Anda di halaman 1dari 153

HUKUM

PERJANJIAN INTERNASIONAL

Dosen : Dr. Triyana Yohanes, S.H.,MHum


F. HUKUM UAJY
TA 2022/2023
LITERATUR
1. C. M. G, I. M. Sinclair, The Vienna Convention on the Law of Treaties,
Manchester University Press, USA, 1973.
2. Jan Klabbers, The Concept of Treaty in International Law, Kluwer Law
International, the Hague, 1996
3. Anthony Aust, Modern Treaty Law and Practice, Cambridge University Press,
Cambridge, 2000
4. Ulf Linderfalk, On the Interpretation of Treaties, the Modern International Law as
Expressed in the 1969 Vienna Convention on the Law of Treaties, Springer,
Dordrecht, 2007
5. Malgosia Fitzmaurice, et al, (ed), Treaty Interpretation and the Vienna Convention
on the Law of Treaties: 30 Years On, Martinus Nijhoff Publishers, Leiden, 2010
6. Budiono Kusumohamidjojo, Konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian
Internasional, Binacipta, 1986
7. Damos Dumoli Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan
Praktik Indonesia, Refika Aditama, 2010.
Pengertian traktat
I Wayan Parthiana :
Traktat atau perjanjian internasional adalah
perjanjian antara subyek-subyek Hukum
Internasional yang menimbulkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban menurut Hukum
Internasional

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja :


Traktat adalah perjanjian yang diadakan antar
anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum
tertentu.
Pengertian traktat
- Pasal 2a Konvensi Wina 1969 :
Traktat adalah persetujuan internasional
dibuat antar negara dalam bentuk tertulis dan
diatur Hukum Internasional, baik dalam satu
intrumen atau lebih yang berkaitan.

- Pasal 1 (a) UU No. 24/2000 :


Perjanjian Internasional adalah perjanjian, dalam
bentuk dan nama tertentu, yang diatur dalam
Hukum Internasional yang dibuat secara tertulis
serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang
hukum publik
Pengertian traktat
Pasal 2 ayat 1(a) Konvensi Wina 1986 tentang
Traktat antara Negara dengan Organisasi
Internasional atau antar Organisasi Internasional

“Traktat adalah persetujuan internasional yang

diatur Hukum Internasional dan dibuat


dalam bentuk tertulis :
- antara satu atau lebih Negara dengan satu
atau lebih organisasi internasional; atau
- antar organisasi internasional
baik terhimpun dalam satu intrumen atau lebih
yang berkaitan.”
Traktat Berbeda Dengan Kontrak
Bisnis/keperdataan Internasional
• Traktat :
- dibuat antar subyek HI
- menimbulkan hak dan kewajiban yang diatur HI

• Kontrak bisnis/keperdataan internasional


- dibuat oleh perorangan, perusahaan, lembaga,
Negara
- menimbulkan hak dan kewajiban yang diatur
oleh Hukum Perdata
Traktat Sebagai Sarana
Melakukan Hubungan Internasional

 Fungsi Traktat (Perjanjian Internasional)


Sebagai sarana utama untuk menetapkan hak-hak

dan kewajiban-kewajiban negara.

 Perjanjian Internasional merupakan salah satu


sumber utama dari Hukum Internasional
PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Menurut JG. Starke sumber Hukum Internasional :
1. Kebiasaan Internasional
2. Perjanjian Internasional,
3. Putusan-putusan Pengadilan dan Putusan
arbitrase
4. karya-karya hukum (pendapat sarjana)
5. Putusan-putusan atau penetapan-penetapan
lembaga-lembaga internasional
 Pengaturan traktat
Hukum Internasional :
- Konvensi Wina 1969 tentang Hukum
Traktat
- Konvensi Wina 1986 tentang Hukum Traktat
yang dibuat antara Negara dengan Organisasi

Internasional
- Hukum Kebiasaan Internasional

Hukum Nasional Indonesia :


- UU No. 24/2000 tentang Perjanjian
Internasional
Lingkup Pengaturan
• Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina
1986 :
– Berlaku hanya untuk traktat tertulis
– Kurang lengkap
• Hukum Kebiasaan internasional :
– Berlaku untuk semua jenis traktat baik tertulis
maupun lisan
– Untuk hal-hal yang belum diatur dalam
Hukum tertulis, maka berlaku hukum
kebiasaan internasional
PEMBEDAAN TRAKTAT

Traktat sebagai sumber HI dibedakan antara :


a. Law making treaty :
- Pihaknya banyak (bersifat terbuka)
- Menciptakan kaidah HI Universal
- Sumber HI langsung
b. Treaty Contract
- Pihaknya dua Negara (bisa lebih)
- Berlaku bagi para pihak saja
- Bukan Sumber HI langsung.
PEMBEDAAN TRAKTAT

Berdasar proses pembuatannya Traktat


dibedakan antara :
a. Traktat dua tahap
- Negosiasi
- Penandatanganan
b. Traktat tiga tahap
- Negosiasi
- Penandatanganan
- Ratifikasi
PEMBEDAAN TRAKTAT

Berdasar jumlah pihak yang turut serta


Traktat dibedakan antara :
a. Traktat bilateral
- Pihaknya hanya dua negara
b. Traktat multilatreal
- Pihaknya lebih dari dua negara
PEMBEDAAN TREATY BERDASAR ALAT
NEGARA YANG MEMBUATNYA
• Head of State Form :
– Yang mengadakan persetujuan antar kepala Negara
• Inter Government Form :
– Dibuat antar pemerintah
• Inter State Form :
– Dibuat antara Negara (yg berunding wakil-wakil Negara)
• Inter departmental Form :
– Dibuat antar Departemen
• Inter Minister form :
– Dibuat antar menteri

• Antar kepala aktual Negara :


– Dibuat antar orang/pejabat yg punya pengaruh politik
dunia
PENTAATAN PERJANJIAN INTERNASIONAL

• Pihak yang telah menyatakan kesepakatannya


untuk terikat pada suatu traktat, wajib untuk
mentaati isi dan ketentuan traktat tersebut

• Para pihak terikat pada isi dan ketentuan traktat


yang telah disepakatinya
Dasar Mengikatnya traktat (perjanjian internasional) :

 Anzilotti : Traktat mengikat karena


berlakunya prinsip pacta sunt servanda
 Pasal 26 Konvensi Wina 1969 : “Every treaty in
force is binding upon the parties to it and must be
performed by them in good faith.

Yang terikat pada suatu traktat adalah pihak-


pihak yang berjanji.
Traktat tidak mengikat pihak ketiga

 “pacta tertiis nec nocent nec prosunt”


 Pasal 34 KW 1969 : “a treaty does not create either
obligations or rights for a third state without its consent”.
 Ketentuan serupa diatur Pasal 34 KW 1986

Pengecualian : Suatu traktat dapat mengikat pihak


ketiga jika :
- Ketentuan dalam traktat tersebut menentukan
bahwa traktat mengikat pihak ketiga, Misalnya :
Piagam PBB – Art. 2 (6)
- Suatu traktat memberikan hak-hak tertentu pada
pihak ketiga
- Suatu ketentuan traktat menjadi HI kebiasaan
- Berlakunya prinsip Most Favoured-Nation (MFN)
Penyerahan Hak dan Kewajiban Treaty
kepada Pihak Ketiga
• Ketentuan umum :
- Hak dan kewajiban traktat tidak dapat
dialihkan kepada pihak ketiga
• Pengecualian :
- Melalui novasi
- Adanya katentuan dalam traktat yang
membolehkan
- Hutang yang “liquidated” atau klaim yang
timbul dari treaty dapat dialihkan oleh Negara
kreditur
Istilah yg digunakan sbg judul Perjanjian Internasional :

