Anda di halaman 1dari 15

KASUS KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN OLEH PT NASIONAL

SAGO PRIMA DI KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI, RIAU

1. Fakta Hukum
A. Para pihak :
1) PT Nasional Sago Prima (PT NSP) :
 Direktur Utama Eris Ariaman
 Erwin selaku General Manajer
 Nowo Dwi Priyono selaku Manajer PT NSP
2) Polda Riau
3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

B. Objek Hukum :
Lahan di lima desa, yaitu Desa Tapak Baru, Desa Tanjung Suwir,
Desa Teluk Buntal Tanjung Sari, Desa Lukut, dan Desa Tanjung
Gadai, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan
Meranti, Riau yang mencapai 21.418 hektar

C. Peristiwa :
PT National Sago Prima (PT NSP) adalah sebuah badan usaha
yang bergerak di bidang pertanian, perindustrian, perdagangan dan
pengangkutan darat yang berkantor pusat di Sampoerna Strategic
Tower, Jakarta. PT NSP memulai membuka lahan seluas kurang
lebih 7 ribu hektare dengan cara land clearing dengan menyerahkan
kepada pihak ketiga di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.1
Pada 31 Januari 2014, bekas-bekas pembukaan lahan tersebut
terbakar dan pembakaran itu melepaskan berton-ton gas rumah kaca
hingga menimbulkan kabut asap yang tidak hanya dialami oleh areal
setempat, juga dirasakan oleh masyarakat Riau, dan propinsi

1
Andi Saputra, “Dear Presiden, Pengadilan Tolak Pembakar Hutan Dihukum Rp 1
Trilliun,” https://news.detik.com/berita/d-3011618/dear-presiden-pengadilan-tolak-
pembakar-hutan-dihukum-rp-1-triliun?_ga=2.174993638.595684809.1547533834-
1252847712.1547533834, diakses 12 Januari 2019.
sekitarnya, bahkan juga negara tetangga jiran seperti Singapura dan
Malaysia. Di Kota Pekanbaru akibat kabut asap data yang tercatat
pada ISPU (indeks standar pencemar udara) menunjukan warna
hitam (sangat berbahaya). Jumlah pasien penderita penyakit infeksi
saluran pernapasan atas yang dirawat di rumah sakit meningkat
sangat signifikan akibat kabut asap. Jarak pandang yang sudah
terlalu dekat akibat kabut asap juga telah menghambat jalur
transportasi udara, laut dan udara sehingga berimplikasi terhadap
terhambatnya jalannya perekonomian. hasil investigasi dari Koalisi
LSM juga menunjukan lahan warga Sungai Tohor yang terbakar
akibat percikan api PT NSP menimbulkan kerugian pada lahan sagu
warga.2
Atas hal ini, penyidik dari Polda Riau melakukan investigasi
pada Maret 2014 dengan menggandeng tenaga ahli kehutanan.
Hasilnya menyatakan kebakaran dilakukan dengan sengaja dan
sistematis di konsesi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan
Kayu PT NSP. Atas dasar fakta dan temuan tersebut, polisi lalu
membawa PT NSP ke pengadilan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Jaksa Penuntut Umum menuntut PT NSP yang
diwakili Direktur Utama Eris Ariaman denda Rp 5 miliar, dan
pidana tambahan Rp 1,4 Triliun untuk memulihkan lahan yang rusak
akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Sedangkan terdakwa
kedua, Erwin selaku General Manajer PT NSP dituntut 6 tahun
penjara dan denda Rp 1 miliar. Sedangkan terdakwa ketiga Nowo
Dwi Priyono selaku Manajer PT NSP dituntut 18 bulan penjara, dan
denda Rp1 miliar.3
Namun, pada 22 Januari 2015 Pengadilan Negeri Bengkalis
hanya mendenda PT NSP sebesar Rp 2 miliar. Adapun denda
pemulihan lahan tidak dikabulkan dan memvonis bebas dua petinggi

