Anda di halaman 1dari 10

HUKUM UDARA

KELOMPOK 6

Pengaturan Hukum Udara Internasional dan Nasional


Untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum udara, maka para ahli hukum menggali
hukum-hukum lama yang pernah berlaku yang berhubungan dengan ruang udara dan akhirnya
diketemukannya suatu maxim (ketentuan lama) yang berlaku pada jaman Romawi yang
menyebutkan Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum Et Ad Infinitum yang dapat diartikan
barang siapa memiliki sebidang tanah, maka juga memiliki pula apa yang ada diatasnya dan juga
yang ada dibawahnya serta tidak terbatas.
Maxim tersebut menimbulkan suatu perbedaan pendapat yang hangat di antara para ahli hukum
seperti :
Pengertian hukum udara
1) Diederiks-verschoor
Hukum udara (air law) sebagai hukum dan regulasi yang mengatur pengunaan ruang
udara yang bermanfaat bagi penerbangan, kepentingan umum, dan bangsa-bangsa di
dunia.
2) M. Le. Goff
Hukum udara adalah serangkaian ketentuan nasional dan internasional mengenai
pesawat, navigasi udara, pengangkutan udara komersial dan semua hubungan hukum,
publik maupun perdata, yang timbul dari navigasi udara domestik dan internasional
3) M.Lemoine
Hukum udara adalah cabang hukum yang menentukan dan mempelajari hukum dan
peraturan hukum mengenai lalu lintas udara dan penggunaan pesawat udara dan juga
hubungan-hubungan yang timbul dari hal tersebut.
4) Paul Fauchille (1858-1926) dengan teorinya Air Freedom Theory menyebutkan bahwa
ruang udara itu bebas dan oleh karena itu tidak dapat dimiliki oleh negara bawah.
5) Teori Paul Fauchille tersebut didasari oleh karena :
a. Sifat udara adalah bebas.
b. Udara adalah warisan seluruh umat manusia.
6) West Lake dengan teorinya Air Sovereignty Theory menyebutkan bahwa ruang udara itu
tertutup yang berarti dapat dimiliki oleh setiap negara bawah.
Selain pengertian diatas menurut K. Martono ada juga pengertian lainnya menurut pakar
yang mempunyai keyakinan bahwa hukum udara dan hukum ruang angkasa harus disatukan
dalam cabang hukum tunggal, karena kedua bidang tersebut mewakili bidang hukum yang
1 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

secara langsung maupun tidak langsung berlaku pada penerbangan-penerbangan yang


dilakukan manusia . Pengertian ini diawali karena terbitnya sebuah glossary Tahun 1995 oleh
Research Studies Institutes pada Maxwell Air Force Base, dimana ditemui sebuah definisi
istilah Aerospace yaitu :
The earths envelope of air and space above it, the two considered as a single realm for activity
in the flight of air vehicles and in the launching, guidance and control of ballistic missiles, earth
satellites, dirigible space vehicles, and the like.

Adapun pengaturan hukum udara secara internasional adalah sebagai berikut:


1. Paris Convention
Beberapa bulan sebelum ditandatanganinya perjanjian perdamaian di versailles,
Dewan tertinggi dari Konferesi perdamaian memutuskan untuk mengadakan suatu
panitia penerbangan dan memberi tugas kepadanya untuk menyiapkan suatu
peraturan guna mengatur lalu lintas udara internasional dimasa yang akan datang.
Pekerjaan yang dilakukan panitia telah menghasilkan suatu perjanjian penerbangan,
yang ditandatangani di Paris pada tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian
Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya konvensi chicago .
2. Konvensi Chicago
Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu
itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang
berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara-negara netral di
Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu
konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama yang
baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah
ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris . Konferensi yang dilaksanakan di Chicago
tersebut telah menghasilkan beberapa hal penting, yaitu :
Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional yang dikenal dengan
Konvensi Chicago Tahun 1944 (Convention Aviation Signed at Chicago on 7

Desember 1944)
Persetujuan Transit Udara Internasional (IASTA/ International Air Transit

Agreement)
Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air
Transport Agreement)

2 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

IATA dan IASTA merupakan perjanjian internasional yang bersifat multilateral,


yang mempertukarkan lima hak-hak penerbangan (Five Freedom on the Air) atau
juga dikenal dengan lima kebebasan di udara, yang dipertukarkan dalam IASTA
hak kebebasan Ke-1 dan Ke-2, yaitu sebagai berikut :
1) Hak untuk terbang melintasi wilayah Negara lain tanpa melakukan pendaratan.
2) Hak melakukan pendaratan di Negara lain untuk keperluan Operasioanl
(Technical Landing) dan tidak berhak untuk mengambil dan menurunkan
penumpang dan/ ataupun kargo secara komersial.
Sedangkan hak kebebasan yang dipertukarkan dengan IATA adalah hak kebebasan
Ke-3,4 dan Ke-5 . Hak kebebasan berikutnya adalah:
3) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari
Negara pendaftar pesawat udara ke Negara pihak yang lainnya.
4) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari
Negara yang berjanji lainnya ke Negara pesawat udara yang didaftarkan.
5) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari atau
negara ketiga diluar negara yang berjanji.
Kebebasan udara tersebut biasanya dipertukarkan dalam perjanjian udara timbal
balik (Bilateral Air Transport Agreement). Secara teoritis terdapat delapan
kebebasan di udara (Eight Freedom of the Air), namun dalam praktik hanya ada
terdapat lima kebebasan di udara. Tiga kebebasan berikutnya, masing-masing
kebebasan di udara ke-6,7 dan 8 yaitu sebagai berikut :
6) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo dan pos secara komersial dari
Negara ketiga melewati Negara tempat pesawat udara didaftarkan kemudian
diangkut kembali ke negara tujuan.
7) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial sematamata diluar Negara-negara yang mengadakan perjanjian.
8) Hak untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos secara komersial dari suatu
tempat ke tempat yang lain dalam suatu wilayah Negara berdaulat dan ini dikenal
3 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

dengan istilah Kabotase (Cabotage). Cabotage merupakan hak preogratif


Negara berdaulat untuk melakukan transportasi dalam negeri guna pemanfaatan
perusahaan penerbangan nasional. Biasanya hak kabotase tersebut tidak pernah
diserahkan kepada perusahaan asing manapun.

3. Perjanjian Warsawa Tahun 1929


Pada tanggal 12 oktober 1929 di Warsawa ditandatangani suatu perjanjian yang
lengkapnya bernama Convention for the Unification of Certain Rules Relating to
International Carriage by Air, yang lebih dikenal dengan sebutan Perjanjian
Warsawa . Perjanjian ini mengatur antara lain dua hal pokok, yaitu :
1) Mengenai Dokumen Angkatan Udara
2) Mengenai masalah tanggung jawab pengangkut udara Internasional.
Pentingnya perjanjian ini ialah ketentuan-ketentuan didalamnya mengatur mengenai
limit tanggung jawab ganti rugi .
4. Konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan (Hijacking)
Ada dua konvensi yang mengatur mengenai kejahatan dalam penerbangan, yaitu :
a. Konvensi Tokyo tentang pelanggaran dan Tindakan tertentu lainnya
dalam Penerbangan (Convention and Certain Other Acts Committe on Board
Aicraft) Tahun 1963
Konvensi ini disebut juga dengan konvensi pembajakan udara. Tujuannya
adalah untuk melindungi pesawat udara,orang, barang yang diangkut untuk
menjamin keselamatan penerbangan. Konvensi ini mempunyai yurisdiksi
terhadap pelanggaran maupun tindak pidana penerbangan serta mencegah
terjadinya kekosongan hukum pada tindak pidana maupun pelanggaran di
dalam pesawat udara yang sedang melakukan penerbangan di atas laut lepas/
atau daerah yang tidak bertuan .
b. Konvensi The Haaque Tahun 1970
Konvensi tentang perlindungan pesawat udara dari tindakan melawan hukum
(Convention for the Supression of Unlawfull Seizure of Aircraft) yang lebih
dikenal dengan konvensi The Haaque Tahun1970 merupakan penyempurnaan
dari Konvensi Tokyo 1963. Konvensi ini memperluas pengertian dari in flight
yaitu sejak semua pintu luar ditutup diikiuti dengan embarkasi pesawat udara
sampai semua pintu luar dibuka kembali diikuti dengan debarkasi penumpang
(ketika semua penumpang telah turun). Berlakunya konvensi ini tergantung
4 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

dari pendaratan nyata pesawat udara yang dibajak bukan tergantung pada jenis
penerbangannya.
Pengaturan hukum udara di indonesia merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian
internasional dibidang hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih
dikenal dengan OPU No. 100 stb. 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut
dan ganti rugi. Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam
Undang-undang penerbangan yang telah beberapa kali disempurnakan, dimulai dengan lahirnya
Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan, yang kemudian diubah dengan
Undang-undang No.33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No.72
Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No.15 Tahun 1992, terakhir disempurnakan
dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang terdiri dari 24 Bab
466 Pasal.Undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas
dan tanggung jawab masing-masing jelas .
Selain Undang-undang No.1 Tahun 2009, penerbangan juga diatur dalam Peraturan Menteri
seperti Keputusan Menteri Perhubungan No.41 Tanggal 4 Desember 2001 tentang Peraturan
Umum Pengoperasian Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 Tanggal 22
Agustus Tahun 2000 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter, Keputusan
Menteri Perhubungan No. 75 Tanggal 22 Agustus Tahun 2000 tentang Standar Sertifikasi
Personil Penerbangan, Keputusan Menteri Perhubungan No. 77 Tanggal 20 November Tahun
2000 Tentang Persyaratanpersyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi Perusahaan Ankutan Udara
yang Melakukan Penerbangan Dalam Negeri Internasional dan Charter atau Kargo, Keputusan
Menteri Perhubungan No. 78 Tanggal 2000 tentang Perawatan Preventif, Perbaikan dan
Modifikasi Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 80 Tanggal 20 November
Tahun 2000 tentang sertifikasi kecakapan bagi personil Perawatan Pesawat Udara. Dimana
seluruh peraturan tersebut mengatur mengenai standar dan prosedur penerbangan yang telah
dipersyaratkan.

Prinsip-prinsip Hukum Udara Internasional


A. Prinsip kedaulatan wilayah udara.
Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi, bebas dari kekuasaan
negara lain, bebas dalam arti seluas-luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap
5 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

harus memerhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional
lainnya. Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi territorial disamping prinsip-prinsip
yuridiksi lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus
mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun
demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan
diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di udara seperti
Konvensi Paris 1919,Konvensi Chicago1994, Konvensi Hanava 1928,Konvensi Jenewa 1958,
Konvensi PBB 1982 (UNCLOS),dan Konvensi Wina 196 dan lain-lain. Contohnya dalam
Konvensi Paris 1919 mengatur tentang kedaulatan suatu negara terhadap wilayah udaranya. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 1, yang merupakan pasal utama yang berbunyi Para pengagung
anggota konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh
atas ruang udara di ats wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk berdasarkan hukum
kebiasaan internaional yang terjadi sejak Inggris melakukan tindakan sepihak dalam The Aerial
Navigation Act of 1911 yang diikuti oleh negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya
perang dunia pertama 1918. The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris
mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara diatas wilayahnya (Complete and
exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai hak se The Aerial Navigation
Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan pesawat udara sipil maupun
pesawat udara militer.
Prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara diatas daratan maupun perairan
tersebut dicantumkan dalam pasal 1 konvensi Paris 1919 yang rumusannya. Pencantuman prinsip
kedaulatan atas wilayah udara diatas daratan dan perairan tersebut sesuai dengan penugasan
Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Komisi Navigasi Penerbangan tersebut diarahkan
memasukkan prinsip kedaulatan negara diatas daratan maupun perairan dan yuridiksi diatas
wilayah udaranya.

B. Prinsip Yuridiksi Ruang Udara.


Yuridiksi ruang udara diatur dalam Bab II Pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo 1963. Menurut
Pasal 3 Ayat (1) Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana
pelanggaran maupun pidana kejahatan di dlam pesawat udara adalah negara pendaftar pesawat
udara. Berdasarkan ketentuan tersebut ternyata bahwa Konvensi Tokyo 1963 telah sepakat
adanya unifikasi yuridiksi. Menurut konvensi tersebut disepakati yang mempunyai yuridiksi
terhadap tindak pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara adalah negara
pendaftar pesawat udara. Unifikasi demikian sangat penting sekali untuk mencegah terjadinya
conflict of jurisdiction, karena transportasi udara mempunyai karakteristik internasional yang
tidak mengenal batas kedaulatan suatu negara, sekali terbang dapat melewati berbagai negara,
ementara itu di dalam pesawat udara dapat menimbulkan persaingan yuridiksi.
Kedaulatan teritorial suatu Negara berhenti pada batas-batas luar dari laut wilayahnya.
Kedaulatan ini tidak berlaku terhadap ruang udara yang terdapat diatas laut lepas atau zona-zona
dimana Negara-negara pantai hanya mempunyai hak-hak berdaulat seperti atas landas kontinen.
Atas alasan keamanan, status kebebasan yang berlaku dilaut lepas tidak pula mungkin bersifat
absolut. Pasal 12 konvensi Chicago dengan alasan keamanan tersebut menyatakan bahwa diatas
laut lepas ketentuan yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh ICAO
6 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari
konvensi. Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan
pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawatpesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara
pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan yang
juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara seperti yang
terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada
masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara
yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona
eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku
(pasal 12 konvensi).