- Treaty
- Konvensi
- Protokol
- Agreement,
- Arrangement
- Piagam
- Statuta
- Covenant
- Deklarasi
- Memory of Understanding
- Exchange of notes
- Final Act
- Modus vivendi
- Summary record (Agreed Minutes)
- letter of intent
Makna Judul (Nama) dan Bentuk
Perjanjian Internasional
• Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian
internasional menunjukkan bobot kerjasama
yang berbeda-beda tingkatannya.
• Penggunaan suatu bentuk dan nama dari suatu
perjanjian internasional biasanya menunjukkan
keinginan dan maksud para pihak terkait, serta
dampak politiknya bagi para pihak.
• Tidak berkaitan dengan tingkatan hak dan
kewajiban (akibat hukumnya sama)
Treaty
• Selain digunakan sebagai istilah umum utk
menyebut perjanjian internasional
• Juga sering digunakan sebagai judul
perjanjian internasional tertentu yang
mengatur hal-hal penting dalam hubungan
internasional, misalnya :
– Masalah perdamaian, persekutuan, wilayah,
pertahanan, dsb
KONVENSI
• Digunakan untuk memberi judul perjanjian
internasional multilateral yang mengatur
materi yang sangat penting dan resmi,
yang meletakkan norma hukum yang
dimaksudkan berlaku secara internasional
PROTOKOL
• Digunakan untuk memberi judul perjanjian
internasional yang merupakan
amandemen atau melengkapi ketentuan-
ketentuan perjanjian internasional lainnya.
AGREEMENT
• Dulu digunakan utk memberi judul
perjanjian internasional yg dimaksud
berlaku sementara
• Sekarang digunakan untuk memberi judul
perjanjian internasional yang permanen,
baik bilateral maupun multilateral
ARRANGEMENT
• Biasanya digunakan utk memberi judul
perjanjian internasional yg isinya
merupakan pelaksanaan teknis dari suatu
perjanjian internasional yang telah ada
sebelumnya.
• Kurang mengikat
PIAGAM
• Digunakan untuk memberi judul perjanjian
internasional yang isinya merupakan
peraturan dasar dari suatu organisasi
internasional
STATUTA
• Digunakan untuk memberi judul perjanjian
internasional yang berisi tentang fungsi
dari suatu lembaga internasional
COVENANT
• Digunakan untuk memberi judul perjanjian
internasional yang berisi kaidah hukum
internasional yang penting
DEKLARASI
• Bisa merupakan perjanjian internasional
yang mengikat
• Bisa merupakan suatu pernyataan
bersama yang berisi prinsip-prinsip dasar
dalam hubungan internasional di bidang
tertentu, namun biasanya hanya punya
daya ikat secara moral dan politik.
MEMORY OF UNDERSTANDING

• Biasanya merupakan instrumen kurang


resmi yang berisi aturan teknis
• Bisa juga merupakan suatu perjanjian
internasional yang merupakan pengaturan
pelaksanaan dari suatu perjanjian
internasional yang lebih tinggi
tingkatannya
EXCHANGE OF NOTE
• Pertukaran pemberitahuan resmi posisi
masing-masing pihak yang telah disetujui
bersama
• Cara informal utk menyatakan pengertian
atau mengakui kewajiban tertentu
FINAL ACT
• Suatu naskah yang berisi catatan akhir
proses atau konferensi diplomatik dalam
pembuatan suatu perjanjian internasional
• Ditanda tangani tetapi tidak perlu ratifikasi
MODUS VIVENDI
• Merupakan kesepakatan yang bersifat
sementara dan informal yang akan
ditindaklanjuti dengan pembuatan
perjanjian internasional yang permanen
dan formal.
AGREED MINUTES
• Kesepakatan yang dicapai antar wakil
lembaga pemerintah tentang hasil
sementara atau hasil akhir suatu
konferensi diplomatik
• Juga biasa disebut dgn “Summary
Record” atau “Record of Discussion”
LETTER OF INTENT
• Perjanjian yang berisi kesanggupan untuk
melaksanakan hal tertentu, dibuat oleh
satu pihak dan disetujui pihak lain.
PERLENGKAPAN NEGARA YANG DAPAT
MEMBUAT PERJANJIAN INTERNASIONAL

• Pasal 1 (1) UU No. 37 tahun 1999 tentang


Hubungan Luar Negeri : “Hubungan luar negeri
adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek
regional dan internasional yang dilakukan oleh
Pemerintah di tingkat pusat dan daerah atau
lembaga-lembaganya, lembaga Negara, badan
usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat,
lembaga swadaya masyarakat, atau warga
negara
Pasal 11 UUD 1945
1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian
dan perjanjian dengan negara lain.
2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional
lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan
mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan
beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian
internasional diatur dengan undang-undang.
• Pasal 5 (1) UU No. 24 tahun 2000 tentang
Perjanjian Internasional :
“Lembaga Negara dan lembaga pemerintah,
baik kementerian maupun non-kementerian, di
tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai
rencana untuk membuat perjanjian
internasional, terlebih dahulu melakukan
konsultasi dan koordinasi mengenai rencana
tersebut dengan Menteri.
Prosedur pembuatan traktat ( PI )

Pasal 6 UU 24/2000 :

Pembuatan Perjanjian Internasional dilakukan


melalui tahap penjajakan, perundingan naskah,
penerimaan dan penandatanganan.

Berdasar teori :
1. Penunjukan wakil Negara yg akan berunding
2. Perundingan
3. Authentication, Penandatanganan, Exchange of
Instruments
a. Akreditasi/penunjukan petugas perunding
- menunjuk petugas negara yang akan mewakili
negara peserta perundingan, menetapkan status
dan wewenangnya
- Petugas negara tersebut diberi surat kuasa (full
power) yang dikeluarkan Kepala Negara atau
Menteri Luar Negeri.
Dokumen full power tersebut diberitahukan
kepada semua delegasi negara yang berunding.

Dalam konferensi umumnya ada Panitia yang


mengumpulan dokumen-dokumen tersebut dan
Panitia akan mengumumkan pd semua delegasi.
Full Power = Plains Pouvoirs (Surat Kuasa)
• Full Power :
Dokumen yang membuktikan bahwa pihak yang
ditunjuk adalah wakil dari Negara ybs dan
mempunyai wewenang untuk melakukan
perundingan dalam konferensi internasional.
Pasal 1 UU No. 24/2000 :
3.Surat Kuasa (Full Powers) adalah surat yang dikeluarkan oleh
Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa kepada satu atau
beberapa orang yang mewakili Pemerintah Republik Indonesia
untuk menandatangani atau menerima naskah perjanjian,
menyatakan persetujuan negara untuk mengikatkan diri pada
perjanjian, dan/atau penyelesaikan hal-hal yang diperlukan
dalam pembuatan perjanjian internasional.