2
Made Ali, “PT NSP Dituntut Rp 1,4 Trilliun Untuk Pulihkan Lahan Akibat
Karhutla,” http://www.mongabay.co.id/2015/01/21/pt-nsp-dituntut-rp-14-triliun-untuk-
pulihkan-lahan-akibat-karhutla/, diakses 12 Januari 2019.
3
Ibid.
PT NSP, Erwin (General Manager Cabang) dan Manajer pabrik
NSP, Rowo Dwi Priono. Atas dasar putusan ini, maka jaksa lalu
mengajukan banding, namun tetap tidak berhasil. Sehingga di
tingkat pertama, PT NSP hanya didenda Rp 2 miliar oleh Pengadilan
Negeri Bengkalis yang kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi
Pekanbaru pada 1 Juni 2015. Kasus ini telah masuk Mahkamah
Agung (MA) dan menunggu vonis.4
Pada Oktober 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) menggugat PT NSP di Pengadilan Jakarta
Selatan, Pemerintah meminta PT NSP membayar ganti rugi kerugian
lingkungan hidup Rp 319,17 miliar, juga biaya pemulihan
lingkungan Rp 753,75 miliar yang totalnya Rp 1,072 triliun. PN
Jaksel memenangkan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) melawan PT NSP dalam kasus kebakaran hutan
Riau tersebut dan PT NSP dihukum membayar sekitar Rp 1,040
triliun atas kekalahan tersebut. Tetapi terdapat juga gugatan
Kementerian LHK yang tak dikabulkan oleh majelis hakim salah
satunya gugatan penghentian operasi perusahaan dan pembayaran
uang gugatan sebelum putusan berkekuatan hukum tetap.5
Atas vonis tersebut, pihak PT NSP mengajukan proses banding.
banding PT NSP dikabulkan Pengadilan Tinggi Jakarta. Pada 4
Desember 2017, majelis banding menyatakan gugatan KLHK tidak
dapat diterima. Giliran KLHK yang tidak terima dan mengajukan
permohonan kasasi. Akhirnya pada Senin (17/12/18) Mahkamah
Agung memutuskan mengabulkan kasasi yang dimohonkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Dalam
putusan tersebut PT NSP, yang merupakan Anak perusahaan PT
4
Dhani Irawan, “Pembakar Hutan Lolos Dari Tuntutan Rp 1 Trilliun, Jaksa Agung
Melawan!,” https://news.detik.com/berita/d-3013120/pembakar-hutan-lolos-dari-tuntutan-
rp-1-triliun-jaksa-agung-melawan?_ga=2.133165258.595684809.1547533834-
1252847712.1547533834, diakses 12 Januari 2019.
5
Angga Aliya, “Anak Usaha Sampoerna Agro Digugat Rp 1 T Gara-gara
Kebakaran Hutan,” https://finance.detik.com/bursa-dan-valas/d-3050729/anak-usaha-
sampoerna-agro-digugat-rp-1-t-gara-gara-kebakaran-
hutan?_ga=2.62324328.595684809.1547533834-1252847712.1547533834, diakses 12
Januari 2019
Sampoerna Agro Tbk, dinyatakan harus bertanggung jawab secara
mutlak atas kebakaran hutan tersebut. Selain itu, PT NSP juga
diharuskan membayar biaya pemulihan atau rehabilitasi, dan
diharuskan untuk membayar ganti rugi.6

D. Perbuatan :
PT NSP memulai membuka lahan dengan cara land clearing.
Caranya membuka hutan tersebut dengan alat berat yaitu eksavator,
mesin potong ataupun parang. Alat berat itu digunakan memotong
pohon dan membuka rerimbunan dan ditumpuk begitu saja. Pada 31
Januari 2014, bekas-bekas pembukaan lahan tersebut terbakar dan
membuat asap yang membumbung tinggi ke langit Sumsel.
Berdasarkan pengamatan lapangan khususnya pada areal yang
disampling ditemukan areal yang telah terbakar nyaris sempurna
karena seluruh areal terbakar dan menghitam akibat permukaannya
ditutupi oleh arang bekas kebakaran, pada areal bekas terbakar
tersebut ditemukan pula telah ditanam sagu khususnya pada lokasi
tanaman sagu belum produktif. Kebakaran yang terjadi dapat
dinyatakan nyaris sempurna karena tampak tidak ada upaya untuk
menahan laju api yaitu melalui tindakan pemadaman bahkan tampak
dibiarkan. Menurut penelitian Prof. DR. Ir. Bambang Hero Saharjo,
M.Agr. di areal bekas terbakar tersebut tidak ditemukan adanya
tower pemantau api sebagai sarana dan prasarana deteksi dini
pengendalian kebakaran. Akibat dari tidak bekerjanya early warning
system dan early detection system membuat upaya pengendalian
kebakaran di PT NSP menjadi tumpul.7
Kegiatan HTI Sagu PT NSP tanpa izin menteri. Kegiatan di
pabrik dalam kawasan hutan, hanya didasari alas hak berupa
Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dikeluarkan oleh Kantor Badan

6
Andi Saputra, “Tok! MA Menangkan KLHK VS Pembakar Hutan di Gugatan Rp
1 Triliun,” https://news.detik.com/berita/d-4367535/tok-ma-menangkan-klhk-vs-pembakar-
hutan-di-gugatan-rp-1-triliun?_ga=2.99073370.595684809.1547533834-
1252847712.1547533834, diakses 12 Januari 2019.
7
Made Ali, loc.cit.
Pertanahan Negara (BPN) setempat. Padahal yang berhak
mengeluarkan perizinan di dalam penggunaan kawasan hutan adalah
Menteri Kehutanan.
Kegiatan PT NSP tanpa memiliki AMDAL izin lingkungan,
karena masih memakai AMDAL PT National Timber Forest
Product. AMDAL PT NSP baru diurus terdakwa Erwin pada 10 Juni
2014 atau setelah Erwin menjadi tersangka. Sehingga semakin
terang PT NSP tidak memiliki Dokumen AMDAL, RKL dan RPL.
PT NSP juga tak memiliki izin penyimpanan limbah B3.8

E. Akibat hukum :
Akibat kebakaran lahan dan hutan menurut ahli, Basuki Wasis,
perusakan tanah akibat kebakaran hutan dan lahan, telah masuk
kriteria baku kerusakan, yakni kerusakan sifat kimia tanah, sifat
biologi tanah, sifat fisik tanah dan aspek flora dan fauna. Hasil
analisa tanah juga menunjukan tanah tersebut terbakar, dengan
ditunjukan terjadinya peningkatan kadar Ca dan Mg tanah. Karhutla
di lahan PT NSP juga mengakibatkan hutan alam berupa reparian
yang didominasi pepohonan kayu-kayu alam ikut terbakar seluas
130 ha dari luasan reparian 550 ha.9
Pelepasan berton-ton gas-gas rumah kaca yang dihasilkan selama
pembakaran berlangsung di areal PT NSP seluas 3000 ha telah
melewati batas ambang terjadinya pencemaran, yang berarti bahwa
gas-gas yang dihasilkan selama pembakaran telah mencemarkan
lingkungan di lahan terbakar dan sekitarnya. Hal ini juga
menimbulkan kerugian pada lahan sagu warga Sungai Tohor yang
terbakar akibat percikan api PT NSP, juga gambut yang telah
terbakar telah merusak salah satu ekosistem terbaik milik Riau di
Kepulauan Meranti. Banyak juga masyarakat yang jadi menderita

8
Ibid.
9
Ibid.
penyakit infeksi saluran pernapasan atas dan harus dirawat di rumah
sakit akibat kabut asap.10

2. Pendapat Hukum
Bahwa berdasarkan Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup:
“Setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau
UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan”
dan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) jo. Lampiran I huruf c Bidang
Pertanian Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun
2012 Tentang Jenis Rencana dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki
Amdal, yakni
“jenis kegiatan yang wajib memiliki AMDAL adalah jenis
kegiatan budidaya tanaman pangan dengan atau tanpa unit
pengolahannya skala/ besaran ≥ 2000 ha”.
Bahwa berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU No 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan menyatakan
bahwa:
“Setiap orang dilarang:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup;
b. memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundang-
undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. memasukkan limbah yang berasal dari luar wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia ke media lingkungan hidup Negara
Kesatuan RepublikIndonesia;
d. memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia;

10
Ibid.
e. membuang limbah ke media lingkungan hidup;
f. membuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup;
g. melepaskan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup
yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau izin
lingkungan;
h. melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar;
i. menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi penyusun
amdal; dan/atau
j. memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang
tidak benar.”
Definisi perusakan lingkungan hidup berdasarkan Pasal 1 angka
16 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan yakni:
“Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang
menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayat lingkungan hidup sehingga
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Bahwa Pasal 1 angka 17 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan mendefinisikan kerusakan lingkungan
hidup sebagai berikut:
“Perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat
fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”.
Bahwa Pasal 68 UU 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur dengan tegas kewajiban
setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana
yang dilakukan oleh Tergugat untuk :
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan
tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau
kriteria baku kerusakan lingkungan.
Bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau
Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran
Hutan dan Lahan, dalam melakukan pembukaan lahan harus
mempersiapkan :
a. Sistem deteksi dini untuk mengetahui terjadinya kebakaran hutan
dan atau lahan;
b. Alat pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan;
c. Prosedur operasi standar untuk mencegah dan menanggulangi
terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
d. Perangkat organisasi yang bertanggungjawab dalam mencegah dan
menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan atau lahan;
e. Pelatihan penanggulangan kebakaran hutan dan/atau lahan secara
berkala.
Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan
atau lahan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan,
meliputi:
a. Peralatan tangan;
b. Perlengkapan perorangan;
c. Pompa air dan perlengkapannya;
d. Peralatan telekomunikasi;
e. Pompa bertekanan tinggi;
f. Peralatan mekanis;
g. Peralatan transportasi;
h. Peralatan logistik, medis, dan Sarana Gedung.
Sarana dan prasarana pencegahan terjadinya kebakaran hutan dan
atau lahan sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan;
pemilik izin pemanfaatan hutan melakukan kegiatan:
a. Melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan;
b. Mengiventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c. Menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d. Membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan;
e. Mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan
f. Membuat sekat bakar.
Merujuk pada Keputusan Ketua Mahkamah Agung No
134/KMA/SK/IX/2011 tentang Sertifikasi Hakim Lingkungan, Pasal 5
secara eksplisit mengatakan, perkara administrasi, perdata dan pidana
bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan, pesisir dan kelautan, tata
ruang, sumber daya air, energi, perindustrian dan atau konservasi
sumber daya alam wajib dipimpin hakim sertifikasi lingkungan hidup.

