BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Menurut KUHP, perbuatan pidana itu terbagi menjadi dua macam yaitu
kejahatan dan pelanggaran. Dari segi kodifikasinya, kejahatan diatur dalam buku
kedua KUHP, sedangkan pelanggaran diatur tersendiri dalam buku ketiga KUHP.
Dari sisi akibat hukumnya, kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana
penjara bagi pelakunya. Adapun untuk perbuatan yang masuk kategori
pelanggaran, pelakunya dijatuhi hukuman berupa kurungan atau denda.
B.Rumusan Masalah
C.Tujuan Penulisan
BAB II
3
PEMBAHASAN
1. Absorbsi Stelsel
Dalam sistem ini pidana yang dijatuhkan ialah pidana yang terberat di
antara beberapa pidana yang diancamkan.Dalam hal ini seakan-akan
pidana yang ringan terserap oleh pidana yang lebih berat. Kelemahan dari
sistem ini ialah terdapat kecenderungan pada pelaku jarimah untuk
melakukan perbuatan pidana yang lebih ringan sehubungan dengan
adanya ancaman hukuman yang lebih berat. Dasar daripada sistem
2 http://chaeossofis.blogspot.co.id/2016/06/ajaran-percobaan-pidana-dan-ajaran.html?m=1
3 Mas’ad Ma’shum, Hukum Pidana I, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga,
1989), hlm 124-125
4
hisapan ini ialah pasal 63 dan 64, yaitu untuk gabungan tindak pidana
tunggal dan perbuatan yang dilanjutkan.
2. Absorbsi Stelsel yang Dipertajam
Dalam sistem ini ancaman hukumannya adalah hukuman yang terberat,
namun masih harus ditambah 1/3 kali maksimum hukuman terberat yang
disebutkan. Sistem ini dipergunakan untuk gabungan tindak pidana
berganda dimana ancaman hukuman pokoknya ialah sejenis. Adapun
dasar yang digunakan adalah pasal 65.
3. Cumulatie Stelsel
Adalah sistem cumulasi yang semua ancaman hukuman dari gabungan
tindak pidana tersebut dijumlahkan, tanpa ada pengurangan apa-apa dari
penjatuhan hukuman tersebut.Sistem ini berlaku untuk gabungan tindak
pidana berganda terhadap pelanggaran dengan pelanggaran dan kejahatan
dengan pelanggaran. Dasar hukumnya adalah pasal 70 KUHP.
4. Cumulatie yang Diperlunak
Yaitu tiap-tiap ancaman hukuman dari masing-masing kejahatan yang
telah dilakukan, dijumlahkan seluruhnya. Namun tidak boleh melebihi
maksimum terberat ditambah sepertiganya. Sistem ini berlaku untuk
gabungan tindak pidana berganda, dimana ancaman hukuman pokoknya
tidak sejenis. Adapun dasar hukum sistem ini adalah pasal 66 KUHP.Dari
keempat stelsel di atas yang sering dipergunakan hanyalah tiga, yaitu
sistem absorbsi, absorbsi yang dipertajam, dan cumulasi yang diperlunak.
Sementara itu cumulatie murni tidak pernah dipergunakan dalam praktek,
karena bertentangan dengan ajaran samenloop yang pada prinsipnya
meringankan terdakwa.
Ilmu hukum pidana mengenal tiga bentuk concursus yang juga disebut
ajaran, yakni sebagai berikut:4
4 Ibid, hlm 32
5
Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dibahas secara rinci mengenai ketiga
bentuk perbarengan tersebut.
A.Perbarengan Peraturan
Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
1. Jika satu perbuatan termasuk dalam lebih dari satu aturan pidana,
maka yang dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu; jika
berbeda-beda yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat.
2. Jika suatu perbuatan yang masuk dalam aturan pidana yang umum,
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan.
Concursus idealis yaitu suatu perbuatan yang masuk ke dalam lebih dari
satu aturan pidana. Sistem pemberian pidana yang dipakai dalam concursus
idealis adalah sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan pidana pokok yang terberat.
Jadi misalnya terjadi pemerkosaan di jalan umum, maka pelaku dapat diancam
dengan pidana penjara 12 tahun menurut Pasal 285, dan pidana penjara 2 tahun 8
5 Ibid, hlm 33
6
bulan menurut Pasal 281. Dengan sistem absorbsi, maka diambil yang terberat,
yaitu 12 tahun penjara.6
Namun, apabila ditemui kasus tindak pidana yang diancam dengan pidana
pokok yang sejenis dan maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan
pidana pokok yang mempunyai pidana tambahan paling berat. Sebaliknya, jika
dihadapkan pada tindak pidana yang diancam dengan pidana pokok yang tidak
sejenis, maka penentuan pidana terberat didasarkan pada urutan jenis pidana
menurut Pasal 10 KUHP.7
Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP yang berbunyi sebagai berikut:
6 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), hlm 179-180
perbuatan lanjutan ini tiap-tiap perbuatan yang dapat dihukum mempunyai tempat
sendiri dan jangka waktu kedaluwarsa sendiri. Hal ini sesuai dengan perumusan
dalam Pasal 64 KUHP:9
C.Perbarengan Perbuatan
Hal ini diatur dalam Pasal 65-71 KUHP. Concursus realis terjadi apabila
seseorang melakukan beberapa perbuatan, dan masing-masing perbuatan itu
berdiri sendiri sebagai suatu tindak pidana (tidak perlu sejenis dan tidak perlu
berhubungan).11
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan