Anda di halaman 1dari 10

(BASIC KNOWLEDGE OF IMO CONVENTION)

IMO MODUL 704.

IMO CONVENTIONS CONCERNING SAFETY OF LIFE AT SEA AND


PROTECTION OF THE MARINE ENVIRONMENT

(KONVENSI IMO TENTANG KESELAMATAN JIWA DI LAUT DAN


PERLINDUNGAN LINGKUNGAN LAUT)

By.
IRWANSYAH

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. INTRODUCTION TO MARITIME LAW.

1. Customary rules ( Hukum Kebiasaan Internasional ).


Pada masa lalu, perundingan-perundingan antar negara tentang segala masalah
dirumuskan dalam bentuk perjanjian-perjanjian yang harus dihormati dan ditaati oleh
pihak-pihak. Dalam prakteknya kaidah-kaidah hukum perjanjian internasional tersebut
sebagai hukum tidak tertulis dan hanya berupa kaidah-kaidah hukum kebiasaan
internasional. Kelemahan dari hukum kebiasaan internasional adalah substansinya yang
kurang jelas sehingga kurang menjamin adanya kepastian hukum. Masa sekarang, semua
negara saling ketergantungan untuk membuat perjanjian internasional dalam kehidupan
hubungan antar negara/antar tiap negara menggariskan dasar kerjasama, mengatur
berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan kehidupan
masyarakat.

2. Kodifikasi Kaidah-kaidah Hukum Internasional.


Oleh karena perjanjian internasional tersebut memainkan peranan yang sangat
penting untuk mengatur pergaulan antar negara dan kehidupan masyarakat internasional,
maka sejak permulaan abad kedua puluh adanya usaha-usaha dari badan-badan ahli
maupun badan resmi untuk mengkodifikasikan hukum perjanjian internasional sebagai
kaidah hukum kebiasaan internasional melalui konferensi-konferensi internasional yang
menghasilkan perjanjian intenasional secara tertulis, karena dengan pengaturan suatu
masalah dalam bentuk perjanjian internasional secara tertulis lebih menjamin kepastian
hukum dan kejelasan, sehingga memperkecil timbulnya perselisihan atau persengketaan
antara para pihak.

3. The Vienna Convention on the law of Treaties . ( Konvensi Wina 1969 ).


Dengan resolusi PBB Nomor 2166 (XXI) tanggal 5 Desember 1966 menyerukan
kepada negara-negara anggota PBB agar mengadakan konferensi internasional untuk
membahas hukum perjanjian internasional dan merumuskannya dalam suatu konvensi
dan dokumen-dokumen lainnya terkait. Pada tanggal 26 Maret s/d 24 mei 1968 dan dari
tanggal 9 April s/d 22 mei 1969 diselenggarakanlah suatu konferensi Internasioanal di
Wina (Austria) untuk mengkodifikasikan dan merumuskan hukum kebiasaan
internasional tersebut. Kemudian Konferensi melahirkan hukum perjanjian internasional
yang dikenal dengan Konvensi Wina 1969 tentang hukum perjanjian internasional ( The
Vienna Convention on the law of Treaties ), ditandangani tanggal 23 Mei 1969.
Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum
positip. Sampai Desember 1999 sudah 90 negara menjadi pihak pada konvensi tersebut.

2
Dengan demikian tahun 1969 akhir pembuatan perjanjian-perjanjian internasional yang
diatur oleh hukum kebiasaan internasional.

Hukum perjanjian internasional berdasarkan “vienna convention on the of treaties”.


