. Keabsahan Akta Nikah dan Status Anak

Berdasarkan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang


Perkawinan (“UUP”), perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua
orang warga negara Indonesia atau seorang warga negara Indonesia dengan warga
negara Asing adalah sah bilamana:

1. Dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu


dilangsungkan; dan
2. Bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini.

Lebih lanjut Pasal 56 ayat (2) UUP menentukan bahwa dalam waktu 1 (satu)
tahun setelah suami-istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan
mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Sebelum dicatatkan di Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 70 ayat (2)


Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk
dan Pencatatan Sipil (selanjutnya disebut “Pepres 25/2008”), maka perkawinan tersebut
harus dilaporkan kepada Perwakilan Republik Indonesia di negara setempat dengan
memenuhi syarat berupa fotokopi:

1
a. bukti pencatatan perkawinan/akta perkawinan dari negara setempat;
b. Paspor Republik Indonesia; dan/atau
c. KTP suami dan isteri bagi penduduk Indonesia.

Dan di dalam ketentuan Pasal 70 ayat (2) Perpres 25/2008, Pelaporan


perkawinan tersebut dilakukan dengan tata cara :

a. Warga Negara Indonesia mengisi Formulir Pelaporan Perkawinan dengan


menyerahkan persyaratan kepada Pejabat Konsuler;
b. Pejabat Konsuler mencatat pelaporan perkawinan Warga Negara Indonesia dalam
Daftar Perkawinan;
c. Warga Negara Indonesia dan memberikan surat bukti pencatatan perkawinan dari
negara setempat.

Dalam hal perkawinan tersebut telah dilakukan di negara lain, maka harus
mengikuti aturan mengenai perkawinan yang berlaku di negara tersebut
kemudian dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat.

Maka dengan demikian, selama para pihak telah melaksanakan pencatatan


perkawinan di luar negeri sesuai hukum yang berlaku di negara tersebut, maka
perkawinan adalah sah dengan segala akibat hukumnya. Akibat hukum yang
dimaksud misalnya status anak, harta perkawinan, pewarisan, hak dan kewajiban
suami-istri bila perkawinan berakhir karena perceraian dan sebagainya.1

Dan selanjutnya dapat difahami pula bahwa akta nikah yang dikeluarkan oleh
pejabat di negara lain belum memiliki kekuatan hukum di Indonesia jika :

1
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4060/keabsahan-akta-nikah-yang-dikeluarkan-
negara-lain diakses pada tanggal 09 November 2016.

2
a. Tidak dilaporkan kepada Perwakilan Indonesia di negara setempat; dan
b. Tidak dicatatkan dan dilaporkan ke Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di
Indonesia.

B. Keabsahan Putusan Perceraian Pengadilan Asing Terhadap WNI


Sudah sejak lama dianut asas bahwa putusan-putusan pengadilan suatu negara
tidak dapat dilaksanakan di wilayah negara lain. Putusan hakim suatu negara hanya
dapat dilaksanakan di wilayah negaranya saja.2
Putusan hakim asing tidak dapat dianggap sama dan sederajat dengan putusan
hakim Indonesia sendiri yang dapat dilaksanakan di Indonesia. Ketentuan tersebut di
atas erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan teritorial (principle of territorial
sovereignty) dimana berdasar asas ini putusan hakim asing tidak bisa secara langsung
dilaksanakan di wilayah negara lain atas kekuatannya sendiri.

Pada umumnya putusan hakim asing tidak dapat dilaksanakan di Indonesia.


Dikatakan pada umumnya, karena dalam hal tertentu ada putusan hakim yang dapat
dilaksanakan di Indonesia. Bagi Indonesia sekiranya hanya ada suatu pasal undang-
undang yang mengenai kekuatan putusan hakim dari negara asing, yaitu Pasal 436
“Burgerlijke Reglement Rechtsvordering (R.V)”. Undang-undang ini pada umumnya
sekarang tidak berlaku, oleh karena sekarang hanya ada satu macam pengadilan untuk
pemeriksaan perkara tingkatan pertama, yaitu pengadilan negeri dan untuk pengadilan
negeri ini pada pokoknya hanya berlaku HIR (“Herziene Inlandsch Reglement”) bagi Jawa
dan Madura dan RBG (“Rechtreglement Buitengewesten”) bagi daerah-daerah lain.
Walaupun sebenarnya ketentuan R.V sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, namun
oleh karena Herziene Inland Reglement (HIR) yang mengatur hukum acara perdata dan
yang sekarang digunakan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi tidak

2 Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni, 1985), hal.
281.