3. Analisis
Putusan Hakim untuk perkara kebakaran hutan dan lahan oleh PT NSP
yang digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)
di Pengadilan Jakarta Selatan dengan nomor perkara 591/Pdt.G-
LH/2015/PN.Jkt.Sel, yaitu sebagai berikut :
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
b. Menyatakan perbuatan Tergugat yang menyebabkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat lalainya tergugat
mengantisipasi kerusakan hutan dalam terjadinya kebakaran adalah
perbuatan melawan hukum;
c. Menghukum Tergugat untuk membayar ganti kerugian lingkungan
hidup atas kerusakan Ekologis kepada PENGGUGAT secara langsung
dan seketika melalui rekening Kas Negara sebesar Rp 319.168.422.500
d. Menghukum dan memerintahkan TERGUGAT untuk melakukan
pemulihan lingkungan terhadap hutan yang telah terbakar pada lahan
milik TERGUGAT seluas ± 3000 ha (tiga ribu hektar) sebesar
Rp. 753.745.500.000
Dalam hal PT NSP juga digugat di PN Bengkalis (perkara No.
574/Pid.Sus/2014/PN.Bls) dan pada saat ini perkara tersebut masih dalam
pemeriksaan di tingkat kasasi (Mahkamah Agung), putusan dalam gugatan
perdata tidak menyebabkan perkara pidana ne bis in idem, karena proses
perkara pidana dengan gugatan perdata memiliki substansi hukum yang
berbeda, sehingga dalam perkembangan praktek hukum dapat terjadi dalam
satu peristiwa dikenakan sanksi pidana dan sanksi perdata, sebab masing-
masing berdiri sendiri-sendiri.
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH
menegaskan bahwa :
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya
menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3,
dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan
hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa
perlu pembuktian unsur kesalahan”.
Ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
PPLH tersebut, dipertegas lagi dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor: 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan
Kebakaran Hutan dan Lahan yang menyatakan :
“Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usaha dan
kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap
lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun,
dan atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun,
bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan,
dengan kewajiban membayar ganti kerugian secara langsung dan
seketika pada saat terjadinya pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup”.
Oleh karena dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan atau lahan
tersebut menimbulkan kerugian dalam semua sector, baik kerugian ekologi,
ekonomi, social maupun budaya maka rumusan pasal tersebut sesuai.
Bahwa ketentuan dalam hukum lingkungan hidup tidak
mempermasalahkan pelaku atau korban dari kebaran tersebut, oleh
karena sepanjang terjadi kebakaran di areal kerjanya atau hutan dan / atau
lahan yang dikuasai dengan hak/izin, maka pemegang hak / izin harus
bertanggung jawab, hal ini diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang menyatakan:
“Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran
hutan di areal kerjanya”.
Sehingga PT NSP selaku pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan Bukan Kayu pada Tanaman (Sagu) di areal tersebut wajib
bertanggung jawab secara hukum, oleh karena itu dapat disimpulkan
bahwa perbuatan PT NSP yang menyebabkan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup sebagai akibat lalainya PT NSP dalam
mengantisipasi kerusakan hutan dalam terjadinya kebakaran adalah
perbuatan melawan hukum.
Dalam hal PT NSP tidak memiliki izin AMDAL, di lokasi dan untuk
usaha yang sama telah memiliki AMDAL yang awalnya atas nama
PT National Timber And Forest Product, yang kemudian AMDAL tersebut
dipergunakan oleh PT. NSP setelah mengambil alih aset PT National
Timber And Forest Product.
Dengan menggunakan AMDAL tersebut PT NSP mengurus izin
usahanya dan diterima, selain itu dengan AMDAL tersebut juga PT NSP
telah mengurus perizinan lainnya, seperti Izin usaha kehutanan (Keputusan
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor:
117/1/IU/I/PMA/KEHUTANAN/2010), Izin usaha Industri (Surat
Keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor:
75/1/IU/II/PMA/INDUSTRI/2012), dan Surat Kelayakan Bupati Bengkalis
Nomor: 140/KPTS/III/2012 Tentang Kelayakan Lingkungan Analisis
Dampak Lingkungan Hidup (ANDAL) Rencana Pengelolaan Lingkungan
(RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) Kegiatan Pembangunan
Pabrik Sagu Beserta Fasilitas Pendukungnya PT Nasional Sago Prima
Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau Tanggal 1 Maret 2012.
Berdasarkan pertimbangan di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal
4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, maka menurut Majelis Hakim
terhadap penggunaan AMDAL yang sudah ada (atas nama PT National
Timber And Forest Profuct) oleh PT NSP dalam menjalankan usahanya
di lokasi yang sama dan jenis usaha yang sama adalah sesuai dengan
ketentuan sehingga tidak merupakan suatu perbuatan melawan hukum.
Dalam persidangan dilampirkan bukti yaitu Surat Keputusan Bupati
Kepulauan Meranti, Nomor 16 Tahun 2014 tentang Penetapan Status
Tanggap Darurat Penanganan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
serta Bencana Kabut Asap di Kabupaten Kepulauan Meranti, kemudian
terdapat juga Surat Keputusan Bupati Kepulauan Meranti, Nomor:
125/HKM/KPTS/III/2014 tentang Perpanjangan Penetapan Status
Tanggap Darurat Penanganan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan
serta Bencana Kabut Asap di Kabupaten Kepulauan Meranti, di mana
dari kedua bukti tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan
Meranti telah menetapkan kebakaran hutan dan/atau lahan di wilayah
Kabupaten Kepulauan Meranti yang terjadi dalam kurun waktu 10
Februari 2014 sampai dengan tanggal 11 Maret 2014, kemudian
diperpanjang lagi dari tanggal 12 Maret 2014 sampai dengan tanggal 11
April 2014 sebagai bencana alam.
Berdasarkan bukti-bukti tersebut, bahwa lokasi areal izin yang
dimiliki PT NSP berada di Kabupaten kepulauan Meranti dan
berdasarkan fakta hukum bahwa kebakaran di areal hutan dan/atau
lahan tergugat terjadi dari tanggal 30 Januari 2014 sampai dengan akhir
bulan Maret 2014, karena itu baik areal maupun waktu peristiwa
kebakaran di areal tergugat telah masuk dalam kedua Surat Keputusan
Bupati Kepulauan Meranti tersebut, sehingga dengan demikian PT NSP
telah dapat membuktikan bahwa terhadap kebakaran di areal hutan dan
/atau lahan Tergugat adalah merupakan peristiwa bencana alam.
Karena kebakaran di areal hutan dan/atau lahan PT NSP ditetapkan
sebagai bagian peristiwa bencana alam di Kabupaten Kepulauan
Meranti, maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Pencemaran
dan Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran
Hutan dan Lahan, PT NSP dibebaskan dari kewajiban membayar ganti
rugi. Tapi sekalipun PT NSP telah dibebaskan membayar ganti rugi atas
kerusakan ekologis beserta pemulihannya, bukan berarti PT NSP
dibebaskan dari tanggung jawab pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan terhadap kerusakan hutan dan/atau lahan yang dimilikinya
akibat terjadinya kebakaran tersebut, karena hal itu merupakan amanah
Undang-undang yang wajib dilaksanakan, maka PT NSP tetap
berkewajiban melakukan pencegahan, penanggulangan dan pemulihan
terhadap kerusakan hutan dan/atau lahan tersebut, terlebih lagi hutan/lahan
tersebut dalam penguasaan dan pengelolaan PT NSP.
Mengenai majelis hakim yang tidak memiliki kompetensi sertifikasi
hakim lingkungan pada perkara PT NSP di Pengadilan Negeri Bengkalis
(perkara No. 574/Pid.Sus/2014/PN.Bls) seharusnya pada tahapan awal
majelis hakim wajib di screening untuk memastikan kompetensi sertifikasi
hakim lingkungan dan saat di satu daerah tak ada hakim bersertifikasi
lingkungan, bisa dengan detasering atau meminjam dari luar atau tempat
lain.