Viena Convention on the Law of Treaties 1969 ( Vienna Convention 1969 )
mengatur mengenai perjanjian internasional pubik antar negara sebagai subyek utama
hukum internasional. Konvensi ini pertama kali open for ratification pada tahun 1969
dan baru entry into force pada tahun 1980. Sebelum adanya Vienna Convention 1969
pejanjian antara negara, baik bilateral maupun multilateral, diselengarakan semata-mata
berdasarkan asas-asas seperti, good faith, pacta sunt sevanda dan perjanjian tersebut atas
consent dari negara-negara di dalamnya. Singkatnya sebelum keberadaan Vienna
Convention 1969 perjanjian internasional antar negara diatur berdasarkan kebiasaan
internasional yang berbasis pada praktek negara dan keputusan-keputusan Mahkamah
Internasional atau Mahkamah Permanen Internasional (sekarang sudah tidak ada lagi)
maupun pendapat pendapat para ahli hukum internasional (sebagai perwujudan dari
opinion juris).
Vienna Convention 1969 dianggap sebagai induk perjanjian karena konvensi inilah
yang pertama kali memuat ketentuan-ketentuan (Code of conduct yang mengikat)
mengenai perjanjian internasional. Dengan adanya Vienna Convention 1969, perjanjian
internasional antar negara tidak lagi diatur oleh kebiasaan internasional namun oleh suatu
perjanjian yang mengikat yang menuntut nilai kepatuhan yang tinggi dari negara
anggotanya dan hanya bisa berubah apabila ada konsensus dari seluruh negara anggota
Vienna Convention tersebut, tidak seperti kebiasaan internasional yang dapat berubah
apabila ada trend internasional baru.
Vienna Convention 1969 merupakan induk dari pengaturan perjanjian Internasioanl
karena konvensi ini merupakan konvensi pertama yang berisikan pengaturan perjanjian
internasional, baik secara teknis maupun material dan ketentuan dalam konvensi ini
merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan internasional selama ini yang berkaitan
dengan perjanjian internasional. Bahkan dewasa ini Vienna convention 1969 telah
dianggap sebagai kebiasaan internasional yang mengikat bahkan negara yang tidak
menjadi pesertanya.

4. Pengertian :
a. Conventie atau convention.
Conventie atau Convention istilah dalam bahasa inggris yang sudah umum digunakan
dalam bahasa Indonesia yaitu untuk menyebut nama suatu perjanjian internasional
multilateral, baik yang diprakarsai oleh negara-negara maupun oleh lembaga-
lembaga atau organisasi internasional.
Umumnya Conventie atau Convention ( konvensi ) digunakan untuk perjanjian-
perjanjian internasional multilateral yang mengatur tentang masalah yang besar dan
penting dan dimaksudkan untuk berlaku sebagai kaidah hukum internasional yang
dapat berlaku secara luas baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.
Contoh :
- Safety Of Life at sea convention 1974, amandemen 1978 ( SOLAS)

3
- Convention Marine Pollution Prevention 1973, amandemen1978.
- Standard of Traning Certifications and Watchkeping of Seafarers Convention
1978 (STCW), amandemen tahun 1995.
- United Nations Convention on the Law of Sea (UNCLOS), 1982.

b. Pengertian Umum Perjanjian Internasional :


Membuat perjanjian adalah merupakan perbuatan hukum, ia akan mengikat pihak-
pihak pada perjanjian tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu
perjanjian internasional ialah bahwa ia dibuat oleh subyek hukum internasional
(misalnya: Negara, Organisasi Internasional, Palang Merah Indonesia )
pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subyek-
subyek yang menjadi pihak.

- Menurut, Prof. Mochtar Kusumaatmadja.


Perjanjian internasional adalah suatu perjanjian yang diadakan antara anggota
masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat-akibat
hukum tertentu.

- Dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.


Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu, yang
diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan
hak dan kewajiban di bidang hukum publik. Definisi ini diadopsi oleh oleh
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional yang
merumuskan sebagai setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh
hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dengan negara, organisasi
internasional, atau subyek hukum internasional lainnya.

Perbedaan hukum perjanjian international Public ( publik ) dengan perjanjian


international di bidang civielrecht atau privatrecht (Perdata ).
- Hukum Internasional Publik ( Public International Law ):
Hukum Internasional Publik, dibuat oleh subyek hukum internasional (Negara,
Lembaga Internasional) diatur oleh hukum internasional, misalnya konvensi
tentang hukum laut internasional mengatur tentang hak dan kewenangan suatu
negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (National
jurisdiction).
Contoh : United Nations Convention on the Law of Sea, 1982 (UNCLOS )
1). Hak dan kewenangan negara Republik Indonesia atas laut territorial.
2). Hak dan kewenangan negara Republik Indonesia atas perairan kepulauan.