3
memiliki ketentuan perihal tata cara eksekusi suatu putusan asing ini, maka ketentuan
R.V tersebut kiranya dapat dijadikan pedoman.3 Maka pasal itu dianggap terus berlaku,
berdasar atas Pasal 142 Undang-Undang Dasar Sementara RI juncto Pasal 192
Konstitusi RIS juncto Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.

C. Eksekusi Putusan Perceraian Pengadilan Asing di Indonesia


Pasal 436 B. RV (Reglement Op De Rechtsvordering, Staatsblad Tahun 1847 Nomor
52 juncto Staatsblad Tahun 1849 Nomor 63 secara garis besar mengatur bahwa :4
1. Di luar keadaan-keadaan yang disebutkan dalam Pasal 724 Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang dan undang-undang lain, maka putusan-putusan hakim negeri
asing tidak dapat dijalankan di dalam daerah hukum negara Indonesia;
2. Perkara-perkara yang bersangkutan harus diajukan, diperiksa dan diputuskan lagi
di Indonesia. Untuk mendapatkan putusan yang dapat dieksekusi di Indonesia,
tuntutan harus diajukan pada atau dilitigasi ulang oleh pengadilan Indonesia yang
mempunyai kompetensi. Dalam hal ini, segala ketentuan dalam dokumen yang
memperbolehkan proses hukum secara konkuren dilitigasi ulang pada yurisdiksi
yang berbeda kemungkinan tidak dapat dieksekusi di Indonesia.5
3. Dalam keadaan-keadaan yang dikecualikan pada ayat 1 putusan-putusan hakim
negeri asing hanya dapat dijalankan, sesudah atas permohonan didapatkan izin
pelaksanaan (verlof van excutie) dari hakim di tempat dalam Indonesia, dimana
putusan itu harus dijalankan.
4. Dalam hal memohon dan memberikan izin ini, perkaranya sendiri tidak akan
diperiksa kembali.

3 Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni, 1992), hal. 37
4 R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Sumur Bandung, 1979),
hal. 74.
5 https://gmraindonesia.wordpress.com diakses pada 10 November 2016.

4
Menurut M. Yahya Harahap,6 satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan
pengadilan asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai
dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian,
putusan pengadilan asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai
alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:

a. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat; atau
b. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan
hakim.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
Tentang Administrasi Kependudukan pada pasal 41 ayat (1) (2) dan (3 ) dikatakan
bahwa perceraian WNI yang dilakukan di luar negeri wajib di catatkan pada instansi
yang berwenang di negera tersebut dan dilaporkan pada perwakilan RI dan apabila di
negera tersebut tidak ada pencatatan , maka perwakilan RI mencatat dalam regester
akta cerai dan menerbitkan kutipan akta cerai , kemudian bila sudah kembali wajib
melaporkan dalam waktu 30 hari setelah pulang ke indonesia.

D. Hak Asuh Anak Pasca Perceraian


Penerapan asas “ius sanguinis” dalam Undang-undang No.62 Tahun 1958
mengatur bahwa apabila seorang WNI perempuan menikah dengan laki-laki WNA dan
tinggal di Indonesia, maka status kewarganegaraan anaknya seperti yang dianut
ayahnya bukan seperti status kewarganegaraan ibunya. Jika terjadi perceraian yang
dikarenakan oleh beberapa sebab, maka perempuan tidak bisa mendapatkan hak
asuhnya atas anak tersebut, padahal anak itu dilahirkan oleh si ibu dan ditempat
dimana si ibu tinggal. Persoalan inilah yang menyebabkan banyak perempuan yang
menikah campuran rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, karena yang

6 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008),hal. 136.

5
ditakutkan adalah percerian yang berakibat pada dideportasinya anak untuk mengikuti
ayahnya yang berkewarganegaraan asing.7
Namun Pada tahun 2006 terbit Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Indonesia yang mengatur bahwa status hukum anak menurut
undang-undang tersebut tidak lagi mengikuti status hukum orang tuanya, terutama
ayahnya. Hal ini dikarenakan Undang-undang ini memiliki “Asas Kewarganegaraan
Ganda Terbatas”. Asas ini menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang tersebut.
Berkenaan hal tersebut, Pasal 25 ayat 4 menegaskan bahwa status
kewarganegaran Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 25 ayat 1 s/d 3 berakibat anak menjadi kewarganegaraan ganda. Pengaturan
mengenai kewarganegaraan ganda ini diatur secara tegas dalam Pasal 6 ayat 1 Undang-
undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Pasal ini berbunyi sebagai
berikut :

“Dalam hal status Kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak sebagaimana


dimaksud dalam pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf I, dan Pasal 5, berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin anak
tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya”.

Maka dapat difahami bahwa sesuai UU Kewarganegaraan tahun 2006, anak-


anak yang lahir setelah Agustus 2006, secara otomatis mendapatkan kewarganegaraan
ganda. Jika telah berusia 18 tahun dengan masa tenggang hingga tiga tahun, barulah si
anak diharuskan memilh kewarganegaraan yang mana yang akan dipilihnya. Jika
terjadi perceraian maka ibu dapat mengajukan permohonan kewarganegaraan anak
dengan berdasarkan pada ketentuan Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No.23 Tahun

7Hanum Megasari, Status Hukum Dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian Karena Perkawinan
Campuran, (Tesis Fakultas Hukum, Program Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta : 2009).

6
2002 tentang Perlindungan Anak yang berprinsip bahwa negara Indonesia menjamin
kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak
yang merupakan hak asasi manusia.8

Adapun kutipan Pasal 29 UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan


Anak, sebagai berikut:

(1) Jika terjadi perkawinan campuran antara warga negara Indonesia dan warga negara asing,
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut berhak memperoleh kewarganegaraan dari
ayah atau ibunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal terjadi perceraian dari perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), anak
berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam pengasuhan
salah satu dari kedua orangtuanya.
(3) Dalam hal terjadi perceraian sebagaimana dimaksud dalam ayat(2), sedangkan anak belum
mampu menentukan pilihan dan ibunya berkewarganegaraan Republik Indonesia, demi
kepentingan terbaik anak atau atas permohonan ibunya, pemerintah berkewajiban
mengurus status kewarganegaraan Republik Indonesia bagi anak tersebut.

Pada ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No.23 Tahun 2002 diatas terdapat klausul
yang menyatakan :

“....... anak berhak untuk memilih atau berdasarkan putusan pengadilan, berada dalam
pengasuhan salah satu dari kedua orangtuanya.”

yang dalam hal ini dapat disimpulkan dua hal antaralain :


1. Bahwa anak dapat memilih untuk diasuh oleh salah satu dari kedua orangtuanya
yang merupakan pasangan perkawinan campuran (WNA dengan WNI) setelah

8http://irmadevita.com/2012/hak-asuh-anak-pada-perceraian-perkawinan-campuran/ diakses
pada 10 November 2016.

7
berumur 18 tahun atau sudah kawin sebagaimana ketentuan Pasal 6 ayat 1
Undang-undang No.12 Tahun 2006; dan
2. Bahwa diasuhnya anak tersebut dapat pula berdasarkan putusan pengadilan yang
tentunya diajukan oleh salah satu dari kedua orangtuanya.

Dengan demikian, sehubungan diterapkannya asas “Asas Kewarganegaraan


Ganda Terbatas”, sebagaimana diakomodir dalam ketentuan Undang-Undang No. 12
tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia, yang mengatur bahwa status hukum
anak menurut undang-undang tersebut tidak lagi mengikuti status hukum orang
tuanya, terutama ayahnya, juga berdasarkan pada Pasal 29 ayat (2) UU No.23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, maka jika terjadi perceraian yang dikarenakan oleh
beberapa sebab, kedua belah pihak baik WNA ataupun WNI bisa mendapatkan hak
asuhnya atas anak melalui pilihan yang ditentukan oleh anak atau putusan pengadilan.