4. Kesimpulan
Kasus kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh PT Nasional
Sago Prima di lahan yang mencapai 21.418 hektar yang termasuk kawasan
di lima desa, yaitu Desa Tapak Baru, Desa Tanjung Suwir, Desa Teluk
Buntal Tanjung Sari, Desa Lukut, dan Desa Tanjung Gadai, Kecamatan
Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau telah
mengakibatkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, yang juga
berdampak kepada kesehatan dan perekonomian masyarakat yang terkena
dampak.
Atas dasar tersebut Polda Riau membawa perkara ini ke Pengadilan
Bengkalis (perkara No. 574/Pid.Sus/2014/PN.Bls) dengan tuntutan jaksa
kepada PT NSP yang diwakili Direktur Utama Eris Ariaman denda Rp 5
miliar, dan pidana tambahan Rp 1,4 Triliun untuk memulihkan lahan yang
rusak akibat kebakaran hutan dan lahan. Sedangkan terdakwa kedua, Erwin
selaku General Manajer PT NSP dituntut 6 tahun penjara dan denda Rp 1
miliar. Sedangkan terdakwa ketiga Nowo Dwi Priyono selaku Manajer PT
NSP dituntut 18 bulan penjara, dan denda Rp 1 miliar. Namun PN
Bengkalis hanya mendenda PT NSP sebesar Rp 2 miliar dan memvonis
bebas dua petinggi PT NSP. Kemudian putusan tersebut dikuatkan oleh
Pengadilan Tinggi Pekanbaru pada 1 Juni 2015 dan kasus ini telah masuk
Mahkamah Agung (MA) dan menunggu vonis.
Pada Oktober 2015 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) menggugat PT NSP di Pengadilan Jakarta Selatan, Pemerintah
meminta PT NSP membayar ganti rugi kerugian lingkungan hidup Rp
319,17 miliar, juga biaya pemulihan lingkungan Rp 753,75 miliar yang
totalnya Rp 1,072 triliun. PN Jaksel memenangkan Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melawan PT NSP dan PT NSP
dihukum membayar sekitar Rp 1,040 triliun atas kekalahan tersebut. Dalam
upaya hukum banding, majelis hakim memenangkan PT NSP, namun pada
tingkat kasasi, MA mengabulkan gugatan dari KLHK.
PT NSP terbukti menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup sebagai akibat lalainya PT NSP dalam mengantisipasi
kerusakan hutan dalam terjadinya kebakaran dan harus bertanggungjawab
atas itu berdasarkan ketentuan Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2009 tentang PPLH yang dipertegas dalam ketentuan Pasal 51
ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang
Pengendalian Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup yang
Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Namun, PT NSP dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi
karena berdasarkan bukti-bukti (Surat Keputusan Bupati Kepulauan
Meranti, Nomor 16 Tahun 2014 tentang Penetapan Status Tanggap
Darurat Penanganan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan serta
Bencana Kabut Asap di Kabupaten Kepulauan Meranti dan Surat
Keputusan Bupati Kepulauan Meranti, Nomor: 125/HKM/KPTS/III/2014
tentang Perpanjangan Penetapan Status Tanggap Darurat Penanganan
Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan serta Bencana Kabut Asap di
Kabupaten Kepulauan Meranti) kebakaran di areal hutan dan/atau lahan
PT NSP ditetapkan sebagai bagian peristiwa bencana alam di Kabupaten
Kepulauan Meranti, maka berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian
Pencemaran dan Perusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan
Kebakaran Hutan dan Lahan, PT NSP dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi.
Tetapi PT NSP tetap dihukum untuk membayar ganti kerugian
lingkungan hidup atas kerusakan Ekologis sebesar Rp 319.168.422.500 dan
melakukan pemulihan lingkungan terhadap hutan yang telah terbakar pada
lahan milik PT NSP seluas ±3000 ha sebesar Rp. 753.745.500.000.

Anda mungkin juga menyukai