KELOMPOK 6
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
Desember 1944)
Persetujuan Transit Udara Internasional (IASTA/ International Air Transit
Agreement)
Persetujuan Transportasi Udara Internasional (IATA/ International Air
Transport Agreement)
2 | Page
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
dari pendaratan nyata pesawat udara yang dibajak bukan tergantung pada jenis
penerbangannya.
Pengaturan hukum udara di indonesia merupakan ratifikasi dari perjanjian-perjanjian
internasional dibidang hukum udara seperti Ordonansi pengangkutan udara 1939, yang lebih
dikenal dengan OPU No. 100 stb. 1939 dimana mengatur mengenai tanggung jawab pengangkut
dan ganti rugi. Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam
Undang-undang penerbangan yang telah beberapa kali disempurnakan, dimulai dengan lahirnya
Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan, yang kemudian diubah dengan
Undang-undang No.33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No.72
Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No.15 Tahun 1992, terakhir disempurnakan
dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan yang terdiri dari 24 Bab
466 Pasal.Undang-undang ini bermaksud memisahkan regulator dengan operator sehingga tugas
dan tanggung jawab masing-masing jelas .
Selain Undang-undang No.1 Tahun 2009, penerbangan juga diatur dalam Peraturan Menteri
seperti Keputusan Menteri Perhubungan No.41 Tanggal 4 Desember 2001 tentang Peraturan
Umum Pengoperasian Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 65 Tanggal 22
Agustus Tahun 2000 tentang Prosedur Pengadaan Pesawat Terbang dan Helikopter, Keputusan
Menteri Perhubungan No. 75 Tanggal 22 Agustus Tahun 2000 tentang Standar Sertifikasi
Personil Penerbangan, Keputusan Menteri Perhubungan No. 77 Tanggal 20 November Tahun
2000 Tentang Persyaratanpersyaratan Sertifikasi dan Operasi Bagi Perusahaan Ankutan Udara
yang Melakukan Penerbangan Dalam Negeri Internasional dan Charter atau Kargo, Keputusan
Menteri Perhubungan No. 78 Tanggal 2000 tentang Perawatan Preventif, Perbaikan dan
Modifikasi Pesawat Udara, Keputusan Menteri Perhubungan No. 80 Tanggal 20 November
Tahun 2000 tentang sertifikasi kecakapan bagi personil Perawatan Pesawat Udara. Dimana
seluruh peraturan tersebut mengatur mengenai standar dan prosedur penerbangan yang telah
dipersyaratkan.
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
harus memerhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan internasional
lainnya. Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi territorial disamping prinsip-prinsip
yuridiksi lainnya. Sampai saat ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus
mengatur wilayah suatu negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun
demikian bukan berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan
diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan di udara seperti
Konvensi Paris 1919,Konvensi Chicago1994, Konvensi Hanava 1928,Konvensi Jenewa 1958,
Konvensi PBB 1982 (UNCLOS),dan Konvensi Wina 196 dan lain-lain. Contohnya dalam
Konvensi Paris 1919 mengatur tentang kedaulatan suatu negara terhadap wilayah udaranya. Hal
tersebut diatur dalam Pasal 1, yang merupakan pasal utama yang berbunyi Para pengagung
anggota konvensi mengakui bahwa setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh
atas ruang udara di ats wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk berdasarkan hukum
kebiasaan internaional yang terjadi sejak Inggris melakukan tindakan sepihak dalam The Aerial
Navigation Act of 1911 yang diikuti oleh negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya
perang dunia pertama 1918. The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris
mempunyai kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara diatas wilayahnya (Complete and
exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai hak se The Aerial Navigation
Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan pesawat udara sipil maupun
pesawat udara militer.
Prinsip kedaulatan yang utuh dan penuh atas ruang udara diatas daratan maupun perairan
tersebut dicantumkan dalam pasal 1 konvensi Paris 1919 yang rumusannya. Pencantuman prinsip
kedaulatan atas wilayah udara diatas daratan dan perairan tersebut sesuai dengan penugasan
Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Komisi Navigasi Penerbangan tersebut diarahkan
memasukkan prinsip kedaulatan negara diatas daratan maupun perairan dan yuridiksi diatas
wilayah udaranya.
