Anda di halaman 1dari 50

SUMBER HUKUM

INTERNASIONAL
ZUNNURAENI, SH., MH
FAKULTAS HUKUM UNRAM
PASAL 38 (1) STATUTA ICJ(international
court of justice)
1. International convention, whether general or particular,
establishing rules expressly recognized by contesting
states;
2. International custom as evidence of a general practices
accepted as law;
3. The general principles of law recognised by civilized
nations;
4. Subject to the provisions of article 59, judicial decisions
and the teachings of the most highly qualified publicist
of the various nations, as a subsidiary means for the
determination of rules of law.
PERJANJIAN INTERNASIONAL SEBAGAI
SUMBER HUKUM INTERNASIONAL
Mochtar Kusumaatmadja
Perjanjian Internasional adalah perjanjian yang
diadakan oleh anggota masyarakat bangsa-bangsa dan
bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat
hukum tertentu
Oppenheim
perjanjian internasional adalah persetujuan yang
bersifat kontrak di antara negara-negara yang
menciptakan hak dan kewajiban hukum di antara para
pihak.
WAYAN PARTHIANA
UNSUR-UNSUR PERJANJIAN INTERNASIONAL

Kata sepakat
antara dua atau lebih subyek hukum internasional
mengenai suatu obyek tertentu
dirumuskan secara tertulis
tunduk pada atau yang diatur oleh hukum
internasional
ISTILAH PERJANJIAN INTERNASIONAL
Treaty (Traktat)
Konvensi
Deklarasi
Kovenan
Piagam
Statuta
Protokol
Persetujuan (Agreement)
Aturan-Aturan Mengenai Perjanjian Internasional
terdapat di dalam:
Konvensi Wina 1969 Tentang Hukum Perjanjian
Internasional
Konvensi Wina 1986 Tentang Hukum Perjanjian
Internasional antara Negara dengan Organisasi
Internasional dan antar Organisasi Internasional
MACAM-MACAM PERJANJIAN INTERNASIONAL
DITINJAU DARI JUMLAH NEGARA 1) PERJANJIAN INTERNASIONAL
PESERTA BILATERAL
2) PERJANJIAN INTERNASIONAL
MULTILATERAL
DITINJAU DARI KESEMPATAN 1) PERJANJIAN INTERNASIONAL
NEGARA MENJADI PESERTA TERTUTUP
2) PERJANJIAN INTERNASIONAL
TERBUKA
DITINJAU DARI KAIDAH HUKUM 1) KAIDAH HUKUM BERLAKU
INTERNASIONAL YANG KHUSUS BAGI PARA PIHAK
DIKANDUNG 2) KAIDAH HUKUM BERLAKU
TERBATAS PADA SATU KAWASAN
3) KAIDAH HUKUM YANG
BERLAKU UMUM
DITINJAU DARI KESEMPATAN NEGARA MENJADI
PESERTA
PERJANJIAN INTERNASIONAL TERTUTUP
(KHUSUS)
Substansinya merupakan kaidah hukum yang khusus
berlaku bagi para pihak sehingga pihak ketiga tidak
diperkenankan menjadi peserta
contoh : perjanjian perbatasan
PERJANJIAN INTERNASIONAL TERBUKA
subtansinya bersifat umum sehingga semua negara
dapat menjadi peserta termasuk negara yang pada
awalnya tidak ikut dalam pembuatan perjanjian
internasional.
DITINJAU DARI KAIDAH HUKUM
INTERNASIONAL YANG DIKANDUNG
KAIDAH HUKUM BERLAKU KHUSUS BAGI PARA
PIHAK
berlakunya hanya bagi para pihak yang melakukan
perundingan.
dapat berkembang menjadi kaidah hukum yang
berlaku umum apabila diikuti oleh negara-negara lain
contoh: larangan menyerahkan pelaku kejahatan
politik yang kini berlaku umum dalam praktek
ekstradisi, yang semula dirumuskan dalam perjanjian
ekstradisi antara Belgia dan Perancis tahun 1842.
1) KAIDAH HUKUM BERLAKU TERBATAS PADA SATU
KAWASAN
hanya berlaku bagi negara-negara dalam satu
kawasan saja.
contoh :
American Convention on Human Rights (Pact of San
Jose) of November 22, 1969 (Konvensi Amerika
tentang hak-Hak Asasi Manusia)
European Human Rights of Human Rights 1950.
KAIDAH HUKUM YANG BERLAKU UMUM
Substansinya menyangkut kepentingan seluruh
negara di dunia sehingga melahirkan kaidah hukum
yang berlaku umum.
contoh : Konvensi Hukum Laut PBB 1982.
Tinjauan Singkat Konvensi Wina 1969
Tentang Hukum Perjanjian Internasional