4.Surat Kepercayaan (Credentials) adalah surat yang


dikeluarkan oleh Presiden atau Menteri yang memberikan kuasa
kepada satu atau beberapa orang yang mewakili Pemerintah
Republik Indonesia untuk menghadiri, merundingkan, dan/atau
menerima hasil akhir suatu perjanjian internasional.
• Apakah adanya full power merupakan
keharusnya utk ikut berunding ?
– Tergantung siapa yang mewakili Negara

• Pasal 7 UU No. 24 tahun 2000 :


– Seseorang yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia, dengan tujuan menerima atau
menandatangani naskah suatu perjanjian atau
mengikatkan diri pada perjanjian internasional,
memerlukan Surat Kuasa.
– Pejabat yang tidak memerlukan Surat Kuasa dalam
hal tsb di atas adalah Presiden dan Menteri (Menteri
Luar Negeri)
FUNGSI FULL POWER

• Membuktikan tentang statusnya sebagai


wakil Negara yang mempunyai wewenang
untuk :
– Menghadiri perundingan
– Ikut serta berunding
– Menyetujui hasil perundingan
– Menandatangani naskah
– Menyetujui untuk terikat
b. Negitiation and Adoption (Perundingan &
Pengambilan Putusan)
Cara Perundingan
- Untuk pembuatan traktat bilateral : melalui
perundingan dua pihak (pourparlers)
- Untuk pembuatan traktat multilateral :
melalui konferensi diplomatik.
Sesuai dengan prosedur formal :
- pembentukan “Steering Committee”
- pembentukan Panitia Hukum dan Perumus
- menetapkan laporan
- Perundingan juga dapat dilakukan melalui forum
informal
Adoption (Pengambilan Putusan) :

Traktat bilateral : persetujuan dua belah pihak

Traktat multilateral :
• Berdasar persetujuan minimal 2/3 suara yang
hadir dan memberikan suara
• Berdasar suara mayoritas
c. Authentication, signature and exchange
instrumen
- Naskah akhir hasil perundingan kemudian
ditandatangani

- Berdasar Konvensi Wina 1969 “authentication”


naskah akhir dilakukan melalui prosedur yang
diatur dalam traktat tersebut. Jika tidak ada
persetujuan para pihak authentication dilakukan
melalui :
- Penandatanganan (signature)
- Signature ad referandum
- Initialling (pemarafan/paraf)
- Incorporation dalam Final Act
Cara Penandatanganan
– Prinsip :
• Dilakukan dan dihadiri oleh setiap wakil Negara
• Pada waktu dan tempat yang sama

– Praktek :
• Membuka penandatangan sampai jangka waktu 9
bulan
• Selewatnya – melalui prosedur accession and
adhesion
Acceptance Formula Clause
• Isi :
Tanda tangan dilakukan dalam jangka waktu yang tidak
terbatas untuk :
– Penandatangan, tanpa reservasi sebagai penenerimaan
– Penandatanganan diikuti dengan penerimaan
– Penerimaan semata-mata (simpliciter)

• Tujuan :
– Untuk menanggulangi kesukaran yang dihadapi Negara
pihak dalam mendapatkan persetujuan berdasarkan
hukum konstitusinya
Akibat penandatanganan :

• Untuk Perjanjian Internasional yang tidak


memerlukan ratifikasi penandatanganan
mengakibatkan Perjanjian Internasional
tersebut mengikat

• Untuk Perjanjian Internasional yg memerlukan


ratifikasi penandatanganan tak mengakibatkan
mengikatnya Perjanjian Internasional tersebut
Exchange of Instrumen
Dalam hal keabsahan suatu perjanjian
internasional ditentukan melalui
pertukaran naskah oleh wakil masing-
masing pihak, pertukaran naskah tersebut
menyebabkan para pihak terikat jika :
– Naskah menentukan bahwa pertukaran
mempunyai akibat mengikatnya perjanjian
– Para pihak sepakat bahwa pertukaran naskah
menyebabkan terikatnya perjanjian
d. Ratifikasi
Hakikat ratifikasi :
Perbuatan negara yang dalam taraf internasional
mengikatkan diri pada perjanjian internasional
(yang telah ditandatangani perutusannya). – Lihat
Pasal 2 Konvensi Wina 1969

Dasar ratio perlunya ratifikasi :


a. Negara berdaulat, berhak menentukan apakah
akan terikat pada suatu traktat atau tidak.
b. Negara berhak meninjau kembali apa yg telah
disetujui perutusannya
Mengapa Perlu Ratifikasi ?
• Sejarah :
– Ratifikasi adalah tindakan Raja (Kepala Negara)
untuk meneguhkan tanda tangan dari wakil
negaranya dalam suatu perundingan untuk
membentuk perjanjian, agar lebih dulu diperoleh
keyakinan bahwa wakil tersebut tidak bertindak
melampaui wewenang yg diberikan sebelum Raja
atau Negara tersebut mengikatkan diri pada
perjanjian tsb.
– Dalam Negara-Negara modern dng sistem demokrasi
Parlementer, wewenang ratifikasi menjadi kompetensi
Badan Legislatif.
PELAKSANA RATIFIKASI

• Kepala Negara (Utk Indonesia : Pas 11


UUD 1945)
• Kepala Pemerintahan
• Menteri Luar Negeri
Ratification, acceptance and approval
• Persetujuan Negara untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional dilakukan melalui
ratifikasi apabila :
– Traktat tersebut menentukan bahwa persetujuan
terikat dilakukan melalui ratifikasi
– Negara-Negara perunding menyetujui cara ratifikasi
untuk terikat
– Delegasi Negara perunding telah menandatangani
traktat tsb
– Maksud Negara untuk menandatangani traktat yg
harus diratifikasi nampak/muncul dari Dokomen Full
Power Delegasi Negara tsb atau dinyatakan dalam
perundingan.
• Persetujuan Negara utk terikat pada suatu
traktat melalui acceptance dan approval berlaku
persyaratan spt ratifikasi tsb.
Pasal 2 (b) Konvensi Wina 1969
 “Ratification”, “acceptance”, “approval” and
“accession” mean in each case the international
act so named whereby a state establishes on
the international plane its consent to be bound
by a treaty.
 Konvensi Wina 1969 tidak memberi pengertian
masing-masing istilah tersebut.

 Ratification, acceptance, approval diatur dalam


Pasal 14 KW 1969
 Accession diatur dalam Pasal 15 Konvensi Wina
1969.
Accession
• Pernyataan terikat suatu Negara terhadap
suatu traktat dilakukan melalui accession
jika :
– Ditentukan dalam traktat tsb
– Negara-Negara perunding menyetujui dapat
dilakukan melalui accession
– Semua Negara pihak kemudian menyetujui
bahwa pernyataan terikat oleh Negara tsb
dapat dilakukan melalui accession.
Pengaturan berdasar UU 24/2000
Cara mengikatkan Indonesia pada Perjanjian
Internasional :
– Pengesahan adalah perbuatan hukum untuk
mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional
dalam bentuk ratifikasi, aksesi, penerimaan (acceptance)
dan penyetujuan (approval).
– Pasal 3, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan diri
pada perjanjian internasional melalui cara-cara sbb :
• Penandatanganan
• Pengesahan
• Pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik
• Cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak
dalam perjanjian internasional
Pengesahan PI
• Pengesahan PI oleh Pemerintah Republik Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh PI tsb
• Pengesahan PI dilakukan dengan Undang Undang
atau Keputusan Presiden
• Pasal 10, Pengesahan PI dengan UU jika berkenaan
dng :
– Masalah politik, perdamaian, pertahanan dan kemanan
Negara
– Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah NKRI
– Kedaulatan atau hak berdaulat Negara
– HAM dan lingkungan hidup
– Pembentukan kaidah hukum baru
– Pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Riservasi dan modifikasi
Pernyataan sepihak suatu negara pada waktu ikut
serta dalam suatu perjanjian internasional yang
isinya : mengecualikan ketentuan tertentu atau
merubah (momodifikasi) redaksi ketentuan tertentu
dari perjanjian internasional tersebut.

Pasal 19 KW 1969 : Riservasi

Syarat :
a. Traktat tersebut memungkinkan
b. Tertulis
c. Tidak terhadap ketentuan pokok.
PRINSIP DLM RESERVASI

• These must be included at the time of


signing or ratification.
• A party cannot add ratification after it has
already joined a treaty
• Originally, international law was
unaccepting a treaty reservations,
rejecting them unless all parties to the
treaty accepted the same reservations
JIKA SUATU NEGARA MEMBATASI
KEWAJIBANNYA YANG TIMBUL DARI TRAKTAT
MELALUI RESERVASI
• Negara-Negara pihak lainnya dapat menerima
reservasi tersebut, menolak reservasi tersebut
atau menolak dan menentang reservasi
tersebut.