- Hukum Perdata Internasional (International Civil Law) atau civielrecht/


privatrecht :
Istilah hukum perdata dapat disinonimkan dengan civielrecht atau privatrecht,
yaitu hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan atau
individu. Kepentingan perseorangan atau individu sebagai seorang warga

4
negara perlu diperhatikan, demikian juga jika ia berada di luar negaranya sendiri
apabila sedang menjalani keperluannya di luar negeri.

Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja :


Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang
mengatur hubungan perdata melewati batas negara, atau dengan kata lain,
hukum yang mengatur hubungan antar pelaku hukum yang masing-masing
tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda.
Contoh : Seseorang atau badan hukum yang tunduk pada hukum nasionalnya
akan melakukan perbuatan hukum dibidang keperdataan, yaitu mengirim
sebuah barang menggunakan kapal dari Tanjung Priok ke Singapura, maka si
pengirim barang tersebut wajib menghubungi perusahaan pengangkutan di
Singapura, sehingga terjadilah hubungan hukum keperdataan di bidang
pengangkutan, yaitu kaidah-kaidah hukum internasional yang mengatur
hubungan dibidang keperdataan yang ditimbulkan akibat adanya kegiatan yang
terjadi di laut. ( Maritime Law).

B. INTERNATIONAL MARITIME ORGANIZATION (IMO).

Untuk meningkatkan keselamatan kerja dan keselamatan pelayaran, maka PBB


(Perserikatan Bangsa Bangsa) merupakan suatu Organisasi Internasional yang terdiri dari
hampir semua negara yang ada di dunia, dalam konferensinya yang dilaksanakan pada tahun
1948 menyetujui untuk membentuk suatu badan internasional yang khusus menangani
masalah-masalah kemaritiman. Badan tersebut dibentuk pertama kali dengan nama Inter
Governmental Maritime Consultative Organization (IMCO). Sepuluh tahun kemudian,
yakni pada tahun 1958 organisasi tersebut baru diakui secara Internasional, lalu kemudian
berubah nama menjadi International Maritime Organization (IMO) sejak tanggal, 22 Mei
1982.

Empat tahun sebelum IMO diberlakukan secara internasional yakni pada tahun
1954 Marine Pollution Convention sudah mulai diberlakukan tetapi baru pada tahun 1959
secara resmi diadministrasikan dan disebarluaskan oleh International Maritime
Organization (IMO) yang pada saat itu berkedudukan di London-Inggeris. Sidang paripurna
IMO disebut Assembly melakukan pertemuan tahunan satu kali dalam selang waktu dua
tahun dan biasanya diadakan pada bulan September atau Oktober. Pertemuan tahunan yang
diadakan yang disebut Council, anggotanya terdiri dari 32 negara yang dipilih oleh sidang
Assembly dan bertindak sebagai badan pelaksana harian kegiatan IMO.

IMO adalah Badan Organisasi yang menangani masalah teknis dan sebagian besar
kegiatannya dilaksanakan oleh beberapa Komite yang terdiri dari:
The Marine Safety Committee (MSC)
Merupakan komite yang paling senior dan khusus menangani pekerjaan yang
berhubungan dengan masalah keselamatan dan teknik. Memiliki beberapa Sub komite
sesuai tugas masing-masing.