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
sehubungan dengan penerbangan dan maneuver pesawat-pesawat yang terdapat dalam annex dari
konvensi. Namun internasionalisasi dinilai kurang lengkap. Pertama karena kekuasaan
pengaturan oleh ICAO terbatas pada penerbangan sipil dan tidak berlaku terhadap pesawatpesawat udara public walaupun majelis dari ICAO talah menyarankan kepada Negara-negara
pihak untuk memasukkan dalam legislasi nasionalnya masing-masing ketentuan-ketentuan yang
juga diberlakukan kepada pesawat-pesawat public yaitu ketentuan-ketentuan udara seperti yang
terdapat dalam annek II dari konvensi. ICAO tidak mempunyai wewenang pelaksanaan, kepada
masing-masing pihaklah diberikan wewenang untuk mengambil tindakan agar pesawat udara
yang mempunyai kebangsaan dari Negara tersebut yang berada diatas laut lepas atau zona
eksklusif menyesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan dan peraturan-peraturan yang berlaku
(pasal 12 konvensi).
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
F. Prinsip Liability based on fault yang dipergunakan dalam Liability Convention tahun
1972 untuk kerugian yang ditimbulkan oleh benda angkasa lain dan orang didalamnya.
G. Prinsip limitation of liability yang dipergunakan dalam Konvensi Warsawa tahun 1929,
protocol the Hague dan Ordonansi pengangkutan untuk penumpang bagasi tercatat dan
barang dan dalam protocol Guatemala tahun 2971 untuk barang dan kelambatan.
H. Prinsip Limitation of liability yang dipergunakan dalam protocol Guatemala tahun1971
untuk penumpang dan bagasinya.
I. Prinsip Limitation of liability yang dipergunakan dalam Konvensi Roma tahun 1952.
Terdapat beberapa prinsip yang pada dasarnya sama, namun ada beberapa perbedaan yang
prinsipil yang perlu dikemukakan. Prinsip Absolute liabilitydalam konvensi Roma tidak benar
benar mutlak karena masih ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung jawabnya
bagi operator pesawat udara, yaitu dalam hal kejadian adalah akibat dari suatu konflik bersenjata
atau huru hara atau disebabkan oleh kesalahan pihak yang menderita kerugian sendiri sedangkan
prinsip Absolute liability dalam protocol Guatemala masih memberi kesempatan untuk
membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu dalam hal kerugian yang disebabkan oleh
penumpang sendiri. Prinsip Limitation of liability dalam Konvensi Warsawa dan Ordonansi
pengangkutan udara, bersifat tidak mutlak, karena batas tanggung jawab itu masih dapat
dilampaui, yaitu apabila kerugian ditimbulkan dengan sengaja oleh pengangkut atau karena
kelalaian berat, berbeda dengan prinsip Limitation of liability dalam Konvensi Roma dan
protocol Guatemala yang tidak dapat dilampaui karena sebab apapun juga.
Hak dan kewajiban negara menurut hukum udara internasional
Berikut adalah sejumlah hak dan kewajiban negara berkaitan dengan penerbangan menurut
konvensi Chicago 1944
-
8 | Page
Pasal 1 : Setiap negara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas
wilayah udara di atas wilayahnya .
*hal ini di peraturan penerbangan Indonesia dituangkan ke dalam Undang Undang
Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan yang merupakan perubahan dari
Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992. Dalam pasal 5 menyebutkan bahwa
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah
udara Republik Indonesia
Pasal 5 : Pesawat negara , selain layanan udara internasional terjadwal , memiliki
hak untuk membuat penerbangan di seluruh wilayah negaranya dan untuk
membuat berhenti tanpa memperoleh izin sebelumnya . Namun, negara mungkin
memerlukan pesawat untuk membuat mendarat. (artinya pesawat domestik tidak
perlu izin untuk terbang dan berhenti di wilayahnya sendiri
Pasal 6 : Tidak ada layanan udara internasional diperbolehkan untuk beroperasi di
atas atau ke dalam wilayah Negara kontrak , kecuali dengan izin khusus atau
otorisasi lainnya dari Negara tersebut .
** Pasal 10 : ( mendarat di bandara ) : Negara dapat meminta arahan yang berada
di bandara yang ditunjuk dan juga keberangkatan dari wilayah tersebut bisa
diminta untuk dari bandara yang ditetapkan .