• Akibat hukumnya :
– Dalam hubungan antara Negara pereservasi dengan
yang menerima reservasi traktat dengan reservasi
– Dalam hubungan antara Negara yang mereservasi
dengan yang menolak reservasi traktat berlaku tanpa
reservasi
Pengaturan Riservasi Dlm UU No. 24 Th 2000
Pasal 8 :
– Pemerintah Republik Indonesia dapat melakukan
persyaratan (reservation) dan/atau pernyataan
(declaration), kecuali ditentukan lain dalam perjanjian
internasional tersebut

– Persyaratan adalah pernyataan sepihak suatu Negara


untuk tidak menerima ketentuan ttt dalam traktat, dalam
rumusan yang dibuat ketika menandatangani, menerima,
menyetujui atau mengesahkan suatu traktat multilateral

– Pernyataan : pernyataan sepihak suatu Negara tentang


pemahaman atau penafsiran ketentuan dalam suatu
traktat yg dibuat ketika menandatangani, menerima,
mengesahkan atau menyetujui suatu traktat multilateral
guna memperjelas makna ketentuan tsb.
Kewajiban Pasal 18 KW 1969 :
Kewajiban sebelum mengikat/berlakunya traktat
Suatu Negara terikat untuk menghindarkan
diri dari tindakan-tindakan yang dapat
merusak/menggagalkan maksud dan tujuan
traktat tersebut ketika :
– negara tsb telah menandatangani traktat tsb
atau telah mempertukarkan instrumen ratifikasi,
penerimaan atau persetujuan, hingga Negara
tersebut dengan tegas menyatakan utk tidak
menjadi pihak traktat tsb
– Negara tsb telah setuju untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional, yang sedang ditunggu
berlakunya (traktat belum berlaku) dan terhadap
traktat yang berlakunya ditangguhkan.
BERDASAR PASAL 24 KW 1969
1.A treaty enters into force in such manner and upon
such date as it may provide or as the negotiating States
may agree.
2.Failing any such provision or agreement, a treaty
enters into force as soon as consent to be bound by the
treaty has been established for all the negotiating
States.
3.When the consent of a State to be bound by a treaty is
established on a date after the treaty has come into
force, the treaty enters into force for that State on that
date, unless the treaty otherwise provides.
4.…
Berlakunya perjanjian internasional

 Diatur dalam ketentuan traktat itu sendiri.


 Pada umumnya traktat yg tidak membutuhkan
ratifikasi berlaku sejak ditandatanganinya traktat.
Beberapa Contoh
UNCLOS 1982 : Article 308 Entry into force
1.This Convention shall enter into force 12 months after
the date of deposit of the sixtieth instrument of
ratification or accession.
2.For each State ratifying or acceding to this
Convention after the deposit of the sixtieth instrument
of ratification or accession, the Convention shall enter
into force on the thirtieth day following the deposit of its
instrument of ratification or accession, subject to
paragraph 1.
Beberapa Contoh
Rome Statute of the ICC : Article 126 Entry into force
1.This Statute shall enter into force on the first day of
the month after the 60th day following the date of the
deposit of the 60th instrument of ratification,
acceptance, approval or accession with the Secretary-
General of the United Nations.
2.For each State ratifying, accepting, approving or
acceding to this Statute after the deposit of the 60th
instrument of ratification, acceptance, approval or
accession, the Statute shall enter into force on the first
day of the month after the 60th day following the
deposit by such State of its instrument of ratification,
acceptance, approval or accession.
Beberapa Contoh
Traktat Larangan Senjata Nuklir, 2017
Article 15 Entry into force
1.This Treaty shall enter into force 90 days after the
fiftieth instrument of ratification, acceptance, approval
or accession has been deposited.
2.For any State that deposits its instrument of
ratification, acceptance, approval or accession after the
date of the deposit of the fiftieth instrument of
ratification, acceptance, approval or accession, this
Treaty shall enter into force 90 days after the date on
which that State has deposited its instrument of
ratification, acceptance, approval or accession.
Perkembangan Praktik di ASEAN
ARTICLE 16 Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation Between ASEAN and RRC Phnom
Penh, Vietnam, 4 November 2002
1.This Agreement shall enter into force on 1 July 2004.
2.The Parties undertake to complete their internal procedures
for the entry into force of this Agreement prior to 1 July 2004.
3.Where a Party is unable to complete its internal procedures
for the entry into force of this Agreement by 1 July 2004, the
Agreement shall come into force for that Party upon the date of
notification of the completion of its internal procedures. The
Party concerned, however, shall be bound by the same terms
and conditions, including any further commitments that may
have been undertaken by the other Parties under this
Agreement by the time of such notification.
PASAL 15 UU NO. 24/2000 : PEMBERLAKUAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL
1) Selain perjanjian internasional yang perlu disahkan
dengan undang-undang atau keputusan presiden,
Pemerintah Republik Indonesia dapat membuat
perjanjian internasional yang berlaku setelah
penandatanganan atau pertukaran dokumen
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain
sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian
tersebut;
2) Suatu perjanjian internasional mulai berlaku dan
mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan
sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian tersebut.
PENDAFTARAN
DAN
PUBLIKASI TRAKTAT
ARTICLE 102 OF THE UN CHARTER

1. Every treaty and every international agreement


entered into by any Member of the United
Nations after the present Charter comes into
force shall as soon as possible be registered
with the Secretariat and published by it.
2. No party to any such treaty or international
agreement which has not been registered in
accordance with the provisions of paragraph 1 of
this Article may invoke that treaty or agreement
before any organ of the United Nations.
Article 1 GA Res. 1946 (A/RES/97)
diamandemen tahun 2018
1) Every treaty or international agreement, whatever its form and
descriptive name, entered into by one or more Members of
the United Nations after 24 October 1945, the date of the
coming into force of the Charter, shall as soon as possible be
registered with the Secretariat in accordance with these
regulations.
2) Registration shall not take place until the treaty or
international agreement has come into force between two or
more of the parties thereto.
3) …
4) 4. The Secretariat shall record the treaties and international
agreements so registered in a Register established for that
purpose.
PUBLICATION
Article 12 GA Res. 1946 (A/RES/97)
1) The Secretariat shall publish as soon as possible in a single
series every treaty or international agreement which is
registered, or filed and recorded, in the original language or
languages, followed by a translation in English and in French.
The certified statements referred to in article 2 of these
regulations shall be published in the same manner.
2) The Secretariat shall, when publishing a treaty or agreement
under paragraph 1 of this article, include the following
information: the serial number in order of registration or
recording; the date of registration or recording; the name of the
party or specialized agency which registered it or transmitted it
for filing; and in respect of each party the date on which it has
come into force and the method whereby it has come into force.
Pendaftaran dan Pengumuman traktat
 Traktat/Perjanjian Internasional yg dibuat
anggota-anggota PBB wajib didaftrakan di
Sekretariat PBB - (Pasal 102 Piagam PBB)
 Traktat tersebut akan diumumkan PBB melalui
the United Nations Treaties Series.
 Jika tak didaftarkan, tak dapat digunakan sebagai
dasar hukum di depan Peradilan Internasional
yg dibentuk PBB.
PENYIMPANAN NASKAH TRAKTAT
• Traktat bilateral : disimpan oleh masing-masing
Negara pihak
• Traktat multilateral : di Departemen Luar Negeri
dari Negara tempat diselenggarakan konferensi
diplomatik utk penyusunan traktat tersebut
• Depository : Tempat untuk menyimpan Dokumen
resmi treaty, instrumen ratifikasi, riservasi, aksesi,
approval, acceptance, riservasi, deklarasi,
modifikasi, yang dapat dijadikan bukti resmi. Bisa
di satu negara, beberapa negara atau di
sekretariat organisasi internasional
PENYIMPANAN NASKAH TRAKTAT YANG
DIIKUTI INDONESIA

Pasal 17 UU 24/2000
1)Menteri bertanggung jawab menyimpan dan
memelihara naskah asli perjanjian internasional yang
dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia serta
menyusun daftar naskah resmi dan menerbitkannya
dalam himpunan perjanjian internasional.
2)Salinan naskah resmi setiap perjanjian internasional
disampaikan kepada lembaga negara dan lembaga
pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen
pemrakarsa.
PENYIMPANAN NASKAH TRAKTAT YANG
DIIKUTI INDONESIA
Pasal 17 UU 24/2000
3)Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan naskah
resmi suatu perjanjian internasional yang telah dibuat oleh
Pemerintah Republik Indonesia kepada sekretariat organisasi
internasional yang di dalamnya Pemerintah Republik Indonesia
menjadi anggota.
4)Menteri memberitahukan dan menyampaikan salinan piagam
pengesahan perjanjian internasional kepada instansi-instansi
terkait.
5)Dalam hal Pemerintah Republik Indonesia ditunjuk sebagai
penyimpan piagam pengesahan perjanjian internasional, Menteri
menerima dan menjadi penyimpan piagam pengesahan
perjanjian internasional yang disampaikan negara-negara pihak.
PENGERTIAN
• Umum : revisi, amandemen, modifikasi
– Adalah proses perubahan ketentuan-
ketentuan dari suatu perjanjian internasional
• Politis :
– Perubahan secara damai situasi yang semula
sudah diterima/disetujui

• Treaty yang tidak adil ditinjau lagi


FUNGSI AMANDEMEN
• Penyesuaian ketentuan treaty dengan
keadaan yang sudah berubah
• Meninjau kembali ketentuan-ketentuan
yang sudah kurang relevan, dsb.
PROSEDUR DAN CARA
AMANDEMEN
• Ketentuan tentang amandemen diatur
dalam treaty itu
• Prinsip : melalui persetujuan para pihak
(Pasal 39 KW 1969)

• Permintaan amandemen dapat diajukan


oleh satu atau beberapa pihak dan
dilakukan melalui konferensi diplomatik
MASALAH DALAM AMANDEMEN

• Suatu perjanjian internasional terbuka


untuk direnegosiasikan
• Sering ada Negara pihak yang tidak ikut
serta atau tidak setuju pada hasil
amandemen
• Negara-Negara bisa menyatakan terikat
pada traktat tanpa amandemen
Pasal 30 KW 1969 : Inconsistency Treaties
 Jika ada dua atau lebih perjanjian internasional yg mengatur hal
yang sama, tetapi terdapat ketidak sesuaian satu sama lain,
maka berlaku ketentuan :
 Jika salah satu traktat terkait menentukan bahwa traktat ini
tunduk kepada, atau traktat tersebut tidak dianggap
bertentangan dengan traktat yang sebelumnya atau yang
sesudahnya, maka ketentuan traktat yang terakhir tersebut
yang berlaku (ayat 2)
 Jika di antara para peserta traktat lama juga menjadi peserta
traktat yang baru, maka ketentuan traktat lama hanya berlaku
sepanjang sesuai dengan ketentuan-ketentuan traktat yang
baru (ayat 3)

 Jika ada dua Negara atau lebih hanya menjadi peserta salah
satu dari kedua traktat, maka dalam hubungan antar mereka
yang berlaku traktat di mana kedua Negara sama-sama
menjadi pihak/peserta (ayat 4)
Inconsistency Treaties

Pandangan para ahli :


 Traktat yang kemudian dapat dipandang
sebagai modifikasi traktat terdahulu, maka
berlaku prinsip : Lex posteriori derogat lex priori.

 Kecuali : Piagam PBB (Ps. 103) menetapkan


larangan dibuatnya traktat lain yang
isinya bertentangan dengan Piagam
PBB
INVALIDITAS TRAKTAT
Konvensi Wina 1969 mengatur pembatalan perjanjian
internasional dalam pasal 46 – 53.

Prof. Dr. Budiono K, SH membagi alasan-alasan untuk


membatalkan traktat dalam pasal-pasal tersebut jadi 3 :
1. Yang berkaitan dengan wewenang untuk membuat
perjanjian internasional menurut Hukum Nasional (wakil
Negara)
2. Yang berkaitan dengan kondisi pembentukan perjanjian
internasional
3. Yang berkaitan dengan kaidah dasar Hukum
Internasional
INVALIDITAS TRAKTAT
JG Starke mengidentifikasi bahwa berdasar ketentuan
Konvensi Wina 1969 tersebut ada enam alasan untuk
menyatakan ketidaksahan suatu Perjanjian Internasional.

Traktat dapat dibatalkan jika terdapat unsur-unsur sbb :


1. Ketidak wenangan (incapacity) membuat traktat (wakil
Negara)
2. Kekeliruan / kekhilafan (error)
3. Tipu muslihat / penipuan (fraud)
4. Kecurangan (corruption)
5. Paksaan (coercion)
6. Bertentangan dengan norma jus cogens
Ketidak Wenangan Wakil Negara
Berdasar Pasal 46 KW 1969 :
Syarat adanya ketidak wenangan
(delegasi bertindak melebihi wewenang ) :
1. Nyata, secara obyektif terbukti (berdasar
kelaziman dan itikad baik)
2. Menyangkut suatu kaidah hukum nasional
Negara tersebut yg mendasar (penting sekali)
Kekeliruan (Error)

Kekeliruan dapat digunakan untuk


membatalkan traktat jika :
- Kekeliruan tersebut merupakan suatu fakta atau
keadaan yang diperkirakan oleh Negara yg
minta pembatalan telah ada waktu pembentukan
traktat.
- Merupakan syarat / dasar penting bagi
pembentukan traktat tersebut.
Penipuan (Fraud)

• Bisa dijadikan dasar untuk membatalkan traktat


jika Negara peserta telah terbujuk oleh tipu
muslihat Negara perunding lain

• Tidak ada definisinya dalam Konvensi Wina


1969

• Kurangnya pendapat para ahli dan praktek


tentang hal ini
Kecurangan (Corruption)

• Bisa digunakan untuk membatalkan traktat jika


persetujuan atas suatu perjanjian ineternasional
oleh suatu Negara terjadi karena kecurangan
atas wakilnya, yang dilakukan oleh wakil Negara
perunding lain baik secara langsung maupun
tidak langsung
Pemaksaan (coercion)

Alasan ini bisa digunakan untuk membatalkan


traktat jika :
1. Persetujuan suatu Negara terhadap suatu
traktat terjadi karena adanya tindakan
pemaksaan terhadap wakil-wakilnya melalui
tindakan atau ancaman yang dilakukan
Negara pihak lainnya
2. Penutupan traktat dilakukan di bawah
ancaman atau penggunaan kekerasan yang
melanggar prinsip-prinsip Hukum Internasional
Bertentangan Dengan Norma Jus Cogens

• Suatu traktat batal jika saat


pembentukannya bertentangan dengan
norma “jus cogens”
Prosedur Pembatalan
• Negara yang minta pembatalan karena
alasan-alasan tersebut di muka
memberitahukan kepada Negara-Negara
peserta lainnya (Pasal 65 KW 1969)

• Penyelesaian : Penyelesaian melalui


peradilan, arbitrasi, konsiliasi (Pasal 66)
Validitas
• Meskipun ada alasan-alasan yang
menimbulkan hak untuk membatalkan
traktat, tetapi hal tersebut hapus jika :
– Negara tersebut secara tegas menyetujui
traktat tersebut
– Secara diam-diam menyetujui sahnya traktat
tersebut
Ketentuan Penafsiran
Diatur dalam traktat tersebut.
Contoh Piagam ASEAN
ARTICLE 51. INTERPRETATION OF THE CHARTER
1.Upon the request of any Member State, the interpretation of the
Charter shall be undertaken by the ASEAN Secretariat in
accordance with the rules of procedure determined by the ASEAN
Coordinating Council.
2.Any dispute arising from the interpretation of the Charter shall be
settled in accordance with the relevant provisions in Chapter VIII.
3.Headings and titles used throughout the Charter shall only be for
the purpose of reference.
TREATY ON THE PROHIBITION OF NUCLEAR
WEAPONS, 2017
Article 11 Settlement of disputes
1. When a dispute arises between two or more States Parties relating
to the interpretation or application of this Treaty, the parties concerned
shall consult together with a view to the settlement of the dispute by
negotiation or by other peaceful means of the parties’ choice in
accordance with Article 33 of the Charter of the United Nations.
2. The meeting of States Parties may contribute to the settlement of
the dispute, including by offering its good offices, calling upon the
States Parties concerned to start the settlement procedure of their
choice and recommending a time limit for any agreed procedure, in
accordance with the relevant provisions of this Treaty and the Charter
of the UN.
LEMBAGA PENAFSIR

Penafsiran traktat bisa dilakukan oleh :


- Mahkamah Internasional
- Peradilan lain yg ditunjuk
- Organ-organ Lembaga Internasional utk traktat
tertentu (mis : International Labour Office dan
organ PBB)
- Panitia Yuris ad hoc
- Pejabat-pejabat suatu OI (mis Direktur Eksekutif
dan Dewan Gubernur IMF)
INSTRUMEN PENAFSIRAN

Alat / sarana penafsiran


- Protokol,
- Proces-Verbal,
- Final act
Yg seringkali dilampirkan pada traktat
induk/pokok, di mana instrumen-instrumen
tersebut memuat penafsiran atau
penjelasan tentang ketentuan-ketentuan
yang kurang jelas dari traktat induk
tersebut.
Prinsip Prinsip Umum Dalam Melakukan
Penafsiran Traktat

Penafsiran traktat dilakukan berdasar :


- Penafsiran gramatikal & maksud/kehendak
para pihak
- Menurut tujuan dan konteks traktat
- Menurut pengertian yg masuk akal
reasonableness & konsistensi
- Berdasar efektivitas
- Menggunakan bahan ekstrinsik
- Menurut bahasa resmi
Penafsiran Gramatikal dan Maksud Para Pihak

• Berdasar makna lugas (arti sebenarnya)


• Penafsiran gramatikal tidak boleh dilakukan jika
menimbulkan ketidak jelasan (pertentangan
dengan bagian lain dalam traktat) atau tidak sesuai
dengan maksud/kehendak para pihak
• Penafsiran ketentuan traktat harus sesuai dengan
kehendak (tujuan dan rencana) para peserta/pihak
• Penafsiran juga tidak boleh dilakukan sedemikian
rupa sehingga mengurangi hak-hak yg dilindungi
traktat
• Istilah tertentu yang diberi pengertian khusus oleh
para pihak juga diikuti.
Tujuan dan Konteks Traktat

• Jika kata-kata/kalimat-kalimat dari suatu traktat


kurang jelas, maka harus ditafsirkan sesuai
tujuan umum traktat tersebut, dan maksud
traktat tersebut.
• Untuk mengetahui maksud dan tujuan, maka
penafsiran bisa dilakunan dengan melihat pada
Mukadimah, lampiran-lampiran traktat dan dan
isntrumen-instrumen lain yang berkaitan dengan
traktat tersebut.
Masuk Akal dan Konsisten

• Traktat harus ditafsirkan berdasar pengertian


yang wajar
• Traktat harus ditafsirkan dengan mengingat
Hukum Internasional yang berlaku
• Ketentuan traktat harus ditafsirkan demikian
rupa hingga sesedikit mungkin membatasi
kedaulatan Negara pihak dan sesedikit mungkin
membebankan kewajiban-kewajiban yang berat
• Jika ada konflik antara ketentuan umum dan
ketentuan khusus berlaku prinsip “lex specialis
derogat lex generalis”
EFEKTIVITAS
• PICJ : Traktat mestinya ditafsirkan secara
keseluruhan, sehingga traktat tersebut
sangat efektif dan bermanfaat.
• Penafsiran harus menjadikan traktat
tersebut efektif (bisa dilaksanakan sesuai
kehendak para pihak)
• Penafsiran tidak boleh merupakan revisi
terhadap ketentuan traktat atau
bertentangan dengan semangat traktat.
Penggunaan Bahan Ekstrinsik
(bahan-bahan di luar traktat)
• Bahan sejarah dan kebiasaan-kebiasaan
masa lalu
• Pekerjaan-pekerjaan persiapan dalam
pembuatan traktat tsb
• Protokol-protokol interpretatif, laporan
komite, dsb
• Perjanjian lanjutan yg dibuat para pserta
• Tindakan lanjutan dari para peserta
• Perjanjian lainnya
BAHASA TRAKTAT
• Penafsiran dilakukan berdasar bahasa resmi
yang digunakan
• Untuk traktat yang dibuat dalam banyak bahasa
panafsiran dilakukan dalam bahasa-bahasa
resmi (mis : Piagam PBB Inggris, Perancis
Rusia, Spanyol dan China, UNCLOS 1982
bahasa Arab, Tionghoa, Inggris, Perancis, Rusia
dan Spanyol), semua sama sahnya
• Lihat pula Pasal 33 Konvensi Wina 1969.
CONTOH KASUS
PENAFSIRAN
PERJANJIAN INTERNASIONAL
The UN Charter :
Article 4 :
(1). Membership in the United Nations is open to
all other peace-loving states which accept the
obligations contained in the present Charter and,
in the judgment of the Organization, are able and
willing to carry out these obligations.