5
The Marine Environment Protection Committee (MEPC)
Dibentuk oleh IMO Assembly pada tahun 1973 dengan tugas mengkoordinir kegiatan
pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang asalnya dari kapal.
Sub komite dari Bulk Chemicals merupakan juga sub komite dari MEPC kalau
menyangkut masalah pencemaran.
The Technical Co-Operation Committee
Tugasnya mengkoordinir bantuan teknik dari IMO di bidang maritim terutama untuk
negara berkembang. Komite teknik ini merupakan komite pertama dalam organisasi PBB
yang diakui sebagai bagian dari konvensi. Badan ini dibentuk tahun 1975 dan merupakan
agen pertama PBB yang membentuk technical cooperation dalam bentuk struktur
organisasi. Tujuannya adalah menyediakan program bantuan untuk setiap negara terutama
negara berkembang untuk meratifikasi dan kemudian melaksanakan peraturan yang
dikeluarkan oleh IMO.

IMO menyediakan tenaga bantuan konsultan di lapangan dan petunjuk dari


Headquarters kepada pemerintah yang memintanya untuk melakukan training keselamatan
kerja maritim dan pencegahan pencemaran terhadap ABK bagian deck, mesin dan personil
darat.
Melalui Komite ini IMO melakukan seminar dan workshop di beberapa negara setiap
tahun dan sudah mengerjakan banyak proyek bantuan teknik di seluruh dunia. Proyek yang
dilakukan Komite ini adalah mendirikan “The World Maritime University” di Malmo
Swedia pada tahun 1983, dengan tujuan untuk mendidik dan menyediakan tenaga terampil
dalam bidang keselamatan dan lingkungan maritim, dari negara berkembang yang sudah
mempunyai latar belakang pendidikan yang mencukupi di negara masing-masing.

Sekretariat IMO
Sekretariat IMO dipimpin oleh Secretary General yang dibantu oleh ± 300 tenaga dari
berbagai negara termasuk para penterjemah ke dalam 6 bahasa yang diakui dapat digunakan
berkomunikasi dalam sidang komite, yakni bahasa Inggris, Perancis, Rusia, Spanyol, Arab,
China dan 3 bahasa teknis.

Tugas dan Wewenang IMO


Tugas Utama IMO adalah membuat peraturan-peraturan keselamatan kerja di laut
termasuk keselamatan pelayaran dan pencegahan serta penanggulangan pencemaran
lingkungan perairan.
Konvensi-konvensi IMO paling penting yang sudah dikeluarkan, menangani
peraturan keselamatan kerja di laut, pencegahan pencemaran perairan dan persyaratan
pengetahuan dan ketrampilan minimum yang harus dipenuhi oleh awak kapal.
Adalah sebagai berikut :

1. Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention 1974/1978.


SOLAS Convention, menangani aspek keselamatan kapal termasuk konstruksi, navigasi
dan komunikasi. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 65 Tahun 1980.

6
2. International Convention For The Prevention Of Pollution From Ships, 1973 As
Modified By The Protocol Of 1978 Relating There To (Marpol 73/78).
MARPOL Convention 73/78), menangani aspek lingkungan perairan khusus untuk
pencegahan pencemaran yang asalnya dari kapal, alat apung lainnya dan usaha
penanggulangannya. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden
Nomor 46 Tahun 1986.

3. Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers.


STCW Convention 1978 Annex III, IV, dan VI di adopsi oleh IMO, berisi persyaratan
minimum pendidikan atau training yang harus dipenuhi oleh ABK (Anak Buah Kapal)
untuk bekerja di atas kapal sebagai pelaut. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
dengan Keputusan Presiden Nomor 60 Tahun 1986).

4. Maritime Labour Convention, 2006 ( Konvensi Ketenagakerjaan Maritime, 2006).


Tentang perlindungan kepada pelaut dan awak kapal yang bekerja di kapal yang
berbendera asing. Diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2016.

Maritime Labour Convention, 2006 menjadi pilar ke-4 ( keempat ) melengkapi 3 (tiga)
pilar yang dihasilkan IMO sebelumnya yaitu Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention
1974, International Convention For The Prevention Of Pollution From Ships, 1973, dan
Standard of Training Certification and Watchkeeping for Seafarers (STCW Convention
1978.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), melalui Konferensi tentang Hukum Laut III
berhasil mewujudkan United Nations Convertion on Law of Sea ditandatangani oleh 117
(seratus tujuh belas) negara perserta, termasuk indonesia, dan 2 satuan bukan negara di
Montego Bay, Jamaica, pada tanggal 10 desenber 1982.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut tersebut merupakan:
1. kondifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang sudah ada, misalnya
kebebasan-kebebasan di laut lepas (hight seas) dan hak lintas damai di laut teritorial
(teritorial waters);
2. pengembangan hukum laut yang sudah ada, misalnya ketentuan mengenai lebar laut
teretorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria landas kontinen (continental shelf).
Dalam konvensi ini ditetapkan bahwa dasar kriteria penetapan adalah kelanjutan alamiah
wilayah daratan suatu Negara hingga pinggiran luas tepian kontinennya atau kriteria
jarak 200 mil laut, dihitung dari garis dasar untuk mengukur lebar laut teritorial jika
pinggiran luar tepian kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut;
3. perkembangan rejim rejim hukum baru, seperti asas negara kepulauan, Zona Ekonomi
Ekslusif dan penambangan di dasar laut internasional.

Perwujudan dari United Nations Convertion on Law of Sea ( Hukum laut PBB )
tersebut, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memperoleh pengaturan resmi dari

7
masyarakat internasional sebagai negara kepulauan yang ditetapkan dalam pasal 46
konvensi The United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982. Negara
kepulauan adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan
kepulauan dan dapat mencangkup pulau-pulau tersebut sedemikian eratnya sehingga
gugusan pulau-pulau, perairan dan wujud alamiah lainnya tersebut merupakan suatu
kesatuan geografis, politik dan ekonomi atau secara historis telah dianggap sebagai satu
kesatuan daerah Pemerintah.

Untuk kepentingan nasional, Republik Indonesia telah meratifikasi The United Nation
Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 dengan Undang-undang Nomor 17
Tahun 1985. Ditetapkannya The United Nation Convention On The Law Of The Sea, tiap
negara anggota ( Flag State ) mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan konvensi
internasional bagi kapal-kapal yang mengibarkan benderanya, agar kapal dapat berlayar
dengan aman dan mengikuti peraturan yang ditetapkan UNCLOS tentang hak dan
kewenangan suatu negara atas kawasan laut (yuridiksi negara), antara lain:

1. Juridiksi Negara Bendera Kapal.


Negara bendera kapal diharuskan untuk memberlakukan peraturan dan mengontrol
kegiatan berbendera Negara tersebut dalam hal administrasi, teknis dan sarana sosial
termasuk mencegah terjadi pencemaran perairan bahwa kapal mereka memenuhi
peraturan konvensi internasional.
2. Juridiksi Negara Pantai.
Adalah hak dari suatu negara yang memiliki pantai untuk melakukan suatu kegiatan di
wilayah kekuasaanya serta mempunyai wewenang atas wilayah tersebut jika terjadi suatu
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh suatu negara di wilayah perairan dan wilayah
yurisdiksinya sesuai dengan ketutentuan hukum internasional.
3. Juridiksi Negara Pelabuhan.
Negara anggota wajib memberlakukan peraturan mereka bagi semua kapal yang
berkunjung ke pelabuhannya. Tidak ada lagi perlakuan khusus bagi kapal-kapal yang
bukan anggota. Ini berarti ketaatan pada ketentuan konvensi internasional merupakan
persyaratan kapal boleh memasuki pelabuhan semua negara anggota (Flage State).
Sebagai negara anggota, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani
sejumlah perjanjian internasional tentang peraturan-peraturan keselamatan kerja di laut
termasuk keselamatan pelayaran dan pencegahan serta penanggulangan pencemaran
lingkungan perairan berpedoman pada kepentingan nasional serta berdasarkan prinsip-
prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum
nasional maupun hukum internasional (Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945), selanjutnya
pemerintah Republik Indonesia meratifikasi perjanjian internasional (Convention)
berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 24 Tentang Perjanjian Internasional.