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
Pasal 12 : Setiap negara harus menjaga aturan udara se-seragam mungkin dengan
negara-negara yang berada di bawah konvensi , tugas untuk memastikan
kepatuhan terhadap aturan ini terletak pada negara pemegang kontrak (yang
memiliki wilayah)
Pasal 16 : Pemerintah masing-masing negara berhak untuk menggeledah pesawat
dari negara-negara lain saat mendarat atau keberangkatan , tanpa penundaan yang
tidak beralasan
Pasal 24 : Pesawat ke , dari atau melewati , wilayah negara harus diperbolehkan
masuk sementara bebas pajak . Bahan Bakar , Minyak , suku cadang , peralatan
reguler dan perlengkapan pesawat yang berasa di atas kapal juga dibebaskan bea
masuk , biaya inspeksi atau tuduhan (atau bagian dari operasi/kewajiban) yang
serupa
Pasal 30 : Pesawat yang dalam keadaan terbang menuju, atau terbang di atas
wilayah negara lain hanya diperbolehkan membawa radio berlisensi dan
digunakan sesuai dengan peraturan negara di mana pesawat itu terdaftar . Radio
hanya dapat digunakan oleh anggota awak pesawat sesuai lisensi oleh negara di
mana pesawat itu terdaftar .
Pasal 33 : ( Pengakuan Sertifikat dan Izin ) Sertifikat Kelaikan Udara , sertifikat
kompetensi dan lisensi diterbitkan atau disahkan oleh negara di mana pesawat itu
terdaftar , harus diakui sebagai sah oleh negara-negara lain . Persyaratan untuk isu
tersebut Sertifikat atau Kelaikan Udara , sertifikat kompetensi atau lisensi harus
sama dengan atau di atas standar minimum yang ditetapkan oleh Konvensi .
Pasal 40 : Tidak ada pesawat atau personel dengan lisensi didukung atau sertifikat
akan terlibat dalam pelayaran internasional kecuali dengan izin dari negara atau
negara yang wilayahnya masuk . Setiap pemegang izin yang tidak memenuhi
standar internasional yang berkaitan dengan lisensi atau sertifikat harus telah
melekat atau didukung pada informasi mengenai lisensi khusus di mana ia tidak
memenuhi standar tersebut " .
DAFTAR PUSTAKA
Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika
Global, Bandung , Alumni, 2000.
E. Suherman., Wilayah Udara Dan Wilayah Dirgantara, Bandung : Alumni, 1984.
Evert Max. Tentua., Hukum Dirgantara, Perkembangan Dan Permasalahannya, Semarang, I.L.S.,
2009..
Frans Likadja., Masalah Lintas Di Ruang Udara, Bandung, Binacipta, 1987.
H. K. Martono., Hukum Udara, Angkutan Udara Dan Hukum Angkasa, Bandung : Alumni, 1989.
H. K. Martono dan Amad Sudiro, Hukum Udara Naional Dan Internasional Publik, Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2012.
Michael Akehurst., A Modern Introduction to International Law., London, Routledge, 1997.|
Priyatna Abdurrasyid., Kedaulatan Negara Di Ruang Udara, Jakarta : P.T.H.A., 1972.
P.H. Kooijmans., Internationaal Publiekrecht in Vogelvlucht, Groningen, Wolters-Noordhoff bv.
9 | Page
HUKUM UDARA
KELOMPOK 6
1991.
P. van Heijnsbergen., Compendium van het Volkenrecht, Deventer, Kluwer, 1972.
Rebecca M.M. Wallace., International Law, London, Sweet & Maxwell, 1986.
Sulaiman Nitiatma., Hukum Internasional Teritorialitas, Semarang : CV. Indriajaya. 1995
Konvensi terkait :
Konvensi Chicago Tahun 1944
Konvensi Geutemala Tahun 1971
Konvensi Guadalaraja Tahun 1961
Konvensi Paris Tahun 1919
Konvensi Roma tahun 1952
Konvensi Tokyo Tahun 1963
Konvesi Warsawa Tahun 1929
Undang-Undang terkait :
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009
UndangUndang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1996
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1983
Google.com
Yahoo.com
Dephub.co.id
10 | P a g e