(2). The admission of any such state to


membership in the United Nations will be
effected by a decision of the General Assembly
upon the recommendation of the Security
Council.
KASUS PENAFSIRAN TRAKTAT
ICJ Advisory Opinion 28 Mei 1948
• CONDITIONS 0F ADMISSION OF A STATE TO
MEMBERSHIP IN THE UNITED NATIONS (Pasal 4 Piagam)
• Majelis Umum bertanya :
"Is a Member of the United Nations which is called upon, in
virtue of Article 4 of the Charter, to pronounce Itself by its vote,
either in the Security Council or in the General Assembly, on
the admission of a State to membership in the United Nations,
juridically entitled to make its consent to the admission
dependent on conditions not expressly provided By paragraph
1 of the said Article? In particular, can such a Member, while it
recognizes the conditions set forth in that provision to be
fulfilled by the State concerned, subject its affirmative vote to
the additional condition that other States be admitted to
membership in the United Nations together with that State?”
KASUS PENAFSIRAN TRAKTAT
ICJ Advisory Opinion 28 Mei 1948
MI menjawab pertanyaan Majelis Umum dengan menyatakan
tidak bisa (9 lawan 6 hakim) melalui tahap-tahap sbb :
• Pemberian advisory opinion (fatwa hukum) diawali dengan
memeriksa prosedur pengajuan A0 . MI menyimpulkan prosedur
telah memenuhi syarat hukum.
• Kemudian setelah itu atas permintaan fatwa hukum tersebut, MI
menyampaikan secara tertulis kepada semua anggota PBB
penandatangan Piagam. Dari para anggota PBB tersebut MI
mendapat tanggapan baik tertulis maupun lisan.
• Mahkamah (MI) kemudian membuat observasi awal tentang
pertanyaan dari Majelis Umum PBB tersebut. MI berpendapat
bahwa para anggota PBB terikat pada ketentuan Pasal 4 Piagam,
namun soal motif penilaian kriteria Pasal 4 ayat 1 memang itu
subyektif dan tidak ada pengawasan.
• Untuk pertanyaan dng maksud politis MI tak wenang.
KASUS PENAFSIRAN TRAKTAT
ICJ Advisory Opinion 28 Mei 1948
• MI tidak memberi fatwa hukum soal definisi tentang syarat-
syarat keanggotaan baru PBB, ini soal interpretrasi traktat.
• Namun demikian MI berwenang untuk memberi fatwa hukum
tentang Pasal 4 Piagam PBB tersebut.
• MI kemudian menganalisis Pasal 4 ayat (1) Piagam PBB. Ada
lima syarat yang ditentukan untuk dipenuhi calon anggota PBB
: 1. negara, 2. cinta damai, 3. mau menerima kewajiban-
kewajiban Piagam, 4. mampu melaksanakan kewajiban-
kewajiban tersebut dan 5. harus berkehendak untuk
melaksanakannya. MI menggunakan penafsiran gramatikal
dan menurut kata-katanya syarat-syarat tersebut sudah jelas
• Semua persyaratan tersebut menjadi obyek penilaian PBB,
MU, DK dan semua anggota PBB.
• Persyaratan Pasal 4 ayat 1 Piagam sudah final (exhaustive).
KASUS PENAFSIRAN TRAKTAT
ICJ Advosory Opinion 1950
• Competence of the General Assembly for the
Admission of a State to the United Nations

• Pertanyaan Majelis Umum PBB :


Can the admission of a State to membership in the United
Nations, pursuant to Article 4, paragraph 2, of the Charter, be
effected by a decision of the General Assembly when the
Security Council has made no recommendation for admission
by reason of the candidate failing to obtain the requisite
majority or of the negative vote of a permanent Member upon a
resolution so to recommend ?
KASUS PENAFSIRAN TRAKTAT
ICJ Advosory Opinion 1950
• Mahkamah Internasional (12 lawan 2) memutuskan :
Penerimaan negara sebagai nggota PBB, berdasar ayat 2
Pasal 4 Piagam PBB, tidak dapat dilakukan melalui putusan
Mejelis Umum PBB ketika Dewan Keamanan tidak membuat
rekomendasi bagi penerimaan keanggotaan tersebut, dengan
alasan calon anggota tersebut gagal memperoleh dukungan
mayoritas anggota Dewan Keamanan dan Persetujuan lima
anggota tetap DK yang dituangkan dalam resolusi mengenai
rekomendasi penerimaan anggota.

Jadi Majelis Umum PBB tidak dapat melakukan pemungutan


suara sendiri untuk penerimaan anggota baru PBB tanpa
adanya rekomendasi yg favorable dari DK PBB.
KASUS PENAFSIRAN TRAKTAT
ICJ Advosory Opinion 1950
• Dalam advisory opinion-nya, Mahkamah Internasional menyatakan
bahwa “has no doubt as to the meaning” of Article 4, paragraph 2,
which established a Security Council recommendation as “the
condition precedent” to the General Assembly decision that effects
admission. 
• Mahkamah menolak argumen bahwa Majelis Umum PBB punya
kekuasaan utk menerima anggota baru PBB tanpa rekomendasi lebih
dulu dari Dewan Keamanan PBB, karena hal itu akan menghapus
peran Dewan Keamanan PBB melaksanakan salah satu fungsi
esensialnya sebagai organ utama PBB. Mahkamah juga menolak
argumen bahwa ketiadaan rekomendasi Dewan Keamanan PBB
dapat dianggap sama dengan unfavorable recommendation, yang
bisa mengijinkan dilakukan pemungutan suara oleh Majelis Umum.
Note :
Putusan MI dalam pemberian
advosory opinion tidak bersifat
mengikat, namun biasanya
dipatuhi.
PENGATURAN
• Tidak ada pengaturan khusus dalam KW
1969 dan 1986 maupun UU No. 24/2000
• Pasal 26 KW 1969 : Every treaty in force is
binding upon the parties to it and must be
performed by them in good faith.
• Berlaku prinsip HI umum : Setiap pelanggaran
terhadap kewajiban berdasar Hukum
Internasional membawa serta kewajiban
untuk bertanggung jawab berdasar Hukum
Internasional
Pelanggaran perjanjian internasional
 Mahkamah Internasional Permanen dalam
Chorzow Factory (Indemnity) Case (1928) :
“Setiap pelanggaran perjanjian internasional
menimbulkan kewajiban untuk mengganti rugi.”

 Pelanggaran perjanjian internasional dapat


menimbulkan pertanggung jawaban Negara (State
Responsibility) karena international wrong
 Pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi,
negara yang melanggar wajib mengganti rugi

 Wujud ganti rugi (redress) untuk kesalahan


internasional :
a. Satisfaction : untuk kerugian immateriil
b. Pecuniary repairation : untuk kerugian materiil
SENGKETA AKIBAT PELANGGARAN
TRAKTAT
• Pelanggaran traktat dapat menimbulkan
sengketa hukum (legal dispute) antar subyek
hukum internasional (khususnya antar
negara)
• Sengketa hukum akibat pelanggaran traktat
dapat diselesaikan secara :
– Politik / diplomatik
– Yudisial (adjudicatory) – Peradilan Internasional
Permasalahan Pelanggaran Pasal 18
KW 1969

• Kewajiban Pasal 18 KW 1969 merupakan


kewajiban hukum atau moral (international
soft law) ?
Pelanggaran Kewajiban Pasal 18 KW 1969 :

Suatu Negara terikat untuk menghindarkan


diri dari tindakan-tindakan yang dapat
merusak/menggagalkan maksud dan tujuan
traktat tersebut ketika :
– negara tsb telah menandatangani traktat tsb
atau telah mempertukarkan instrumen ratifikasi,
penerimaan atau persetujuan, hingga Negara
tersebut dengan tegas menyatakan utk tidak
menjadi pihak traktat tsb
– Negara tsb telah setuju untuk terikat pada suatu
perjanjian internasional, yang sedang ditunggu
berlakunya (traktat belum berlaku) dan terhadap
traktat yang berlakunya ditangguhkan.
Maksud (object) dan Tujuan (pupose)
Traktat

• Terdapat dalam Bagian Pembukaan


(Preambule) dari traktat tsb
• Djabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal
subtansial traktat tsb
Beberapa Masalah Pasal 18 KW 1969
• Bagaimana sifat mengikat dari kewajiban tersebut
jika suatu traktat belum berlaku bagi Negara yg
telah meratifikasi ?
• Persetujuan terikat oleh suatu Negara thd traktat spt
tsb bisa dipandang sebagai suatu pernyataan
sepihak (unilateral declaration). Dalam beberapa
kasus pernyataan sepihak yang punya implikasi
dalam hubungan internasional bersifat mengikat dan
harus ditaati. (Misalnya Putusan Mahkamah Internasional
dalam The Nuclear Test Case Th 1970-an)
• Sifat dan hakikat persetujuan terikat pada traktat spt
tsb juga dapat disejajarkan dengan perjanjian
internasional tidak tertulis. (Perjanjian tak tertulis juga
mengikat sbg trakat, misalnya dalam Kasus
Sengketa Eastern Greenland antara Denmark
melawan Norwegia tahun 1933).
Pertanggung Jawaban Negara Atas
Pelanggaran Pasal 18 KW 1969

Negara yang melanggar bertanggung jawab


jika pelanggaran tersebut merugikan pihak
lain
Beberapa pandangan menyatakan bahwa
doktrin melawan hukum tepat untuk
diterapkan thd pelanggaran Pasal 18 KW
1969 tsb.
Wujud kongkrit isi dan jiwa doktrin melanggar
hukum tsb dapat dicari dalam hukum
nasional dg menggunakan metode
perbandingan hukum.
Penafsiran teleologis thd Pasal 18 KW 1969
 Pasal 18 KW 1969 tidak dapat hanya ditafsirkan
secara harafiah dan gramatical saja.
 Harus dicari apa yang menjadi tujuan dari Pasal tsb,
maksudnya yakni :
– Agar suatu trakat menjelang akan mulai berlaku dan
mengikat pelaksanaannya tidak terhalang/terganggu oleh
tindakan salah dari pihak yang ikut
berunding/menandatangani.

• Maka semua pihak yang berunding dan


menandatangani punya kewajiban tsb
• Kewajiban tsb berlangsung dari saat
penandatanganan hingga trakat berlaku dan
mengikat atau suatu Negara dengan tegas
menyatakan menolak untuk terikat.
Berbagai Istilah
• Termination : pengakhiran
• Withdrawal : pengunduran diri
• Dununciation : pembatalan sepihak
Pengertian Pengakhiran

• Nahlik menguraikan perbedaan :


– Pengakhiran dalam arti luas
• Pengakhiran mutlak : berlaku utk semua peserta
• Pengakhiran relatif : berlaku untuk satu peserta

– Pengakhiran dalam arti sempit adalah


pengakhiran suatu perjanjian internasional
dalam hubungan dengan peserta lain.
Menurut Sugeng Istanto :
Berakhirnya Perjanjian internasional
1. Berakhir karena hukum
2. Berakhir karena perbuatan para pihak

Berakhir karena hukum :


a. Unsur perjanjian internasional tsb hapus :
Subyek atau obyek
b. Timbul norma jus cogens baru
c. Berlakunya doktrin rebus sic stantibus.

Berakhir karena perbuatan para pihak :


a. Karena persetujuan para pihak
b. Pengunduran/penarikan diri
c. Sebagian besar negara pihak tak mentaati lagi
Pengakhiran Traktat menurut
Mochtar Kusumaatmadja,

Pengakhiran traktat dapat terjadi karena :


1. Tujuan perjanjian telah tercapai
2. Masa berlaku perjanjian habis
3. Punahnya salah satu peserta atau punahnya
obyek perjanjian
4. Adanya persetujuan untuk mengakhiri
perjanjian
5. Adanya perjanjian pengganti
6. Pengakhiran sepihak
Apakah perang tdapat menyebabkan berakhirnya
Traktak ?
Dilakukan tes subyektif & obyektif
 Traktat tertentu yang dibuat para pihak yg
berperang berakhir berlakunya, misalnya :
traktat-traktat persahabatan, kerjasama, dsb.

 Beberapa traktat tertentu ditunda berlakunya,


yakni traktat yg dimaksudkan menciptakan
kaidah Hukum Internasional umum, mis :
Persetujuan WTO, Konvensi Hukum Laut 1982,

 Beberapa traktat menjadi berlaku, yakni traktat


tentang hubungan permusuhan, mis: Konvensi-
konvensi Jenewa 1949
Pengaturan Dalam Konvensi Wina 1969

• Pelajari :
• Pengakhiran dan Penangguhan
berlakunya Traktat
– Section 3 : Termination and Suspension of
the Operation of Treaties
– Articles 54 – 64.
Pasal 54 KW 1969

• Pengakhiran atau pengunduran diri dapat


terlaksana berdasar ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan dalam traktat tersebut
atau melalui persetujuan oleh semua
peserta traktat.
• Pasal 54 tsb tidak menetapkan sebab-
sebab yang dapat digunakan sebagai
alasan pengakhiran traktat.
Dasar Alasan Pengakhiran, Penangguhan
atau Pengunduran Diri Berdasar KW 1969

• Pasal 59 dan 60 : memungkinkan


pengakhiran atau penangguhan atas
dasar alasan pembentukan perjanjian
pengganti (replacement) dan pelanggaran
(breach).
• Pasal 61 dan 62 mengatur tentang
ketidakmungkinan melaksanakan
perjanjian dan doktrin “rebus sic
stantibus”.
Pengaturan Dalam UU No. 24 Th 2000

• Untuk perjanjian internasional di mana


Indonesia menjadi peserta, pengakhiran
perjanjian internasional bagi Indonesia
diatur dalam :
• Bab VI : (Pasal 18 s/d Pasal 20).
Pasal 18 UU No. 24 Th 2000

Perjanjian internasional berakhir apabila :

1. Terdapat kesepakatan para pihak melalui prosedur yang


ditetapkan dalam perjanjian
2. Tujuan perjanjian tersebut telah tercapai
3. Terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi
pelaksanaan perjanjian
4. Salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan perjanjian
5. Dibuat perjanjian baru yang menggantikan perjanjian lama
6. Muncul norma-norma baru dalam hukum internasional
7. Obyek perjanjian hilang
8. Terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional
Pasal 20 UU No. 24 Th. 2000

Perjanjian internasional tidak berakhir


karena suksesi Negara, tetapi tetap berlaku
selama Negara pengganti menyatakan
terikat pada perjanjian internasional
tersebut.
PENANGGUHAN BERLAKUNYA TRAKTAT

Suatu traktat dapat ditangguhkan


berlakunya bagi seluruh peserta traktat atau
bagi sebagian peserta, berdasar :
1. Sesuai dengan ketentuan traktat tsb
2. Setiap saat dengan persetujuan seluruh peserta
traktat
3. Dibuatnya traktat lain berdasar kehendak para
peserta
Disamping itu dua atau lebih peserta dari suatu traktat
multilateral dapat menangguhkan berlakunya traktat
dalam hubungan antar mereka
OBVSERVANCE AND APPLICATION OF
TREATIES

General principles :
1.pacta sunt servanda
2.Pacta tertiis nec nocent nec prosunt
3.Non Retroactivity ( ex post facto )
4.territorial scope
Observance of Treaties
• Art 26 VCLT, 1969 : "PACTA SUNT SERVANDA“ -
Every treaty in force is binding upon the parties to it
and must be performed by them in good faith.

• Art 27 VCLT 1969 : INTERNAL LAW AND


OBSERVANCE OF TREATIES - A party may not
invoke the provisions of its internal law as
justification for its failure to perform a treaty. This
rule is without prejudice to article 46.
Observance of Treaties
Pacta Tertiis nec Nocent nec Prosunt

• Art 34 VCLT, 1969.


A treaty does not create either obligations or
rights for a third State without its consent.
NON RETROACTIVITY
Ps 28 KW 1969 :
Unless a different intention appears from the
treaty or is otherwise established, its
provisions do not bind a party in relation to
any act or fact which took place or any
situation which ceased to exist before the
date of the entry into force of the treaty with
respect to that party.
Contoh Statuta ICC Pasal 11
Jurisdiction ratione temporis
1. The Court has jurisdiction only with respect to crimes
committed after the entry into force of this Statute.
2. If a State becomes a Party to this Statute after its entry
into force, the Court may exercise its jurisdiction only
with respect to crimes committed after the entry into
force of this Statute for that State, unless that State has
made a declaration under article 12, paragraph 3.
TERRITORIAL SCOPE
Ps 29 KW 1969.
Unless a different intention appears from the
treaty or is otherwise established, a treaty is
binding upon each party in respect of its
entire territory.

Anda mungkin juga menyukai