Penandatanganan suatu perjanjian internasional multilateral tidak sekaligus dapat


diartikan sebagai pengikatan diri pada perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian
internasional yang memerlukan pengesahan tidak mengikat para pihak sebelum perjanjian

8
tersebut disahkan, pengesahan dapat dilakukan melalui (ratification/accession/-
acceptance/approval ).

Pemerintah Indonesia telah meratifikasi 19 Konvensi (Convention) dengan penetapan


Undang-undang dan Keputusan Presiden/Peraturan Presiden. Ratifikasi yang dilakukan
dengan Undang-undang adalah United Nation Convention On The Law Of The Sea
(UNCLOS), diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tanggal 31
Desember 1985, Corsening Revising The Seaferers Identity Documents 1958, diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2008 tanggal 4 Januari 2008 dan Maritime Labour
Convention, 2006 diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan Undang-undang Nomor 15
Tahun 2016 tanggal 23 Pebruari 2006. Konvensi internasional tersebut dijadikan
referensi/acuan dalam menetapkan hukum nasional tentang undang-undang pelayaran.

Pertama kali pengaturan pelayaran di Indonesia diatur dalam Indische


Scheepveertswet,Staatsblad Tahun 1936 Nomor 70 (Undang-undang Pelayaran Tahun
1936), dirubah /direvisi dan diganti dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang
Pelayaran. Dilandasi adanya perubahan paradigma dan lingkungan strategis baik nasional
maupun internasional Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang pelayaran (Setelah 16
tahun) dilakukan revisi menjadi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran
sebagai hukum positip.

Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang pelayaran berlaku


untuk:

1. semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan


pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;
2. semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan
3. semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.

Sebagai tanggung jawab negara anggota (Flage Sate), maka untuk menjamin
kelaiklautan kapal yang beroperasi di Indonesia, Biro Klasifikasi Indoneia mendapatkan
otorisasi dari Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara lain untuk
melaksanakan pemeriksaan dan sertifikasi di bidang statutoria (Semua produk dari IMO
adalah peraturan statutory, peraturan statutory adalah peraturan yang mengatur tentang
standarisi aktifitas pelayaran supaya hal-hal yang merugikan dapat diminimalisir. Peraturan
statutory hanya berlaku pada kapal-kapal yang mempunyai flag state dimana flag state
tersebut telah meratifikasi ke IMO ).

BKI sebagai Surveyor secara profesional melaksanakan survei dan pengujian sesuai
dengan persyaratan Rules & Regulation BKI. Jika memenuhi persyaratan, maka BKI akan
menerbitkan sertifikat dan laporan survei. Selanjutnya pemohon tersebut menggunakan
Sertifikat dan Laporan Survei yang diterbitkan BKI dijadikan dasar atau referensi bagi
stakeholder lainnya, yaitu:
1. Syahbandar sebagai dasar salah satu unsur kelaikan kapal dan ijin berlayar/clearance di
pelabuhan.

9
2. Asuransi/institusi perbankan sebagai dasar dasar penentuan premi asuransi/klaim
asuransi dan persetujuan kredit bagi lembaga keuangan.

BKI memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan penangguhan (suspend) atau
mencabut (withdrawn) status klasifikasi sebuah kapal berdasarkan referensi persyaratan
klasifikasi. Kapal mungkin akan kehilangan status klasifikasinya untuk sementara atau
secara permanen. Demikian juga, kapal yang tidak melaksanakan survei periodik tepat
waktu sesuai dengan peraturan klasifikasi, maka Perusahaan sebagai Badan Klasifikasi
akan menangguhkan (suspend) status klasifikasinya secara otomatis. Perusahaan
sepenuhnya berperan sebagai badan sertifikasi dan bukan sebagai law enforcer.
Perusahaan melakukan survei dan sertifikasi karena ada permintaan dari stakeholder dan
Perusahaan tidak dapat melakukan penahanan kapal (detained). Fungsi Law
Enforcement sepenuhnya menjadi otoritas Pemerintah, dalam hal ini adalah Syahbandar
atau Port State Control Officer (PSCO).

10

Anda mungkin juga menyukai