E. Tempat Mengajukan Gugatan Kaitannya Dengan WNI Dalam Perkawinan


Campuran

WNI yang menikah dengan WNA lalu tinggal diluar negeri, maka apabila terjadi
perceraian tunduk pada ketentuan yang berlaku di Indonesia, sepanjang WNI tersebut
masih menjadi warga Negara Indonesia. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 66 ayat
(4) dan pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama,
yang menyatakan bahwa :
“dalam hal penggugat dan tergugat bertempat tinggal kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada pengadilan agama jakarta pusat”

8
Berkaitan dengan hal tersebut, Yahya Harahap SH dalam bukunya Hukum
Acara Perdata, maupun Yurisprudensi Mahkamah Agung no 22 K/Sip/54 tgl 6 Juli
1955 mengatakan bahwa:
“putusan perceraian yang dilakukan oleh negara asing, sebenarnya putusan itu tidak
mempunyai daya mengikat dan pembuktian kepada orang lain di Indonesia”.9

Namun demikian, putusan ini bisa tetap diterapkan dengan mengacu kepada
asas lex posteori derogat legi priori (peraturan yang baru mengalahkan/melumpuhkan
peraturan yang lama), serta keputusan Yurisprudensi Mahkamah Agung no
1037K/Sip/73 tgl 23 Maret 1976 dimana perceraian yang dilakukan di luar negeri
dianggap sah sebagai alat bukti perceraian atau akibat cerai.10

Dasar Hukum:
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
3. Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
5. Undang-Undang No. 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Indonesia
6. Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil

9 H. Zamhari Hasan, “Pencatatan Nikah dan Rujuk di Luar Negeri”,


<http://pusdiklatteknis.depag. go.id/index.php/20101021178/pencatatan-nikah-dan-rujuk-di-
luarnegeri. html>, tanggal diakses 21 Oktober 2010.
10 Abdullah Tri Wahyudi, “Hukum Acara Pidana, Yurisprudensi. Ditandai: Facti, Hukuman, Judex,

Kaidah Hukum, Kasasi, Pemeriksaan,Yurisprudensi”,


<http://advosolo.wordpress.com/2010/11/19/ukuran-hukuman-adalah-wewenang-judexfacti/>,
tanggal diakses19 Maret 2010.

9
Referensi:
1. Sudargo Gautama, Aneka Masalah Hukum Perdata Internasional, (Bandung : Alumni,
1985).
2. Setiawan, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, (Bandung : Alumni,
1992).
3. R. Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata Internasional, (Jakarta : Sumur
Bandung, 1979).
4. M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2008).
5. Hanum Megasari, Status Hukum Dan Pemeliharaan Anak Akibat Perceraian Karena
Perkawinan Campuran, (Tesis Fakultas Hukum, Program Magister Kenotariatan,
Universitas Indonesia, Jakarta : 2009).
6. H. Zamhari Hasan, “Pencatatan Nikah dan Rujuk di Luar Negeri”,
<http://pusdiklatteknis.depag. go.id/index.php/20101021178/pencatatan-nikah-
dan-rujuk-di-luarnegeri. html>, tanggal diakses 21 Oktober 2010.
7. Abdullah Tri Wahyudi, “Hukum Acara Pidana, Yurisprudensi. Ditandai: Facti,
Hukuman, Judex, Kaidah Hukum, Kasasi, Pemeriksaan,Yurisprudensi”,
<http://advosolo.wordpress.com/2010/11/19/ukuran-hukuman-adalah-
wewenang-judexfacti/>, tanggal diakses19 Maret 2010.
8. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4060/keabsahan-akta-nikah-yang-
dikeluarkan-negara-lain diakses pada tanggal 09 November 2016.
9. https://gmraindonesia.wordpress.com diakses pada 10 November 2016.
10. http://irmadevita.com/2012/hak-asuh-anak-pada-perceraian-perkawinan-
campuran/ diakses pada 10 November 2016.

10

Anda mungkin juga menyukai