C. Prinsip Mengenai Tanggung Jawab


Dalam Hukum Udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung jawab, yaitu
sistem warsawa, system Roma dan system Guatemala. Sistem Warsawa mempergunakan
prinsip presumption of liability dan prinsip pada limitation of liability untuk kerugian pada
penumpang, barang dan bagasi tercatat, sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di
pergunakan prinsip presumption of non-liability dan prinsip limitation of liability. Prinsip
prinsip ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma
mempergunakan prinsip absolute liability dan prinsip limitation of liability, sedangkan
dalam system Guatemala dipergunakan prinsip Absolute liabilitydan prinsip limitation of
liability untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang dan bagasinya, tanpa membedakan
antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi barang dipergunakan prinsip presumption of
liability dan prinsip Limitation of liability, sedangkan untuk kerugian karena keterlambatan
dipergunakan prinsip prinsip prinsip yang sama dengan untuk barang. Padaliability
Convention tahun 1972 dipergunakan prinsip absolute liability apabila kerugian ditimbulkan di
permukaan bumi dan prinsip Liability based on fault apabila kerugian di timbulkan benda
angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan oleh suatu Negara lain.
Prinsip prinsip tanggung jawab yang dipergunakan dalam hukum udara adalah:
A. Prinsip presumption of liability yang dipergunakan dalam konvensi Warsawa tahun
1929, protocol the hague tahun 1955 dan Ordonansi pengangkutan udara untuk
penumpang, bagasi tercatat dan barang, dan protocol Guatemala tahun 1971 untuk barang
dan kelambatan.
B. Prinsip Presumption of non-liability yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa
tahun 1929, protocol The Hague tahun 1955 dan Ordonansi Pengangkut Udara untuk
bagasi tangan.
C. Prinsip Absolute liability yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952 untuk
kerugian yang ditimbulkan pada pihak ketiga di permukaan bumi.
D. Prinsip Absolute liability yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun 1971
untuk tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang dan bagasinya.
E. Prinsip Absolute liability yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun 1972
untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda-benda dipermukaan bumi dan pesawat
udara yang sedang terbang.
7 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

F. Prinsip Liability based on fault yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun
1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa lain dan orang didalamnya.
G. Prinsip limitation of liability yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929,
protocol the Hague dan Ordonansi pengangkutan untuk penumpang bagasi tercatat dan
barang dan dalam protocol Guatemala tahun 2971 untuk barang dan kelambatan.
H. Prinsip Limitation of liability yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun1971
untuk penumpang dan bagasinya.
I. Prinsip Limitation of liability yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952.
Terdapat beberapa prinsip yang pada dasarnya sama, namun ada beberapa perbedaan yang
prinsipil yang perlu dikemukakan. Prinsip Absolute liabilitydalam konvensi Roma tidak benar
benar mutlak karena masih ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya
bagi operator pesawat udara, yaitu dalam hal kejadian adalah akibat dari suatu konflik bersenjata
atau huru hara atau disebabkan oleh kesalahan pihak yang menderita kerugian sendiri sedangkan
prinsip Absolute liability dalam protocol Guatemala masih memberi kesempatan untuk
membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal kerugian yang disebabkan oleh
penumpang sendiri. Prinsip Limitation of liability dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi
pengangkutan udara, bersifat tidak mutlak, karena batas tanggung jawab itu masih dapat
dilampaui, yaitu apabila kerugian ditimbulkan dengan sengaja oleh pengangkut atau karena
kelalaian berat, berbeda dengan prinsip Limitation of liability dalam Konvensi Roma dan
protocol Guatemala yang tidak dapat dilampaui karena sebab apapun juga.
Hak dan kewajiban negara menurut hukum udara internasional
Berikut adalah sejumlah hak dan kewajiban negara berkaitan dengan penerbangan menurut
konvensi Chicago 1944
-