Prinsip Hukum Umum Yang Melandasi Hukum


Perjanjian Internasional (konsiderans ketiga)
Free consent (Persetujuan Bebas)
Good Faith (Itikad Baik)
Pacta Sunt Servanda (Perjanjian harus ditaati)
Selain itu berlaku juga Prinsip “pacta Tertis Nec Nocent
Nec Prosunt”, yakni bahwa perjanjian internasional
hanya memberikan hak dan membebani kewajiban
kepada pihak-pihak yang terikat pada perjanjian
tersebut.
Konsiderans ke empat : perselisihan-perselisihan yang
berkenaan dengan perjanjian internasional di
selesaikan secara damai sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan dan hukum internasional.
Konsiderans ke enam : menyebutkan prinsip-prinsip
hukum internasional dalam Piagam PBB, yakni:
prinsip kesamaan hak dan hak penentuan nasib
sendiri
prinsip tidak campur tangan terhadap masalah dalam
negeri negara lain
Prinsip larangan penggunaan ancaman ataupun
penggunaan kekuatan;
Prinsip penghormatan secara universal atas hak-hak
dan kebebasan asasi manusia bagi semua.
Adanya pencantuman prinsip-prinsip tersebut berarti
bahwa perjanjian-perjanjian internasional harus
mencerminkan atau tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Piagam PBB
PROSES PERUMUSAN DAN MULAI BERLAKUNYA
SUATU PERJANJIAN INTERNASIONAL
PASAL 6 UU NO 24/2000 TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL:
PENJAJAKAN, PERUNDINGAN, PERUMUSAN NASKAH, PENERIMAAN,
PENANDATANGAN.

KONVENSI WINA 1969:


(1) PENUNJUKAN WAKIL-WAKIL YANG AKAN MENGADAKAN
PERUNDINGAN
(2) KUASA PENUH
dokumen yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang dari suatu negara
yang berisi penunjukan atas seseorang atau lebih yang mewakili negara
untuk merundingkan, mengadopsi, mengotentikasi suatu naskah
perjanjian internasional, untuk menyatakan persetujuan untuk terikat pada
suatu perjanjian internasional, atau untuk melakukan tindakan lain
berkenaan dengan perjanjian itu
(3) Penerimaan Naskah Perjanjian
Penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian
menunjukkan bahwa para pihak yang melakukan
perjanjian telah mencapai kesepakatan mengenai
naskah perjanjian.
penerimaan/pengadopsian naskah suatu perjanjian
yang dirumuskan melalui suatu konperensi
internasional dilakukan dengan persetujuan dua
pertiga dari negara yang hadir
(4) Pengotentikasian Naskah Perjanjian
Menjadi naskah yang final dan definitif. Naskah tidak lagi dapat diubah
kecuali setelah perjanjian berlaku, dapat diubah melalui prosedur
amandemen.

Cara Pengotentikasian Naskah:


penandatanganan (siganture)
signature ad referendum
pemarafan (initialing)

Pada prakteknya: untuk PI yang subtansinya tidak begitu penting : tahap


penerimaan atau pengadopsian naskah perjanjian dan tahap
pengotentikasian seringkali digabung menjadi satu. Bahkan dapat juga
digabung dengan tahap persetujuan untuk terikat pada persetujuan.
(5) Persetujuan Untuk Terikat Pada Perjanjian
Setelah naskah perjanjian diterima sebagai naskah otentik,
perjanjian belum mengikat para pihak dan belum memiliki
kekuatan mengikat sebagai hukum internasional positif.

Pasal 11 Konvensi Wina 1969:


penandatangan
pertukaran instrumen yang membentuk perjanjian
ratifikasi
akseptasi
persetujuan atau akseptasi
UU NO 24/2000
TENTANG PERJANJIAN INTERNASIONAL
PASAL 3 :
Pemerintah RI mengikatkan diri pada perjanjian internasional melalui
cara-cara :
penandatangan (signature)
pengesahan (ratification)
pertukaran dokumen perjanjian/nota diplomatik
cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak

PASAL 9 (2)
Pengesahan (ratifikasi) dilakukan dengan UU atau keputusan presiden
PASAL 10
Pengesahan PI dilakukan dengan UU apabila berkenaan
dengan :
a. masalah politik, perdamaian, pertahanan & keamanan
negara
b. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah RI
c. kedaulatan atau hak berdaulat negara
d. HAM dan Lingkungan
e. pembentukan kaidah hukum baru
f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri

PASAL 11
pengesahan PI yang materinya tidak termasuk materi Pasal
10 dilakukan dengan keputusan presiden.
HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL
(CUSTOMARY INTERNATIONAL LAW)
International custom as evidence of a general
practices accepted as law;
Unsur Hukum perjanjian Internasional
1) Adanya kebiasaan internasional yaitu praktek atau
perilaku yang secara umum dipraktekkan oleh
negara-negara (Unsur Usus, Unsur Material, Unsur
Obyektif)
2) Kebiasaan tersebut diterima atau di taati sebagai
perilaku yang memiliki nilai sebagai hukum (Unsur
Opinio Juris, Unsur Subyektif)
TEORI HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL
1. TEORI TRADISIONAL
Teori yang diterima secara umum adalah bahwa hukum
kebiasaan internasional harus memenuhi dua unsur yaitu
unsur usus dan unsur opinio juris.
(Ian Brownlie, Malcolm N Shaw, Mochtar K, Etty R Agoes)
2. SINGLE ELEMENT THEORY
(1) Mengutamakan Unsur Usus dengan mengabaikan
Unsur Opinio Juris.
(2) Mengutamakan Unsur Opinio Juris dan mengabaikan
Unsur Usus.
TEORI HUKUM KEBIASAAN TRADISIONAL
Putusan ICJ pada North Sea Continental Shelf
“Not only must the act concerned amount to settled practice, but they
must also be such, or be carried out in such a way, as to be evidence of
a beliefthat this practice is rendered oblygatory by the existence of a
subjective element. …the states concerned must therefore feel that
they are conforming to what ammounts to a legal obligation. The
frequency, or even habitual character of the acts is not it self enough.

(1) Praktek negara/Usus


(a) praktek negara terdiri atas tindakan fisik dan tindakan verbal.
Tindakan verbal : pernyataan diplomatik (termasuk protes),
pernyataan mengenai kebijakan, manual militer, peraturan per-
Undang-Undangan,, putusan pengadilan Nasional
(b) Suatu perbuatan tidak dianggap sebagai praktek apabila tidak
dipublikasikan atau diumumkan.
(c ) Pada situasi tertentu, tindakan pengabaian dapat dianggap
sebagai praktek negara.

PERSISTENT OBJECTOR
Negara yang menyatakan protes terhadap suatu aturan pada saat
aturan tersebut belum menjadi hukum kebiasaan internasional
(sedang dalam proses pembentuka), maka negara tersebut tidak
terikat pada aturan hukum kebiasaan internasional tersebut.
SINGLE ELEMENT THEORY
Bin Cheng : Teori Hukum Kebiasaan Internasional Instant.
Kebiasaan internasional tidak perlu memakan waktu yang
lama, bahkan tidak perlu adanya praktek yang berulang-
ulang.

Andrew Guzman : suatu aturan kebiasaan terbentuk ketika


aturan tersebut mempengaruhi perilaku negara karena sifat
hukumnya

Brian D Leppard : satu-satunya unsur yang harus dibuktikan


dalam hukum kebiasaan internasional adalah opinio juris.
BROWNLIE : SYARAT HUKUM KEBIASAAN
INTERNASIONAL
JANGKA WAKTU
Berapa lama suatu perilaku dipraktekkan sehingga
dianggap menjadi suatu hukum kebiasaan
internasional?
Tidak ada ketentuan yang pasti mengenai hal tersebut
Adakalanya diperlukan waktu yang lama sekali, ada
kalanya hanya dalam waktu yang tidak begitu lama
Dalam kasus Nort Sea Continental Shelf Cases:
Federal Republic of Germany v Denmark;
Federal Republic of Germany v The Netherlands
(1969) :
Tidak ada jumlah waktu yang pasti, diikuti
dalam waktu yang cukup lama bahwa
persyaratan lain dari sebuah kebiasaan
terpenuhi.
KESERAGAMAN , KERUNTUTAN PRAKTEK
Adanya keseragaman
Apabila terdapat inkonsistensi yang besar akan mencegah
terbentuknya hukum kebiasaan internasional
Tidak berarti harus adanya keseragaman yang sempurna,
inkonsistensi minor tidak mencegah terbentuknya hukum
kebiasaan internasional yang menunjukkan adanya
keseragaman yang substansial.
Dalam perkara Fisheries, Mahkamah menolak
menerima keberadaan aturan (kebiasaan) 10 mil untuk
teluk :
“...bahwa walaupun aturan sepuluh mil telah diterima
oleh negara-negara tertentu baik dalam hukum
nasional mereka maupun dalam traktat atau konvensi
mereka, dan walaupun putusan arbitrase tertentu
telah memberlakukannya diantara negara-negara,
negara-negara lain menerima pembatasan yang
berbeda. Akibatnya, aturan 10 mil tidak berlaku.”
Perkara Fisheries Case (Inggris v Norwegia,
tahun 1933)
Inggris mempertanyakan legalitas cara penarikan
garis pangkal oleh Norwegia dalam menentukan
wilayah eksklusif perikanannya.
Argumen Inggris
Norwegia hanya dapat menarik garis lurus di teluk
Panjang garis lurus tidak boleh lebih dari 10 mil

Argumen Norwegia
Penarikan garis pangkal harus dilakukan dalam suatu
cara yang sesuai dengan arah umum pantai

Putusan Mahkamah :
Metode yang digunakan Norwegia dalam menentukan
zona perikananannya tidak bertentangan dengan
hukum internasional
KEUMUMAN PRAKTEK
Diterima secara umum oleh negara-negara
dapat dilihat dari tidak adanya keberatan dari negara-
negara.
keberatan dapat dilakukan dengan jalan diplomatik
(protes) atau dengan jalan hukum yaitu dengan
mengajukan keberatan-keberatan kepada Mahkamah
Internasional.
OPINIO JURIS AT NECESSITATIS.
Bahwa kebiasaan tersebut diterima dan ditaati sebagai
suatu yang bernilai hukum.
HUBUNGAN HUKUM KEBIASAAN INTERNASIONAL
DENGAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
Hukum kebiasaan Internasional yang dituangkan
dalam perjanjian internasional
dirumuskannya hukum kebiasaan internasional dalam
bentuk tertulis yakni dalam suatu konvensi
internasional tidak mengubah sifat mengikat hukum
kebiasaan internasional. hal tersebut berarti bahwa
ketentuan konvensi internasional yang merupakan
perumusan kembali hukum kebiasaan internasional
akan mengikat semua negara, termasuk negara yang
bukan peserta konvensi
Perjanjian-perjanjian internasional yang dapat
berkembang menjadi hukum kebiasaan internasional.
Suatu perjanjian internasional yang awalnya mengikat
beberapa negara, namun kemudian substansi perjanjian
tersebut diikuti oleh negara-negara lain dapat
berkembang menjadi suatu kebiasaan internasional
contoh: larangan menyerahkan pelaku kejahatan politik
yang kini berlaku umum dalam praktek ekstradisi, yang
semula dirumuskan dalam perjanjian ekstradisi antara
Belgia dan Perancis tahun 1842.
PRINSIP HUKUM UMUM
HERSCH LAUTERPACTH : INTORODUCED BY THE
COMMISSION OF JURIST : TO AVOID THE PROBLEM
OF NON-LIQUET
OPPENHEIM : THE INTENTION IS TO AUTHORISE
THE COURT TO APLLY THE GENERAL PRINCIPLES OF
MUNICIPAL JURISPRUDENCE, IN PARTICULAR OF
PRIVATE LAW, IN SO FAR AS THEY APPLICABLE TO
RELATIONS STATE.
REJECTION OF THE POSITIVIST DOCTRINE : SOLELY
CONSIST OF RULES TO WHICH STATES HAVE GIVEN
THEIR CONSENT
ASAS HUKUM UMUM/PRINSIP HUKUM UMUM

Merupakan peninggalan ajaran hukum alam, yakni


bahwa adanya nilai etik dan moral universal. Nilai-
nilai ini bersifat mendasar dan fundamental.
Nilai-nilai ini bersifat abstrak dan umum, sehingga
dapat menjadi sumber pembentukan aturan-aturan
hukum yang konkret.
D.J.HARRIS : CRITICS : THE PHRASE “ CIVILISED
NATIONS” NOW HAS AN ANTIQUATED LOOK.
THE INTENTION IS TO LEAVE OUT OF ACCOUNT
UNDEVELOPED LEGAL SYSTEMS …FOR EXAMPLE
THE TRIBAL LAW OF A BACKWRAD PEOPLE.
THE GENERAL PRINCIPLES OF LAW RECOGNISED
IN THE LEGAL SYSTEM OF INDEPENDENT STATES.
SOME EXAMPLES
RES JUDICATA: PUTUSAN HAKIM DIANGGAP BENAR DAN
MENGIKAT : ( UN ADMINISTRATIVE TRIBUNAL CASE 1973)
ESTOPPEL : DOKTRIN YANG BERASAL DARI NEGARA
COMMON LAW YANG MEMBERIKAN PERLINDUNGAN
HUKUM KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN APABILA PIHAK
LAIN MENGHINDAR DARI APA YANG TELAH DIJANJIKAN
KEPADA PIHAK YANG DIRUGIKAN
ESTOPPEL IN INTERNATIONAL LAW : A RULE OF INT LAW
THAT BARS A PARTY FOR GOING BACK ON ITS PREVIOUS
REPRESENTATIONS WHEN THOSE REPRESENTATION
HAVE INDUCE RELIANCE OR SOME DETRIMENT ON THE
PART OF OTHER PARTY.
ESTOPPEL : OXPFORD ENGLISH DICTIONARY :
“The principle which precludes a person from asserting
something contrary to what is implied by a previous
action or statement of that person or by a previous
pertinent judicial determination”.
TEMPLE OF PREAH VIHEAR CASE (1962) :
CAMBODIA VS THAILAND
CIRSUMSTANCIAL EVIDENCE : EVIDENCE NOT
DRAWN FROM DIRECT OBSERVATION OF A FACT
IN ISSUE.
EVIDENCE IN A TRIAL WHICH IS NOT DIRECTLY
FROM AN EYEWITNESS OR PARTICIPANT AND
NEED SOME REASONING TO PROVE THE FACT.
CORFU CHANEL CASE (UK VS ALBANIA 1949)
“This indirect evidence is admitted an all system of law,
and its use is recognised by international decision”
THE APPLICATION BY INTERNATIONAL TRIBUNALS OF
GENERAL PRINCIPLES
JUDGES FINDING LEGAL PRINCIPLES APPROPIATE
TO THE CASE IN ISSUE AND TO APLLY THEM IN A
MANNER CONSISTENT WITH INT LAW.
Yang menjadi sumber hukum adalah prinsip hukum
umum untuk menunjukkan bahwa hukum
internasional merupakan bagian dari sistem hukum
yang lebih besar, yaitu hukum pada umumnya.
Contoh Prinsip Hukum Umum
Hukum Laut Internasional :
kebebasan laut lepas (freedom of high seas)
dasar samudera sebagai warisan bersama umat
manusia
KEPUTUSAN BADAN-BADAN PERADILAN
(YURISPRUDENSI)
No binding authority of precedent in int law, and int
court and tibunal case do not make law. Therefore
judicial decisions are not formal source of law
Keputusan badan-badan peradilan atau yurisprudensi
mencakup seluruh keputusan badan peradilan, jadi
tidak hanya terbatas pada keputusan-keputusan badan
peradilan internasional saja, namun dapat meliputi
putusan pengadilan nasional.
TEACHING OF THE MOST HIGLY QUALIFIED PUBLICIST
ERLIER ROLE : the contribution of writers was as
much more important in the formative period of
international law.
In the 19 century, most writers were positivist,
reflecting the general change of attitude of natural law
thingking, …the role of writers had declined to its
present state.
THE CURRENT ROLE : At present, the influence of
doctrine on the formation of int law is certainly rather
behind the scenes and anonymous.
Contoh putusan peradilan nasional yang telah
menggantikan norma hukum internasional yang lama
dengan norma hukum internasional yang baru:

Keputusan pengadilan Bremen dalam kasus


nasionalisasi perusahaan milik Belanda oleh
pemerintah Indonesia. Dalam kasus ini pengadilan
Bremen mengesampingkan norma hukum
internasional lama tentang pembayaran ganti rugi
dalam hal nasionalisasi milik asing yang berdasarkan
prinsip prompt, effective and adequate dengan prinsip
baru yakni pembayaran ganti kerugian yang
berdasarkan pada kemampuan negara yang
menasionalisasi
PENDAPAT PARA SARJANA ATAU DOKTRIN
Pendapat para sarjana mengenai suatu masalah
tertentu, seringkali dikutip untuk memperkuat
argumentasi tentang adanya kebenaran dari suatu
norma hukum.
Pendapat para sarjana yang terkemuka di bidangnya
dapat berkembang menjadi norma hukum positif.
Karya seorang penulis diikuti oleh penulis atau sarjana
lain maupun oleh hakim-hakim dalam memutuskan
suatu perkara. Lama kelamaan pandangan tersebut
berkembang menjadi suatu kesamaan pandangan
Kesamaan pandangan atau sikap atas suatu
permasalahan dapat dipandang sebagai telah
terbentuknya suatu norma hukum.
1. Sebutkan subyek hukum internasional
1) NEGARA
2) ORGANISASI INTERNASIONAL
3) PALANG MERAH INTERNASIONAL
4) ORGANISASI PEMBEBASAN ATAU BANGSA-BANGSA YANG SEDANG MEMPERJUANGKAN HAKNYA
5) WILAYAH-WILAYAH PERWALIAN
6) KAUM BELLIGERENSI
7) INDIVIDU
2. Jelaskan syarat-syarat suatu entitas dapat menjadi negara menurut konvensi Montevideo
(A) PENDUDUK YANG PERMANEN
(B) WILAYAH TERTENTU
(C) SUATU PEMERINTAHAN
(D) KEMAMPUAN UNTUK BERHUBUNGAN DENGAN NEGARA-NEGARA LAIN
3. Jelaskan arti pengakuan negara-negara anggota PBB terhadap status Palestina sebagai suatu negara yang berdaulat
4. Jelaskan teori pengakuan
TEORI KONSTITUTIF
SUATU NEGARA BARU DIANGGAP ADA JIKA SUDAH ADA PENGAKUAN DARI NEGARA LAIN.
MENURUT TEORI INI PENGAKUAN BERSIFAT MUTLAK
TANPA ADA PENGAKUAN, NEGARA BARU TIDAK DAPAT MENJADI SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL
TEORI DEKLARATOIR
PENGAKUAN TIDAK MENYEBABKAN TIMBULNYA NEGARA TETAPI HANYA MENEGASKAN APA YANG SUDAH ADA.
SUATU NEGARA BARU MEMPEROLEH KECAKAPANNYA DALAM HI BUKAN BERDASARKAN PERSETUJUAN NEGARA LAIN TETAPI
BERDASARKAN SUATU KEADAAN FAKTUAL TERTENTU
5. Jelaskan personalitas hukum suatu organisasi internasional
6. Jelaskan kedudukan individu sebagai subyek hukum internasional
7. Sebutkan sumber hukum internasional (slide 43)
8. Sebutkan unsur-unsur perjanjian internasional
 Kata sepakat
 antara dua atau lebih subyek hukum internasional
 mengenai suatu obyek tertentu
 dirumuskan secara tertulis
 tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional

9. Jelaskan pembagian perjanjian internasional menurut kaidah hukum yang


dilahirkannya (jawaban di slide 9-11)
10. Jelaskan macam perjanjian internasional berdasarkan kesempatan negara untuk
menjadi peserta (jawaban di slide 8)
11. Sebutkan unsur hukum kebiasaan internasional (slide 21)
12 sebutkan contoh prinsip hukum umum (slide 39)
13 jelaskan Contoh putusan peradilan nasional yang telah menggantikan norma
hukum internasional yang lama dengan norma hukum internasional yang baru
(slide 46)

Anda mungkin juga menyukai