8 | Page

Pasal 1 : Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas
wilayah udara di atas wilayahnya .
*hal ini di peraturan penerbangan Indonesia dituangkan ke dalam Undang Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang merupakan perubahan dari
Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992. Dalam pasal 5 menyebutkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah
udara Republik Indonesia
Pasal 5 : Pesawat negara , selain layanan udara internasional terjadwal , memiliki
hak untuk membuat penerbangan di seluruh wilayah negaranya dan untuk
membuat berhenti tanpa memperoleh izin sebelumnya . Namun, negara mungkin
memerlukan pesawat untuk membuat mendarat. (artinya pesawat domestik tidak
perlu izin untuk terbang dan berhenti di wilayahnya sendiri
Pasal 6 : Tidak ada layanan udara internasional diperbolehkan untuk beroperasi di
atas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau
otorisasi lainnya dari Negara tersebut .
** Pasal 10 : ( mendarat di bandara ) : Negara dapat meminta arahan yang berada
di bandara yang ditunjuk dan juga keberangkatan dari wilayah tersebut bisa
diminta untuk dari bandara yang ditetapkan .

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

Pasal 12 : Setiap negara harus menjaga aturan udara se-seragam mungkin dengan
negara-negara yang berada di bawah konvensi , tugas untuk memastikan
kepatuhan terhadap aturan ini terletak pada negara pemegang kontrak (yang
memiliki wilayah)
Pasal 16 : Pemerintah masing-masing negara berhak untuk menggeledah pesawat
dari negara-negara lain saat mendarat atau keberangkatan , tanpa penundaan yang
tidak beralasan
Pasal 24 : Pesawat ke , dari atau melewati , wilayah negara harus diperbolehkan
masuk sementara bebas pajak . Bahan Bakar , Minyak , suku cadang , peralatan
reguler dan perlengkapan pesawat yang berasa di atas kapal juga dibebaskan bea
masuk , biaya inspeksi atau tuduhan (atau bagian dari operasi/kewajiban) yang
serupa
Pasal 30 : Pesawat yang dalam keadaan terbang menuju, atau terbang di atas
wilayah negara lain hanya diperbolehkan membawa radio berlisensi dan
digunakan sesuai dengan peraturan negara di mana pesawat itu terdaftar . Radio
hanya dapat digunakan oleh anggota awak pesawat sesuai lisensi oleh negara di
mana pesawat itu terdaftar .
Pasal 33 : ( Pengakuan Sertifikat dan Izin ) Sertifikat Kelaikan Udara , sertifikat
kompetensi dan lisensi diterbitkan atau disahkan oleh negara di mana pesawat itu
terdaftar , harus diakui sebagai sah oleh negara-negara lain . Persyaratan untuk isu
tersebut Sertifikat atau Kelaikan Udara , sertifikat kompetensi atau lisensi harus
sama dengan atau di atas standar minimum yang ditetapkan oleh Konvensi .
Pasal 40 : Tidak ada pesawat atau personel dengan lisensi didukung atau sertifikat
akan terlibat dalam pelayaran internasional kecuali dengan izin dari negara atau
negara yang wilayahnya masuk . Setiap pemegang izin yang tidak memenuhi
standar internasional yang berkaitan dengan lisensi atau sertifikat harus telah
melekat atau didukung pada informasi mengenai lisensi khusus di mana ia tidak
memenuhi standar tersebut " .

DAFTAR PUSTAKA
Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Bandung , Alumni, 2000.
E. Suherman., Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.
Evert Max. Tentua., Hukum Dirgantara, Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang, I.L.S.,
2009..
Frans Likadja., Masalah Lintas Di Ruang Udara, Bandung, Binacipta, 1987.
H. K. Martono., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni, 1989.
H. K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Naional Dan Internasional Publik, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2012.
Michael Akehurst., A Modern Introduction to International Law., London, Routledge, 1997.|
Priyatna Abdurrasyid., Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, Jakarta : P.T.H.A., 1972.
P.H. Kooijmans., Internationaal Publiekrecht in Vogelvlucht, Groningen, Wolters-Noordhoff bv.
9 | Page

HUKUM UDARA
KELOMPOK 6

1991.
P. van Heijnsbergen., Compendium van het Volkenrecht, Deventer, Kluwer, 1972.
Rebecca M.M. Wallace., International Law, London, Sweet & Maxwell, 1986.
Sulaiman Nitiatma., Hukum Internasional Teritorialitas, Semarang : CV. Indriajaya. 1995
Konvensi terkait :
Konvensi Chicago Tahun 1944
Konvensi Geutemala Tahun 1971
Konvensi Guadalaraja Tahun 1961
Konvensi Paris Tahun 1919
Konvensi Roma tahun 1952
Konvensi Tokyo Tahun 1963
Konvesi Warsawa Tahun 1929
Undang-Undang terkait :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983
Google.com
Yahoo.com
Dephub.co.id

10 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai